Teladan

Faedah Sirah Nabi: Perang Bani Quraizhah dan Pelajaran di Dalamnya

Telah dijelaskan bahwa para perang Khandaq/ Ahzab, Bani Quraizhah terikat perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, ketika pasukan gabungan terbentuk, Huyay bin Akhthab membujuk mereka untuk melanggar perjanjian tersebut dan pasukan gabungan untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Namun, mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun dengan bujukan Huyay. Bahkan pasukan gabungan dan Bani Quraizhah pulang membawa kerugian. Allah firmankan tentang pasukan Ahzab,

وَرَدَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا۟ خَيْرًا ۚ وَكَفَى ٱللَّهُ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلْقِتَالَ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزًا

“Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Ahzab: 25)

Tentang Bani Quraizhah, Allah berfirman,

وَأَنزَلَ ٱلَّذِينَ ظَٰهَرُوهُم مِّنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ مِن صَيَاصِيهِمْ وَقَذَفَ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعْبَ فَرِيقًا تَقْتُلُونَ وَتَأْسِرُونَ فَرِيقًا

وَأَوْرَثَكُمْ أَرْضَهُمْ وَدِيَٰرَهُمْ وَأَمْوَٰلَهُمْ وَأَرْضًا لَّمْ تَطَـُٔوهَا ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرًا

Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan Dia memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka. Sebahagian mereka kamu bunuh dan sebahagian yang lain kamu tawan. Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak. Dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 26-27)

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah setelah perang Ahzab, tidak ada yang dilakukannya kecuali meletakkan senjata. Namun, tiba-tiba Jibril ‘alaihis salam seraya berkata, “Apakah kamu telah meletakkan senjata?” Demi Allah, sesungguhnya para malaikat belum meletakkan senjatanya. Berangkatlah bersama sahabatmu menuju Bani Quraizhah! Aku akan mengawalmu dan akan meluluhlantakkan benteng-benteng mereka. Aku akan tanamkan rasa takut pada hati mereka.” Lalu Jibril pun berangkat dengan pasukan malaikatnya.

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat debu-debu berterbangan di lorong-lorong perkampungan Bani Ghanam karena pasukan Jibril saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari, no. 4118)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada perang Ahzab,

لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ

Jangan ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Namun, sebagian mereka telah mendapatkan waktu Ashar saat dalam perjalanan. Kemudian berkatalah salah satu dari mereka, “Kita tidak akan shalat Ashar sampai kita datang di perkampungan mereka.” Sedangkan sebagian lain berkata, “Tidak, kita harus shalat dulu, sebab bukan itu yang diinginkan Nabi.” Kemudian peristiwa itu diceritakan kepada Nabi dan beliau tidak menyalahkan siapa pun di antara mereka.” (HR. Bukhari, no. 4119)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat dengan kekuatan 3.000 pasukan, 36 pasukan berkuda dan melakukan pengepungan terhadap Bani Quraizhah selama sepuluh hari lebih. Allah membuat Huyay bin Akhthab pulang dan kembali ke bentengnya lalu Allah menanamkan rasa takut ke dalam hatinya, sementara pengepungan terus berlanjut. Akhirnya, mereka meminta untuk dikirim negosiator yang bernama Abu Lubabah bin ‘Abdul Mundzir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya.

Abu Lubabah datang menemui mereka. Ketika mereka melihat Abu Lubabah datang, semua orang berdiri, sedangkan para wanita dan anak-anak menyambutnya dengan tangisan yang mengiba. Mereka berkata, “Wahai Abu Lubabah, apakah menurutumu kami harus tunduk dengan keputusan Muhammad?” Abu Lubabah berkata, “Ya.” Sambil memberi isyarat tangan ke lehernya yang berarti mereka harus dibunuh. Abu Lubabah berkata, “Demi Allah, saat kedua kakiku belum bergerak, aku sadar bahwa aku telah mengkhianati Allah dan rasul-Nya.” Kemudian ia pun kembali dan tidak berani menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mengikat dirinya pada sebuah tiang masjid seraya berkata, “Aku tidak akan meninggalkan posisi ini hingga Allah menerima taubatku atas apa yang aku lakukan.” Ia berjanji tidak akan menginjakkan kakinya di Bani Quraizhah selama-lamanya dan tidak akan melihat negeri yang beliau pernah melakukan pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya selama-lamanya.

