Apa Saja Syarat Sah Nikah dan Siapa yang Berhak Menjadi Wali?
Pernikahan dalam Islam memiliki syarat-syarat sah yang tidak boleh diabaikan, di antaranya adanya wali dan dua saksi yang adil. Tidak semua orang bisa menjadi wali nikah, dan ada urutan tertentu yang ditetapkan dalam fikih. Tulisan ini membahas siapa saja yang berhak menjadi wali nikah serta apa yang dilakukan jika wali tidak ditemukan. Semoga menjadi panduan bagi muslim yang ingin menjalankan akad nikah sesuai syariat.
Dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata,
فَصْلٌ
وَلَا يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيِ عَدْلٍ، وَيَفْتَقِرُ الْوَلِيُّ وَالشَّاهِدَانِ إِلَى سِتَّةِ شُرُوطٍ:
الإِسْلَامُ، وَالْبُلُوغُ، وَالْعَقْلُ، وَالْحُرِّيَّةُ، وَالذُّكُورَةُ، وَالْعَدَالَةُ،
إِلَّا أَنَّهُ لَا يَفْتَقِرُ نِكَاحُ الذِّمِّيَّةِ إِلَى إِسْلَامِ الْوَلِيِّ،
وَلَا نِكَاحُ الْأَمَةِ إِلَى عَدَالَةِ السَّيِّدِ.
وَأَوْلَى الْوُلَاةِ:
الأَبُ، ثُمَّ الْجَدُّ أَبُو الْأَبِ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ، ثُمَّ الْعَمُّ، ثُمَّ ابْنُهُ، عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ.
فَإِذَا عُدِمَتِ الْعَصَبَاتُ، فَالْمَوْلَى الْمُعْتِقُ، ثُمَّ عَصَبَاتُهُ، ثُمَّ الْحَاكِمُ.
Pasal: Syarat Sah Akad Nikah dan Urutan Wali
Dalam Islam, akad nikah tidak sah kecuali jika dipenuhi dua syarat utama:
- Harus dilakukan oleh seorang wali,
- Dihadiri oleh dua orang saksi yang adil.
Baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat penting, yaitu:
- Beragama Islam
- Telah baligh
- Berakal sehat
- Merdeka
- Laki-laki
- Bersifat adil
Namun ada dua pengecualian penting:
- Jika perempuan yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang berada di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.
- Jika perempuan tersebut adalah budak, maka tuannya boleh menikahkannya meskipun dia tidak adil (misalnya dikenal fasik).
Urutan Wali dalam Nikah (Wilāyah ‘ala an-Nikāh):
Jika ada beberapa kerabat laki-laki yang memenuhi syarat sebagai wali, maka didahulukan menurut urutan berikut:
- Ayah kandung,
- Kakek dari jalur ayah (ayahnya ayah),
- Saudara kandung laki-laki (seayah dan seibu),
- Saudara laki-laki seayah,
- Anak laki-laki dari saudara kandung,
- Anak laki-laki dari saudara seayah,
- Paman kandung dari pihak ayah,
- Anak paman (sepupu laki-laki dari jalur ayah),
dan seterusnya mengikuti urutan dalam garis ‘aṣabah (kerabat laki-laki yang memiliki hubungan darah dari jalur ayah).
Jika tidak ada satu pun dari kalangan ‘aṣabah (kerabat laki-laki tersebut), maka hak perwalian berpindah kepada:
– Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak perempuan yang telah dimerdekakan),
– Lalu kerabat laki-laki dari mantan tuan itu,
– Jika mereka juga tidak ada, maka hak perwalian nikah diambil alih oleh hakim atau penguasa setempat (qadhi).
PENJELASAN
Hal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak Sah
Dalam pasal ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi syarat sahnya akad nikah. Akad nikah tidak dianggap sah kecuali jika dilakukan oleh seorang wali yang adil. Dalam sebagian manuskrip disebutkan bahwa wali itu harus laki-laki, sebagai penegasan bahwa perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, dan juga tidak boleh menjadi wali bagi orang lain.
Selain wali, akad nikah juga harus dihadiri oleh dua orang saksi yang adil. Tanpa kehadiran keduanya, akad nikah tidak sah.
Penulis kemudian menjelaskan bahwa baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat utama, yaitu:
- Beragama Islam – Seorang non-Muslim tidak sah menjadi wali atau saksi nikah, kecuali dalam pengecualian tertentu yang akan dijelaskan.
