Dampak Buruk Maksiat: Pelajaran dari Ibnul Qayyim
Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟
Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66)
Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi?
Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini.
وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81)
وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ.
Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82)
Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat
Maksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut:
1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,
حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ.
Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.
وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ.
Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ:
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِي
Imam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya:
“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang yang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84)
2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki
Dari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ
“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ
3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,
وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا.
Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa.
Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab:
إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ
وَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.
“Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu.
Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.”
Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya.
4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,
: الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ.
Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah.
Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri.
Sebagian ulama salaf pernah berkata,
إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي.
“Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)
5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,
تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا،
وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟
Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit.
Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86)
Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,
{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا }
{ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).
Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.”
Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin
6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,
ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ.
Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja.
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86)
7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ.
وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟
“Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati.
Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya.
Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86)
8. Maksiat menghalangi dari ketaatan
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.
“Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.
Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87)
9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.
Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya.
فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي.
Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat.
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ.
Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat.
قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا.
Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya.
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] .
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21).
فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.
Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.
وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] .
Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24).
فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ.
Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki.
وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.
Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88)
10. Dosa Melahirkan Dosa Lain
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ.
“Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’
Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.”
وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ.
Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia.
وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا.
“Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.”
وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا.
وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا.
فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ.
“Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan.
Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan.
Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.”
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89)
11. Maksiat itu Melemahkan Hati
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ
“Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah.
Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89)
12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ.
وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا.
وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ،
“Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya.
Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.”
Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih.
كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» .
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990)
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90)
13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.
فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ.
وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ.
وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ.
وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ.
فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ.
Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah.
- Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth.
- Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib.
- Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.
- Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud.
Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah.
Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinar
وَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي.
Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180)
Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang?
Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diri
وَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» .
Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91)
14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ.
“Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya.
Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)
Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina.
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)
15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ.
“Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah.
Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.”
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)
16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ.
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ.
وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ.
وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ.
فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ.
“Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.”
Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’”
Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’”
Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu.
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92)
17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ.
وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ.
قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ.
وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ:
رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا
وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا
وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا
“Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10)
Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya.
Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.”
Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.”
Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya:
“Aku melihat dosa itu mematikan hati,
dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan.
Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati,
dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu.
“Apakah yang merusak agama selain para penguasa,
ulama buruk, dan para rahibnya?”
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92)
18. Maksiat Merusak Akal
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟
“Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang.
Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan.
Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?”
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ.
كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ.
وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ.
وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ.
وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ.
“Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)
Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.”
Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran.
Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.”
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93)
20. Maksiat Mendapatkan Laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
الذُّنُوبُ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –
وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ تُدْخِلُ الْعَبْدَ تَحْتَ لَعْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ لَعَنَ عَلَى مَعَاصِي وَالَّتِي غَيْرُهَا أَكْبَرُ مِنْهَا، فَهِيَ أَوْلَى بِدُخُولِ فَاعِلِهَا تَحْتَ اللَّعْنَةِ.
فَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ، وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالنَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ، وَالْوَاشِرَةَ وَالْمُسْتَوْشِرَةَ.
وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَهُ.
وَلَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.
وَلَعَنَ السَّارِقَ.
وَلَعَنَ شَارِبَ الْخَمْرِ وَسَاقِيهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَبَائِعَهَا وَمُشْتَرِيهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ.
وَلَعَنَ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ وَهِيَ أَعْلَامُهَا وَحُدُودُهَا.
وَلَعَنَ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ.
وَلَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا يَرْمِيهِ بِسَهْمٍ.
وَلَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ.
وَلَعَنَ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ.
وَلَعَنَ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا.
وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ.
وَلَعَنَ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ.
وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ وَأُمَّهُ.
وَلَعَنَ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ الطَّرِيقِ.
وَلَعَنَ مَنْ أَتَى بَهِيمَةً.
وَلَعَنَ مَنْ وَسَمَ دَابَّةً فِي وَجْهِهَا.
وَلَعَنَ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا أَوْ مَكَرَ بِهِ.
وَلَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ.
وَلَعَنَ مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا، أَوْ مَمْلُوكًا عَلَى سَيِّدِهِ.
وَلَعَنَ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا.
وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ بَاتَتْ مُهَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.
وَلَعَنَ مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ.
وَأَخْبَرَ أَنَّ مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ
فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ.
وَلَعَنَ مَنْ سَبَّ الصَّحَابَةَ.
مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ
وَقَدْ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ وَقَطَعَ
رَحِمَهُ، وَآذَاهُ وَآذَى رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.
وَلَعَنَ مَنْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى.
وَلَعَنَ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ بِالْفَاحِشَةِ.
وَلَعَنَ مَنْ جَعَلَ سَبِيلَ الْكَافِرِ أَهْدَى مِنْ سَبِيلِ الْمُسْلِمِ.
وَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ
وَلَعَنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشَ، وَهُوَ: الْوَاسِطَةُ فِي الرِّشْوَةِ.
وَلَعَنَ عَلَى أَشْيَاءَ أُخْرَى غَيْرِ هَذِهِ.
فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي فِعْلِ ذَلِكَ إِلَّا رِضَاءُ فَاعِلِهِ بِأَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَلْعَنُهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَلَائِكَتُهُ لَكَانَ فِي ذَلِكَ مَا يَدْعُو إِلَى تَرْكِهِ.
Di antara dampak dosa adalah bahwa dosa-dosa memasukkan pelakunya ke dalam laknat Rasulullah ﷺ. Sebab, beliau telah melaknat beberapa perbuatan maksiat, bahkan ada perbuatan lain yang lebih besar dari maksiat tersebut, sehingga lebih utama pelakunya berada di bawah laknat.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mencabut bulu alis dan yang meminta alisnya dicabut, serta wanita yang meruncingkan giginya dan yang meminta giginya diruncingkan.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksi.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku nikah tahlil (pelaku akad nikah yang tujuannya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) dan orang yang meminta dilakukannya nikah tersebut.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pencuri.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperas untuknya, yang menjualnya, yang membelinya, yang memakan hasil keuntungannya, yang membawanya, dan yang dibawa kepadanya.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengubah tanda batas tanah, yaitu penanda atau batas wilayahnya.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran panahnya.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) atau melindungi pelaku bid’ah tersebut.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para pelukis (makhluk bernyawa yang mereka dengan tangannya).
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual).
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci ayah dan ibunya.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan yang benar.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi binatang untuk berhubungan dengannya.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi tanda pada wajah binatang.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merugikan seorang muslim atau menipunya.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kubur (berlebihan) serta orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan memberi penerangan pada kuburan.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya atau seorang hamba dengan tuannya.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa wanita yang bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengaku nasab kepada selain ayah kandungnya.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa siapa saja yang mengacungkan besi (pedang) kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mencaci sahabat Nabi.
- Allah melaknat orang-orang yang merusak di muka bumi, memutuskan tali silaturahim, menyakiti Allah, dan menyakiti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Allah melaknat orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan dan petunjuk.
- Allah melaknat orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terhormat, yang lalai, dan beriman dengan perbuatan keji.
- Allah melaknat orang yang menjadikan jalan orang kafir lebih lurus daripada jalan orang muslim.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara suap.
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat atas perbuatan-perbuatan lainnya selain yang disebutkan di atas.
Jika tidak ada hal lain dalam melakukan dosa tersebut selain bahwa pelakunya rida menjadi bagian dari orang yang dilaknat oleh Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya, maka hal itu saja sudah cukup sebagai alasan untuk meninggalkannya.
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93-95)
Baca juga: 16 Orang yang Terkena Laknat
21. Maksiat Membuat Terhalang dari Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Doa Para Malaikat
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: حِرْمَانُ دَعْوَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَدَعْوَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَقَالَ تَعَالَى: {الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ – رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ – وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [سُورَةُ غَافِرٍ: ٧ – ٩] . فَهَذَا دُعَاءُ الْمَلَائِكَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ التَّائِبِينَ الْمُتَّبِعِينَ لِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ الَّذِينَ لَا سَبِيلَ لَهُمْ غَيْرُهُمَا، فَلَا يَطْمَعُ غَيْرُ هَؤُلَاءِ بِإِجَابَةِ هَذِهِ الدَّعْوَةِ، إِذْ لَمْ يَتَّصِفْ بِصِفَاتِ الْمَدْعُوِّ لَهُ بِهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.
Di antara dampak dosa adalah terhalangnya seseorang dari doa Rasulullah ﷺ dan doa para malaikat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Allah Ta’ala berfirman,
“(Para malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta lindungilah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan lindungilah mereka dari (balasan) keburukan. Barang siapa yang Engkau lindungi dari (balasan) keburukan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah memberinya rahmat. Dan itulah kemenangan yang agung.’” (QS. Ghafir [40]: 7-9)
Ayat ini menjelaskan doa para malaikat untuk orang-orang beriman yang bertobat dan mengikuti kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.
Selain mereka, tidak ada yang berhak mengharapkan terkabulnya doa ini, karena mereka tidak memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam doa tersebut. Hanya mereka yang bertobat, mengikuti jalan kebenaran, dan menjaga keimanan yang akan mendapatkan doa dan ampunan dari para malaikat. Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya.
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 96)
22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi tentang hukuman bagi pelaku maksiat
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
وَمِنْ عُقُوبَاتِ الْمَعَاصِي مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ مِنْ حَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ الْبَارِحَةَ رُؤْيَا؟ فَيَقُصُّ عَلَيْهِ مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُصَّ، وَأَنَّهُ قَالَ لَنَا ذَاتَ غَدَاةٍ: إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا انْبَعَثَا لِي، وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي: انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ، فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ فَيَتَدَهْدَهُ الْحَجَرُ هَاهُنَا فَيَقَعُ الْحَجَرُ، فَيَأْخُذُهُ، فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يُصْبِحَ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.
فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ وَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الْآخَرِ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الْأَوَّلِ، فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يُصْبِحَ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى، قَالَ: قُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا هَذَانِ؟ فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.
Di antara hukuman atas perbuatan maksiat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:
“Rasulullah ﷺ sering bertanya kepada para sahabatnya, ‘Adakah di antara kalian yang tadi malam melihat mimpi?’ Maka, siapa saja yang dikehendaki Allah akan menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Tadi malam, dua malaikat datang kepadaku. Keduanya mengajakku pergi, dan aku pun berangkat bersama mereka.’
Beliau ﷺ melanjutkan:
‘Kami sampai pada seorang pria yang sedang berbaring terlentang. Di dekatnya ada pria lain berdiri sambil memegang sebuah batu besar. Pria yang berdiri itu menjatuhkan batu ke kepala pria yang berbaring hingga kepala pria tersebut pecah. Kemudian, batu itu menggelinding, dan pria yang berdiri tersebut mengambilnya kembali. Ketika ia kembali ke pria yang berbaring, kepala pria itu telah pulih seperti sediakala. Lalu, ia mengulangi perbuatannya, menghancurkan kepala pria tersebut seperti sebelumnya. Aku pun bertanya kepada kedua malaikat itu, “Subhanallah! Apa ini?” Mereka menjawab, “Mari kita lanjutkan perjalanan.”
Beliau ﷺ melanjutkan kisahnya:
‘Kami pun melanjutkan perjalanan dan sampai pada seorang pria yang berbaring telentang, sementara ada pria lain berdiri di dekatnya dengan sebuah alat dari besi seperti kail. Pria yang berdiri tersebut menarik sisi wajah pria yang berbaring, dari sudut mulut hingga ke belakang kepalanya, dari lubang hidung hingga ke belakang kepalanya, dan dari matanya hingga ke belakang kepalanya. Setelah itu, ia beralih ke sisi lainnya dan melakukan hal yang sama. Sementara ia sedang menyelesaikan sisi kedua, sisi pertama telah kembali seperti sediakala. Kemudian, ia kembali mengulangi perbuatannya sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya.’
Aku pun bertanya lagi kepada kedua malaikat itu, ‘Subhanallah! Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”
فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ، وَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ، قَالَ: فَاطَّلَعْنَا فِيهِ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا، فَقَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: فَقَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.
فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ، فَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْبَحَ، ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، فَيَنْطَلِقُ فَيَسْبَحُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ، فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا، قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَانِ؟ قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.
فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ كَرِيهِ الْمَرْآةِ، أَوْ كَأَكْرِهِ مَا أَنْتَ رَاءٍ رَجُلًا مَرْأًى، وَإِذَا هُوَ عِنْدَهُ نَارٌ يَحُثُّهَا وَيَسْعَى حَوْلَهَا، قَالَ:قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَذَا؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.
Rasulullah ﷺ melanjutkan:
“Kemudian, kami berjalan lagi hingga sampai pada suatu tempat yang menyerupai sebuah tanur (seperti tungku pembakaran). Di dalamnya terdengar suara gaduh dan teriakan. Kami pun melihat ke dalamnya, dan ternyata di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Dari bawah mereka muncul api yang menyala-nyala. Ketika api itu menyentuh mereka, mereka pun menjerit-jerit kesakitan. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’
Beliau ﷺ melanjutkan:
‘Kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah. Di dalam sungai tersebut, ada seorang pria berenang. Di tepi sungai, terdapat seorang pria lain yang telah mengumpulkan banyak batu di sekelilingnya. Pria yang berenang tersebut terus berenang sejauh yang ia mampu. Ketika ia kembali mendekati pria di tepi sungai, pria itu membuka mulutnya, dan pria yang di tepi sungai memasukkan sebuah batu ke dalam mulutnya. Setelah itu, pria yang berenang tersebut kembali berenang menjauh. Setiap kali ia kembali, hal yang sama terjadi. Aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’
Beliau ﷺ melanjutkan:
‘Kami pun berjalan lagi hingga sampai pada seorang pria yang sangat buruk rupanya, bahkan penampilannya adalah yang paling mengerikan yang pernah aku lihat. Ia berada di dekat api yang menyala-nyala. Ia terus menyalakan api tersebut dan berlari-lari mengelilinginya. Aku bertanya, ‘Siapa dia ini?’ Namun, kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’”
فَانْطَلَقْنَا عَلَى رَوْضَةٍ مُعَتَمَّةٍ فِيهَا مِنْ كُلِّ نُورِ الرَّبِيعِ، وَإِذَا بَيْنَ ظَهَرَانَيِ الرَّوْضَةِ رَجُلٌ طَوِيلٌ، لَا أَكَادُ أَرَى رَأْسَهُ طُولًا فِي السَّمَاءِ، وَإِذَا حَوْلَ الرَّجُلِ مِنْ أَكْثَرِ وِلْدَانٍ رَأَيْتُهُمْ قَطُّ، قَالَ: قُلْتُ: مَا هَذَا؟ وَمَا هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: قَالَا لِي: انْطَلِقِ انْطَلِقْ.
فَانْطَلَقْنَا، فَأَتَيْنَا إِلَى دَوْحَةٍ عَظِيمَةٍ لَمْ أَرَ دَوْحَةً قَطُّ أَعْظَمَ مِنْهَا، وَلَا أَحْسَنَ، قَالَ: قَالَا لِي: ارْقَ فِيهَا، فَارْتَقَيْنَا فِيهَا إِلَى مَدِينَةٍ مَبْنِيَّةٍ بِلَبِنٍ ذَهَبٍ، وَلَبِنٍ فِضَّةٍ، قَالَ: فَأَتَيْنَا بَابَ الْمَدِينَةِ، فَاسْتَفْتَحْنَا، فَفُتِحَ لَنَا، فَدَخَلْنَاهَا، فَتَلَقَّانَا رِجَالٌ، شَطْرٌ مِنْ خَلْقِهِمْ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، وَشَطْرٌ مِنْهُمْ كَأَقْبَحِ مَا أَنْتَ رَاءٍ، قَالَ: قَالَا لَهُمْ: اذْهَبُوا فَقَعُوا فِي ذَلِكَ النَّهَرِ،قَالَ: وَإِذَا نَهَرٌ مُعْتَرِضٌ يَجْرِي كَأَنَّ مَاءَهُ الْمَحْضُ فِي الْبَيَاضِ، فَذَهَبُوا فَوَقَعُوا فِيهِ، ثُمَّ رَجَعُوا إِلَيْنَا، قَدْ ذَهَبَ ذَلِكَ السُّوءُ عَنْهُمْ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذِهِ جَنَّةُ عَدْنٍ وَهَا ذَاكَ مَنْزِلُكَ.
قَالَ: فَسَمَا بَصْرِي صُعُدًا، فَإِذَا قَصْرٌ مِثْلُ الرَّبَابَةِ الْبَيْضَاءِ، قَالَ: قَالَا لِي: هَذَا مَنْزِلُكَ، قُلْتُ لَهُمَا: بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمَا، فَذَرَانِي فَأَدْخُلُهُ، قَالَا: أَمَّا الْآنَ فَلَا، وَأَنْتَ دَاخِلُهُ.
قُلْتُ لَهُمَا: فَإِنِّي رَأَيْتُ مُنْذُ اللَّيْلَةِ عَجَبًا، فَمَا هَذَا الَّذِي رَأَيْتُ؟ قَالَ: قَالَا لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ.
أَمَّا الرَّجُلُ الْأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالْحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ الْقُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ.
وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو إِلَى بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ.
“Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah taman yang sangat hijau, penuh dengan keindahan musim semi dari segala sisi. Di tengah-tengah taman itu, terdapat seorang pria yang sangat tinggi, hingga aku hampir tidak bisa melihat kepalanya karena menjulang ke langit. Di sekeliling pria itu terdapat anak-anak dalam jumlah yang sangat banyak, lebih banyak daripada yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku bertanya kepada kedua malaikat itu, ‘Siapa pria ini, dan siapa anak-anak ini?’ Mereka menjawab, ‘Mari kita lanjutkan perjalanan.’
Beliau ﷺ melanjutkan:
“Kami pun pergi hingga tiba di sebuah pohon besar yang sangat megah. Aku belum pernah melihat pohon yang lebih besar atau lebih indah darinya. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Naiklah.’ Maka, kami naik ke atas pohon tersebut hingga sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan bata dari emas dan perak. Kami mendekati pintu kota tersebut, lalu memintanya dibuka, dan pintu itu pun dibuka untuk kami. Kami masuk ke dalamnya dan mendapati orang-orang yang separuh tubuhnya adalah rupa paling indah yang pernah aku lihat, sementara separuh lainnya adalah rupa paling buruk yang pernah aku lihat. Kedua malaikat itu berkata kepada mereka, ‘Pergilah dan masuklah ke dalam sungai itu.’
