Teladan

Faedah Sirah Nabi: Perang Badar Kubra dan Pelajaran di Dalamnya

Berikut adalah kisah perang Badar.

 

 

Ada yang mengatakan bahwa badar adalah nama sebuah sumur yang digali oleh seseorang yang Bernama Badar dari Kabilah Ghifar. Perang Badar Kubra disebut juga dengan Badar ‘Uzhma, Badar Qital, atau Yaumul Furqan. Sebutan yang terakhir ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Al-Qur’an, firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ

Dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.” (QS. Al-Anfaal: 41)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Dinamai dengan Al-Furqan karena pada perang tersebut Allah memperlihatkan antara yang benar dan yang batil.”

Pada suatu hari, sampailah berita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya Abu Sufyan berangkat dari Syam dengan membawa 1.000 unta sekaligus harta yang banyak sekali, ada yang mengatakan sekitar 50 ribu dinar. Ketika itu diwakili oleh sedikit pasukan dan tidak lebih dari 70 orang. Begitulah menurut mayoritas pendapat. Oleh karena itu, Nabi pun mengutus kaum muslimin untuk menuju tempat tersebut dan beliau berkata, “Unta-unta Quraisy tersebut membawa banyak harta dan pergilah kalian ke sana. Semoga Allah menjadikan harta tersebut sebagai ghanimah untuk kalian.” Oleh karena itu, beliau mengutus kaum muslimin untuk menuju ke sana. Sebagian dari mereka menuju ke tempat yang dituju, sedangkan sebagian yang lain merasa berat untuk melakukan hal tersebut sebab mereka menyangka bahwa Rasulullah tidak benar-benar ingin berperang dan juga saat itu tidak banyak sahabat yang hadir. Rasulullah berkata, “Siapa saja yang hadir di sini, ikutlah bersama kami.” Sebagian sahabat ingin mengajak orang-orang yang berada di bagian atas Madinah. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegahnya, “Tidak, kecuali yang di sini saja.”

Abu Sufyan sangat mewaspadi berita ini jangan sampai diketahui oleh orang lain. Pada suatu kesempatan, sampai berita kepadanya bahwa Nabi akan mencegah untanya. Kemudian disewalah Dhamdam bin Umar Al-Ghifari dengan 20 mitsqal untuk pergi ke Makkah dan diperintahkan kepadanya untuk memotong tali hidung untanya dan mengubah jalur perjalanannya, merobek bagian depan, dan belakang bajunya ketika masuk Makkah serta mendatangi orang-orang Quraisy untuk meminta agar bergegas menuju ke harta-hartanya yang sedang diincar oleh Muhammad dan para sahabatnya. Berangkatlah Dhamdam ke Makkah dengan segera dan dilaksanakanlah apa yang diperintahkan oleh Abu Sufyan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari Sabtu, Tahun dua hijriyah. Yang tidak ikut bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu adalah Abu Lubabah Al-Anshari. Adapun jumlah pasukan yang ikut pada waktu itu menurut pendapat yang terkuat sebanyak 313 orang. Mereka hanya memiliki dua kuda dan tujuh puluh unta. Sementara Nabi, Ali bin Abi Thalib, dan Martsad Al-Ghanawi bergantian naik kuda dari belakang unta-unta tersebut.

Untuk menghadapi pasukan ini, keluarlah orang-orang Quraisy sebanyak 950 orang setelah Dhamdham memberitahukan apa yang sedang terjadi. Mereka terdiri dari 100 pasukan berkuda dan 700 unta, dan tidak ada seorang pun dari tokoh mereka yang tidak ikut serta, kecuali Abu Lahab. Kemudian dia mengutus Al-‘Ash bin Hasyim bin Al-Mughirah untuk menggantikan posisinya.