- Baligh (dewasa) – Anak kecil tidak sah menjadi wali nikah, karena belum memiliki kelayakan hukum.
- Berakal sehat – Orang gila tidak sah menjadi wali, baik gangguannya terus-menerus maupun datang dan pergi.
- Merdeka – Seorang budak tidak sah menjadi wali dalam proses ijab nikah (pengucapan akad), meskipun ia boleh menjadi pihak penerima akad.
- Laki-laki – Perempuan dan orang yang memiliki kelamin ganda (khuntsa) tidak sah menjadi wali.
- Adil – Seorang wali atau saksi yang fasik (pelaku dosa besar atau yang terus-menerus melakukan dosa kecil) tidak sah menjadi wali.
Namun demikian, penulis memberikan dua pengecualian penting:
- Jika wanita yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.
- Jika yang dinikahkan adalah seorang budak perempuan, maka tidak disyaratkan tuannya (yang menjadi wali) harus adil. Artinya, walaupun ia dikenal fasik, nikahnya tetap sah.
Semua syarat yang disebutkan di atas untuk wali juga berlaku bagi dua saksi nikah. Artinya, kedua saksi juga harus Muslim, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan adil.
Adapun jika wali atau saksi tersebut mengalami kebutaan, maka tidak menjadi penghalang untuk menjalankan fungsi sebagai wali atau saksi, menurut pendapat yang lebih kuat dalam mazhab ini.
Urutan Wali dalam Pernikahan
Dalam hukum Islam, wali nikah tidak hanya harus memenuhi syarat, tetapi juga mengikuti urutan prioritas di antara kerabat laki-laki. Urutan ini menjadi panduan ketika ada lebih dari satu kerabat yang memenuhi syarat sebagai wali.
Yang paling berhak menjadi wali nikah adalah:
- Ayah kandung dari pihak perempuan.
- Kakek dari jalur ayah (yaitu ayahnya ayah), kemudian kakek dari jalur ayahnya lagi, dan seterusnya. Semakin dekat nasabnya, semakin didahulukan.
- Saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu). Jika disebut dengan istilah “saudara sekandung” (الشقيق), maka lebih tepat.
- Saudara laki-laki seayah.
- Anak laki-laki dari saudara kandung, meskipun keturunannya ke bawah (cucu, cicit).
- Anak laki-laki dari saudara seayah, juga walaupun telah menurun nasabnya.
- Paman kandung dari jalur ayah (saudara sekandung ayah), lalu paman seayah.
- Anak-anak mereka (sepupu laki-laki), meskipun dari generasi di bawah (anak, cucu).
Dalam hal ini, anak dari paman kandung (saudara sekandung ayah) lebih didahulukan daripada anak dari paman seayah saja.
Semua urutan ini mengikuti prinsip dasar ‘aṣabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah yang tidak terputus).
Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak Ada
Jika ternyata semua kerabat laki-laki dari jalur nasab tidak ada, maka perwalian jatuh kepada:
- Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak yang telah dimerdekakan), jika ia seorang laki-laki.
- Setelah itu, hak menjadi wali pindah kepada kerabat laki-laki dari mawlā tersebut, sesuai urutan ahli waris, sebagaimana dalam pembagian warisan.
Namun jika yang memerdekakan adalah perempuan (mawlā mu‘tiqah), dan ia masih hidup, maka yang menikahkan bekas budaknya adalah wali dari pihak perempuan tersebut, mengikuti urutan wali nasab seperti telah dijelaskan di atas.
Jika perempuan yang memerdekakan telah meninggal dunia, maka yang menjadi wali bagi budaknya adalah:
- Orang yang mewarisi hak wala’ (kewalian) dari perempuan tersebut,
- Lalu anak laki-lakinya,
- Kemudian cucu laki-lakinya,
dan seterusnya secara turun-temurun.
Peran Hakim sebagai Wali
Jika semua jalur wali — baik dari nasab maupun dari wala’ (perbudakan) — tidak ada sama sekali, maka hakim atau otoritas agama (qādī atau pemerintah setempat) menjadi wali dan menikahkan perempuan tersebut. Ini merupakan solusi terakhir dalam sistem perwalian Islam, untuk memastikan tidak ada perempuan yang terhalang menikah karena ketiadaan wali.
Referensi:
- Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb fī Syarḥ Alfāẓ at-Taqrīb. Kairo: Dār Ḍiyā’.
________
Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush Sholihin
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com