Beliau ﷺ melanjutkan:
“Aku melihat sebuah sungai yang mengalir di tengah-tengah kota, airnya berwarna putih seperti susu yang sangat murni. Mereka pun pergi dan masuk ke dalam sungai tersebut. Setelah itu, mereka kembali kepada kami, dan keburukan pada tubuh mereka telah hilang, sehingga mereka menjadi sangat indah. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Ini adalah surga Adn, dan itu adalah tempat tinggalmu.’
Aku pun memandang ke atas dan melihat sebuah istana yang sangat megah, seperti awan putih. Kedua malaikat itu berkata kepadaku, ‘Itulah tempat tinggalmu.’ Aku berkata kepada mereka, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua. Biarkan aku masuk ke dalamnya.’ Mereka menjawab, ‘Belum sekarang, tetapi kelak engkau akan memasukinya.’
Aku berkata kepada mereka, ‘Tadi malam aku telah melihat hal-hal yang menakjubkan. Apa sebenarnya yang telah aku lihat ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menjelaskannya kepadamu.’
Kemudian mereka menjelaskan:
- Pria yang kepalanya dihantam batu hingga pecah: Itu adalah orang yang menerima Al-Qur’an, tetapi kemudian meninggalkannya dan tidak mengamalkannya, serta orang yang tidur meninggalkan shalat wajib.
- Pria yang sudut mulut, hidung, dan matanya dirobek hingga ke belakang kepala: Itu adalah orang yang ketika keluar dari rumahnya, ia berbohong dengan kebohongan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.
- Laki-laki dan perempuan telanjang di dalam tungku seperti tanur: Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan.
- Pria yang berenang di sungai dan diberi makan batu: Ia adalah pemakan riba.
- Pria yang berwajah buruk di dekat api, menyalakannya, dan berlari mengelilinginya: Ia adalah Malik, penjaga neraka Jahannam.
- Pria tinggi di taman yang indah: Ia adalah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
- Anak-anak yang berada di sekeliling Nabi Ibrahim: Mereka adalah semua anak yang meninggal dalam keadaan fitrah (kesucian). Dalam riwayat Al-Burqani disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak orang musyrik?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Mereka juga termasuk anak-anak yang berada dalam fitrah.”
- Kaum yang separuh tubuhnya tampak indah dan separuhnya tampak buruk: Mereka adalah orang-orang yang mencampuradukkan amal saleh dengan amal buruk. Allah telah memaafkan mereka.
(HR. Bukhari, no. 6640)
23. Karena maksiat munculnya berbagai kerusakan di muka bumi
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
الذُّنُوبُ تُحْدِثُ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ وَمِنْ آثَارِ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي: أَنَّهَا تُحْدِثُ فِي الْأَرْضِ أَنْوَاعًا مِنَ الْفَسَادِ فِي الْمِيَاهِ وَالْهَوَاءِ، وَالزَّرْعِ، وَالثِّمَارِ، وَالْمَسَاكِنِ، قَالَ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . قَالَ مُجَاهِدٌ: إِذَا وَلِيَ الظَّالِمُ سَعَى بِالظُّلْمِ وَالْفَسَادِ فَيَحْبِسُ اللَّهُ بِذَلِكَ الْقَطْرَ، فَيَهْلِكُ الْحَرْثُ وَالنَّسْلُ، وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ، ثُمَّ قَرَأَ: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [سُورَةُ الرُّومِ: ٤١] . ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ مَا هُوَ بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ جَارٍ فَهُوَ بَحْرٌ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ: بَحْرُكُمْ هَذَا، وَلَكِنْ كُلُّ قَرْيَةٍ عَلَى مَاءٍ. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَّا الْبَرُّ فَأَهْلُ الْعَمُودِ، وَأَمَّا الْبَحْرُ فَأَهْلُ الْقُرَى وَالرِّيفِ، قُلْتُ: وَقَدْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى الْمَاءَ الْعَذْبَ بَحْرًا، فَقَالَ: {وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٢] .
“Di antara akibat dari dosa dan kemaksiatan adalah munculnya berbagai bentuk kerusakan di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, maupun tempat tinggal. Allah Ta’ala berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)
Mujahid berkata: “Ketika seorang pemimpin yang zalim berkuasa, ia akan menyebarkan kezaliman dan kerusakan. Akibatnya, Allah menahan turunnya hujan, sehingga tanaman dan keturunan pun binasa. Allah tidak menyukai kerusakan.” Kemudian ia membaca firman Allah:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)
Setelah itu, Mujahid berkata: “Demi Allah, yang dimaksud laut di sini bukan hanya lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air yang mengalir juga disebut laut.”
Ikrimah berkata: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lautan kalian ini, tetapi setiap daerah yang berada di sekitar air.”
Qatadah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘darat’ adalah penduduk yang tinggal di daerah pegunungan dan padang pasir, sedangkan ‘laut’ adalah penduduk desa dan perkotaan.”
Aku (Ibnu Qayyim) berkata: *”Allah Ta’ala menyebut air tawar sebagai ‘laut’, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan tidaklah sama dua laut; yang satu tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit.”
(QS. Fatir: 12).”
وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ بَحْرٌ حُلْوٌ وَاقِفٌ، وَإِنَّمَا هِيَ الْأَنْهَارُ الْجَارِيَةُ، وَالْبَحْرُ الْمَالِحُ هُوَ السَّاكِنُ، فَسَمَّى الْقُرَى الَّتِي عَلَيْهَا الْمِيَاهُ الْجَارِيَةُ بِاسْمِ تِلْكَ الْمِيَاهِ. وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ} قَالَ: الذُّنُوبُ. قُلْتُ: أَرَادَ أَنَّ الذُّنُوبَ سَبَبُ الْفَسَادِ الَّذِي ظَهَرَ، وَإِنْ أَرَادَ أَنَّ الْفَسَادَ الَّذِي ظَهَرَ هُوَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَتَكُونُ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} لَامَ الْعَاقِبَةِ وَالتَّعْلِيلِ، وَعَلَى الْأَوَّلِ فَالْمُرَادُ بِالْفَسَادِ: النَّقْصُ وَالشَّرُّ وَالْآلَامُ الَّتِي يُحْدِثُهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ عِنْدَ مَعَاصِي الْعِبَادِ، فَكُلَّمَا أَحْدَثُوا ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَهُمْ عُقُوبَةً، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: كُلَّمَا أَحْدَثْتُمْ ذَنْبًا أَحْدَثَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ سُلْطَانِهِ عُقُوبَةً. وَالظَّاهِرُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ الْفَسَادَ الْمُرَادَ بِهِ الذُّنُوبُ وَمُوجِبَاتُهَا، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} فَهَذَا حَالُنَا، وَإِنَّمَا أَذَاقَنَا الشَّيْءَ الْيَسِيرَ مِنْ أَعْمَالِنَا، وَلَوْ أَذَاقَنَا كُلَّ أَعْمَالِنَا لَمَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ.
Di dunia ini, tidak ada laut tawar yang diam, melainkan hanya sungai-sungai yang mengalir. Sementara itu, laut yang asin adalah yang tetap tenang. Oleh karena itu, daerah-daerah yang berada di sekitar aliran air disebut dengan nama air tersebut.
Ibnu Zaid menafsirkan firman Allah:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” (QS. Ar-Rum: 41),
bahwa yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa-dosa.
Aku berkata: “Maksudnya adalah bahwa dosa merupakan penyebab munculnya berbagai kerusakan. Jika yang dimaksud adalah bahwa dosa itu sendiri merupakan bentuk kerusakan, maka huruf ‘ل’ dalam firman-Nya {لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا} bermakna akibat dan alasan. Dengan makna pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah kekurangan, keburukan, dan bencana yang Allah timpakan di bumi sebagai akibat dari maksiat yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada mereka, sebagaimana perkataan sebagian ulama salaf: ‘Setiap kali kalian melakukan dosa, Allah menimpakan hukuman kepada kalian melalui penguasa-Nya.’”
Yang tampak—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah dosa dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah:
“Agar Dia merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka.” (QS. Ar-Rum: 41)
Inilah kondisi kita. Allah hanya menimpakan kepada kita sebagian kecil dari akibat perbuatan kita. Jika Allah menimpakan seluruh akibat dari perbuatan kita, maka tidak akan ada satu pun makhluk yang tersisa di bumi ini.
24. Dosa sebagai penyebab berbagai bencana di muka bumi
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْ تَأْثِيرِ مَعَاصِي اللَّهِ فِي الْأَرْضِ مَا يَحِلُّ بِهَا مِنَ الْخَسْفِ وَالزَّلَازِلِ، وَيَمْحَقُ بَرَكَتَهَا، وَقَدْ «مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى دِيَارِ ثَمُودَ، فَمَنَعَهُمْ مِنْ دُخُولِ دِيَارِهِمْ إِلَّا وَهُمْ بَاكُونَ، وَمِنْ شُرْبِ مِيَاهِهِمْ، وَمِنَ الِاسْتِسْقَاءِ مِنْ آبَارِهِمْ، حَتَّى أَمَرَ أَنْ لَا يُعْلَفَ الْعَجِينُ الَّذِي عُجِنَ بِمِيَاهِهِمْ لِلنَّوَاضِحِ، لِتَأْثِيرِ شُؤْمِ الْمَعْصِيَةِ فِي الْمَاءِ،» وَكَذَلِكَ شُؤْمِ تَأْثِيرِ الذُّنُوبِ فِي نَقْصِ الثِّمَارِ وَمَا تَرَى بِهِ مِنَ الْآفَاتِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ قَالَ: وُجِدَتْ فِي خَزَائِنَ بَعْضِ بَنِي أُمَيَّةَ، حِنْطَةٌ، الْحَبَّةُ بِقَدْرِ نَوَاةِ التَّمْرَةِ، وَهِيَ فِي صُرَّةٍ مَكْتُوبٌ عَلَيْهَا: كَانَ هَذَا يَنْبُتُ فِي زَمَنٍ مِنَ الْعَدْلِ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ أَحْدَثَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا أَحْدَثَ الْعِبَادُ مِنَ الذُّنُوبِ. وَأَخْبَرَنِي جَمَاعَةٌ مِنْ شُيُوخِ الصَّحْرَاءِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَعْهَدُونَ الثِّمَارَ أَكْبَرَ مِمَّا هِيَ الْآنَ، وَكَثِيرٌ مِنْ هَذِهِ الْآفَاتِ الَّتِي تُصِيبُهَا لَمْ يَكُونُوا يَعْرِفُونَهَا، وَإِنَّمَا حَدَثَتْ مِنْ قُرْبٍ.
