Faedah Sirah Nabi: Apa yang Terjadi pada Peristiwa Hudaibiyah dan Pelajaran di Dalamnya
Pada perjanjian Hudaibiyah, tidak terjadi perang. Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan damai yang terjadi antara kaum Muslimin yang dipimpin oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Quraisy Mekkah pada tahun 6 Hijriah (628 M). Perjanjian ini terjadi setelah kaum Muslimin dari Madinah melakukan perjalanan menuju Mekkah dengan niat untuk menunaikan ibadah umrah, namun mereka dicegah oleh kaum Quraisy.
Meskipun ada ketegangan dan kemungkinan terjadinya konflik, perjanjian ini akhirnya tercapai tanpa peperangan. Kaum Quraisy dan kaum Muslimin sepakat untuk menandatangani perjanjian yang berisi beberapa poin penting, salah satunya adalah gencatan senjata selama 10 tahun. Perjanjian ini kemudian menjadi titik balik dalam sejarah Islam, yang memungkinkan kaum Muslimin untuk lebih leluasa menyebarkan dakwah Islam dan mendapatkan pengakuan dari kaum Quraisy.
Hudaibiyah terletak 22 KM arah Barat dari Mekkah menuju Jeddah, sekarang terdapat Masjid Ar-Ridhwân. Nama lain Hudaibiyah adalah Asy-Syumaisi yang diambil dari nama Asy-Syumaisi yang menggali sumur di Hudaibiyah.[
Pada pembahasan terdahulu, kita telah berbicara tentang Fiqih Sirah dari sampainya Rasulullah di Madinah hingga berakhirnya Perang Ahzab dengan kembalinya pasukan gabungan dalam keadaan kalah dan hukuman tegas atas pengkhianatan Bani Quraizhah serta sabda Rasulullah, “Mereka tidak akan lagi memerangi kita, kitalah yang akan memerangi mereka.”
Ini semua berarti adanya pergeseran pertarungan antara umat Islam di Madinah dan musuh-musuh mereka secara berkala. Pada tahapan tersebut disyariatkannya jihad dengan berbagai tahapannya secara berkala dan orang-orang kafir berusaha untuk menghentikan dakwah ini pada Perang Badar, Uhud, dan Ahzab. Semua itu diawali oleh musuh dari kalangan kafir Quraisy.
Adapun tahapan berikut ini yang akan kita bicarakan adalah tahapan baru. Rasulullah tidak lagi bertahan, melainkan melakukan penyerangan terhadap kaum kafir langsung ke wilayah mereka, seperti pada Perang Hudaibiyah, Khaibar, dan lainnya. Kita mendapati bahwa Rasulullah-lah yang memegang tali kendali untuk memulai menyerang ke wilayah mereka guna memberikan pembelajaran terhadap musuh.
Latar Belakang Perang Hudaibiyah
Latar belakang perang ini adalah mimpi yang dialami oleh Rasulullah bahwa beliau dapat memasuki Baitul Haram bersama sahabat-sahabatnya, melakukan thawaf dan mencukur rambut. Kemudian, beliau menyampaikan hal tersebut kepada para sahabatnya. Kemudian mereka pun menyambut dengan suka cita. Allah berfirman setelah kejadian itu,
لَّقَدْ صَدَقَ ٱللَّهُ رَسُولَهُ ٱلرُّءْيَا بِٱلْحَقِّ ۖ لَتَدْخُلُنَّ ٱلْمَسْجِدَ ٱلْحَرَامَ إِن شَآءَ ٱللَّهُ ءَامِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ ۖ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا۟ فَجَعَلَ مِن دُونِ ذَٰلِكَ فَتْحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (QS. Al-Fath: 27).
Rasulullah keluar (meninggalkan Madinah) di awal bulan Dzul Qa’dah tahun 6 H ketika beliau meminta bantuan kepada penduduk Arab yang ada di sekitarnya untuk bergabung bersamanya karena beliau khawatir terhadap Quraisy yang akan menghalanginya dengan memeranginya atau menghalangi beliau agar tidak menginjakkan kakinya di Baitullah.
Sebagian besar dari mereka lamban dalam merespons seruan Nabi, sehingga beliau berangkat hanya bersama kaum Anshar dan Muhajirin serta orang-orang yang sempat menyusul beliau dari kalangan bangsa Arab.
Dengan membawa hewan hadyu, beliau akan melakukan ihram dan umrah, agar orang-orang memberikan rasa aman dan agar mereka mengetahui bahwa beliau datang hanya untuk berziarah ke Baitullah sebagai bentuk pengagungan kepadanya.
Beliau juga mengutus seorang mata-mata dari suku Khuza’ah agar dapat memberikan informasi tentang Quraisy. Ketika berada di Usfan, beliau bertemu dengan seorang mata-mata, Bisr bin Sufyan Al-Ka’bi. Ia segera berkata, “Ya Rasulullah, orang Quraisy telah mendengar perjalananmu. Mereka pun keluar (untuk menghadang) dengan membawa unta-unta perahan (sebagai logistik) dan memakai pakaian perang. Mereka menunggu di Dzi Thuwa dan bersumpah untuk menghalangi engkau masuk ke Mekkah selama-lamanya. Sedangkan Khalid bin Walid dengan pasukan kavaleriya telah sampai di Qura’ Ghamim.”
Rasulullah mengajak para sahabat untuk bermusyawarah dan berkata, “Bagaimana menurut kalian, apakah kita kembali saja kepada orang-orang yang menolong mereka (orang Anshar yang menolong Muhajirin, pen.)? Atau kita tetap menuju Baitullah. Dan siapa yang menghalangi kita, akan kita bunuh.”
Abu Bakar berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu. Kita datang hanya untuk melaksanakan umrah, bukan untuk membunuh siapa pun. Namun, apabila ada yang menghalangi antara kita dan Baitullah, akan kita bunuh.” Nabi berkata, “Kalau begitu kita lanjutkan perjalanan.” Lalu beliau bertanya, “Siapakah yang dapat menunjukkan jalan yang tidak dapat diketahui oleh mereka?” Seorang dari suku Aslam berkata, “Saya ya Rasulullah.” Kemudian rombongan beliau pun menapaki jalan terjal yang cukup menyulitkan kaum muslim hingga mereka sampai di jalan yang mudah dilalui, yaitu di ujung lembah. Rasulullah bersama para sahabat mengerjakan shalat khauf di Usfan.
