Teladan

Faedah Sirah Nabi: Apa yang Terjadi pada Peristiwa Hudaibiyah dan Pelajaran di Dalamnya

Pada perjanjian Hudaibiyah, tidak terjadi perang. Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan damai yang terjadi antara kaum Muslimin yang dipimpin oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Quraisy Mekkah pada tahun 6 Hijriah (628 M). Perjanjian ini terjadi setelah kaum Muslimin dari Madinah melakukan perjalanan menuju Mekkah dengan niat untuk menunaikan ibadah umrah, namun mereka dicegah oleh kaum Quraisy.

Meskipun ada ketegangan dan kemungkinan terjadinya konflik, perjanjian ini akhirnya tercapai tanpa peperangan. Kaum Quraisy dan kaum Muslimin sepakat untuk menandatangani perjanjian yang berisi beberapa poin penting, salah satunya adalah gencatan senjata selama 10 tahun. Perjanjian ini kemudian menjadi titik balik dalam sejarah Islam, yang memungkinkan kaum Muslimin untuk lebih leluasa menyebarkan dakwah Islam dan mendapatkan pengakuan dari kaum Quraisy.

 

Pada pembahasan terdahulu, kita telah berbicara tentang Fiqih Sirah dari sampainya Rasulullah di Madinah hingga berakhirnya Perang Ahzab dengan kembalinya pasukan gabungan dalam keadaan kalah dan hukuman tegas atas pengkhianatan Bani Quraizhah serta sabda Rasulullah, “Mereka tidak akan lagi memerangi kita, kitalah yang akan memerangi mereka.”

Ini semua berarti adanya pergeseran pertarungan antara umat Islam di Madinah dan musuh-musuh mereka secara berkala. Pada tahapan tersebut disyariatkannya jihad dengan berbagai tahapannya secara berkala dan orang-orang kafir berusaha untuk menghentikan dakwah ini pada Perang Badar, Uhud, dan Ahzab. Semua itu diawali oleh musuh dari kalangan kafir Quraisy.

Adapun tahapan berikut ini yang akan kita bicarakan adalah tahapan baru. Rasulullah tidak lagi bertahan, melainkan melakukan penyerangan terhadap kaum kafir langsung ke wilayah mereka, seperti pada Perang Hudaibiyah, Khaibar, dan lainnya. Kita mendapati bahwa Rasulullah-lah yang memegang tali kendali untuk memulai menyerang ke wilayah mereka guna memberikan pembelajaran terhadap musuh.

Latar Belakang Perang Hudaibiyah

Latar belakang perang ini adalah mimpi yang dialami oleh Rasulullah bahwa beliau dapat memasuki Baitul Haram bersama sahabat-sahabatnya, melakukan thawaf dan mencukur rambut. Kemudian, beliau menyampaikan hal tersebut kepada para sahabatnya. Kemudian mereka pun menyambut dengan suka cita. Allah berfirman setelah kejadian itu,

لَّقَدْ‭ ‬صَدَقَ‭ ‬ٱللَّهُ‭ ‬رَسُولَهُ‭ ‬ٱلرُّءْيَا‭ ‬بِٱلْحَقِّ‭ ‬ۖ‭ ‬لَتَدْخُلُنَّ‭ ‬ٱلْمَسْجِدَ‭ ‬ٱلْحَرَامَ‭ ‬إِن‭ ‬شَآءَ‭ ‬ٱللَّهُ‭ ‬ءَامِنِينَ‭ ‬مُحَلِّقِينَ‭ ‬رُءُوسَكُمْ‭ ‬وَمُقَصِّرِينَ‭ ‬لَا‭ ‬تَخَافُونَ‭ ‬ۖ‭ ‬فَعَلِمَ‭ ‬مَا‭ ‬لَمْ‭ ‬تَعْلَمُوا۟‭ ‬فَجَعَلَ‭ ‬مِن‭ ‬دُونِ‭ ‬ذَٰلِكَ‭ ‬فَتْحًا‭ ‬قَرِيبًا

Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (QS. Al-Fath: 27).

Rasulullah keluar (meninggalkan Madinah) di awal bulan Dzul Qa’dah tahun 6 H ketika beliau meminta bantuan kepada penduduk Arab yang ada di sekitarnya untuk bergabung bersamanya karena beliau khawatir terhadap Quraisy yang akan menghalanginya dengan memeranginya atau menghalangi beliau agar tidak menginjakkan kakinya di Baitullah.

Sebagian besar dari mereka lamban dalam merespons seruan Nabi, sehingga beliau berangkat hanya bersama kaum Anshar dan Muhajirin serta orang-orang yang sempat menyusul beliau dari kalangan bangsa Arab.