“Di antara dampak dari maksiat yang dilakukan manusia adalah terjadinya bencana di bumi, seperti tanah longsor dan gempa bumi, serta berkurangnya keberkahan.
Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ melewati perkampungan kaum Tsamud, lalu beliau melarang para sahabat untuk memasuki tempat tinggal mereka kecuali dalam keadaan menangis. Beliau juga melarang mereka meminum air dari sumur-sumur mereka atau menggunakan air itu untuk meminta hujan. Bahkan, beliau memerintahkan agar adonan yang telah dicampur dengan air mereka tidak diberikan kepada hewan ternak, karena air tersebut telah terkena dampak buruk akibat maksiat yang dilakukan oleh penduduknya.
Begitu pula dampak buruk dosa terhadap hasil panen dan buah-buahan, yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad-nya bahwa di salah satu perbendaharaan milik Bani Umayyah ditemukan sebutir gandum sebesar biji kurma. Gandum tersebut disimpan dalam sebuah kantong yang bertuliskan: “Dahulu, gandum sebesar ini tumbuh di zaman yang penuh dengan keadilan.” Banyak penyakit dan hama yang muncul akibat dosa-dosa yang dilakukan manusia.
Beberapa ulama dari daerah padang pasir mengisahkan bahwa mereka pernah melihat buah-buahan berukuran lebih besar daripada yang ada sekarang, serta tidak mengenal banyak hama dan penyakit yang kini menyerang tanaman. Semua itu baru terjadi belakangan akibat banyaknya dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.”
Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 100-101.
25. Dosa Berpengaruh pada Bentuk Fisik Manusia
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَأَمَّا تَأْثِيرُ الذُّنُوبِ فِي الصُّوَرِ وَالْخَلْقِ، فَقَدْ رَوَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ فِي السَّمَاءِ سِتُّونَ ذِرَاعًا، وَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ» . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ الْأَرْضَ مِنَ الظَّلَمَةِ وَالْخَوَنَةِ وَالْفَجَرَةِ، يُخْرِجُ عَبْدًا مِنْ عِبَادِهِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، وَيَقْتُلُ الْمَسِيحُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى،
“Dosa juga mempengaruhi bentuk fisik dan penciptaan manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Allah menciptakan Adam dengan tinggi enam puluh hasta di langit. Sejak saat itu, tinggi manusia terus berkurang hingga sekarang.”
Ketika Allah menghendaki untuk membersihkan bumi dari orang-orang zalim, pengkhianat, dan fasik, Dia akan mengutus seorang hamba-Nya dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Kemudian, Nabi Isa ‘alaihis salam akan membunuh orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga keadilan akan tegak di muka bumi.”
وَيُقِيمُ الدِّينَ الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ بِهِ رَسُولَهُ، وَتُخْرِجَ الْأَرْضُ بَرَكَاتِهَا، وَتَعُودُ كَمَا كَانَتْ، حَتَّى إِنَّ الْعِصَابَةَ مِنَ النَّاسِ لَيَأْكُلُونِ الرُّمَّانَةَ وَيَسْتَظِلُّونَ بِقِحْفِهَا، وَيَكُونُ الْعُنْقُودُ مِنَ الْعِنَبِ وَقْرَ بَعِيرٍ، وَلَبَنُ اللِّقْحَةِ الْوَاحِدَةِ لَتَكْفِي الْفِئَامَ مِنَ النَّاسِ، وَهَذِهِ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا طَهُرَتْ مِنَ الْمَعَاصِي ظَهَرَتْ فِيهَا آثَارُ الْبَرَكَةِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى الَّتِي مَحَقَتْهَا الذُّنُوبُ وَالْكُفْرُ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعُقُوبَاتِ الَّتِي أَنْزَلَهَا اللَّهُ فِي الْأَرْضِ بَقِيَتْ آثَارُهَا سَارِيَةً فِي الْأَرْضِ تَطْلُبُ مَا يُشَاكِلُهَا مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ آثَارُ تِلْكَ الْجَرَائِمِ الَّتِي عُذِّبَتْ بِهَا الْأُمَمُ، فَهَذِهِ الْآثَارُ فِي الْأَرْضِ مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْعُقُوبَاتِ، كَمَا أَنَّ هَذِهِ الْمَعَاصِي مِنْ آثَارِ تِلْكَ الْجَرَائِمِ، فَتَنَاسَبَتْ كَلِمَةُ اللَّهِ وَحُكْمَهُ الْكَوْنِيُّ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَكَانَ الْعَظِيمُ مِنَ الْعُقُوبَةِ لِلْعَظِيمِ مِنَ الْجِنَايَةِ، وَالْأَخَفُّ لِلْأَخَفِّ، وَهَكَذَا يَحْكُمُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ خَلْقِهِ فِي دَارِ الْبَرْزَخِ وَدَارِ الْجَزَاءِ.
وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.
Ketika agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tegak kembali, bumi akan mengeluarkan keberkahannya, dan dunia akan kembali seperti semula. Sampai-sampai sekelompok orang bisa makan dari satu buah delima dan bernaung di bawah kulitnya. Satu tandan anggur akan sebesar beban seekor unta, dan susu dari seekor unta betina akan cukup untuk memberi makan banyak orang.
Semua ini terjadi karena bumi telah disucikan dari dosa dan maksiat, sehingga keberkahan dari Allah kembali tampak, setelah sebelumnya terhapus oleh dosa dan kekufuran. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman yang Allah turunkan di bumi meninggalkan jejak yang masih terus berlangsung, menuntut akibat yang serupa dari dosa-dosa yang mirip dengan kejahatan yang menyebabkan umat-umat terdahulu dihancurkan.
Maka, jejak-jejak ini di bumi merupakan bekas dari hukuman-hukuman terdahulu, sebagaimana maksiat-maksiat yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari kejahatan sebelumnya. Dengan demikian, hukum Allah dan ketetapan-Nya tetap berlaku dari awal hingga akhir. Hukuman yang besar ditimpakan untuk kejahatan yang besar, sementara yang ringan untuk dosa yang lebih kecil. Demikianlah cara Allah menghakimi makhluk-Nya, baik di alam barzakh maupun di akhirat sebagai tempat pembalasan.
وَتَأَمَّلْ مُقَارَنَةَ الشَّيْطَانِ وَمَحِلَّهُ وَدَارَهُ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَارَنَ الْعَبْدَ وَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ عُمُرِهِ، وَعَمَلِهِ، وَقَوْلِهِ، وَرِزْقِهِ، وَلَمَّا أَثَّرَتْ طَاعَتُهُ فِي الْأَرْضِ مَا أَثَّرَتْ، وَنُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ كُلِّ مَحِلٍّ ظَهَرَتْ فِيهِ طَاعَتُهُ، وَكَذَلِكَ مَسَكْنُهُ لَمَّا كَانَ الْجَحِيمَ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَيْءٌ مِنَ الرُّوحِ وَالرَّحْمَةِ وَالْبَرَكَةِ.
Perhatikan bagaimana setan mempengaruhi kehidupan manusia. Ketika seseorang bersekutu dengannya dan dikuasai olehnya, maka keberkahan dalam umurnya, amal perbuatannya, perkataannya, dan rezekinya akan dicabut.
Begitu pula, ketika ketaatan kepada setan semakin meluas di bumi, keberkahan akan dicabut dari setiap tempat yang dipenuhi oleh kemaksiatan kepadanya. Karena itulah tempat tinggal setan adalah neraka Jahim, yang tidak mengandung sedikit pun ketenangan, kasih sayang, atau keberkahan.
Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 101-102.
26. Padamnya Api Kecemburuan yang Menjaga Hati
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُطْفِئُ مِنَ الْقَلْبِ نَارَ الْغَيْرَةِ الَّتِي هِيَ لِحَيَاتِهِ وَصَلَاحِهِ كَالْحَرَارَةِ الْغَرِيزِيَّةِ لِحَيَاةِ جَمِيعِ الْبَدَنِ، فَالْغَيْرَةُ حَرَارَتُهُ وَنَارُهُ الَّتِي تُخْرِجُ مَا فِيهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالصِّفَاتِ الْمَذْمُومَةِ، كَمَا يُخْرِجُ الْكِيرُ خُبْثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْحَدِيدِ، وَأَشْرَفُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ هِمَّةً أَشَدُّهُمْ غَيْرَةً عَلَى نَفْسِهِ وَخَاصَّتِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَغْيَرَ الْخَلْقِ عَلَى الْأُمَّةِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ أَشَدُّ غَيْرَةً مِنْهُ، كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي» .
وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَةِ الْكُسُوفِ: «يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ» .
وَفِي الصَّحِيحِ أَيْضًا عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ، وَلَا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ» .
“Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah padamnya api kecemburuan dalam hati, yang sejatinya memiliki peran penting bagi kehidupan dan kebaikan seseorang, sebagaimana panas alami yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh tubuh. Kecemburuan itu ibarat api yang membakar dan membersihkan hati dari keburukan serta sifat-sifat tercela, sebagaimana api yang digunakan untuk memurnikan emas, perak, dan besi dari kotorannya.
Orang yang paling mulia dan memiliki tekad yang tinggi adalah mereka yang paling besar rasa cemburunya terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan juga umat secara umum. Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling besar rasa cemburunya terhadap umatnya, sementara Allah Ta’ala memiliki kecemburuan yang lebih besar darinya. Dalam hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.”
Dalam hadits sahih lainnya, ketika berkhutbah saat gerhana matahari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika seorang hamba-Nya berzina atau seorang hamba perempuan-Nya berzina.”
Beliau juga bersabda dalam hadits sahih lainnya:
“Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Karena itu, Dia mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih menyukai alasan dan permintaan maaf daripada Allah, karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian selain Allah, maka Dia pun memuji diri-Nya sendiri.”
فَجَمَعَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيْنَ الْغَيْرَةِ الَّتِي أَصْلُهَا كَرَاهَةُ الْقَبَائِحِ وَبُغْضُهَا، وَبَيْنَ مَحَبَّةِ الْعُذْرِ الَّذِي يُوجِبُ كَمَالَ الْعَدْلِ وَالرَّحْمَةِ وَالْإِحْسَانِ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ – مَعَ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ – يُحِبُّ أَنْ يَعْتَذِرَ إِلَيْهِ عَبْدُهُ، وَيَقْبَلُ عُذْرَ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا يُؤَاخِذُ عَبِيدَهُ بِارْتِكَابِ مَا يَغَارُ مِنَ ارْتِكَابِهِ حَتَّى يَعْذُرَ إِلَيْهِمْ، وَلِأَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ إِعْذَارًا وَإِنْذَارًا، وَهَذَا غَايَةُ الْمَجْدِ وَالْإِحْسَانِ، وَنِهَايَةُ الْكَمَالِ.
فَإِنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ تَشْتَدُّ غَيْرَتُهُ مِنَ الْمَخْلُوقِينَ تَحْمِلُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ عَلَى سُرْعَةِ الْإِيقَاعِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ غَيْرِ إِعْذَارٍ مِنْهُ، وَمِنْ غَيْرِ قَبُولٍ لِعُذْرِ مَنِ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ، بَلْ يَكُونُ لَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ عُذْرٌ وَلَا تَدَعُهُ شِدَّةُ الْغَيْرَةِ أَنْ يَقْبَلَ عُذْرَهُ، وَكَثِيرٌ مِمَّنْ يَقْبَلُ الْمَعَاذِيرَ يَحْمِلُهُ عَلَى قَبُولِهَا قِلَّةُ الْغَيْرَةِ حَتَّى يَتَوَسَّعَ فِي طُرُقِ الْمَعَاذِيرِ، وَيَرَى عُذْرًا مَا لَيْسَ بِعُذْرٍ، حَتَّى يَعْتَذِرَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ بِالْقَدَرِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا غَيْرُ مَمْدُوحٍ عَلَى الْإِطْلَاقِ.
وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يَبْغَضُهَا اللَّهُ، فَالَّتِي يَبْغَضُهَا اللَّهُ الْغَيْرَةُ مِنْ غَيْرِ رِيبَةٍ» وَذَكَرَ الْحَدِيثِ.
وَإِنَّمَا الْمَمْدُوحُ اقْتِرَانُ الْغَيْرَةِ بِالْعُذْرِ، فَيَغَارُ فِي مَحِلِّ الْغَيْرَةِ، وَيَعْذُرُ فِي مَوْضِعِ الْعُذْرِ، وَمَنْ كَانَ هَكَذَا فَهُوَ الْمَمْدُوحُ حَقًّا.
وَلَمَّا جَمَعَ سُبْحَانَهُ صِفَاتِ الْكَمَالِ كُلَّهَا كَانَ أَحَقَّ بِالْمَدْحِ مِنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَلَا يَبْلُغُ أَحَدٌ أَنْ يَمْدَحَهُ كَمَا يَنْبَغِي لَهُ، بَلْ هُوَ كَمَا مَدَحَ نَفْسَهُ وَأَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ، فَالْغَيُورُ قَدْ وَافَقَ رَبَّهُ سُبْحَانَهُ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، وَمَنْ وَافَقَ اللَّهَ فِي صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ قَادَتْهُ تِلْكَ الصِّفَةُ إِلَيْهِ بِزِمَامِهِ، وَأَدْخَلَتْهُ عَلَى رَبِّهِ، وَأَدْنَتْهُ مِنْهُ، وَقَرَّبَتْهُ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَصَيَّرَتْهُ مَحْبُوبًا، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ رَحِيمٌ يُحِبُّ الرُّحَمَاءَ، كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ، عَلِيمٌ يُحِبُّ الْعُلَمَاءَ، قَوِيٌّ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْقَوِيَّ، وَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، حَتَّى يُحِبَّ أَهْلَ الْحَيَاءِ، جَمِيلٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْجَمَالِ، وَتْرٌ يُحِبُّ أَهْلَ الْوَتْرِ.
وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي إِلَّا أَنَّهَا تُوجِبُ لِصَاحِبِهَا ضِدَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَتَمْنَعُهُ مِنَ الِاتِّصَافِ بِهَا لَكَفَى بِهَا عُقُوبَةً، فَإِنَّ الْخَطْرَةَ تَنْقَلِبُ وَسْوَسَةً، وَالْوَسْوَسَةُ تَصِيرُ إِرَادَةً، وَالْإِرَادَةُ تَقْوَى فَتَصِيرُ عَزِيمَةً، ثُمَّ تَصِيرُ فِعْلًا، ثُمَّ تَصِيرُ صِفَةً لَازِمَةً وَهَيْئَةً ثَابِتَةً رَاسِخَةً، وَحِينَئِذٍ يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْهُمَا كَمَا يَتَعَذَّرُ الْخُرُوجُ مِنْ صِفَاتِهِ الْقَائِمَةِ بِهِ.
وَالْمَقْصُودُ أَنَّهُ كُلَّمَا اشْتَدَّتْ مُلَابَسَتُهُ لِلذُّنُوبِ أَخْرَجَتْ مِنْ قَلْبِهِ الْغَيْرَةَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَعُمُومِ النَّاسِ، وَقَدْ تَضْعُفُ فِي الْقَلْبِ جِدًّا حَتَّى لَا يَسْتَقْبِحَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقَبِيحَ لَا مِنْ نَفْسِهِ وَلَا مِنْ غَيْرِهِ، وَإِذَا وَصَلَ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَقَدْ دَخَلَ فِي بَابِ الْهَلَاكِ.
“Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara ghirah (rasa cemburu yang lahir dari kebencian terhadap keburukan dan kemaksiatan) dengan cinta terhadap permohonan maaf, yang merupakan bagian dari kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Allah Ta’ala, meskipun memiliki rasa cemburu yang sangat kuat, tetap mencintai hamba-Nya yang datang memohon ampunan dan menerima alasan mereka yang meminta maaf kepada-Nya. Dia tidak serta-merta menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang Dia murkai tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya sebagai bentuk peringatan dan pengingat bagi manusia. Ini adalah puncak keagungan, kasih sayang, dan kesempurnaan Ilahi.
Di antara manusia, banyak yang memiliki rasa ghirah yang sangat kuat, tetapi sering kali hal itu membuat mereka cepat bertindak keras dan menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menjelaskan atau meminta maaf. Terkadang, seseorang sebenarnya memiliki alasan yang bisa diterima, tetapi karena kuatnya kecemburuan, orang lain tidak mau menerimanya.
Sebaliknya, ada juga orang yang mudah menerima berbagai alasan dan permintaan maaf, tetapi hal ini sering kali terjadi karena kurangnya ghirah dalam dirinya. Akibatnya, mereka menjadi terlalu permisif terhadap kesalahan dan bahkan membenarkan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan, ada yang sampai menggunakan dalih takdir sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan buruk mereka. Kedua sikap ini—terlalu keras tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau terlalu lunak hingga membiarkan keburukan—bukanlah sikap yang terpuji secara mutlak.
Dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya ada rasa cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Yang dibenci Allah adalah kecemburuan tanpa alasan yang jelas.”
Sikap yang benar adalah menyeimbangkan antara ghirah dengan sikap memberi maaf. Seorang yang terpuji adalah yang cemburu dalam situasi yang memang layak untuk cemburu dan memaafkan di saat yang memang pantas untuk memaafkan. Barang siapa yang mampu menggabungkan keduanya, dialah yang benar-benar memiliki karakter mulia.