Ketika pasukan berkuda Quraisy menyadari bahwa mereka telah mengambil jalan yang berbeda, mereka kembali kepada kelompoknya, yaitu orang-orang Quraisy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan perjalanannya. Saat melintasi wilayah Tsaniyatul Mirar, tiba-tiba untanya berhenti dan enggan berjalan. Orang-orang pun berkata, “Qashwa (nama unta Nabi) mogok berjalan.” Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Unta ini tidak mogok, dan itu bukanlah kebiasaannya, melainkan ia ditahan oleh Dzat yang pernah menahan pasukan bergajah.” Beliau melanjutkan, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya! Jika mereka meminta kesepakatan dariku untuk mengagungkan bulan-bulan Allah, niscaya aku akan memenuhi permintaan mereka.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memecut untanya hingga bangkit dan melanjutkan perjalanan hingga tiba di ujung wilayah Hudaibiyah. Di sana, sumber airnya sangat sedikit sehingga para sahabat berebutan untuk mendapatkan air. Mereka pun mengadukan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau kemudian mengeluarkan sebuah anak panah dari tempatnya dan menyerahkannya kepada salah seorang sahabat. Anak panah tersebut ditancapkan pada dasar oase, dan tiba-tiba air mengalir deras sehingga mereka bisa meminum air tersebut dengan sepuasnya.
Setelah situasi tenang, datanglah Budail bin Waraqah bersama beberapa tokoh dari suku Khuza’ah. Mereka memberitahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kedatangan mereka bukan untuk berperang, melainkan untuk mengunjungi Baitullah dan mengagungkan kemuliaannya. Mereka pun kembali menemui orang-orang Quraisy untuk menyampaikan hal tersebut. Namun, orang-orang Quraisy tidak langsung mempercayai mereka dan mengutus Mikraz bin Hafash untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kedatangannya, beliau bersabda, “Orang ini adalah seorang penipu.” Setelah Mikraz bertanya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menyampaikan hal yang sama seperti yang beliau katakan kepada Budail. Mikraz pun kembali dan menyampaikan kabar tersebut kepada orang-orang Quraisy.
Setelah itu, mereka mengutus Hulais bin Al-Qamah, seorang tokoh dari kalangan Ahabisy. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya datang, beliau berkata, “Orang ini berasal dari masyarakat yang beribadah kepada Tuhan! Tampilkan hewan-hewan qurban kepadanya agar ia melihatnya.” Ketika Hulais melihat hewan-hewan qurban yang terikat di lembah, ia pun segera kembali ke Quraisy tanpa bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena menghormati apa yang telah dilihatnya. Sesampainya di Quraisy, ia menceritakan apa yang telah ia saksikan. Namun, orang Quraisy menghardiknya, “Duduklah! Kamu ini orang Arab dusun yang bodoh.”
Kemudian mereka mengutus Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbicara dengannya. Urwah berkata, “Hai Muhammad, engkau mengumpulkan orang banyak lalu membawa mereka kepada keluargamu untuk dibunuh? Demi Allah, dari apa yang kulihat, pengikutmu akan meninggalkanmu besok pagi.”
Mendengar ini, Abu Bakar langsung berkata, “Isap saja kemaluan tuhanmu, Lata! Apakah kamu mengira kami serendah itu?” Urwah bertanya, “Siapa orang ini, wahai Muhammad?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia adalah putra Abu Quhafah.” Urwah berkata, “Demi Allah, jika aku tidak berutang budi padanya, pasti aku balas.”
Urwah kemudian mencoba menyentuh janggut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi Mughirah bin Syu’bah yang berdiri di dekatnya berkata, “Jangan sentuh wajah Rasulullah.” Urwah bertanya, “Siapa orang ini?” Mereka menjawab, “Dia adalah anak saudaramu, Mughirah bin Syu’bah.” Urwah pun menanggapi, “Dasar pengkhianat! Aku baru saja menutupi aibmu!”
Sementara itu, Urwah sangat memperhatikan bagaimana para sahabat memperlakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap kali beliau berwudhu, air bekas wudhunya selalu menjadi rebutan, begitu pula bekas ludah dan rontokan rambut beliau. Ketika Urwah kembali ke Quraisy, ia berkata, “Wahai orang Quraisy! Aku pernah bertemu dengan raja Romawi, Kaisar, dan Najasyi di kerajaan mereka. Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang raja yang begitu dihormati seperti Muhammad dihormati oleh para sahabatnya. Aku melihat kaum yang tidak akan membiarkan beliau terluka sedikit pun. Pertimbangkanlah dengan matang apa yang akan kalian lakukan.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memanggil Kharasy bin Umayah Al-Khuza’i dan mengutusnya kepada kaum Quraisy dengan memberikan untanya yang bernama Ats-Tsa’lab untuk menemuinya. Namun, mereka menyembelih unta tersebut dan bahkan ingin membunuh Kharasy, tetapi dicegah oleh sebagian orang sehingga ia pun dibebaskan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memanggil Umar bin Khaththab untuk diutus ke Quraisy, tetapi Umar menolaknya dengan alasan bahwa tidak ada kaumnya yang akan melindunginya jika terjadi sesuatu. Umar menyarankan agar Rasulullah mengutus Utsman bin Affan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata kepada Utsman, “Sampaikan kepada mereka bahwa kita datang bukan untuk berperang, melainkan hanya untuk umrah, dan ajaklah mereka kepada Islam.” Beliau juga memerintahkan Utsman untuk menemui orang-orang beriman di Mekkah dan menyampaikan kabar gembira akan kemenangan. Utsman pun berangkat melaksanakan tugasnya. Ia bertemu dengan kaum Quraisy di Baldah dan menyampaikan kedatangan Rasulullah kepada mereka.
Usamah bin Sa’id bin Al-Ash menemani Utsman, memboncengkannya di atas kudanya dan menjamin keselamatannya. Sebagian Muslimin mengira bahwa Utsman telah mendahului mereka ke Baitullah dan melakukan tawaf. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku yakin dia tidak akan melakukan tawaf, sementara kita tidak bersamanya.” Mereka bertanya, “Apa yang menghalanginya, ya Rasulullah, bukankah ia sudah sampai di sana?” Beliau menjawab, “Keyakinanku adalah bahwa ia tidak akan tawaf hingga kita tawaf bersamanya.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat kabar bahwa Utsman telah dibunuh. Beliau pun mengajak para sahabat untuk berba’iat. Kaum Muslimin menyambut ajakan tersebut dan mereka berba’iat kepada beliau di bawah pohon. Tidak ada seorang pun yang tidak berba’iat kecuali Jadd bin Qais.
