Penutup Surah Al-Kahfi: Peringatan Keras dan Janji Mulia dari Allah
Surah Al-Kahfi dikenal memiliki banyak pelajaran mendalam, termasuk pada sepuluh ayat penutupnya yang sarat peringatan dan janji. Allah menegur orang-orang yang menyekutukan-Nya dan mengingatkan keterbatasan makhluk sebagai pelindung selain Dia. Di sisi lain, ayat-ayat ini juga menyampaikan kabar gembira bagi hamba yang ikhlas dan berharap perjumpaan dengan-Nya. Melalui tafsir ayat 102–110 ini, kita diajak untuk menata iman, amal, dan tujuan hidup. Inilah pesan abadi dari penutup Surah Al-Kahfi yang perlu direnungkan setiap jiwa.
QS. Al-Kahfi ayat 102
أَفَحَسِبَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَن يَتَّخِذُوا۟ عِبَادِى مِن دُونِىٓ أَوْلِيَآءَ ۚ إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَٰفِرِينَ نُزُلًا
“Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Kahfi: 102)
Penjelasan Ayat
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan:
Allah menegur orang-orang kafir dengan gaya bertanya yang menyiratkan kecaman dan penolakan keras terhadap anggapan mereka yang secara akal sehat jelas batil. Firman-Nya:
﴿أَفَحَسِبَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ يَتَّخِذُوا عِبَادِي مِنْ دُونِي أَوْلِيَاءَ﴾
“Maka apakah orang-orang kafir mengira bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku?” (QS. Al-Kahfi: 102)
Maknanya: tidak mungkin hal itu terjadi. Tidak mungkin seorang wali Allah berpihak kepada musuh-musuh Allah. Sebab, para wali Allah selalu sejalan dengan apa yang Allah cintai dan ridhai, dan mereka pun membenci apa yang Allah murkai. Dalam hal ini, ayat tersebut memiliki makna yang serupa dengan firman Allah:
﴿وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا ثُمَّ يَقُولُ لِلْمَلَائِكَةِ أَهَٰؤُلَاءِ إِيَّاكُمْ كَانُوا يَعْبُدُونَ قَالُوا سُبْحَانَكَ أَنتَ وَلِيُّنَا مِن دُونِهِمْۖ بَلْ كَانُوا يَعْبُدُونَ ٱلْجِنَّۖ أَكْثَرُهُم بِهِم مُّؤْمِنُونَ﴾
“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Dia mengumpulkan mereka semuanya, kemudian Dia berfirman kepada para malaikat, ‘Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?’ Mereka (para malaikat) menjawab, ‘Mahasuci Engkau! Engkaulah Pelindung kami, bukan mereka. Bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.'” (QS. Saba’: 40–41)
Dengan demikian, siapa pun yang mengaku menjadikan wali Allah sebagai sekutunya, padahal dirinya memusuhi Allah, maka ia pendusta.
Namun bisa juga dimaknai—dan ini yang lebih tampak—bahwa maksud ayat di atas adalah: Apakah orang-orang kafir yang memusuhi Allah dan para rasul-Nya mengira bahwa mereka bisa menjadikan selain Allah sebagai pelindung, penolong, dan penyelamat? Apakah mereka berpikir bahwa ada makhluk yang mampu memberi manfaat, menolak bahaya, atau menyelamatkan mereka dari azab?
Itu adalah prasangka yang batil dan harapan yang sia-sia. Seluruh makhluk—tanpa terkecuali—tidak memiliki kekuasaan apa pun untuk memberi manfaat atau menolak mudarat. Ini sebagaimana ditegaskan dalam ayat lain:
﴿قُلِ ٱدْعُوا۟ ٱلَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِۦ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ ٱلضُّرِّ عَنكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا﴾
“Katakanlah (Muhammad), ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sebagai sembahan) selain Allah!’ Mereka tidak memiliki kekuasaan untuk menghilangkan kesusahan darimu dan tidak (pula) memindahkannya.” (QS. Al-Isra’: 56)
﴿وَلَا يَمْلِكُ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ ٱلشَّفَٰعَةَ﴾
“Dan mereka yang menyeru (sembahan-sembahan) selain Allah itu tidak mempunyai kuasa memberi syafaat.” (QS. Az-Zukhruf: 86)
Ayat-ayat seperti ini menunjukkan bahwa siapa pun yang mengambil wali selain Allah sebagai penolong dan pelindung, maka ia berada dalam kesesatan. Harapannya hampa, dan usahanya sia-sia—ia tidak akan memperoleh apa pun dari yang ia cari.