Karena Allah Ta’ala memiliki semua sifat kesempurnaan, maka Dia-lah yang paling layak untuk dipuji. Tidak ada satu makhluk pun yang mampu memuji-Nya sebagaimana mestinya, melainkan Dia-lah yang telah memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Orang yang memiliki ghirah sejati telah meneladani satu sifat dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang meneladani sifat-sifat Allah dalam batas yang diperbolehkan bagi manusia, maka sifat itu akan menuntunnya menuju Allah, mendekatkannya kepada-Nya, serta membawanya lebih dekat kepada rahmat-Nya.
Allah Ta’ala Maha Pengasih dan mencintai orang-orang yang penuh kasih sayang. Dia Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang dermawan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang berilmu. Dia Maha Kuat dan mencintai mukmin yang kuat, bahkan Dia lebih mencintai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah. Dia juga mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu, yang menyukai keindahan, serta yang menegakkan kebenaran.
Seandainya tidak ada akibat lain dari dosa selain membuat pelakunya kehilangan sifat-sifat mulia ini dan menghalanginya untuk meraihnya, maka itu sudah cukup menjadi hukuman berat bagi pelaku dosa.
Dosa bermula dari sebuah lintasan pikiran yang kemudian berubah menjadi bisikan. Bisikan itu lalu berkembang menjadi keinginan, yang jika dibiarkan akan semakin kuat hingga menjadi tekad bulat. Setelah itu, tekad tersebut berubah menjadi perbuatan nyata. Jika perbuatan itu terus dilakukan, lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat dalam diri seseorang, hingga akhirnya sulit untuk melepaskan diri darinya—sebagaimana sulitnya seseorang mengubah sifat bawaan yang telah mengakar dalam dirinya.
Oleh karena itu, semakin seseorang larut dalam dosa, semakin lemahlah ghirah dalam hatinya. Akibatnya, ia kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Rasa jijik terhadap keburukan pun semakin menipis hingga akhirnya ia tidak lagi menganggap sesuatu yang buruk sebagai keburukan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Jika seseorang sudah sampai pada tahap ini, maka ia telah berada di ambang kehancuran.”
وَكَثِيرٌ مِنْ هَؤُلَاءِ لَا يَقْتَصِرُ عَلَى عَدَمِ الِاسْتِقْبَاحِ، بَلْ يُحَسِّنُ الْفَوَاحِشَ وَالظُّلْمَ لِغَيْرِهِ، وَيُزَيِّنُهُ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ، وَيَحُثُّهُ عَلَيْهِ، وَيَسْعَى لَهُ فِي تَحْصِيلِهِ، وَلِهَذَا كَانَ الدَّيُّوثُ أَخْبَثَ خَلْقِ اللَّهِ، وَالْجَنَّةُ حَرَامٌ عَلَيْهِ، وَكَذَلِكَ مُحَلِّلُ الظُّلْمِ وَالْبَغْيِ لِغَيْرِهِ وَمُزَيِّنُهُ لَهُ، فَانْظُرْ مَا الَّذِي حَمَلَتْ عَلَيْهِ قِلَّةُ الْغَيْرَةِ.
وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الدِّينِ الْغَيْرَةُ، وَمَنْ لَا غَيْرَةَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ، فَالْغَيْرَةُ تَحْمِي الْقَلْبَ فَتَحْمِي لَهُ الْجَوَارِحَ، فَتَدْفَعُ السُّوءَ وَالْفَوَاحِشَ، وَعَدَمُ الْغَيْرَةِ تُمِيتُ الْقَلْبَ، فَتَمُوتُ لَهُ الْجَوَارِحُ؛ فَلَا يَبْقَى عِنْدَهَا دَفْعٌ الْبَتَّةَ.
وَمَثَلُ الْغَيْرَةِ فِي الْقَلْبِ مَثَلُ الْقُوَّةِ الَّتِي تَدْفَعُ الْمَرَضَ وَتُقَاوِمُهُ، فَإِذَا ذَهَبَتِ الْقُوَّةُ وَجَدَ الدَّاءُ الْمَحِلَّ قَابِلًا، وَلَمْ يَجِدْ دَافِعًا، فَتَمَكَّنَ، فَكَانَ الْهَلَاكُ، وَمِثْلُهَا مِثْلُ صَيَاصِيِّ الْجَامُوسِ الَّتِي تَدْفَعُ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ، فَإِذَا تَكَسَّرَتْ طَمِعَ فِيهَا عَدُوُّهُ.
“Banyak dari orang-orang yang kehilangan ghirah (rasa cemburu terhadap kehormatan dan kebaikan) tidak hanya berhenti pada sikap tidak membenci keburukan, tetapi bahkan mulai menganggap perbuatan keji dan kezaliman sebagai sesuatu yang baik. Mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah, mengajak orang lain untuk melakukannya, mendorong mereka, serta berusaha menciptakan kesempatan agar perbuatan tersebut dapat dilakukan.
Inilah sebabnya mengapa dayyuts—yaitu seseorang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap kehormatan keluarganya—disebut sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah. Surga diharamkan baginya. Hal yang sama berlaku bagi orang yang membolehkan kezaliman dan ketidakadilan terhadap orang lain, yang menghiasi keburukan agar tampak baik, serta mendorong orang lain untuk berbuat kezaliman. Semua ini berakar dari hilangnya ghirah dalam diri seseorang.
Dari sini, kita dapat memahami bahwa inti dari agama adalah ghirah. Barang siapa yang tidak memiliki ghirah, maka ia tidak memiliki agama yang sejati. Ghirah berperan sebagai pelindung hati, dan ketika hati terlindungi, maka anggota tubuh juga akan terjaga dari keburukan dan perbuatan keji. Sebaliknya, jika seseorang kehilangan ghirah, maka hatinya akan mati. Jika hati telah mati, maka seluruh anggota tubuh tidak lagi memiliki daya untuk menolak keburukan sama sekali.
Ghirah dalam hati dapat diibaratkan sebagai kekuatan dalam tubuh yang mampu melawan penyakit. Jika kekuatan ini hilang, maka penyakit akan dengan mudah masuk dan menguasai tubuh, hingga akhirnya menyebabkan kehancuran. Ghirah juga bisa disamakan dengan tanduk kerbau yang digunakannya untuk melindungi diri dan anak-anaknya. Jika tanduk itu patah, maka musuh akan mudah menyerangnya dan membuatnya tak berdaya.
Begitulah pentingnya ghirah dalam menjaga hati, agama, dan kehormatan seseorang. Jika ia hilang, maka kehancuran adalah sesuatu yang tak terhindarkan.”
Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 102-105.
Catatan:
Cemburu yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sekadar kecemburuan dalam hubungan romantis, melainkan ghirah (الغيرة), yaitu rasa cemburu yang lahir dari kehormatan, harga diri, dan penjagaan terhadap kebaikan serta kemurnian hati.
Dalam Islam, ghirah adalah sifat terpuji yang mendorong seseorang untuk menjaga dirinya, keluarganya, dan masyarakat dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan syariat. Ia berfungsi sebagai “api” yang membakar segala bentuk keburukan, baik dalam diri maupun lingkungan. Jika api ini padam akibat dosa, maka seseorang akan kehilangan kepeduliannya terhadap kemungkaran dan keburukan, sehingga kebejatan moral dapat merajalela.
Inilah sebabnya mengapa dalam hadis yang disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa tidak ada yang lebih memiliki ghirah dibandingkan Allah Ta’ala, sehingga Dia mengharamkan segala bentuk perbuatan keji dan dosa.
Ghirah atau cemburu dapat kita bagi jadi dua: (1) ghirah pada kebaikan artinya semangat berbuat baik, (2) ghirah dari dosa dan maksiat artinya benci berbuat dosa dan maksiat.
Baca juga: Tipe Suami yang Tidak Punya Rasa Cemburu
27. Maksiat Menghilangkan Rasa Malu
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: ذَهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَّةُ حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذَهَابُهُ ذَهَابُ الْخَيْرِ أَجْمَعِهِ.
وَفِي الصَّحِيحِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ» .
وَقَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ» وَفِيهِ تَفْسِيرَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ عَلَى التَّهْدِيدِ وَالْوَعِيدِ، وَالْمَعْنَى مَنْ لَمْ يَسْتَحِ فَإِنَّهُ يَصْنَعُ مَا شَاءَ مِنَ الْقَبَائِحِ، إِذِ الْحَامِلُ عَلَى تَرْكِهَا الْحَيَاءُ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَيَاءٌ يَرْدَعُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ، فَإِنَّهُ يُوَاقِعُهَا، وَهَذَا تَفْسِيرُ أَبِي عُبَيْدَةَ.
وَالثَّانِي: أَنَّ الْفِعْلَ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ مِنْهُ مِنَ اللَّهِ فَافْعَلْهُ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَنْبَغِي تَرْكُهُ هُوَ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ مِنَ اللَّهِ، وَهَذَا تَفْسِيرُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ هَانِئٍ.
فَعَلَى الْأَوَّلِ: يَكُونُ تَهْدِيدًا، كَقَوْلِهِ: {اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ} [سُورَةُ فُصِّلَتْ: ٤٠] .
وَعَلَى الثَّانِي: يَكُونُ إِذْنًا وَإِبَاحَةً.
فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ مِنْ سَبِيلٍ إِلَى حَمْلِهِ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ؟
Di antara hukuman akibat maksiat adalah hilangnya rasa malu, yang merupakan sumber kehidupan hati. Rasa malu adalah asal dari segala kebaikan, dan hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan.
Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ajaran kenabian terdahulu yang masih diketahui oleh manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.‘”
Hadits ini memiliki dua tafsiran:
- Sebagai ancaman dan peringatan. Maknanya, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan segala bentuk perbuatan buruk, karena rasa malulah yang menjadi penghalang seseorang dari perbuatan keji. Jika tidak ada rasa malu yang mencegahnya, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam keburukan. Ini adalah penafsiran dari Abu Ubaidah.
- Sebagai izin dan kebolehan. Artinya, jika suatu perbuatan tidak membuatmu malu kepada Allah, maka lakukanlah. Yang seharusnya ditinggalkan hanyalah perbuatan yang membuat seseorang malu di hadapan Allah. Ini adalah penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani’.
Berdasarkan tafsiran pertama, hadits ini berfungsi sebagai ancaman, sebagaimana firman Allah, “Berbuatlah sesuka kalian.” (QS. Fushshilat: 40)
Sedangkan berdasarkan tafsiran kedua, hadits ini merupakan izin dan kebolehan.
Kemudian muncul pertanyaan: Apakah mungkin hadits ini mencakup kedua makna tersebut sekaligus?
قُلْتُ: لَا، وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ يَحْمِلُ الْمُشْتَرَكَ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ، لِمَا بَيْنَ الْإِبَاحَةِ وَالتَّهْدِيدِ مِنَ الْمُنَافَاةِ، وَلَكِنَّ اعْتِبَارَ أَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ يُوجِبُ اعْتِبَارَ الْآخَرِ.
وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الذُّنُوبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ، حَتَّى رُبَّمَا انْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكُلِّيَّةِ، حَتَّى إِنَّهُ رُبَّمَا لَا يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوءِ حَالِهِ وَلَا بِاطِّلَاعِهِمْ عَلَيْهِ، بَلْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقُبْحِ مَا يَفْعَلُ، وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ انْسِلَاخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ، وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلَاحِهِ مَطْمَعٌ
وَإِذَا رَأَى إِبْلِيسُ طَلْعَةَ وَجْهِهِ … حَيَّا وَقَالَ: فَدَيْتُ مَنْ لَا يُفْلِحُ
وَالْحَيَاءُ مُشْتَقٌّ مِنَ الْحَيَاةِ، وَالْغَيْثُ يُسَمَّى حَيَا – بِالْقَصْرِ – لِأَنَّ بِهِ حَيَاةُ الْأَرْضِ وَالنَّبَاتِ وَالدَّوَابِّ، وَكَذَلِكَ سُمِّيَتْ بِالْحَيَاءِ حَيَاةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَمَنْ لَا حَيَاءَ فِيهِ فَهُوَ مَيِّتٌ فِي الدُّنْيَا شَقِيٌّ فِي الْآخِرَةِ، وَبَيْنَ الذُّنُوبِ وَبَيْنَ قِلَّةِ الْحَيَاءِ وَعَدَمِ الْغَيْرَةِ تَلَازُمٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، وَكُلٌّ مِنْهُمَا يَسْتَدْعِي الْآخَرَ وَيَطْلُبُهُ حَثِيثًا، وَمَنِ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ عِنْدَ مَعْصِيَتِهِ، اسْتَحَى اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنْ مَعْصِيَتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللَّهُ مِنْ عُقُوبَتِهِ.
Aku katakan, tidak, dan tidak pula menurut pendapat orang yang menganggap suatu lafaz musytarak (memiliki lebih dari satu makna) dapat mencakup semua maknanya sekaligus, karena terdapat kontradiksi antara makna kebolehan dan ancaman. Namun, mempertimbangkan salah satu makna mengharuskan adanya pertimbangan terhadap makna lainnya.
Tujuan utama dari pembahasan ini adalah bahwa dosa dapat melemahkan rasa malu seseorang hingga bisa jadi ia benar-benar kehilangan rasa malu sama sekali. Bahkan, seseorang bisa sampai pada kondisi di mana ia tidak lagi terpengaruh oleh pengetahuan orang lain tentang keburukannya, atau merasa terganggu jika orang lain mengetahuinya. Bahkan, banyak di antara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keadaan mereka dan keburukan yang mereka lakukan. Penyebab utama dari hal ini adalah hilangnya rasa malu dalam dirinya.
Ketika seseorang telah mencapai kondisi ini, tidak ada lagi harapan untuk perbaikannya. Iblis pun, ketika melihat wajah orang seperti ini, menyambutnya dan berkata, “Aku rela berkorban demi orang yang pasti tidak akan beruntung.”
Rasa malu berasal dari kehidupan. Hujan disebut ḥayā (kehidupan) karena dengannya tanah, tumbuhan, dan hewan menjadi hidup. Demikian pula, kehidupan dunia dan akhirat dinamakan dengan ḥayāʾ (rasa malu), karena ia merupakan sumber kehidupan yang sejati. Barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka ia seperti orang yang mati di dunia dan celaka di akhirat.
Terdapat hubungan erat antara dosa dengan hilangnya rasa malu dan tidak adanya rasa cemburu (ghīrah). Keduanya saling mendukung dan saling memperkuat satu sama lain. Barang siapa yang merasa malu kepada Allah saat berbuat maksiat, maka Allah pun akan malu untuk menghukumnya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak malu ketika bermaksiat, maka Allah tidak akan malu untuk menghukumnya.
Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 105-107.
Catatan:
Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234.
Bagaimana memupuk sifat malu?
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam.
Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156.
Baca juga: Keutamaan Memiliki Sifat Malu
28. Dosa Melemahkan Rasa Pengagungan kepada Allah
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
الْمَعَاصِي تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُضْعِفُ فِي الْقَلْبِ تَعْظِيمَ الرَّبِّ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتُضْعِفُ وَقَارَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ وَلَا بُدَّ، شَاءَ أَمْ أَبَى، وَلَوْ تَمَكَّنَ وَقَارُ اللَّهِ وَعَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ لَمَا تَجَرَّأَ عَلَى مَعَاصِيهِ، وَرُبَّمَا اغْتَرَّ الْمُغْتَرُّ، وَقَالَ: إِنَّمَا يَحْمِلُنِي عَلَى الْمَعَاصِي حُسْنُ الرَّجَاءِ، وَطَمَعِي فِي عَفْوِهِ، لَا ضَعْفُ عَظْمَتِهِ فِي قَلْبِي، وَهَذَا مِنْ مُغَالَطَةِ النَّفْسِ؛ فَإِنَّ عَظَمَةَ اللَّهِ تَعَالَى وَجَلَالَهُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ تَقْتَضِي تَعْظِيمَ حُرُمَاتِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَجَرِّئُونَ عَلَى مَعَاصِيهِ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ، وَكَيْفَ يَقْدِرُهُ حَقَّ قَدْرِهِ، أَوْ يُعَظِّمُهُ وَيُكَبِّرُهُ، وَيَرْجُو وَقَارَهُ وَيُجِلُّهُ، مَنْ يَهُونُ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ؟ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، وَأَبَيْنِ الْبَاطِلِ، وَكَفَى بِالْعَاصِي عُقُوبَةً أَنْ يَضْمَحِلَّ مِنْ قَلْبِهِ تَعْظِيمُ اللَّهِ جَلَّ جَلَالُهُ، وَتَعْظِيمُ حُرُمَاتِهِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّهُ. وَمِنْ بَعْضِ عُقُوبَةِ هَذَا: أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَهَابَتَهُ مِنْ قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَيَهُونُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْتَخِفُّونَ بِهِ، كَمَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهُ وَاسْتَخَفَّ بِهِ، فَعَلَى قَدْرِ مَحَبَّةِ الْعَبْدِ لِلَّهِ يُحِبُّهُ النَّاسُ، وَعَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنَ اللَّهِ يَخَافُهُ الْخَلْقُ، وَعَلَى قَدْرِ تَعْظِيمِهِ لِلَّهِ وَحُرُمَاتِهِ يُعَظِّمُهُ النَّاسُ، وَكَيْفَ يَنْتَهِكُ عَبْدٌ حُرُمَاتِ اللَّهِ، وَيَطْمَعُ أَنْ لَا يَنْتَهِكَ النَّاسُ حُرُمَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَهُونُ عَلَيْهِ حَقُّ اللَّهِ وَلَا يُهَوِّنُهُ اللَّهُ عَلَى النَّاسِ؟ أَمْ كَيْفَ يَسْتَخِفُّ بِمَعَاصِي اللَّهِ وَلَا يَسْتَخِفُّ بِهِ الْخَلْقُ؟
Salah satu akibat dari perbuatan dosa adalah melemahnya rasa pengagungan kepada Allah Ta’ala dalam hati seseorang. Dosa juga mengurangi rasa hormat dan kewibawaan Allah di dalam hati seorang hamba, baik ia menyadarinya atau tidak, suka maupun tidak suka.
Seandainya keagungan dan kebesaran Allah benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, tentu ia tidak akan berani bermaksiat kepada-Nya. Namun, ada orang yang tertipu oleh dirinya sendiri, lalu berkata:
“Aku berbuat dosa bukan karena kurangnya rasa pengagungan kepada Allah di hatiku, melainkan karena aku memiliki harapan yang besar terhadap rahmat dan ampunan-Nya.”
Pernyataan semacam ini adalah bentuk penipuan diri sendiri. Sebab, jika seseorang benar-benar mengagungkan Allah Ta’ala dan memahami kebesaran-Nya, maka ia akan menjaga larangan-larangan-Nya. Rasa penghormatan terhadap aturan Allah inilah yang akan mencegahnya dari berbuat dosa.