Setelah baiat selesai, muncul Utsman. Kaum Muslimin berkata kepadanya bahwa Utsman telah melakukan tawaf. Namun, Utsman membantah, “Sungguh buruk dugaan kalian. Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya! Seandainya aku tinggal di sana selama satu tahun, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Hudaibiyah, aku tidak akan tawaf hingga Rasulullah tawaf terlebih dahulu. Orang-orang Quraisy memang mengajakku untuk tawaf, tetapi aku menolaknya.” Kaum Muslimin pun berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling tahu tentang Allah dan yang paling baik prasangkanya dibandingkan kita.”
Kemudian orang-orang Quraisy mengutus Suhail bin Amr. Mereka berkata, “Temuilah Muhammad dan ajaklah damai dengan syarat ia harus kembali dan meninggalkan kami tahun ini. Demi Allah, jangan sampai orang-orang Arab mengatakan bahwa ia bisa memasuki Mekah dengan paksa.”
Suhail datang menemui Rasulullah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau berkata, “Sungguh, ia telah memudahkan urusan kalian. Masyarakat Quraisy ingin berdamai dengan mengutus orang ini.”
Saat bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , Suhail berbicara cukup lama untuk bernegosiasi hingga akhirnya tercapai kata sepakat. Ketika segalanya sudah final dan tinggal dituangkan dalam tulisan, Umar menemui Abu Bakar seraya berkata, “Wahai Abu Bakar, bukankah dia Rasulullah?” Abu Bakar menjawab, “Benar.” Umar melanjutkan, “Bukankah kita umat Islam?” Abu Bakar menjawab, “Benar.” Umar kembali bertanya, “Lalu mengapa kita merendahkan agama kita?” Abu Bakar berkata, “Wahai Umar, jagalah logikamu! Aku bersaksi bahwa dia adalah utusan Allah.” Umar berkata, “Aku juga bersaksi bahwa dia adalah utusan Allah.”
Umar lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah engkau utusan Allah?” Nabi menjawab, “Benar.” Umar bertanya lagi, “Bukankah kita umat Islam?” Nabi menjawab, “Benar.” Umar bertanya lagi, “Bukankah mereka kaum musyrik?” Nabi menjawab, “Benar.” Umar bertanya lagi, “Lantas, mengapa kita merendahkan agama kita?” Nabi menjawab, “Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya! Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyia-nyiakan aku.” Umar kemudian berkata, “Setelah peristiwa itu, aku sering berpuasa, bersedekah, shalat malam, dan memerdekakan budak, karena khawatir atas ucapanku dan berharap semoga menjadi kebaikan.”
Baca juga: Kebaikan Menghapuskan Kejelekan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memanggil Ali bin Abu Thalib dan berkata, “Tulislah, Bismillahirrahmanirrahim.” Suhail berkata, “Aku tidak mengenal kalimat ini. Tulislah, Bismika Allahumma.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tulislah, Bismika Allahumma!” Ali pun menuliskannya. “Kemudian tulislah! Ini adalah kesepakatan antara Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr.”
Suhail menyela, “Seandainya aku bersaksi bahwa kamu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku tidak akan memerangimu. Namun, tulislah namamu dengan nama ayahmu saja.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tulislah, ini adalah kesepakatan antara Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amr.” Mereka sepakat untuk melakukan gencatan senjata dengan perjanjian ini. Tidak ada pencurian dan pengkhianatan. Siapa pun yang ingin bergabung dengan Muhammad, dipersilakan. Siapa pun yang ingin bergabung dengan Quraisy, juga dipersilakan. Suku Khuza’ah berkata, “Kami bergabung dengan Muhammad.” Bani Bakr berkata, “Kami bergabung dengan Quraisy.”
Salah satu syaratnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin diperbolehkan melakukan ibadah umrah tahun depan, dengan syarat tidak membawa senjata. Mereka diperbolehkan berada di Mekah selama tiga hari, dan baru bisa memasuki Mekah setelah kaum Quraisy mengosongkan kota itu.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah merampungkan isi perjanjian damai dengan Suhail bin Amr, tiba-tiba Abu Jandal bin Suhail bin Amr muncul dalam keadaan terborgol, bergabung dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika Suhail melihat anaknya, ia langsung menampar dan mencengkeramnya seraya berkata, “Ini adalah tuntutanku yang pertama padamu, Muhammad.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha agar Suhail membiarkannya, tetapi ia menolak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
يَا أَبَا جَنْدَلٍ، اصْبِرْ وَاحْتَسِبْ، فَإِنَّ اللهَ جَاعِلٌ لَكَ وَلِمَنْ مَعَكَ مِنَ الْمُسْتَضْعَفِينَ فَرَجًا وَمَخْرَجًا، إِنَّا قَدْ عَقَدْنَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ صُلْحًا، وَأَعْطَيْنَاهُمْ عَلَى ذَلِكَ، وَأَعْطَوْنَا عَهْدَ اللهِ، وَإِنَّا لَا نَغْدِرُ بِهِمْ.
“Bersabarlah wahai Abu Jandal, dan berharaplah kepada Allah. Sungguh, Allah akan memberikan kemudahan dan jalan keluar bagimu dan orang-orang yang tertindas. Kami telah berjanji dengan kaum Quraisy dan tidak akan mengkhianati mereka.”
Sikap ini menambah duka kaum Muslimin, mengingat mereka tidak bisa memasuki Mekah dan tidak dapat membantu Abu Jandal.
Setelah Rasulullah selesai dengan perdamaian, beliau berkata, “Bangunlah! Sembelihlah hewan qurban dan bercukurlah!” Namun, tidak ada satu pun yang bangun. Rasulullah pun masuk menemui Ummu Salamah dan menceritakan apa yang terjadi.
Ummu Salamah berkata, “Keluarlah, jangan bicara kepada siapa pun hingga engkau menyembelih qurbanmu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar tanpa bicara kepada siapa pun hingga menyembelih seekor unta dan memanggil tukang cukur. Ketika orang-orang melihat, mereka pun bangkit menyembelih qurban dan saling mencukur. Hampir terjadi keributan karena suasana tegang.
Baca juga: Apa yang Harus Dilakukan Jika Terhalang dari Melakukan Umrah atau Haji Padahal Sudah Berihram?