Ibnu Hisyam berkata, “Allah menurunkan tentang Abu Lubabah seperti apa yang dikatakan oleh Sufyan bin Uyainah dari Ismail bin Abu Khalid dari Abdullah bin Abu Qatadah ayat yang berbunyi,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)

Ibnu Hisyam berkata, “Ia mengikatkan dirinya selama enam hari. Istrinya datang untuk membuka ikatannya setiap kali datang waktu shalat. Lalu ia berwudhu dan shalat kemudian mengikat diri lagi hingga turun ayat yang menerima taubatnya,

وَءَاخَرُونَ ٱعْتَرَفُوا۟ بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا۟ عَمَلًا صَٰلِحًا وَءَاخَرَ سَيِّئًا عَسَى ٱللَّهُ أَن يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 102)

Oleh karena itu, Bani Quraizhah pun tunduk kepada keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga dengan orang-orang dari suku Aus memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berbuat baik kepada mitra mereka, Bani Quraizhah, sebagaimana beliau pernah berbuat baik kepada Bani Qainuqa’, mitra suku Khazraj. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah kalian senang seandainya yang akan mengambil keputusan adalah tokoh kalian?” Mereka menjawab, “Tentu.” Beliau bersabda lagi, “Tokoh itu adalah Sa’ad bin Mu’adz.” Mereka menjawab, “Kami setuju.”

Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Penduduk Quraizhah dijatuhi sanksi berdasarkan keputusan Sa’ad bin Mu’adz. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Sa’ad untuk datang. Kemudian ia pun datang dengan mengendarai keledai. Ketika posisinya dekat dari masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang-orang Anshar, “Berdirilah untuk pemimpin kalian atau orang yang terbaik di antara kalian.” Kemudian beliau berkata kepada Sa’ad, “Mereka ingin agar kamulah yang mengambil keputusan.” Sa’ad berkata, “Bunuh semua prajurit mereka dan jadikan keluarga mereka sebagai tawanan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kami telah memutuskan dengan hukum Allah.” Atau beliau mengatakan, “Dengan hukum malaikat.”

Ibnul Qayyim berkata, “Mereka berkata, ‘Wahai Sa’ad, mereka menginginkan kamu yang memutuskan.” Sa’ad menjawab, “Apakah keputusanku berlaku untuk mereka?” Mereka menjawab, “Ya.” Ia berkata lagi, “Berlaku juga bagi seluruh kaum muslimin?” Mereka menjawab, “Ya.” Ia berkata lagi, “Berlaku juga bagi orang yang ada di sana” sambil mengarahkan wajahnya dan memberikan isyarat ke arah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk penghormatan kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, juga berlaku bagiku.”

Ia berkata, “Aku putuskan hukumannya adalah semua laki-laki dibunuh, keluarganya ditawan dan hartanya dibagikan. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu telah memutuskan sesuai dengan hukum Allah dari atas langit yang tujuh.” Sebagian mereka masuk Islam sebelum ada keputusan. Sedangkan Amr bin Sa’ad melarikan diri dan tidak ada yang mengetahui ke mana perginya. Ia termasuk orang yang menolak untuk melanggar perjanjian.

Ketika keputusan sudah diambil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mereka yang telah ditumbuhi jenggot dan yang belum tumbuh jenggot dianggap masih anak-anak. Lalu digalilah lubang besar di tengah pasar Madinah kemudian mereka dipenggal yang jumlah mereka mencapai 600 – 700 orang. Tidak ada wanita yang dipenggal, kecuali hanya satu karena ia memukul Suwaid bin Shamit radhiyallahu ‘anhu dengan batu hingga mati.