Sebagai penutup peringatan, Allah berfirman:
﴿إِنَّآ أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَٰفِرِينَ نُزُلًا﴾
“Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Kahfi: 102)
Dalam bahasa Arab, kata nuzul berarti jamuan atau sajian bagi tamu. Maka, neraka Jahanam disebut sebagai “jamuan” bagi mereka yang kufur kepada Allah. Alangkah buruknya jamuan itu! Sungguh celaka orang yang menyambut “pembukaan” seperti itu di akhirat—tidak berupa kenikmatan, tapi azab yang pedih.
QS. Al-Kahfi ayat 103
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” (QS. Al-Kahfi: 103)
Penjelasan Ayat
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan:
Artinya: Katakanlah, wahai Muhammad, kepada manusia—dengan nada peringatan dan peringatan keras—“Maukah kalian aku beritahu siapa orang yang paling merugi amal perbuatannya?”
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini dalam kitab tafsirnya:
Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya: Muhammad bin Basyar berkata kepada kami, Muhammad bin Ja‘far meriwayatkan dari Syu‘bah, dari ‘Amr, dari Mush‘ab yang berkata:
Aku pernah bertanya kepada ayahku—yakni Sa‘d bin Abi Waqqash—tentang firman Allah:
﴿قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا﴾
“Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?'” (QS. Al-Kahfi: 103)
Apakah mereka itu kaum Haruriyyah (yakni golongan Khawarij)?
Sa‘d menjawab: “Bukan. Mereka itu adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi telah mendustakan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara orang Nasrani mengingkari surga, dan berkata bahwa di dalamnya tidak ada makanan dan minuman.”
Adapun kaum Haruriyyah—yakni Khawarij—mereka adalah kelompok yang mengingkari perjanjian Allah setelah adanya ikatan dan janji. Karena itulah, Sa‘d radhiyallahu ‘anhu biasa menyebut mereka sebagai “orang-orang fasik.”
Sementara Ali bin Abi Thalib, Adh-Dhahhak, dan sejumlah ulama lainnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang yang paling merugi amalnya” adalah kaum Haruriyyah.
Namun, maksud dari perkataan Ali radhiyallahu ‘anhu bukanlah membatasi ayat hanya untuk Khawarij saja, begitu juga tidak membatasinya hanya untuk Yahudi dan Nasrani. Ayat ini memiliki cakupan makna yang lebih luas. Ia tidak turun secara khusus hanya kepada satu kelompok tertentu. Ayat ini diturunkan di Makkah, jauh sebelum dialog langsung dengan Yahudi dan Nasrani terjadi, dan sebelum munculnya kelompok Khawarij itu sendiri.
Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan perkataannya:
وَإِنَّمَا هِيَ عَامَّةٌ فِي كُلِّ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ عَلَىٰ غَيْرِ طَرِيقَةٍ مَرْضِيَّةٍ يَحْسَبُ أَنَّهُ مُصِيبٌ فِيهَا، وَأَنَّ عَمَلَهُ مَقْبُولٌ، وَهُوَ مُخْطِئٌ، وَعَمَلُهُ مَرْدُودٌ.
Makna ayat ini bersifat umum, mencakup siapa pun yang menyembah Allah di atas dasar yang tidak diridhai-Nya. Mereka menyangka telah berbuat kebaikan dan amalnya diterima, padahal sejatinya mereka keliru, dan amal mereka tertolak.