Ada yang mencukur habis rambutnya dan ada yang hanya memendekkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
«يَرْحَمُ اللهُ الْمُحَلِّقِينَ» قَالُوا: وَالْمُقَصِّرِينَ؟ قَالَ: «يَرْحَمُ اللهُ الْمُحَلِّقِينَ» ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ وَالْمُقَصِّرِينَ.
“Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka yang mencukur habis rambutnya.” Para sahabat berkata, “Dan yang sekadar memendekkan rambutnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka yang mencukur habis rambutnya.” Pada yang ketiga kalinya, beliau menambahkan, “Dan juga kepada mereka yang sekadar memendekkan rambutnya.” (Fath Al-Baari, 3:562-564)
Baca juga: Tahallul dengan Mencukur Botak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih qurbannya berupa seekor unta yang di kepalanya terdapat kalung perak. Dahulunya unta ini milik Abu Jahal, tetapi kemudian menjadi ghanimah dalam perang Badar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal ini agar kaum musyrikin semakin merasa emosi.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin para sahabat untuk kembali ke Madinah. Di tengah perjalanannya, Allah menurunkan surah Al-Fath,
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا
لِّيَغْفِرَ لَكَ ٱللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَٰطًا مُّسْتَقِيمًا
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 1-2)
Lalu Allah Ta’ala berfirman,
لَّقَدْ رَضِىَ ٱللَّهُ عَنِ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ ٱلشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِى قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَٰبَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al-Fath: 18)
وَمَغَانِمَ كَثِيرَةً يَأْخُذُونَهَا ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 19)
وَعَدَكُمُ ٱللَّهُ مَغَانِمَ كَثِيرَةً تَأْخُذُونَهَا فَعَجَّلَ لَكُمْ هَٰذِهِۦ وَكَفَّ أَيْدِىَ ٱلنَّاسِ عَنكُمْ وَلِتَكُونَ ءَايَةً لِّلْمُؤْمِنِينَ وَيَهْدِيَكُمْ صِرَٰطًا مُّسْتَقِيمًا
“Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan)mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan agar Dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 20)
وَأُخْرَىٰ لَمْ تَقْدِرُوا۟ عَلَيْهَا قَدْ أَحَاطَ ٱللَّهُ بِهَا ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرًا
“Dan (telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya yang sungguh Allah telah menentukan-Nya. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Fath: 21)
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah kembali ke Madinah, tiba-tiba datang Abu Bushair dari kalangan Quraisy dalam keadaan menyerah. Orang-orang Quraisy pun mengutus dua orang untuk mencarinya. Mereka berkata, “Ingat perjanjian antara kita.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyerahkan Abu Bushair kepada dua orang utusan Quraisy. Kemudian keduanya membawanya hingga sampai di Dzulhulaifah mereka istirahat sambil makan kurma. Abu Bushair berkata kepada salah seorang dari kedua orang tersebut, “Demi Allah, sungguh aku melihat pedangmu itu bagus.” Lalu ia menjawab, “Benar, demi Allah ini pedang bagus.” Abu Bushair berkata, “Coba perlihatkan kepadaku.” Ketika pedang itu ada di genggamannya, maka orang itu pun dibunuhnya. Sedangkan yang satunya lari hingga kembali ke Madinah lalu masuk ke dalam masjid.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau berkata, “Sepertinya orang ini tengah ketakutan.” Ketika ia bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang itu berkata, “Temanku telah dibunuhnya dan aku pun akan dibunuhnya.” Tiba-tiba datanglah Abu Bushair seraya berkata, “Wahai Nabi Allah, Allah telah memenuhi janji-Nya untuk menyelamatkanku. Engkau telah menyerahkan aku kepada mereka dan Allah menyelamatkan aku dari mereka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celaka! Ia telah menyalakan api peperangan seandainya ia punya seorang pengikut.”
Mendengar ucapan tersebut, Abu Bushair menyadari bahwa beliau tetap akan mengembalikannya kepada orang-orang Quraisy, maka ia pun pergi menjauh hingga sampai di wilayah pantai. Sementara itu, Abu Jandal berhasil meloloskan diri dan bergabung bersama Abu Bushair. Setiap pelarian Quraisy yang masuk Islam, pasti akan bergabung dengan Abu Bushair. Sehingga mereka menjadi kekuatan yang ditakuti. Karena setiap kali mereka mendengar ada kafilah Quraisy menuju Syam, mereka pasti akan menghadangnya, merampas hartanya, dan membunuh orang-orangnya. Akhirnya orang-orang Quraisy mengirim utusan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas pertimbangan kebesaran Allah dan silaturahmi, beliau tidak perlu mengembalikan orang yang dalam pelarian, dan siapa saja yang datang kepadanya, ia akan aman, tidak dikejar-kejar lagi.
Peristiwa Penting dalam Perjanjian Hudaibiyah
Peristiwa Hudaibiyah yang terjadi pada tahun 6 H adalah salah satu momen penting dalam sejarah Islam. Beberapa peristiwa penting dalam perjanjian Hudaibiyah adalah:
- Rencana Umrah: Rasulullah ﷺ bersama 1.400 sahabat berangkat ke Makkah dengan niat melaksanakan umrah. Mereka tidak membawa senjata perang, hanya membawa senjata ringan untuk perlindungan.
- Penghadangan oleh Quraisy: Quraisy melarang kaum Muslimin memasuki Makkah. Sebagai respons, kaum Muslimin berhenti di Hudaibiyah, di pinggiran kota.
- Negosiasi Perdamaian: Setelah beberapa kali negosiasi, disepakati perjanjian antara Rasulullah ﷺ dan Quraisy yang disebut Perjanjian Hudaibiyah. Salah satu delegasi Quraisy adalah Suhail bin Amr.
- Isi Perjanjian: Di antara poin penting perjanjian, kaum Muslimin harus kembali ke Madinah tanpa melaksanakan umrah, tetapi mereka diizinkan datang tahun berikutnya. Selain itu, gencatan senjata selama 10 tahun disepakati, serta kebebasan bagi suku-suku Arab memilih bergabung dengan Quraisy atau kaum Muslimin.
- Kemenangan Diplomasi: Meski tampak menguntungkan Quraisy, Perjanjian Hudaibiyah adalah kemenangan diplomasi bagi kaum Muslimin karena memberi ruang bagi Islam untuk berkembang tanpa gangguan selama beberapa tahun.