Selain itu, dihadirkan Huyai bin Akhthab, ia memakai pakaian yang telah disobek-sobek dengan sengaja agar tidak disiksa, sementara tangannya diikat di atas lehernya. Ketika ia melihat Rasulullah, ia berkata, “Demi Allah, aku tidak menyesal memusuhimu. Siapa yang dihinakan Allah, pasti hina.” Kemudian ia menghadap manusia seraya berkata, “Wahai manusia, tidak apa-apa dengan keputusan Allah, ini hanya takdir, ketentuan, dan tragedi berdarah yang telah Allah tetapkan atas Bani Israil.” Kemudian ia duduk bersimpuh lalu dipenggal kepalanya.

 

Pelajaran dari Perang Bani Quraizhah

Pertama: Bergegasnya sahabat untuk melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun mereka masih merasa letih dan lelah dari perang Ahzab. Ketika mereka baru saja tiba di Madinah, mereka mendengar seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbunyi, “Tidak ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Mereka pun langsung menyambut seruan itu dengan segera sebagai bentuk ketaatan mereka kepada beliau. Begitulah seharusnya sikap seorang muslim, yakni melaksanakan setiap perintah, bahkan harus bersegera melaksanakannya sekalipun berat. Tidak ada lagi kata nanti atau menunda atau hidup hanya dengan angan-angan. Setiap muslim yang mendengar perintah atau larangan Allah dan Rasul-Nya, maka segera ia melaksanakannya sebagai bentuk ketaatatannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kedua: Sahabat yang pergi menuju ke Bani Quraizhah dan mendapatkan waktu shalat dan ada di antara mereka yang mengerjakannya, sedangkan sebagian yang lain tetap berpegang pada perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan tidak mengerjakan shalat hingga sampai di Bani Quraizhah. Mereka telah berijtihad dalam memahami teks syari. Apabila seorang mujtahid melakukan ijtihad, apabila benar, ia akan mendapatkan dua pahala dan apabila salah, ia akan mendapatkan satu pahala.

Ketiga: Para sahabat yang melakukan ijtihad dalam hukum syari dan terjadi perbedaan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyalahkan satu pun di antara mereka. Selain itu, perbedaan tersebut tidak memicu permusuhan, perpecahan, dan perdebatan yang sengit di antara mereka. Karena perbedaan adalah sesuatu yang wajar dalam masalah fikih. Perbedaan boleh saja terjadi, yang penting tidak menimbulkan permusuhan dan kebencian. Perbedaan yang tercela adalah perbedaan yang timbul dari ijtihad terhadap dalil atau teks syariat yang tidak direkomendasikan untuk diijtihadkan, seperti masalah akidah atau pada masalah yang sudah ada dalil yang tegas.

Keempat: Sebagian ulama menjadikan perbuatan sahabat sebagai dalil, jika dilihat bahwa kebenaran itu beragam. Maksud ungkapan ini adalah apabila yang dimaksud dengan kebenaran adalah lawan dari kebatilan, sesungguhnya kebenaran itu tidak mungkin beragam, kebenaran hanyalah satu. Namun, apabila yang dimaksud dengan kebenaran adalah dalam pandangan syariat yaitu sesuatu yang dibenarkan oleh syariat, maka kebenaran dalam makna ini memang beragam. Kita harus membedakan antara kebenaran sebagai esensi dengan kebenaran yang dianggap benar oleh syariat dan mendapatkan pahala bagi yang melakukannya. Kebenaran sebagai esensi hanyalah satu. Adapun kebenaran yang dipandang benar oleh syariat dan diridai hingga diberi ganjaran, maka kebenaran di sini bisa beragam. Contohnya pada masa kini, ada berbagai pendapat dari berbagai madzhab. Dalam suatu masalah ada berbagai macam pendapat. Seseorang yang menjadi muqallid (hanya mengikuti pendapat madzhab yang ada), insya Allah berada dalam kebenaran, ia dianggap berada pada amalan syari yang diridai.