Dalam perjalanan, Hudzaifah dan ayahnya Husail menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hudzaifah berkata, “Tidak ada yang menghalangiku untuk ikut perang Badar. Hanya saja orang-orang kafir Quraisy ingin mengajak kami, mereka berkata, “Apakah kalian menginginkan Muhammad?” Maka kami menjawab, “Tidak, kami tidak menginginkannya. Kami mau menuju Madinah.” Kemudian berperang bersama mereka. Kemudian kami pun menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau berkata kepadanya, “Ikutlah bersama kami, batalkan sumpah dengan mereka  dan kita meminta perlindungan kepada Allah.” (HR. Muslim, 3:1414, no. 1787)

Ketika Nabi mengetahui bahwa pasukan kafir Quraisy menuju ke arah mereka guna menyelamatkan unta-unta mereka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bermusyawarah dengan para sahabatnya. Abu Bakar berpendapat agar apa yang sudah direncanakan terus dilanjutkan. Begitu juga halnya Umar bin Al-Khaththab. Miqdad juga berpendapat demikian, ia berkata, “Kita teruskan Ya Rasulullah. Laksanakan apa yang telah diperlihatkan Allah kepadamu dan kami akan bersamamu. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan seperti apa yang dikatakan Bani Israil kepada Musa ‘alaihis salam, “Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan beperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” Akan tetapi, kami mengatakan, “Pergilah kamu bersama Tuhanmu, sesungguhnya kami ikut berperang denganmu.” Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab sahihnya disebutkan, “Namun, kami berperang bersamamu dari arah kanan, kiri, depan, dan belakangmu.” Perawi mengatakan, “Aku melihat wajah Nabi berbinar-binar dan senang dengan apa yang dikatakan oleh Miqdad.”

Dalam Shahih Muslim diriwayatkan bahwasanya Sa’ad bin Ubadah berdiri dan kemudian berkata, “Apa yang engkau inginkan dari kami, wahai Rasulullah? Demi Allah yang menguasaiku, seandainya engkau menyuruh kami untuk mencebur ke laut, maka kami akan menceburkan diri kami. Seandainya engkau menyuruh kami untuk menyerang mereka sampai ke Bark Ghamad akan kami laksanakan.”

“Wahai orang-orang, siapa lagi yang akan melontarkan pendapatnya kepadaku?” Pertanyaan ini Rasulullah maksudkan untuk memancing pendapat dan pandangan dari kaum Anshar. Sebab, pada saat perjanjian Aqabah Kubra, mereka telah berbaiat kepada beliau dan akan melindungi beliau sebagaimana mereka melindungi anak dan istri mereka sendiri. Perlindungan tersebut mereka berikan kepada Nabi selama beliau masih bersama mereka di Madinah dan bukan ketika berperang di luar kota Madinah.

Kemudian Sa’ad bin Mu’adz berdiri dan berkata, “Kami beriman dan mempercayaimu. Kami bersaksi bahwa apa yang engkau laksanakan itu benar. Selain itu, kami telah berjanji untuk mendengar dan taat kepadamu. Teruskan apa yang engkau kehendaki wahai Rasulullah, kami akan bersamamu. Demi Allah yang telah mengutusmu dengan hak, seandainya engkau meminta kami untuk menceburkan diri ke laut kemudian engkau mencebur, maka kami pun akan mencebur diri kami dan tidak seorang pun dari kami mengingkarimu dan tidak ada yang enggan untuk berperang besok dan sungguh kami akan sabar dalam peperangan nanti. Semoga Allah memberikan kemenangan kepadamu. Berjalanlah bersama kami dengan berkat Allah.” Rasulullah sangat senang dengan ucapan Sa’ad tersebut. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berjalanlah dan berilah kabar gembira. Sesungguhnya Allah menjanjikan kepadaku pertolongan-Nya. Demi Allah, seolah-olah aku melihat peperangan itu.” (Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, 2:254)

Ketika telah mendekati Badar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berhenti dekat seseorang yang sudah tua, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya perihal Quraisy, Muhammad, serta para sahabatnya, dan semua berita yang berhubungan dengan mereka. Kemudian orang tersebut menjawab, “Tidak akan aku beritahu sebelum engkau mengatakan kepadaku siapa kalian?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika kamu mengabarkan kepada kami, maka kami akan memberitahumu siapa kami.” Kemudian orang tersebut menjawab, “Tepatilah apa yang kamu katakan ini.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” Maka orang tua itu pun menjawab, “Telah sampai berita kepadaku bahwa Muhammad keluar pada hari ini dan ini. Jika berita yang sampai kepadaku itu benar, maka pada hari ini mereka akan berada di tempat ini (posisi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu itu). Selain itu, telah sampai berita kepadaku bahwa Quraisy keluar pada hari ini dan ini. Jika berita yang sampai kepadaku benar, maka sekarang posisi mereka itu ada di tempat ini (posisi Quraisy pada waktu itu). Setelah selesai menjawab, orang tua itu pun bertanya, “Dari mana asal kalian berdua?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kami dari maa‘ (air).” Kemudian mereka meninggalkan orang tua tersebut. Laki-laki itu berkata, “Dari maa‘ (air)? Maa’ yang mana? Apakah Maa’ ‘Iraq?” (Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, 2:254-255)