PELAJARAN DARI PERJANJIAN HUDAIBIYAH
Perang Hudaibiyah memang penuh dengan hikmah serta pelajaran berharga. Ibnul Qayyim menuliskan pelajaran tersebut dalam bukunya Zaad Al-Ma’ad, sementara Muhammad bin Abdul Wahhab meringkasnya menjadi 139 poin. Berikut ini adalah sebagian ringkasannya:
Pertama: Bisri bin Sufyan diutus sebagai intelijen, meskipun ia seorang musyrik. Ibnul Qayyim menyatakan bahwa dalam jihad, dibolehkan meminta bantuan kepada orang non-muslim yang dapat dipercaya, terutama jika kondisi mendesak. Misalnya, intel dari suku Khuza’ah—yang merupakan non-muslim—dimanfaatkan untuk informasi penting dari musuh. Ini dilakukan demi kemaslahatan dan upaya menggali informasi.
Ibnu Hajar menambahkan bahwa peristiwa ini menunjukkan kebolehan meminta bantuan non-muslim dalam situasi darurat, selama tidak menunjukkan loyalitas atau kecintaan terhadap musuh-musuh Allah. Bahkan, menurut beberapa ulama, strategi ini dimaksudkan untuk memperlemah kekuatan musuh dan menyibukkan mereka. Namun, ini tidak berarti setiap saat boleh meminta bantuan non-muslim, melainkan hanya dalam kasus khusus dan kebutuhan mendesak.
Kedua: Sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkejut ketika unta yang dikendarai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendadak mogok dan enggan melanjutkan perjalanan. Mereka pun berkata, “Qashwa (nama unta) mogok dan tidak mau berjalan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menegur mereka dengan berkata, “Qashwa tidak mogok karena kebiasaannya.” Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa dari peristiwa ini kita belajar untuk tidak sembarangan mengatakan sesuatu yang buruk, bahkan terhadap makhluk yang tidak dibebani kewajiban (bukan mukallaf). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memberikan penjelasan terkait alasan unta tersebut berhenti. Allah-lah yang menghentikan unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana Dia yang dahulu menghentikan pasukan bergajah Abrahah saat mereka hendak menghancurkan Ka’bah. Hikmah dari peristiwa ini menunjukkan tanda bahwa terkadang ada hal-hal yang tidak terduga yang menahan kita, yang bisa jadi merupakan peringatan atau ujian dari Allah.
Dalam peristiwa ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk menghormati makhluk, baik yang mukallaf (manusia) maupun yang bukan, seperti hewan. Dengan tidak mengucapkan hal buruk pada hewan, kita terhindar dari ucapan yang mungkin berbalik pada diri kita sendiri.
Catatan:
Jika kendaraan mogok, janganlah menjelek-jelekkan syaithan karena syaithan akan semakin besar kepala. Namun ucapkanlah basmalah (bacaan “bismillah”).
Dari Abul Malih dari seseorang, dia berkata, “Aku pernah diboncengi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tunggangan yang kami naiki tergelincir. Kemudian aku pun mengatakan, “Celakalah syaithan”. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanggah ucapanku tadi,
لاَ تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولَ بِقُوَّتِى وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ
“Janganlah engkau ucapkan ‘celakalah syaithan’, karena jika engkau mengucapkan demikian, setan akan semakin besar seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya mengatakan, ‘Itu semua terjadi karena kekuatanku’. Akan tetapi, yang tepat ucapkanlah “Bismillah”. Jika engkau mengatakan seperti ini, setan akan semakin kecil sampai-sampai dia akan seperti lalat.” (HR. Abu Daud, no. 4982 dan Ahmad 5:95. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Baca juga: Tips Ketika dalam Perjalanan Mudik Lebaran
Ketiga: Shalat Khauf (shalat dalam kondisi perang) yang dilakukan Rasulullah di Usfan menunjukkan betapa pentingnya melaksanakan shalat secara berjamaah, meskipun dalam kondisi yang penuh risiko. Rasulullah tetap mengutamakan shalat berjamaah, menunjukkan kepada umatnya bahwa shalat berjamaah adalah bagian penting dari syiar Islam. Walaupun dalam kondisi perang, beliau tetap memimpin shalat dengan mengatur agar sebagian muslim menjaga shalat berjamaah di masjid.
Keempat: Abu Bakar mengatakan kepada Urwah, “Isaplah kemaluan Latta!” Hal ini dinyatakan sebagai bentuk tegas untuk menolak ajakan Urwah yang tidak pantas. Ibn Hajar menjelaskan bahwa dalam konteks ini, ucapan Abu Bakar bukanlah ucapan yang tercela, namun merupakan respons tegas terhadap ancaman atau celaan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pun menyatakan bahwa perkataan tersebut bukanlah perkataan kotor dalam situasi tersebut, melainkan sebuah bentuk teguran
Kelima: Ibnu Hajar menyebutkan bahwa tindakan Mughirah yang berdiri di dekat Nabi sambil membawa pedang mengajarkan kebolehan berdiri di hadapan pemimpin demi menjaga keamanan, terutama dari ancaman musuh. Namun, hal ini dilakukan bukan untuk mengagungkan atau pamer, melainkan untuk tujuan yang jelas dan dibutuhkan. Syaikh Muhammad Al-Utsaimin menambahkan bahwa berdiri di hadapan seseorang hanya boleh dilakukan jika memang diperlukan, seperti dalam situasi darurat yang mengharuskan kehati-hatian terhadap potensi serangan.
Catatan: Kita perlu membedakan antara “berdiri untuk seseorang (qiyam ila asy-syakhsh),” “berdiri karena seseorang (qiyam li asy-syakhsh),” dan “berdiri atas seseorang (qiyam ‘ala asy-syakhsh).”
Berdiri untuk seseorang adalah ketika kita menyambut kedatangannya atau memberikan ucapan selamat.
Berdiri karena seseorang adalah situasi di mana seseorang diperintahkan untuk menghormati seseorang dengan tetap berdiri di tempat, tidak bergerak. Tindakan ini jelas dilarang.
Berdiri atas seseorang (yakni berdiri di dekat kepala seseorang yang sedang duduk sebagai bentuk penghormatan) dilarang, kecuali dalam dua kondisi:
- Jika diperlukan untuk menjaga keselamatan orang tersebut.
- Jika berdiri sebagai penghormatan sekaligus penghinaan terhadap musuh, seperti yang terjadi pada Mughirah bin Syu’bah saat perjanjian Hudaibiyah.