Kelima: Perbedaan yang terjadi jika kembali pada kurangnya ilmu, maka mudaratnya ringan dan masih bisa diobati (diperbaiki). Dalam ayat disebutkan,

فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59). Adapun perbedaan pendapat yang bisa menimbulkan kerusakan, pasti dibangun di atas hawa nafsu, membela golongan tertentu, fanatik pada guru atau madzhab tertentu. Perbedaan kedua ini bukan untuk mencari kebenaran. Sedangkan ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah fikih hasilnya seharusnya bukan ta’ashub (fanatik buta). Dalam masalah fikih banyak sekali terdapat ikhtilaf dan ada pendapat pula yang bisa saling bersepakat.

Keenam: Dua sahabat yang berbeda dalam menyikapi perintah Nabi untuk shalat Ashar di Bani Quraizhah sama-sama berpahala. Dari ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.

Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala.’” (HR. Bukhari, no. 7352 dan Muslim, no. 1716)

Baca juga: Menyikapi Ijtihad Seorang Ulama

Ketujuh: Dua pihak yang berijtihad berbeda tidaklah saling disalahkan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “As-Suhaili dan ulama lainnya berkata, “Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa ulama yang memahami hadits atau ayat secara tekstual tidaklah boleh disalahkan. Begitu pula ulama yang memahami dalil dengan makna yang khusus tidaklah disalahkan pula.” (Fath Al-Baari, 7:409). Hal ini menunjukkan bahwa ada yang memahami dalil secara tekstual, ada yang memahami dalil dengan memandang maqashid (maksud, tujuan). Dari sinilah letak timbulnya ikhtilaf perbedaan pendapat, maka dari sinilah setiap penuntut ilmu perlu memahaminya.

Kedelapan: Bani Quraizhah sebenarnya penuh rasa aman ketika mereka berada di tempat tinggal mereka di Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bermuamalah baik dengan mereka. Namun, mereka begitu tega berkhianat pada perang Ahzab. Pengkhiatan ini adalah pengkhianatan yang besar.

Baca juga: Bila Ada yang Mengkhianati, Bagaimanakah Kita Membalasnya?

Kesembilan: Sikap Abu Lubabah yang ditugaskan ke Bani Quraizhah untuk bermusyawarah. Ketika beliau sampai dan menanyakan keadaan mereka, beliau mengatakan bahwa mereka akan mendapatkan hukuman dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa pembunuhan. Beliau menyadari bahwa ini adalah pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia pun pergi mengikat dirinya pada sebuah tiang masjid hingga turun ayat yang menerima taubatnya. Dari sini kita mendapatkan pelajaran betapa pentingnya nasihat Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan masyarakat umum. Jangan sampai berkhianat, baik berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin maupun kepada masyarakat umum.

Kesepuluh: Dari kisah tersebut juga kita dapat mengambil pelajaran pentingnya bergegas dalam bertaubat langsung setelah berbuat dosa. Sesungguhnya anak keturunan Adam pasti berdosa dan sebaik-baiknya para pelaku dosa adalah yang bertaubat.

Syarat diterimanya taubat adalah:

  1. Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi.
  2. Menyesali dosa yang telah dilakukan dahulu sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali. Sebagaimana dikatakan oleh Malik bin Dinar, “Menangisi dosa-dosa itu akan menghapuskan dosa-dosa sebagaimana angin mengeringkan daun yang basah.” Umar, Ali, dan Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa taubat adalah dengan menyesal.
  3. Tidak terus-menerus dalam berbuat dosa saat ini. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera meninggalkannya dan apabila ia meninggalkan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf.
  4. Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa yang akan datang karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat. Hal ini sebagaimana tafsiran sebagian ulama yang menafsirkan taubat adalah bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
  5. Taubat dilakukan pada waktu diterimanya taubat yaitu sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima.

Kesebelas: Dari kisah tersebut, kita juga dapat mengambil pelajaran tentang pentingnya menjauhi tempat-tempat maksiat. Karena Abu Lubabah menjadikan taubatnya untuk tidak kembali lagi ke perkampungan Bani Quraizhah, dan hal ini sangat berarti bagi yang bertaubat.