Seperti firman Allah dalam surat Al-Ghāsyiyah:
﴿وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَىٰ نَارًا حَامِيَةً﴾
“Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk terhina. Bekerja keras lagi kepayahan. Mereka memasuki api yang sangat panas.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 2–4)
Atau dalam firman-Nya:
﴿وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَـٰهُ هَبَآءًۭ مَّنثُورًۭا﴾
“Dan Kami perlihatkan segala amal yang telah mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Juga dalam surat An-Nur:
﴿وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَعْمَـٰلُهُمْ كَسَرَابٍۢ بِقِيعَةٍۢ يَحْسَبُهُ ٱلظَّمْـَٔانُ مَآءًۭ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَهُۥ لَمْ يَجِدْهُ شَيْـًٔا﴾
“Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka itu seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang kehausan, tetapi ketika didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun.” (QS. An-Nur: 39)
Demikian penjelasan Ibnu Katsir.
Kesimpulan: Semua pembahan ini mengandung pesan yang sama: betapa banyak orang yang menyangka amalnya besar dan diterima, padahal semua itu sirna, kosong, dan tidak bernilai di sisi Allah. Bisa karena niatnya rusak, caranya tidak sesuai petunjuk Rasul, atau akidahnya menyimpang.
QS. Al-Kahfi ayat 104
ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 104)
Penjelasan Ayat
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan:
Segala upaya dan amal yang mereka lakukan di dunia menjadi sia-sia dan lenyap tanpa bekas. Mereka menyangka bahwa yang mereka kerjakan itu adalah kebaikan, padahal bagaimana mungkin dengan amal-amal yang mereka yakini benar saja ternyata batil di sisi Allah, apalagi dengan perbuatan yang jelas-jelas mereka ketahui salah—yang merupakan bentuk permusuhan kepada Allah dan para rasul-Nya?
Merekalah orang-orang yang rugi besar, sehingga:
فَخَسِرُوا۟ أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ
“Lalu mereka merugikan diri sendiri dan keluarga mereka pada Hari Kiamat. Ingatlah, itulah kerugian yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 15)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
Kemudian Allah menjelaskan mereka, yaitu firman-Nya:
ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا
Maksudnya: mereka melakukan amal-amal yang batil, tidak sesuai syariat yang sah, tidak diridai, dan tidak diterima oleh Allah.
وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Maksudnya: mereka meyakini bahwa mereka berada di atas kebenaran, dan merasa bahwa amal mereka diterima serta mereka dicintai oleh Allah.
QS. Al-Kahfi ayat 105
أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَآئِهِۦ فَحَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَزْنًا
“Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 105)
Penjelasan Ayat
Syaikh As-Sa’di rahimnahullah berkata:
Maksudnya, mereka mengingkari ayat-ayat Al-Qur’an maupun ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta) yang jelas menunjukkan wajibnya beriman kepada Allah, malaikat-Nya, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari akhir.
“Maka gugurlah seluruh amal mereka, dan Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat.”
Sebab fungsi timbangan pada hari Kiamat adalah untuk menimbang amal baik dengan amal buruk, lalu ditentukan mana yang lebih berat. Adapun orang-orang kafir, mereka tidak memiliki amal kebaikan yang sah, karena syarat utamanya adalah iman. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا
“Barang siapa beramal saleh dalam keadaan beriman, maka ia tidak akan takut dizalimi dan tidak akan dirugikan.” (QS. Ṭāhā: 112)
Amal orang kafir memang tetap dicatat dan dihitung. Mereka akan ditunjukkan amal-amal itu di hadapan khalayak ramai, agar semakin dipermalukan. Setelah itu, mereka pun disiksa karenanya.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
Maksudnya, mereka mengingkari ayat-ayat Allah di dunia, menolak bukti-bukti yang Allah tegakkan tentang keesaan-Nya, mendustakan kebenaran para rasul-Nya, dan mengingkari adanya negeri akhirat.
“Maka Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat.”
Artinya, timbangan amal mereka tidak bernilai karena kosong dari kebaikan.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda,
إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ
“Sungguh, akan datang seseorang pada hari Kiamat, tubuhnya besar dan gemuk, tetapi di sisi Allah ia tidak lebih berat dari sayap seekor nyamuk.”