Ada tiga jenis berdiri yang perlu dibedakan: berdiri untuk seseorang adalah berdiri menyambut atau memberi selamat dan diperbolehkan; berdiri karena seseorang adalah berdiri di tempat sebagai penghormatan dan dilarang; sedangkan berdiri atas seseorang adalah berdiri di dekat orang yang duduk sebagai bentuk penghormatan, yang juga dilarang kecuali dalam situasi tertentu seperti menjaga keselamatan.
Baca juga: Perang Bani Quraizhah dan Pelajaran di Dalamnya
Keenam: Cintanya sahabat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penghormatannya yang sangat luar biasa. Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Para sahabat belum pernah bersikap berlebihan dalam menghormati Rasulullah. Mereka selalu menjaga keselamatan beliau, membelanya dengan perkataan dan tindakan terhadap siapa pun yang bersikap kasar padanya, serta mencari berkah dari setiap hal yang dilakukan oleh Nabi.” (Fath Al-Bari, 5:342)
Ketujuh: Dalam proses negosiasi, para sahabat melakukan hal yang tidak biasanya mereka lakukan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuang ludah, mereka mengambilnya lalu mengusapkannya ke wajah dan dada mereka. Padahal hal ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk memperlihatkan kepada utusan orang kafir tentang sikap para sahabat terhadap Nabinya. Tujuan dari semua itu adalah untuk membangkitkan amarah musuh dan memperlihatkan penghormatan sahabat terhadap Rasulullah. (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:261)
Kedelapan: Pentingnya teladan dalam perilaku serta pengaruhnya yang lebih besar daripada ucapan. Urwah yang sejak awal berkata kepada Rasulullah tentang para sahabat, “Aku melihat orang-orang yang seandainya mereka mengetahui besok tentang kamu (mereka akan tinggalkan kamu).” Ternyata dugaan Urwah meleset ketika ia duduk bersama sahabat dan melihat bagaimana perlakuan sahabat terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penghormatan serta pengagungan mereka kepada beliau. Sehingga ketika ia kembali kepada orang-orang Quraisy, ia berkata, “Wahai orang-orang Quraisy! Aku pernah bertemu Kaisar, Raja Romawi, dan juga Najasyi dalam istananya. Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang raja di tengah kaumnya yang dimuliakan seperti Muhammad di tengah sahabatnya. Sungguh aku melihat mereka tidak akan pernah menyerahkannya untuk apa pun selamanya! Tinjau ulang kembali pendapat kalian!”
Orang akan merasa aneh bagaimana sampai keluar kata-kata seperti itu hanya dari satu orang. Namun, ketika masalahnya sudah jelas, maka ia akan mengetahui betapa pengaruh perilaku dan sikap pada seseorang akan lebih besar ketimbang kalimat yang panjang.
Kesembilan: Ketika Utsman datang terlambat, sebagian kaum muslimin menduga bahwa ia sedang melakukan thawaf di Kabah. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyangggah pendapat mereka tersebut dan berkata, “Aku rasa dia tidak akan melakukan hal itu, karena kita masih tidak dibolehkan masuk ke Baitul Haram.” Ternyata dugaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar. Begitulah seharusnya seorang muslim untuk selalu berbaik sangka kepada saudaranya, bukan berburuk sangka. Allah berfirman,
لَّوْلَآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا۟ هَٰذَآ إِفْكٌ مُّبِينٌ
“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”.” (QS. An-Nuur: 12)
Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Janganlah kamu berburuk sangka dari perkataan yang keluar dari seorang muslim, padahal kamu dapat berbaik sangka kepadanya.” (Sumber: Ibnu Qayyim, Taarikh Umar bin Al Khaththab, Hal. 203)
Kesepuluh: Dalam situasi yang genting, biasanya musuh akan berusaha untuk menebarkan fitnah dan isu. Oleh karena itu, seorang muslim harus waspada terhadap berbagai isu. Jangan mudah menerimanya dan membenarkannya, atau ikut-ikutan dalam menyebarkannya dan terpengaruh olehnya. Hendaknya ia memastikan lebih dahulu dan tidak tergesa-gesa menerimanya.
Kesebelas: Menyikapi isu dengan benar merupakan suatu yang sangat penting. Di sini kita melihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapi isu dengan tindakan yang tidak diperhitungkan musuh. Padahal, musuh menginginkan dengan isu tersebut terjadi perpecahan dan perbedaan di kalangan umat Islam. Namun, kenyataannya justru sebaliknya yaitu terjadinya bai’atur ridwan.
- Bai’atul Ridwan terjadi ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sedang dalam perjalanan untuk menunaikan umrah ke Mekah, tetapi dihalangi oleh kaum Quraisy di Hudaibiyah. Peristiwa ini terjadi sebagai respons terhadap desas-desus bahwa Utsman bin Affan, yang diutus untuk bernegosiasi dengan Quraisy, telah dibunuh.
- Dalam kondisi ketidakpastian tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta para sahabat untuk berbai’at (bersumpah setia) di bawah sebuah pohon. Mereka berjanji untuk tetap mendukung Nabi dan siap bertarung jika diperlukan.
- Bai’at ini disebut Bai’atul Ridwan karena Allah menyatakan keridhaan-Nya kepada orang-orang yang berpartisipasi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an (Surah Al-Fath: 18).
- Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan damai yang terjadi setelah Bai’atul Ridwan. Setelah adanya ketegangan antara kaum Muslimin dan Quraisy, negosiasi akhirnya berhasil dicapai. Perjanjian ini menyatakan bahwa kedua belah pihak akan menghentikan permusuhan selama 10 tahun, dan kaum Muslim tidak diperbolehkan memasuki Mekah tahun itu, tetapi mereka diperbolehkan kembali tahun berikutnya untuk menunaikan umrah.
- Perjanjian ini juga berisi beberapa syarat lain, seperti pengembalian orang-orang yang melarikan diri dari Mekah ke Madinah dan adanya kebebasan bagi berbagai suku untuk bergabung dengan pihak manapun.
Perbedaan utama antara keduanya adalah:
- Bai’atul Ridwan adalah sumpah setia dari para sahabat kepada Nabi Muhammad SAW yang terjadi sebelum perjanjian tersebut.
- Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan damai yang terjadi setelah ketegangan dan negosiasi antara umat Islam dan Quraisy.