Sesungguhnya orang yang bertaubat dari maksiat seyogyanya menjauh dari tempat-tempat maksiat tersebut dan tidak bergaul lagi dengan pendukung maksiat. Hal ini menunjukkan kesungguhan taubatnya dan tekadnya untuk tidak kembali melakukan dosa dan maksiat untuk yang kedua kalinya. Terutama bagi mereka yang melakukan maksiat karena pergaulannya dengan orang-orang jahat. Bukti dari kesungguhan taubatnya adalah tidak bergaul lagi dengan mereka.

Hadits yang menunjukkan pentingnya menjauhi tempat maksiat sebagai bagian dari syarat taubat adalah hadits tentang pembunuh 100 jiwa berikut ini.

Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu, pada masa sebelum kalian, ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu, ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun, ia ditunjukkan kepada seorang rahib. Lantas, ia pun mendatanginya dan berkata, ‘Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?’ Rahib pun menjawabnya, ‘Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.’ Lalu, orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya.

Kemudian, ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjukkan kepada seorang alim. Lantas, ia bertanya pada alim tersebut, ‘Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?’ Orang alim itu pun menjawab, ‘Ya, masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu (yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.’

Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat azab. Malaikat rahmat berkata, ‘Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah.’ Namun, malaikat azab berkata, ‘Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun.’ Lalu, datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia; mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ‘Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju -pen). Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.’ Lalu, mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya, ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.” (HR. Bukhari dan Muslim, no. 2766)

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan orang yang ingin bertaubat dianjurkan untuk berpindah dari tempat ia melakukan maksiat.” (Syarh Muslim, 17: 83)

Kedua belas: Kisah Abu Lubabah menunjukkan betapa kuat imannya dan betapa peka hatinya, sehingga ia langsung menyadari kesalahannya dan menyesal bahkan sebelum bergerak dari posisinya. Seperti itulah orang-orang yang bertakwa; ketika digoda oleh setan, mereka segera sadar dan cepat bertaubat, kembali ke jalan Allah.

Ketiga belas: Dari kisah ini, kita juga melihat kesungguhan Abu Lubabah dalam bertaubat, betapa dalam penyesalannya, serta keseriusannya untuk menebus kesalahan. Ia mengikat dirinya pada salah satu tiang masjid selama beberapa hari hingga Allah menurunkan ayat yang menerima taubatnya.

Keempat belas: Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Sa’ad datang, “Berdirilah untuk pemimpin kalian,” mengajarkan kita pentingnya menghormati orang yang memiliki kedudukan dan orang yang lebih tua, baik karena usia, ilmu, maupun kekuasaannya. Dengan demikian, disyariatkan untuk berdiri sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan mereka.

Kelima belas: Kita perlu membedakan antara “berdiri untuk seseorang (qiyam ila asy-syakhsh),” “berdiri karena seseorang (qiyam li asy-syakhsh),” dan “berdiri atas seseorang (qiyam ‘ala asy-syakhsh).”

Berdiri untuk seseorang adalah ketika kita menyambut kedatangannya atau memberikan ucapan selamat. Contohnya, ketika Thalhah bin Ubaidillah berdiri menyambut Ka’ab bin Malik yang baru tiba di masjid setelah turunnya ayat yang menerima taubatnya. Thalhah berdiri, menyalami, dan mengucapkan selamat atas diterimanya taubat Ka’ab oleh Allah. Tindakan seperti ini tidak dilarang, bahkan dianjurkan.

Berdiri karena seseorang adalah situasi di mana seseorang diperintahkan untuk menghormati seseorang dengan tetap berdiri di tempat, tidak bergerak. Tindakan ini jelas dilarang.

