Apa itu Umrah Qadha? Ini Penjelasan Sejarah dan Hikmahnya
Umrah Qadha adalah umrah yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun ke-7 Hijriah sebagai ganti umrah yang tertunda karena Perjanjian Hudaibiyah. Beliau memasuki Mekkah bersama 2.000 sahabat tanpa peperangan. Mereka menunaikan thawaf, sa’i, dan menyembelih hewan kurban dengan damai. Peristiwa ini menjadi simbol kemenangan syiar Islam secara terbuka di kota suci.
—
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Hakim dalam kitabnya Al-Iklil menyampaikan—berdasarkan riwayat yang mutawatir—bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui datangnya bulan Dzulqa’dah, beliau memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan umrah sebagai ganti umrah yang sebelumnya tertunda karena peristiwa Hudaibiyah. Tidak satu pun dari mereka yang ikut saat itu diperbolehkan absen, kecuali yang telah syahid. Jumlah mereka mencapai sekitar dua ribu orang, di luar anak-anak dan perempuan. Umrah ini pun dikenal sebagai ‘Umrah Perdamaian’.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat pada tahun ke-7 Hijriah. Setelah bulan-bulan berlalu sejak kaum musyrikin menghalangi beliau memasuki kota Mekkah, kini beliau membawa 60 ekor unta qurban, perlengkapan perang, serta 100 pasukan kavaleri sebagai bentuk kewaspadaan terhadap kemungkinan pengkhianatan. Setibanya di Dzulhulaifah, beliau menugaskan pasukan berkuda yang dipimpin Muhammad bin Maslamah berada di barisan depan, sementara pasukan bersenjata lainnya dipimpin oleh Basyir bin Sa’ad.
Nabi dan para sahabat memulai ihram mereka sambil bertalbiyah, “Labbaik Allahumma Labbaik.” Sementara itu, pasukan berkuda di bawah Muhammad bin Maslamah telah lebih dahulu tiba di Marra Zhahran dan bertemu dengan sekelompok musyrikin. Ketika ditanya, Muhammad bin Maslamah menjawab, “Ini adalah Rasulullah. Insya Allah, besok pagi beliau akan tiba di sini.” Mendengar kabar itu, kaum musyrikin segera menginformasikannya kepada pemuka Quraisy, dan mereka pun terkejut.
Sesampainya di Marra Zhahran, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan perlengkapan senjata di lembah Ya’jaj, yang masih terlihat jelas dari wilayah Al-Haram Makkah. Untuk menjaganya, beliau menugaskan Aus bin Khuli Al-Anshari bersama 200 pasukan. Orang-orang Quraisy pun berbondong-bondong mendaki puncak-puncak bukit untuk menyaksikan kedatangan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan al-hadyu (hewan qurban untuk ibadah haji) dan membiarkannya di Dzi Thuwa.
Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memasuki Mekkah, orang-orang musyrik mencibir, “Dia datang dalam keadaan lemah karena sakit demam Yatsrib.” Untuk membantah celaan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabatnya untuk berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf, lalu berjalan biasa antara dua rukun.
Ibnu Salamah menambahkan, Nabi bersabda, “Berlari-larilah kalian saat thawaf agar orang-orang musyrik melihat kekuatan kalian.” Orang-orang Quraisy pun memperhatikan mereka dari atas bukit Qu‘aiqi‘an.
Dalam Sirah Ibnu Hisyam diceritakan bahwa saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Masjidil Haram, beliau menyingkapkan kain ihram hingga tampak bahu kanannya seraya bersabda, “Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapa pun yang menampakkan kekuatan hari ini di hadapan orang-orang musyrik.” Beliau lalu mengusap rukun (sudut Ka’bah) dan mulai thawaf dengan berlari-lari kecil. Setelah sampai di rukun Yamani beliau mengusapnya, lalu beliau berjalan hingga Hajar Aswad, lalu kembali thawaf dengan cara yang sama pada tiga putaran pertama, sisanya dengan berjalan.
Setelah thawaf, beliau melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah di atas kendaraannya. Ketika sampai di putaran ketujuh, dan al-hadyu berada di dekat bukit Marwah, beliau bersabda, “Inilah tempat berqurban, dan seluruh lorong kota Mekkah adalah tempat penyembelihan.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkan sebagian sahabat untuk menemui pasukan yang menjaga lembah Ya’jaj. Mereka bergantian menjaga persenjataan, sementara yang lain menunaikan ibadah haji.