Kedua belas: Ketika Suhail bin Amr datang lalu Rasulullah melihatnya dan berkata, “Dia telah memudahkan urusan kalian.” Hal ini mengajarkan kepada kita untuk bersikap optimis.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dibandingkan mukmin yang lemah, meskipun keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah untuk hal-hal yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah merasa lemah. Jika suatu musibah menimpamu, jangan katakan: “Seandainya aku melakukan ini atau itu.” Namun, katakanlah: “Ini sudah menjadi takdir Allah. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.” Sebab, perkataan “seandainya” dapat membuka pintu bagi setan.” (HR. Muslim, no. 2664)
Baca juga: Tetap Semangat dalam Hal yang Bermanfaat
Ketiga belas: Sikap beberapa sahabat yang belum bisa menerima perjanjian Hudaibiyah. Dalam hal ini, kita mendapatkan suatu pelajaran tentang pentingnya menomorduakan akal jika terdapat teks-teks syariat yang telah menerangkan dengan jelas. Kita mendukung ucapan Abu Bakar kepada Umar, “Berpegang teguhlah dengan keputusannya sesungguhnya dia itu utusan Allah.” Bukan sebaliknya, dengan menghantam teks syariat dengan akal dan pendapat kita.
Umar berkata, “Wahai manusia, abaikanlah akal di hadapan agama. Aku pernah menyanggah pendapat Rasulullah dengan ijtihad akalku, demi Allah tidak menemui kebenaran, yaitu pada peristiwa Abu Jandal (perjanjian Hudaibiyah).” Kita harus hati-hati bersikap mendahulukan syariat dengan akal kita. Bahkan kita harus mengabaikan akal dan mendahulukan teks Al Qur’an dan As-Sunnah, tunduk dan patuh kepada syariat dan tidak berpendapat dengan akal kita. Pada hakikatnya, syariat itu luas dan sempurna sedangkan akal kitalah yang masih terbatas. Kadang kita menduga sebaliknya.
Berikut adalah beberapa contoh dalam syariat yang menunjukkan pentingnya mendahulukan Al-Qur’an dan As-Sunnah daripada akal:
- Keimanan kepada Hal Gaib
Allah memerintahkan kita untuk beriman kepada hal-hal yang gaib, seperti adanya malaikat, hari akhir, dan surga serta neraka. Meskipun akal mungkin tidak dapat menjangkau atau membuktikan keberadaan hal-hal tersebut, Al-Qur’an dan hadits mengajarkan kita untuk mempercayainya. - Hukum tentang Riba
Al-Qur’an dan As-Sunnah melarang riba (bunga) meskipun akal mungkin berpendapat bahwa riba menguntungkan atau mempercepat perputaran ekonomi. Syariat mendahulukan larangan ini karena riba dapat menimbulkan ketidakadilan dan eksploitasi dalam jangka panjang. - Tata Cara Shalat
Cara melaksanakan shalat, mulai dari berdiri, rukuk, sujud, hingga duduk, diatur secara rinci dalam hadits. Meskipun akal mungkin menganggap cara lain lebih praktis, umat Islam mengikuti tata cara yang diajarkan Nabi sebagai bentuk ibadah yang diterima Allah. - Pembagian Waris
Dalam Al-Qur’an, pembagian harta warisan diatur secara rinci dan tetap, meskipun mungkin akal menilai pembagian tertentu lebih adil dalam konteks tertentu. Namun, umat Islam tetap mendahulukan aturan pembagian waris sesuai yang diajarkan dalam syariat. - Pelarangan Daging Babi
Al-Qur’an dengan jelas melarang daging babi, meskipun secara akal beberapa orang mungkin berpendapat bahwa daging ini bisa bergizi. Syariat mengajarkan untuk menghindari babi karena ini adalah perintah Allah yang tidak perlu diperdebatkan dengan akal. - Kewajiban Berhijab bagi Wanita
Al-Qur’an memerintahkan wanita untuk menutup aurat, dan As-Sunnah menjelaskan tata cara berhijab yang benar. Meski akal manusia terkadang mempertanyakan relevansi atau kebutuhan berhijab dalam kehidupan modern, syariat mengajarkan untuk mendahulukan perintah Allah atas pertimbangan akal.
Keempat belas: Ucapan Umar Radhiyallahu Anhu, “Aku harus tetap berpuasa, bersedekah, shalat, dan memerdekakan budak untuk menebus pada saat itu. Aku mengharap agar itu menjadi amal kebaikan.” Berdasarkan hal ini, semakin jelaslah karunia Allah dan betapa luas rahmat-Nya. Allah berfirman,
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ اللَّيْلِ ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ
“Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” (QS. Hud: 114).
Kelima belas: Penyerahan kembali Abu Jandal bin Suhail bin Amr kepada kaum musyrikin ketika ia datang untuk bergabung kepada kaum muslimin karena terikat dengan perjanjian Hudaibiyah. Dalam hal ini, kita mendapatkan dua pelajaran:
• Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat menetapi janji sekalipun terasa sulit untuk dilakukan.
• Pentingnya seorang muslim menepati janji, baik dalam keadaan mudah atau sulit, baik demi kepentingan dirinya maupun bagi orang lain. Sebab, Allah memuji kaum mukminin yang menepati janji. Firman-Nya,
الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنقُضُونَ الْمِيثَاقَ
“(Yaitu) orang yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian.” (QS. Ar-Ra’du: 20).
Keenam belas: Ketika Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk memotong rambut dan menyembelih qurban, mereka tidak langsung melaksanakannya. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan mereka dan menemui istrinya, Ummu Salamah. Lalu istrinya menyarankan, “Temui kembali mereka, panggil tukang cukur untuk mencukurmu dan sembelihlah qurbanmu.” Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan saran tersebut, para sahabat pun bergegas untuk memotong rambut mereka dan menyembelih kurbannya.
Ini menunjukkan betapa pentingnya keteladanan yang baik dan hal tersebut dapat memberikan efek pengaruh yang kuat dibandingkan sekadar ucapan. Seorang ayah di rumahnya adalah teladan bagi anak-anaknya. Mereka akan melihat kemudian terpengaruh oleh perilaku ayah mereka. Begitu pula seorang guru, perilakunya akan memberi pengaruh kuat terhadap murid-muridnya dibandingkan ucapannya. Untuk itulah, seorang da’i harus memperhatikan perilakunya dan menjadikannya sebagai modal dakwah dalam rangka memberikan keteladanan yang baik bagi orang-orang di sekitarnya.
Ketujuh belas: Metode motivasi dalam berdakwah. Rasulullah menjelaskan tentang keutamaan mencukur plontos daripada mencukur pendek saja, dengan mengulang-ulang doa agar mendapatkan curahan rahmat bagi yang mencukur plontos sebanyak tiga kali. Sementara yang memendekkan saja hanya mendapatkan satu kali dari doa beliau. Ini artinya anjuran untuk mencukur plontos bagi orang yang tengah berhaji saat bertahallul.