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali kepada para sahabatnya. Pada sore harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib, Zubair bin ‘Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan beberapa sahabat yang lain untuk menuju mata air Badar guna mencari informasi. Mereka pun mendapatkan dua orang pemuda yang sedang mengambil air minum unta, salah satunya berasal dari Bani Al-Hajjaj dan yang lainnya dari Bani Al-‘Ash bin Sa’id. Mereka membawa keduanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, pada saat itu beliau sedang shalat. Lalu kedua orang tersebut berkata, “Kami hanya bertugas untuk memberi minuman mereka.” Namun, para sahabat meragukan jawaban dari kedua orang tersebut atau jangan-jangan mereka bekerja untuk Abu Sufyan. Kemudian para sahabat memaksa untuk memberitahukan yang sebenarnya. Kemudian keduanya mengakui bahwa mereka bekerja untuk Abu Sufyan lalu para sahabat pun meninggalkan mereka.”

Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat, beliau berkata, “Waktu mereka menjawab dengan jujur, kalian memukul keduanya, dan tatkala mereka bohong kalian pun meninggalkan keduanya. Sesungguhnya mereka benar, demi Allah, mereka adalah pembantu Quraisy. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada keduanya, “Beri tahu aku tentang orang-orang Quraisy.” Mereka menjawab, “Kaum Quraisy berada di belakang bukit yang engkau lihat itu.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Berapa ekor unta yang mereka sembelih?” Mereka menjawab, “Terkadang mereka menyembelih sembilan ekor dan terkadang sepuluh.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jumlah mereka sekitar sembilan ratus sampai seribu orang.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa saja di antara mereka tokoh-tokoh Quraisy?” Mereka menyebutkan: ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah, Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf, Suhail bin ‘Amr. Lalu mereka berdua menyebutkan yang lainnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap sahabatnya seraya berkata, “Kota Mekkah ini telah melemparkan kepada kalian kepingan-kepingan hatinya.”

Abu Sufyan memacu untanya, ia mewanti-wanti kalau-kalau kaum muslimin mendahului mereka. Ketika sampai di Badar, ia bertemu dengan Majdi bin ‘Amr. Kemudian Abu Sufyan bertanya kepadanya, “Apakah kamu melihat seseorang?” Majdi menjawab, “Saya tidak melihat siapa pun, kecuali dua orang yang menunggangi unta menuju ke lembah itu.” Lalu ia menunjuk ke arah yang dituju oleh kedua orang tersebut. Kemudian Abu Sufyan menuju ke tempat tersebut dan mendapati tahi unta. Kemudian terbesit di benaknya kalau itu merupakan tahi unta penduduk Yatsrib. Kemudian Abu Sufyan dengan sigapnya kembali menuju para sahabatnya hingga ia kembali menjumpai unta-untanya.

Kemudian Abu Sufyan telah berhasil menyelamatkan unta-untanya. Lalu diutusnyalah Qais bin Imri’ Al-Qais kepada Quraisy untuk membawa pesan yang berbunyi, “Sesungguhnya kalian keluar untuk menyelamatkan unta-unta kalian. Ketahuilah bahwa harta-harta kalian serta keluarga kalian telah diselamatkan oleh Allah. Kembalilah ke Makkah.” Berita itu datang ketika mereka berada di Juhfah. Kemudian Abu Jahal bin Hasyim berkata, “Demi Allah, kita tidak akan pulang sebelum menuju Badar.” Badar merupakan tempat yang biasanya digunakan oleh Kabilah Arab pada musim tertentu sebagai tempat berkumpul. “Di sana kita akan tinggal selama tiga hari. Kita akan memotong binatang lalu mengadakan pesta makan dan minum khamar. Kita bersenang-senang agar orang-orang Arab bisa mendengar dan melihat perkumpulan kita sehingga mereka tambah takut kepada kita.”