Dengan membawa hewan hadyu, beliau akan melakukan ihram dan umrah, agar orang-orang memberikan rasa aman dan agar mereka mengetahui bahwa beliau datang hanya untuk berziarah ke Baitullah sebagai bentuk pengagungan kepadanya.

Beliau juga mengutus seorang mata-mata dari suku Khuza’ah agar dapat memberikan informasi tentang Quraisy. Ketika berada di Usfan, beliau bertemu dengan seorang mata-mata, Bisr bin Sufyan Al-Ka’bi. Ia segera berkata, “Ya Rasulullah, orang Quraisy telah mendengar perjalananmu. Mereka pun keluar (untuk menghadang) dengan membawa unta-unta perahan (sebagai logistik) dan memakai pakaian perang. Mereka menunggu di Dzi Thuwa dan bersumpah untuk menghalangi engkau masuk ke Mekkah selama-lamanya. Sedangkan Khalid bin Walid dengan pasukan kavaleriya telah sampai di Qura’ Ghamim.”

Rasulullah mengajak para sahabat untuk bermusyawarah dan berkata, “Bagaimana menurut kalian, apakah kita kembali saja kepada orang-orang yang menolong mereka (orang Anshar yang menolong Muhajirin, pen.)? Atau kita tetap menuju Baitullah. Dan siapa yang menghalangi kita, akan kita bunuh.”

Abu Bakar berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu. Kita datang hanya untuk melaksanakan umrah, bukan untuk membunuh siapa pun. Namun, apabila ada yang menghalangi antara kita dan Baitullah, akan kita bunuh.” Nabi berkata, “Kalau begitu kita lanjutkan perjalanan.” Lalu beliau bertanya, “Siapakah yang dapat menunjukkan jalan yang tidak dapat diketahui oleh mereka?” Seorang dari suku Aslam berkata, “Saya ya Rasulullah.” Kemudian rombongan beliau pun menapaki jalan terjal yang cukup menyulitkan kaum muslim hingga mereka sampai di jalan yang mudah dilalui, yaitu di ujung lembah. Rasulullah bersama para sahabat mengerjakan shalat khauf di Usfan.

Ketika pasukan berkuda Quraisy menyadari bahwa mereka telah mengambil jalan yang berbeda, mereka kembali ke kelompok mereka, yaitu orang-orang Quraisy. Rasulullah melanjutkan perjalanannya. Ketika beliau melintas di wilayah Tsaniyatul Mirar, tiba-tiba untanya berhenti dan enggan berjalan. Orang-orang pun berkata, “Qashwa (nama unta Nabi) mogok berjalan.” Namun, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Unta ini tidak mogok, dan itu bukanlah kebiasaannya, melainkan ia ditahan oleh Dzat yang pernah menahan pasukan bergajah.” Beliau melanjutkan, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya! Jika mereka meminta kesepakatan dariku untuk mengagungkan bulan-bulan Allah, niscaya aku akan memenuhi permintaan mereka.”

Rasulullah kemudian memecut untanya hingga bangkit dan melanjutkan perjalanan hingga tiba di ujung wilayah Hudaibiyah. Di sana, sumber airnya sangat sedikit sehingga para sahabat berebutan untuk mendapatkan air. Mereka pun mengadukan hal ini kepada Rasulullah. Beliau kemudian mengeluarkan sebuah anak panah dari tempatnya dan menyerahkannya kepada salah seorang sahabat. Anak panah tersebut ditancapkan pada dasar oase, dan tiba-tiba air mengalir deras, sehingga mereka bisa meminum air tersebut dengan sepuasnya.

Setelah situasi tenang, datanglah Budail bin Waraqah bersama beberapa tokoh dari suku Khuza’ah. Mereka memberitahukan kepada Rasulullah bahwa kedatangan mereka bukan untuk berperang, melainkan untuk mengunjungi Baitullah dan mengagungkan kemuliaannya. Mereka pun kembali menemui orang-orang Quraisy untuk menyampaikan hal tersebut. Namun, orang-orang Quraisy tidak langsung mempercayai mereka dan mengutus Mikraz bin Hafash untuk menemui Nabi. Ketika Nabi melihat kedatangannya, beliau bersabda, “Orang ini adalah seorang penipu.” Setelah Mikraz bertanya kepada Rasul, beliau menyampaikan hal yang sama seperti yang beliau katakan kepada Budail. Mikraz pun kembali dan menyampaikan kabar tersebut kepada orang-orang Quraisy.