Dalam riwayat Shahih Al-Bukhari, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai menunaikan umrah dan waktu tinggal di Mekkah habis, kaum musyrikin menyuruh beliau segera pergi. Namun, tiba-tiba terdengar suara gadis kecil: “Wahai Paman! Wahai Paman!” Ternyata, itu adalah putri Hamzah radhiyallahu ‘anhu. Ali segera mengangkatnya dan berkata kepada Fatimah, “Rawatlah dia, karena ia adalah putri pamanmu.” Zaid dan Ja’far pun turut menginginkannya.
Terjadilah perbedaan pendapat. Ali berkata, “Aku lebih berhak, dia adalah putri pamanku.” Ja’far berkata, “Aku lebih berhak karena bibinya adalah istriku.” Zaid pun berkata, “Dia adalah keponakanku.” Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa hak asuh jatuh pada bibinya, karena “Bibi dari jalur ibu seperti ibu.” Beliau juga bersabda kepada Ali, “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu.” Kepada Ja’far, beliau berkata, “Engkau mirip denganku secara akhlak dan fisik.” Dan kepada Zaid, beliau menyebut, “Engkau adalah saudara dan pemimpin kami.”
Dalam perjalanan pulang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah binti Al-Harits saat berada di Saraf. Beliau lalu melanjutkan perjalanan ke Madinah.
Pelajaran Berharga
Pertama: Umrah Qadha adalah gambaran dari kemenangan kaum muslim atas kaum musyrikin. Umat Islam dapat memasuki kota Mekah untuk thawaf, sa’i, dan menampakkan syiar-syiar ketauhidan di hadapan kaum musyrikin Quraisy tanpa dapat berbuat apa-apa.
Gambaran kemenangan ini semakin jelas ketika kita membandingkan dengan permulaan dakwah. Pada saat itu, kaum muslimin tidak dapat menampakkan keislamannya dan tidak dapat membacakan sepotong ayat pun dari Al-Qur’an Al-Karim. Namun, pada saat Umrah Qadha, mereka dapat melakukan talbiyah, thawaf, sa’i, dengan aman dan tenang.
Kedua: Senjata yang dibawa oleh Rasulullah dan menempatkannya di Ya’ja’ yang dekat dengan Mekah adalah sebagai sikap waspada akan adanya pengkhianatan kaum musyrikin. Dari sini kita harus sikap waspada dan hati-hati, terutama pada situasi dan kondisi dikhawatirkan akan terjadi pengkhianatan dan serangan mendadak dari kaum kafir.
Ketiga: Dibenarkannya memancing kemarahan kaum musyrikin. Sesungguhnya Rasulullah, ketika mengetahui apa yang diucapkan kaum musyrikin bahwa kaum muslimin dalam keadaan sakit akibat demam Yatsrib, beliau memerintahkan para sahabat untuk berlari-lari kecil dalam thawafnya agar kaum musyrikin melihat betapa gagah dan kuatnya kaum muslimin, sehingga kemarahan mereka terpancing. Penulis Zaadul Ma’aad berkata, “Rasulullah selalu berusaha untuk memperdayakan orang-orang kafir sebisa mungkin.”Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Katsir dan As-Syami.
Keempat: Amalan-amalan tersebut tetap disyariatkan hingga hari kiamat, sekalipun alasan pensyariatannya tidak ada lagi. Ibnu Qayyim berkata, “Ini adalah bagian dari syariat bahwa hukum yang dahulunya memiliki sebab, tidak disyaratkan keberlangsungannya mesti ada sebab tersebut.”
Kelima: Sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, “Allah merahmati siapa yang memperlihatkan kekuatannya hari ini kepada mereka,” menunjukkan salah satu metode dakwah dalam rangka memotivasi dan memperlihatkan kekuatan kaum muslimin serta memancing amarah kaum musyrikin. Ini adalah metode yang sering digunakan Rasulullah pada beberapa situasi. Seperti sabdanya, “Allah merahmati orang-orang yang mencukur plontos rambutnya,” yang beliau ulangi sampai tiga kali. Hal ini dalam rangka memotivasi untuk mencukur rambut dan menjelaskan keutamaan cukur plontos pada peristiwa Hudaibiyah seperti yang sudah dibahas.
Keenam: Keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang status putri Hamzah dan kata-kata beliau yang indah dan menyejukkan jiwa kepada Ali, Ja’far, dan Zaid adalah bukti indahnya akhlak beliau, kelembutan perilaku beliau, dan upaya menghibur jiwa yang dapat mendatangkan ketenangan pikiran. Hendaknya ini menjadi teladan, khususnya bagi para da’i.
Referensi:
Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.
–
25 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 23 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com