Lalu Rasulullah ﷺ bersabda,
اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ
فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا
“Bacalah jika kalian mau: { Maka Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat }.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ bersabda,
يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْأَكُولِ الشَّرُوبِ الْعَظِيمِ، فَيُوزَنُ بِحَبَّةٍ فَلَا يَزِنُهَا
“Akan didatangkan seorang lelaki yang gemar makan, banyak minum, dan bertubuh besar, lalu ditimbang dengan sebutir biji saja, namun ia tidak sebanding dengannya.” (HR. Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim)
Ada pula kisah dari Buraidah radhiyallāhu ‘anhu, beliau berkata, “Suatu hari kami sedang bersama Rasulullah ﷺ, lalu datang seorang lelaki Quraisy berjalan dengan sombong dalam pakaian indahnya. Ketika berdiri di hadapan Nabi ﷺ, beliau bersabda:
يَا بُرَيْدَةُ، هَذَا مِمَّنْ لَا يُقِيمُ اللَّهُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا
“Wahai Buraidah, orang ini termasuk dari golongan yang pada hari Kiamat, Allah tidak akan menimbangnya sedikit pun.” (HR. al-Bazzar)
Bahkan, Ka‘ab rahimahullāh mengatakan, “Kelak pada hari Kiamat, akan didatangkan seorang lelaki yang tubuhnya tinggi dan besar, namun di sisi Allah ia tidak lebih berat dari sayap seekor nyamuk. Bacalah ayat:
فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَـٰمَةِ وَزْنًۭا
‘Maka Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka di hari Kiamat’.”
Kesimpulan menarik yang bisa kita ambil dari penjelasan Ibnu Katsir di atas adalah:
1. Nilai manusia di sisi Allah tidak ditentukan oleh fisik dan penampilan.
Meski tubuh besar, gagah, atau penampilan duniawinya megah, jika ia kafir atau sombong, maka di akhirat ia tidak bernilai sama sekali, bahkan tidak seberat sayap nyamuk.
2. Amal tanpa iman tidak punya bobot.
Semua amal kebaikan orang kafir akan gugur karena syarat diterimanya amal adalah iman. Tanpa iman, amal hanya jadi catatan untuk mempermalukan mereka di hadapan khalayak, bukan untuk menyelamatkan.
3. Kesombongan meruntuhkan harga diri di sisi Allah.
Riwayat tentang lelaki Quraisy yang berjalan dengan congkak menunjukkan bahwa sifat sombong bisa membuat seseorang tidak bernilai di hadapan Allah pada hari Kiamat.
4. Yang bernilai adalah hati dan iman.
Bukan gemuk badan, bukan baju indah, bukan status sosial. Yang membuat timbangan amal seseorang berat hanyalah keimanan dan amal saleh yang tulus.
QS. Al-Kahfi ayat 106
ذَٰلِكَ جَزَآؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا۟ وَٱتَّخَذُوٓا۟ ءَايَٰتِى وَرُسُلِى هُزُوًا
“Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.” (QS. Al-Kahfi: 106)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan, maksud ayat ini adalah bahwa Allah memberikan balasan kepada mereka dengan neraka Jahanam. Itu adalah hukuman setimpal akibat kekafiran mereka, serta karena mereka memperolok-olok ayat-ayat Allah dan rasul-rasul-Nya. Mereka tidak hanya sekadar mendustakan, tetapi benar-benar meremehkan dan mempermainkan, bahkan mendustakan dengan sekeras-kerasnya.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah menjelaskan bahwa maksud dari firman Allah ini adalah batalnya amal-amal mereka dan tidak ada sedikit pun nilai bagi mereka pada hari kiamat. Hal itu karena kehinaan dan kerendahan mereka akibat kekafiran terhadap ayat-ayat Allah. Mereka tidak hanya mendustakan, tetapi juga menjadikan ayat-ayat dan para rasul sebagai bahan ejekan dan olok-olokan.
Padahal, kewajiban seorang hamba adalah beriman sepenuhnya terhadap ayat-ayat Allah dan para rasul-Nya, memuliakan, serta menunaikannya dengan sebaik-baiknya. Namun, orang-orang kafir ini justru membalik kenyataan: mereka kufur, meremehkan, dan memperolok. Akibatnya, mereka pun terbalik kondisinya, celaka, dan terjerumus ke dalam azab yang pedih.