Setelah itu, mereka mengutus Hulais bin Al-Qamah, seorang tokoh dari kalangan Ahabisy. Ketika Nabi melihatnya datang, beliau berkata, “Orang ini berasal dari masyarakat yang beribadah kepada Tuhan! Tampilkan hewan-hewan kurban kepadanya agar ia melihatnya.” Ketika Hulais melihat hewan-hewan kurban yang terikat di lembah, ia pun segera kembali ke Quraisy tanpa bertemu Rasulullah, karena menghormati apa yang telah dilihatnya. Sesampainya di Quraisy, ia menceritakan apa yang telah ia saksikan, namun orang Quraisy menghardiknya, “Duduklah engkau! Kamu ini orang Arab dusun yang bodoh.”

Kemudian mereka mengutus Urwah bin Mas’ud Atsqafi untuk menemui Rasulullah dan berbicara dengannya. Urwah berkata, “Hai Muhammad, engkau mengumpulkan orang banyak lalu membawa mereka kepada keluargamu untuk dibunuh? Demi Allah, dari apa yang kulihat, pengikutmu akan meninggalkanmu besok pagi.”

Mendengar ini, Abu Bakar langsung berkata, “Isap saja kemaluan tuhanmu, Lata! Apakah kamu mengira kami serendah itu?” Urwah bertanya, “Siapa orang ini, wahai Muhammad?” Rasulullah menjawab, “Dia adalah putra Abu Quhafah.” Urwah berkata, “Demi Allah, jika aku tidak berutang budi padanya, pasti aku balas.”

Urwah kemudian mencoba menyentuh janggut Rasulullah, namun Mughirah bin Syu’bah yang berdiri di dekatnya berkata, “Jangan sentuh wajah Rasulullah.” Urwah bertanya, “Siapa orang ini?” Mereka menjawab, “Dia adalah anak saudaramu, Mughirah bin Syu’bah.” Urwah pun menanggapi, “Dasar pengkhianat! Aku baru saja menutupi aibmu!”

Sementara itu, Urwah sangat memperhatikan bagaimana para sahabat memperlakukan Rasulullah. Setiap kali beliau berwudhu, air bekas wudhunya selalu menjadi rebutan, begitu pula bekas ludah dan rontokan rambut beliau. Ketika Urwah kembali ke Quraisy, ia berkata, “Wahai orang Quraisy! Aku pernah bertemu dengan raja Romawi, Kaisar, dan Najasyi di kerajaan mereka. Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang raja yang begitu dihormati seperti Muhammad dihormati oleh para sahabatnya. Aku melihat kaum yang tidak akan membiarkan beliau terluka sedikit pun. Pertimbangkanlah dengan matang apa yang akan kalian lakukan.”

Rasulullah kemudian memanggil Kharasy bin Umayah Al-Khuza’i dan mengutusnya kepada kaum Quraisy, dengan memberikan untanya yang bernama Ats-Tsa’lab untuk menemuinya. Namun, mereka menyembelih unta tersebut dan bahkan ingin membunuh Kharasy, tetapi dicegah oleh sebagian orang sehingga ia pun dibebaskan.

Rasulullah kemudian memanggil Umar bin Khaththab untuk diutus ke Quraisy, namun Umar menolaknya dengan alasan bahwa tidak ada kaumnya yang akan melindunginya jika terjadi sesuatu. Umar menyarankan agar Rasulullah mengutus Utsman bin Affan.

Rasulullah kemudian berkata kepada Utsman, “Sampaikan kepada mereka bahwa kita datang bukan untuk berperang, melainkan hanya untuk umrah, dan ajaklah mereka kepada Islam.” Beliau juga memerintahkan Utsman untuk menemui orang-orang beriman di Mekkah dan menyampaikan kabar gembira akan kemenangan. Utsman pun berangkat melaksanakan tugasnya. Ia bertemu dengan kaum Quraisy di Baldah dan menyampaikan kedatangan Rasulullah kepada mereka.

Usamah bin Sa’id bin Al-Ash menemani Utsman, memboncengkannya di atas kudanya dan menjamin keselamatannya. Sebagian muslimin mengira bahwa Utsman telah mendahului mereka ke Baitullah dan melakukan thawaf. Rasulullah berkata, “Aku yakin dia tidak akan melakukan thawaf, sementara kita tidak bersamanya.” Mereka bertanya, “Apa yang menghalanginya, ya Rasulullah, bukankah ia sudah sampai di sana?” Beliau menjawab, “Keyakinanku adalah bahwa ia tidak akan thawaf hingga kita thawaf bersamanya.”

Kemudian Rasulullah mendapat kabar bahwa Utsman telah dibunuh. Beliau pun mengajak para sahabat untuk berba’iat. Kaum muslimin menyambut ajakan tersebut dan mereka berba’iat kepada beliau di bawah pohon. Tidak ada seorang pun yang tidak berba’iat, kecuali Jadd bin Qais.

 

Referensi:

Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.

 

 

Ditulis pada 2 Rabiul Awwal 1446 H, 6 September 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button