Syaikh Muhammad bin Utsaimin menjelaskan bahwa berdiri dalam rangka menghormati diperbolehkan jika hal tersebut sudah menjadi kebiasaan (adat). Larangan hanya berlaku bagi orang yang menginginkan sambutan dengan berdiri karena ingin dihormati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang suka orang berdiri untuk menghormatinya, maka ia telah mengambil tempat duduknya di dalam neraka.” (HR. Abu Daud, no. 4357; Tirmidzi, no. 2212)

Berdiri atas seseorang (yakni berdiri di dekat kepala seseorang yang sedang duduk sebagai bentuk penghormatan) dilarang, kecuali dalam dua kondisi:

  1. Jika diperlukan untuk menjaga keselamatan orang tersebut.
  2. Jika berdiri sebagai penghormatan sekaligus penghinaan terhadap musuh, seperti yang terjadi pada Mughirah bin Syu’bah saat perjanjian Hudaibiyah.

Ada tiga jenis berdiri yang perlu dibedakan: berdiri untuk seseorang adalah berdiri menyambut atau memberi selamat dan diperbolehkan; berdiri karena seseorang adalah berdiri di tempat sebagai penghormatan dan dilarang; sedangkan berdiri atas seseorang adalah berdiri di dekat orang yang duduk sebagai bentuk penghormatan, yang juga dilarang kecuali dalam situasi tertentu seperti menjaga keselamatan.

Keenam belas: Mungkin kita menganggap keputusan Sa’ad bin Muadz terhadap Bani Quraizah sangat keras. Namun, untuk memahami keadilan dari keputusan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

a. Ibnu Qayyim menyatakan bahwa Bani Quraizah adalah kaum Yahudi yang sangat memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memiliki perilaku yang sangat kasar. Oleh karena itu, mereka dihukum lebih berat dibandingkan saudara-saudara mereka.

b. Bayangkan apa yang akan terjadi jika pasukan gabungan berhasil menyerang Madinah? Apa yang akan dilakukan Bani Quraizah terhadap wanita dan anak-anak kaum Muslimin? Bencana besar pasti akan menimpa mereka, mengingat kaum laki-laki berada di garis depan untuk menghadapi pasukan gabungan. Pengkhianatan besar inilah yang membuat Bani Quraizah layak menerima hukuman yang mereka terima.

c. Bani Quraizah bukan hanya membatalkan perjanjian dengan kaum Muslimin, tetapi juga ikut memerangi mereka. Mereka bersenjata dan memberikan bantuan kepada pasukan gabungan, yang pada akhirnya memaksa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjatuhkan hukuman.

d. Sebagai penduduk Madinah, Bani Quraizah seharusnya membela kota dari serangan musuh, seperti yang dijanjikan. Namun, ketika musuh datang, mereka justru berkhianat dengan melakukan tiga kesalahan besar:

  1. Melakukan kontak dengan musuh dan membocorkan informasi penting tentang Madinah.
  2. Memberikan bantuan materi maupun non-materi kepada musuh.
  3. Menyiapkan senjata untuk melawan tentara Madinah, membatalkan perjanjian secara sepihak, dan siap menyerang kaum Muslimin dari belakang di saat kritis.

Melihat semua ini, tidak mengherankan jika Sa’ad bin Muadz menjatuhkan hukuman tersebut, yang kemudian didukung oleh Rasulullah. Pengkhianatan mereka adalah kejahatan besar terhadap masyarakat Islam dan Rasulullah.

Hukuman yang dijatuhkan Sa’ad juga sesuai dengan hukum dalam kitab suci mereka, Taurat. Muhammad Abu Syuhbah menjelaskan bahwa keputusan Sa’ad sejalan dengan ajaran Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa musuh yang menyerang harus dihukum mati, sementara rampasan perang dapat diambil. Oleh karena itu, keputusan Sa’ad tidak menyimpang dari hukum Taurat, mengingat Bani Quraizah bukan hanya musuh, tetapi juga pengkhianat yang tidak menepati janji.

 

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya, segala kebaikan menjadi sempurna. 

 

Referensi:

  • Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.

 

 

Ditulis sejak 15 Dzulqa’dah 1445 H, 24 Mei 2024 M, berakhir pada 4 Safar 1446 H, 9 Agustus 2024, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button