Setelah menyebutkan kesudahan orang kafir dan amal perbuatan mereka, Allah kemudian menjelaskan tentang keadaan amal orang-orang beriman beserta balasan baik yang menanti mereka.
QS. Al-Kahfi ayat 107-108
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّٰتُ ٱلْفِرْدَوْسِ نُزُلًا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi: 107)
خَٰلِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا
“Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya.” (QS. Al-Kahfi: 108)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini mengabarkan tentang hamba-hamba Allah yang berbahagia, yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, serta membenarkan kebenaran yang dibawa para rasul. Untuk mereka disediakan surga Firdaus.
Mujahid rahimahullah mengatakan bahwa firdaus adalah kebun, dalam bahasa Romawi.
Sedangkan menurut Ka‘b, As-Suddi, dan Adh-Dhahhak, firdaus adalah kebun yang di dalamnya terdapat pepohonan anggur.
Abu Umamah berkata bahwa firdaus adalah pusat surga.
Qatadah menafsirkan bahwa firdaus adalah bagian yang tinggi dari surga, letaknya di tengah, dan merupakan yang terbaik.
Ada pula riwayat marfu‘ dari Nabi ﷺ melalui jalur Sa‘id bin Basyir, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, beliau bersabda:
“Al-Firdaus adalah dataran tinggi surga, bagian tengahnya, dan yang paling indah.”
Hal ini juga diriwayatkan Isma‘il bin Muslim dari Al-Hasan, dari Samurah, secara marfu‘. Riwayat serupa juga datang dari Qatadah, dari Anas bin Malik, dengan lafaz yang mirip. Ibnu Jarir rahimahullah pun menukilkannya.
Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan sabda Nabi ﷺ:
إِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ الْجَنَّةَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَعْلَى الْجَنَّةِ وَأَوْسَطُ الْجَنَّةِ، وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ.
“Jika kalian meminta surga kepada Allah, maka mintalah surga Firdaus. Sesungguhnya Firdaus adalah surga yang paling tinggi, berada di bagian tengah surga, dan darinya memancar sungai-sungai surga.”
Adapun firman Allah Ta‘ala: نُزُلًا (nuzulan) maksudnya adalah jamuan atau hidangan istimewa. Sebab kata nuzul berarti suguhan yang dipersiapkan untuk memuliakan tamu.
“Mereka kekal di dalamnya. Mereka tidak ingin berpindah darinya.” (QS. Al-Kahfi: 108)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa maksud firman Allah ini adalah mereka akan tinggal menetap di dalam surga, tidak akan pernah keluar atau pergi darinya selamanya.
Firman Allah: “Lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā” artinya mereka sama sekali tidak menginginkan selain surga, tidak mencintai tempat lain, dan tidak berpindah darinya. Ibnu Katsir bahkan menyebutkan syair Arab yang menggambarkan makna ini:
“Telah menetap di lubuk hatiku, aku tidak mencari selain dirinya, dan tidak akan berpaling dari cintanya.”
Ungkapan “lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā” juga menjadi penegasan tentang kerinduan dan kecintaan penghuni surga terhadap tempat tinggal mereka. Sebab bisa saja seseorang yang menetap lama di suatu tempat akan merasa jenuh atau bosan. Namun, Allah menegaskan bahwa penghuni surga, meskipun kekal abadi di sana, tidak akan pernah merasa ingin berpindah, tidak akan merasa bosan, tidak akan meminta diganti, dan tidak menginginkan perjalanan ke tempat lain. Mereka benar-benar rida, bahagia, dan betah selamanya di surga.
Syaikh As-Sa‘di rahimahullah menjelaskan: yang dimaksud dengan ayat ini adalah orang-orang yang beriman dengan hati mereka, lalu beramal saleh dengan anggota tubuh mereka. Sifat ini mencakup seluruh ajaran agama, baik dari sisi akidah maupun amalan, mencakup pokok-pokok maupun cabang-cabangnya, yang tampak maupun yang tersembunyi. Maka mereka yang berada pada berbagai tingkatan iman dan amal saleh, semuanya mendapatkan surga Firdaus.