Orang-orang yang berani bermaksiat kepada Allah sejatinya tidak memahami kebesaran-Nya sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar mengagungkan dan menghormati-Nya, serta berharap mendapatkan wibawa dan kemuliaan-Nya, tetapi di saat yang sama justru meremehkan perintah dan larangan-Nya? Ini adalah hal yang mustahil dan merupakan kebatilan yang nyata.
Cukuplah sebagai hukuman bagi seorang pendosa, jika dalam hatinya semakin luntur rasa pengagungan kepada Allah dan kehormatan terhadap larangan-larangan-Nya, sehingga hak Allah menjadi remeh baginya.
Di antara bentuk hukuman lainnya, Allah Ta’ala akan mencabut kewibawaan orang tersebut dari hati manusia. Akibatnya, ia menjadi hina di mata mereka, diremehkan, dan diperlakukan dengan rendah, sebagaimana ia sendiri telah meremehkan perintah Allah.
Sejauh mana seseorang mencintai Allah, maka sejauh itu pula manusia akan mencintainya. Sejauh mana ia takut kepada Allah, sejauh itu pula manusia akan merasa segan kepadanya. Dan sejauh mana ia mengagungkan Allah dan larangan-larangan-Nya, sejauh itu pula manusia akan menghormatinya.
Bagaimana mungkin seseorang melanggar larangan Allah tetapi berharap agar kehormatannya tetap terjaga di mata manusia? Bagaimana mungkin ia meremehkan hak Allah, tetapi mengira bahwa Allah tidak akan menjadikannya hina di hadapan manusia? Dan bagaimana mungkin ia menganggap enteng maksiat kepada Allah, tetapi berharap manusia tetap menghormatinya?
Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 107-108.
29. Dosa Membuat Seseorang Ditinggalkan oleh Allah
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْ عُقُوبَاتِهَا: أَنَّهَا تَسْتَدْعِي نِسْيَانَ اللَّهِ لِعَبْدِهِ، وَتَرْكَهُ وَتَخْلِيَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ وَشَيْطَانِهِ، وَهُنَالِكَ الْهَلَاكُ الَّذِي لَا يُرْجَىٰ مَعَهُ نَجَاةٌ، قَالَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [سورة الحشر: 18-19].
فَأَمَرَ بِتَقْوَاهُ وَنَهَىٰ أَنْ يَتَشَبَّهَ عِبَادُهُ الْمُؤْمِنُونَ بِمَنْ نَسِيَهُ بِتَرْكِ تَقْوَاهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ عَاقَبَ مَنْ تَرَكَ التَّقْوَىٰ بِأَنْ أَنْسَاهُ نَفْسَهُ، أَيْ أَنْسَاهُ مَصَالِحَهَا، وَمَا يُنَجِّيهَا مِنْ عَذَابِهِ، وَمَا يُوجِبُ لَهُ الْحَيَاةَ الْأَبَدِيَّةَ، وَكَمَالَ لَذَّتِهَا وَسُرُورِهَا وَنَعِيمِهَا، فَأَنْسَاهُ اللَّهُ ذَٰلِكَ كُلَّهُ جَزَاءً لِمَا نَسِيَهُ مِنْ عَظَمَتِهِ وَخَوْفِهِ، وَالْقِيَامِ بِأَمْرِهِ، فَتَرَى الْعَاصِيَ مُهْمِلًا لِمَصَالِحِ نَفْسِهِ مُضَيِّعًا لَهَا، قَدْ أَغْفَلَ اللَّهُ قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِهِ، وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا، قَدِ انْفَرَطَتْ عَلَيْهِ مَصَالِحُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتِهِ، وَقَدْ فَرَّطَ فِي سَعَادَتِهِ الْأَبَدِيَّةِ، وَاسْتَبْدَلَ بِهَا أَدْنَىٰ مَا يَكُونُ مِنْ لَذَّةٍ، إِنَّمَا هِيَ سَحَابَةُ صَيْفٍ، أَوْ خَيَالُ طَيْفٍ كَمَا قِيلَ:
أَحْلَامُ نَوْمٍ أَوْ كَظِلٍّ زَائِلٍ ۞ إِنَّ اللَّبِيبَ بِمِثْلِهَا لَا يُخْدَعُ
وَأَعْظَمُ الْعُقُوبَاتِ نِسْيَانُ الْعَبْدِ لِنَفْسِهِ، وَإِهْمَالُهَا لَهَا، وَإِضَاعَتُهُ حَظَّهَا وَنَصِيبَهَا مِنَ اللَّهِ، وَبَيْعُهَا ذَٰلِكَ بِالْغَبْنِ وَالْهَوَانِ وَأَبْخَسِ الثَّمَنِ، فَضَيَّعَ مَنْ لَا غِنَىٰ لَهُ عَنْهُ، وَلَا عِوَضَ لَهُ مِنْهُ، وَاسْتَبْدَلَ بِهِ مَنْ عَنْهُ كُلُّ الْغِنَىٰ أَوْ مِنْهُ كُلُّ الْعِوَضِ:
مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِذَا ضَيَّعْتَهُ عِوَضٌ ۞ وَمَا مِنَ اللَّهِ إِنْ ضَيَّعْتَ مِنْ عِوَضِ
فَاللَّهُ سُبْحَانَهُ يُعَوِّضُ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ مَا سِوَاهُ وَلَا يُعَوِّضُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيُغْنِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْءٌ، وَيُجِيرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُجِيرُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَيَمْنَعُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْهُ شَيْءٌ، فَكَيْفَ يَسْتَغْنِي الْعَبْدُ عَنْ طَاعَةِ مَنْ هَٰذَا شَأْنُهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ؟ وَكَيْفَ يَنْسَىٰ ذِكْرَهُ وَيُضَيِّعُ أَمْرَهُ حَتَّىٰ يُنْسِيَهُ نَفْسَهُ، فَيَخْسَرَهَا وَيَظْلِمَهَا أَعْظَمَ الظُّلْمِ؟ فَمَا ظَلَمَ الْعَبْدُ رَبَّهُ وَلَٰكِنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ، وَمَا ظَلَمَهُ رَبُّهُ وَلَٰكِنْ هُوَ الَّذِي ظَلَمَ نَفْسَ
Di antara hukuman dari dosa adalah bahwa dosa menyebabkan seseorang dilupakan oleh Allah, membuatnya ditinggalkan dan dibiarkan sendirian bersama dirinya sendiri dan setannya. Dalam keadaan seperti itu, kebinasaan akan datang tanpa harapan keselamatan. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19)
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya dan melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang yang melupakan-Nya dengan meninggalkan ketakwaan. Allah juga menjelaskan bahwa Dia menghukum mereka yang meninggalkan ketakwaan dengan menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka lupa akan kepentingan mereka, hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari azab-Nya, serta hal-hal yang dapat memberikan kehidupan abadi, kebahagiaan sempurna, dan kenikmatan yang hakiki. Allah melupakan mereka sebagai balasan karena mereka telah melupakan keagungan-Nya, rasa takut kepada-Nya, dan kewajiban untuk menaati perintah-Nya.
Akibatnya, seorang pendosa akan mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan menyia-nyiakannya. Hatinya lalai dari mengingat Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tindakannya pun menjadi sia-sia. Ia telah mengabaikan kepentingan dunia dan akhiratnya, serta menyia-nyiakan kebahagiaannya yang abadi demi kenikmatan yang paling rendah, yang hanya seperti awan musim panas atau bayangan yang cepat berlalu, sebagaimana dikatakan:
“Mimpi di waktu tidur atau seperti bayangan yang cepat hilang, sesungguhnya orang yang bijak tidak akan tertipu oleh hal-hal semacam itu.”
Hukuman terbesar adalah ketika seseorang melupakan dirinya sendiri, mengabaikannya, dan menyia-nyiakan hak dan bagian dirinya dari Allah. Ia menjualnya dengan kerugian besar, kehinaan, dan harga yang sangat murah. Ia menyia-nyiakan sesuatu yang tidak dapat ia hidup tanpanya, sesuatu yang tidak dapat tergantikan, dan ia menukar-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat mencukupi atau menggantikan-Nya:
“Segala sesuatu yang hilang dapat digantikan, tetapi jika engkau kehilangan Allah, maka tiada penggantinya.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menggantikan segala sesuatu selain diri-Nya, tetapi tidak ada yang dapat menggantikan-Nya. Dia dapat mencukupi segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencukupi selain Dia. Dia melindungi dari segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari-Nya. Dia dapat mencegah segala sesuatu, tetapi tidak ada yang dapat mencegah dari-Nya.
Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasa cukup tanpa ketaatan kepada-Nya walau hanya sekejap mata? Bagaimana mungkin ia melupakan-Nya dan mengabaikan perintah-Nya sehingga ia akhirnya melupakan dirinya sendiri, merugikan dirinya, dan menzalimi dirinya dengan kezaliman yang paling besar? Sesungguhnya, hamba itu tidak menzalimi Tuhannya, tetapi ia menzalimi dirinya sendiri. Allah tidak menzaliminya, melainkan dialah yang menzalimi dirinya sendiri.
Masih bersambung Insya-Allah …
–
Ditulis pada Rabu pagi, 5 Ramadhan 1446 H, 5 Maret 2025 di Darush Sholihin
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
masha Allah..
syukran jazaakallah khair ust
Masya allah
Masyaallah, barakallahu fiikum ustadz