Teladan

Cara Dakwah Nabi Muhammad dalam Al-Qur’an: Dekat, Peduli, dan Penyayang

Setiap ayat tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pelajaran tentang cinta dan kepedulian sejati. Dalam satu ayat saja, Allah mengabadikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu dekat, peduli, dan penuh kasih kepada umatnya. Bukan hanya mengajak kepada kebenaran, tapi turut menanggung derita mereka. Inilah wajah dakwah yang seharusnya: penuh empati, bukan sekadar instruksi.

 

 

Rasul dari Kaummu Sendiri: Cinta, Peduli, dan Derita yang Ia Rasakan

Allah Ta’ala berfirman,

{لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ}

Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri; berat terasa olehnya penderitaanmu, (ia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128)

Ayat ini menjadi dalil kuat atas pengakuan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, utusan Allah. Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan bahwa Dia telah menganugerahkan nikmat besar kepada umat ini dengan mengutus seorang rasul yang berasal dari kalangan mereka sendiri. Mereka mengetahui kejujuran, nasab, dan akhlaknya. Mereka pun bisa duduk bersama beliau, mendengar langsung perkataannya, karena beliau bukanlah sosok asing bagi mereka.

Firman Allah {عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ} menunjukkan bahwa Nabi sangat merasakan beratnya beban yang menimpa umatnya. Kata “العَنَت” berarti kesulitan dan kesusahan. Maka, segala bentuk kesulitan yang dialami umat ini menjadi beban berat bagi beliau. Hal ini karena beliau diutus membawa agama yang lurus dan mudah, yaitu hanifiyyah samhah.

Dalam satu peristiwa, ketika Rasulullah ﷺ membacakan ayat,

{وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا}

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Āli ‘Imrān: 97)

Salah seorang sahabat, Al-Aqra’ bin Habis, bertanya: “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Namun beliau diam. Diamnya ini adalah bentuk kasih sayang terhadap umat, sebab beliau bersabda: “Seandainya aku katakan ‘iya’, niscaya akan menjadi wajib setiap tahun.” Dan ini akan membawa kesulitan besar bagi umat. Oleh karena itu, Allah menjadikan ibadah haji hanya wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu.

Baca juga: Kenapa Haji Hanya Wajib Sekali Seumur Hidup?

Kembali pada firman Allah,

{حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ}

yakni Rasulullah sangat ingin menyelamatkan umat ini dari kesesatan dan neraka.

{بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ}

Artinya, kasih sayang dan kelembutan beliau dikhususkan untuk kaum beriman. Meski demikian, usaha beliau dalam menyampaikan hidayah meliputi seluruh manusia. Siapa yang Allah kehendaki mendapat hidayah, maka ia akan mendapatkannya. Siapa yang dikehendaki untuk tetap dalam kesesatan, maka ia akan tetap sesat.

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menginginkan keislaman pamannya, Abu Thalib. Namun karena kehendak Allah lain, Abu Thalib tetap mati dalam kekafiran. Firman Allah:

{إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}

“Sesungguhnya engkau tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qassas: 56)

Baca juga: Kisah Meninggalnya Abu Thalib

Tiga sifat penting Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah

Firman Allah:

{لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ}

“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri…”

Sifat 1: Dekat dan Akrab

– Ini sesuai. Frasa “من أنفسكم” menunjukkan bahwa Nabi berasal dari golongan mereka sendiri—bukan asing. Ini menegaskan kedekatan personal, sosial, dan emosional antara Nabi dan umatnya.

{عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ}

“Berat terasa olehnya penderitaanmu…”

Sifat 2: Peduli dan Peka

– Sangat sesuai. “ʿAzīz ʿalayhi mā ʿanittum” bermakna: beliau merasa berat dan susah jika umatnya mengalami kesulitan. Ini adalah puncak empati dan kepedulian.

{حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ}

“(Ia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.”

Sifat 3: Sayang Tanpa Syarat

– Bagian ini justru paling tegas menekankan kasih sayang Nabi ﷺ, khususnya kepada orang beriman. Kata “حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ” menunjukkan keinginan kuat beliau untuk keselamatan umat, dan “رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ” adalah sifat sayang yang sangat dalam dan konsisten.

 

Teladan bagi Pendidikan Orang Tua pada Anak

1. Dekat dan Akrab

{جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ}

Penerapan pada orang tua:

Orang tua sebaiknya bukan hanya “mengatur dari atas”, tapi hadir dalam kehidupan anak, menjadi figur yang akrab, bisa diajak bicara, dan dipercaya.

Anak merasa: “Ayah dan Bunda itu bagian dari aku, bukan sekadar penjaga aturan.”

2. Peduli dan Peka

{عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ}

Penerapan pada orang tua:

Anak butuh orang tua yang bisa merasakan kesulitannya, bukan hanya menyuruh atau menuntut. Orang tua yang peka tahu kapan anak sedang lelah, kecewa, atau stres—dan tidak asal marah saat anak “bermasalah”.

Anak merasa: “Orang tuaku paham perasaanku.”

3. Sayang Tanpa Syarat

{حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ}

Penerapan pada orang tua:

Cinta orang tua jangan bersyarat nilai bagus atau perilaku sempurna. Seperti Nabi ﷺ, kasih sayang tetap mengalir meski umatnya belum ideal. Orang tua pun harus mencintai anaknya meski sedang gagal, salah, atau sedang jatuh.

Anak merasa: “Aku dicintai bukan karena aku sempurna.”

 

Penutup

Sungguh, ayat ini bukan sekadar gambaran tentang pribadi Rasulullah ﷺ, tapi juga teladan abadi bagi siapa pun yang ingin berdakwah, mendidik, atau memimpin. Jika beliau saja begitu peduli dan penyayang, bagaimana mungkin kita meneladani beliau dengan cara yang kasar dan memaksa? Maka, mari kita mulai dari diri sendiri—belajar berdakwah seperti Nabi: dengan kedekatan, empati, dan kasih sayang. Semoga Allah menolong kita untuk meneladani akhlak beliau dalam setiap aspek kehidupan, agar kita benar-benar layak disebut sebagai umatnya.

 

Referensi:

Al-Fawzān, ʿA. ibn Ṣ. (n.d.). Ḥuṣūl al-maʾmūl bi-sharḥ Thalāthat al-Uṣūl (Cet. sesuai dengan edisi cetak). Maktabat al-Rusyd.

 

________

 

@ Karangrejek Gunungkidul, Kamis pagi – 16 Dzulhijjah 1446 H, 12 Juni 2025

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button