Ada dua kemungkinan maksud dari kata “jannātul-firdaus”:
Pertama, Firdaus adalah surga yang paling tinggi, paling tengah, dan paling utama. Maka yang dimaksud dalam ayat ini adalah pahala khusus bagi orang-orang yang sempurna dalam iman dan amal salehnya, yaitu para nabi dan hamba-hamba Allah yang paling dekat.
Kedua, yang dimaksud adalah seluruh tingkatan surga. Dengan demikian, pahala ini mencakup semua golongan orang beriman: baik yang paling dekat dengan Allah, golongan yang berbakti, maupun mereka yang berada di tingkatan pertengahan. Pendapat kedua ini lebih kuat karena lebih umum, ditunjukkan pula dengan penyebutan kata “jannāt” (jamak) yang disandarkan kepada “al-firdaus”. Selain itu, kata firdaus dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut kebun yang berisi pohon anggur atau pepohonan yang rimbun, dan makna ini benar adanya untuk seluruh surga.
Surga Firdaus ini adalah jamuan dan hidangan istimewa bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Dan betapa agung, besar, dan mulia jamuan itu! Surga tersebut memuat segala bentuk kenikmatan: kenikmatan hati, ruh, dan badan. Di dalamnya ada apa pun yang diinginkan jiwa dan menyejukkan pandangan: istana-istana indah, taman-taman hijau, pepohonan yang berbuah, kicauan burung yang merdu, makanan lezat, minuman nikmat, para wanita jelita, para pelayan muda, sungai-sungai yang mengalir, pemandangan menakjubkan, serta keindahan lahir maupun batin. Semuanya kekal tanpa pernah berakhir.
Namun, kenikmatan tertinggi di atas semua itu adalah kedekatan dengan Ar-Rahman, mendapatkan rida-Nya—yang merupakan kenikmatan terbesar surga—serta merasakan kelezatan memandang wajah-Nya yang mulia dan mendengar firman-Nya yang penuh kasih sayang. Maka sungguh agung dan indah jamuan Allah itu, sungguh abadi dan sempurna. Kenikmatan ini jauh melampaui kemampuan siapa pun untuk menggambarkannya dengan kata-kata, bahkan tidak akan pernah terlintas dalam hati manusia.
Seandainya hamba-hamba Allah benar-benar mengetahui sebagian kecil dari kenikmatan itu dengan pengetahuan yang nyata sampai ke dalam hati mereka, niscaya hati mereka akan terbang penuh kerinduan, jiwa mereka akan hancur karena pedihnya rasa rindu, dan mereka akan bergegas menuju surga itu baik sendiri-sendiri maupun berkelompok. Mereka pasti tidak akan mendahulukan dunia yang fana, penuh kesusahan, dan penuh kepalsuan di atasnya. Mereka pun tidak akan menyia-nyiakan waktu, karena setiap detik yang hilang akan diganti dengan ribuan tahun kenikmatan yang tak terhitung. Namun, sayangnya kelalaian telah meliputi, iman menjadi lemah, ilmu sedikit, dan tekad pun lemah. Maka terjadilah apa yang terjadi. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh al-‘aliyy al-‘azhīm.
Syaikh As-Sa‘di rahimahullah menjelaskan, inilah puncak kenikmatan. Di dalam surga terdapat seluruh kenikmatan yang sempurna. Dan kesempurnaan nikmat itu adalah karena ia tidak pernah terputus dan tidak berakhir.
Firman Allah: “lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā” maksudnya mereka tidak menginginkan perubahan atau berpindah ke tempat lain. Sebab mereka tidak melihat sesuatu selain yang membuat mereka takjub, menggembirakan, menyenangkan, dan membahagiakan hati. Mereka juga tidak menemukan kenikmatan yang lebih tinggi daripada apa yang mereka rasakan di surga.
Bersambung insya Allah …
Baca Juga:
- Hafal 10 Ayat Surah Al-Kahfi: Perlindungan dari Dajjal
- 24 Kandungan Penting dari Surah Al-Kahfi
______
Gunungkidul, 26 Rabiul Awal 1447 H, 18 September 2025, Kamis Sore
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com