Kedelapan belas: Rasulullah mengiringi hewan kurbannya berupa unta yang dahulunya milik Abu Jahal karena di hidungnya terdapat anting dari perak adalah untuk membangkitkan amarah kaum musyrikin. Ibnu Qayyim berkata, “Dari sini terdapat suatu pelajaran yang dapat dipetik yaitu dianjurkannya untuk menimbulkan amarah musuh Allah. Karena Nabi mengiringi unta kurbannya yang dahulunya milik Abu Jahal dengan tanda di hidungnya sebagai tanda pembangkitan amarah kaum musyrikin. Allah berfirman tentang sifat Nabi dan sahabat,
مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ
“…dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.” (QS. Al-Fath: 29).
Kesembilan belas: Kita mendapatkan hikmah di balik suatu persoalan. Bisa jadi seorang muslim tidak menyukai sesuatu yang ternyata membawa kebaikan. Sebagian sahabat tidak menyukai perjanjian Hudaibiyah dan persyaratan-persyaratan yang ada di dalamnya. Ternyata justru membawa kebaikan bagi Islam dan kaum muslimin. Ibnu Hajar berkata tentang kemenangan ini, “Secara zhahir memang merendahkan kaum muslimin, tetapi di balik itu adalah sebuah kemuliaan bagi mereka.” Untuk itulah, seorang muslim tidak boleh salah dalam menilai sesuatu yang terlihat secara lahiriah saja. Hendaknya ia memohon kepada Allah agar selalu diberikan hidayah dengan ketentuan Allah.
Kedua puluh: Berdasarkan perjanjian ini, ada beberapa hasil positif yang dapat kami kemukakan sebagiannya secara singkat:
• Hilangnya kewibawaan Quraisy. Hal ini ditandai dengan bergabungnya suku Khuza’ah dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam waktu singkat tanpa rasa takut kepada Quraisy.
• Pengakuan Quraisy terhadap eksistensi kaum muslimin. Semenjak munculnya dakwah Islam, Quraisy menganggap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikutnya hanyalah serpihan-serpihan yang tidak bermakna dan bereksistensi. Namun, pada peristiwa perjanjian damai Hudaibiyah, mereka mengakui eksistensinya, duduk bersama sebagai lawan.
• Berbaurnya kaum muslimin dengan kaum musyrikin. Sehingga dapat memberikan pengaruh positif, memperdengarkan Islam, dan menyaksikan langsung apa yang dilakukan kaum muslimin. Ibnu Hajar berkata, “Peristiwa Hudaibiyah adalah sebagai mukadimah kemenangan bagi kaum muslimin.”
Kedua puluh satu: Setelah perjanjian damai Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi memiliki musuh bebuyutan sehingga beliau dapat melakukan aktivitas lainnya seperti menyerang pusat kekuatan Yahudi di Madinah dalam waktu singkat setelah Hudaibiyah dan dilanjutkan dengan penyerangan Khaibar serta merebutnya. Begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat menyurati para raja dan penguasa dunia saat itu. Mengirim utusan untuk menyampaikan dakwah kepada seluruh umat manusia.
Kedua puluh dua: Tentang keutamaan Hudaibiyah. Peristiwa ini perlu dibandingkan dengan perang Badar dalam hal keutamaannya, mengingat dalam peristiwa tersebut diperolehnya kemuliaan dan kemenangan bagi Islam serta kehinaan, kekalahan bagi orang-orang kafir dan munafik.
Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata, “Tidak ada peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyamai perang Badar atau mendekatinya dalam hal keutamaan, kecuali peristiwa Hudaibiyah. Inilah pendapat yang benar menurut kami. Sedangkan kaum mutakallimin (teolog) dari Kelompok Asy‘ariyah berpendapat adalah perang Uhud lebih mulia daripada perang Hudaibiyah. Mereka berpendapat perang Uhud lebih mulia setelah Badar. Namun, menurut kami, pendapat pertama lebih baik. Wallahu a‘lam.
Dari Barra radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kalian menganggap bahwa kemenangan itu adalah pembebasan kota Mekah. Benar! Pembebasan kota Mekah adalah kemenangan. Namun, kami juga menganggap Bai‘atur Ridwan juga kemenangan yaitu pada saat perjanjian Hudaibiyah.”
Az-Zuhri rahimahullah berkata, “Belum pernah terjadi kemenangan dalam Islam sehebat perang Hudaibiyah. Pada umumnya dalam perang terjadi pertempuran, tetapi ketika perjanjian Hudaibiyah justru api peperangan padam. Manusia merasa aman untuk saling bertemu dan berbicara serta berdiskusi. Tidak ada orang yang berbicara tentang Islam kepada orang lain, melainkan ia pasti masuk Islam. Orang-orang yang masuk Islam dalam waktu dua tahun jauh lebih banyak dari sebelumnya.”
Ibnu Hisyam rahimahullah berkata, “Bukti dari kebenaran ucapan Az-Zuhri adalah bahwa Rasulullah ketika keluar menuju Hudaibiyah bersama 1.400 sahabat. Sedangkan menurut Jabir bin Abdullah, bahkan ketika beliau keluar pada saat pembebasan kota Mekah dua tahun kemudian bersama 10.000 sahabat.”
Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah berkata kepada kami pada saat Hudaibiyah, ‘Kalian adalah sebaik-baiknya penduduk muka bumi.’ Ketika itu jumlah kami 1.400 orang. Seandainya aku dapat melihat hari ini, niscaya akan aku tunjukkan kepada kalian di mana letak pohon itu.”
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ummu Mubasyir menginformasikan padaku bahwa ia mendengar Nabi berkata kepada Hafshah, ‘Tidak akan masuk neraka—insya Allah—seorang pun dari orang-orang yang berba’iat di bawah pohon (Baiatur Ridhwan).’ Hafshah berkata, ‘Demikiankah ya Rasulullah?’ Lalu Nabi menegurnya. Kemudian Hafshah membaca ‘Tidak ada satu pun di antara kalian kecuali akan melintasinya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sungguh Allah telah berfirman, ‘Kemudian Kami selamatkan orang-orang yang bertakwa dan Kami biarkan orang zalim berlutut di dalam neraka.’”
Walhamdulillah selesai.
Referensi:
Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.
–
Direvisi pada Jumat sore, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com