Sementara kelompok lain tidak suka meneruskan perjalanan menuju Badar, sehingga sebagian dari mereka memperlambat perjalanannya. Di antara mereka adalah Harits bin ‘Amir, Umayyah bin Khalaf, ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabiah, Hakim bin Hizam, Abu Al-Bakhtari bin Hisyam, Ali bin Umayyah bin Khalaf, serta Al-‘Ash bin Ubay sehingga Abu Jahal mencela mereka dengan mengatakan sebagai pengecut, begitu pula halnya dengan ‘Uqbah bin Abi Mu’ith dan Nadhr bin Harits bin Kildah. Lalu mereka pun meneruskan perjalana.

Akhnas bin Syarif berkata, “Wahai Bani Zuhrah, Allah telah menyelamatkan hartamu dan telah membebaskan temanmu Makhramah bin Naufal dan tujuan kalian bepergian untuk menyelamatkannya dan hartamu dari musuh. Harta dan temanmu telah selamat, maka kembalilah. Kemudian mereka pun kembali. Bani Zuhrah pun senang dengan pendapat Akhnas tersebut. Begitu juga dengan Bani Hasyim, mereka ingin kembali, tetapi dicegah oleh Abu Jahal seraya berkata, “Jangan ada yang berpisah dari kelompok ini sampai kita pulang.”

Adapun Bani ‘Adi telah memisahkan diri. Ketika sampai di celah-celah bukit Lift, mereka pun mengalihkan rute perjalanan untuk pulang ke Makkah. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Abu Sufyan bin Harb, lalu ia bertanya, “Wahai Bani ‘Adi, mengapa kalian pulang tanpa rombongan yang lain dan juga tanpa unta?” Mereka menjawab, “Bukankah engkau telah mengutus seseorang ke kaum Quraisy agar kami pulang?”

Orang Kafir Quraisy meneruskan perjalanan hingga mereka menduduki tempat yang paling tinggi dari lembah, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin berada di antara posisi kafir Quraisy dan pusat air dengan jarak tempuh yang dekat. Mulanya orang-orang musyrik menguasai air atas kaum muslimin. Kemudian malam harinya, Allah menurunkan hujan yang lebat sekali, hujan turun dengan derasnya di posisi orang musyrik sehingga menghalangi mereka untuk maju. Sedangkan, di posisi kaum muslimin hujan gerimis, Allah menyucikan mereka dengannya dan meneguhkan telapak kaki mereka dengan semakin padatnya pasir yang mereka injak, menguatkan hati, dan tidak ada yang mencegah mereka untuk bergerak, lembah pun terairi. Sehingga orang-orang mukmin pun dapat minum. Mengisi tempat minumnya dan memberi minum tunggangan mereka, serta mandi junub. Allah Ta’ala berfirman,

إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الْأَقْدَامَ

(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu).” (QS. Al-Anfaal: 11)

Pasukan muslimin terus bergerak hingga berada pada posisi sumber air Badar. Mereka pun turun, kemudian Hubab bin Mundzir bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah ini posisi yang diilhamkan oleh Allah kepadamu, padahal tempat ini kita bisa maju ataupun mundur. Ataukah ini merupakan pendapatmu sebagai siasat dan taktik perang?” Beliau menjawab, “Ini adalah pendapatku.” Kemudian Hubab berkata, “Wahai Rasulullah, ini bukanlah lokasi yang tepat. Pergilah bersama beberapa orang hingga kita sampai lebih dekat dengan sumber air, lalu kita singgah di sana. Kemudian kita gali beberapa sumur dan sebuah kolam, lalu kita isi air, kemudian kita perangi mereka. Sehingga kita dapat minum dan mereka tidak.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau benar-benar telah memberikan pendapatmu.” Maka dilakukanlah apa yang diarahkan oleh Hubab.

Sa’id bin Mu’adz berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Nabi Allah, tidakkah kami perlu membangun kemah khusus untuk tempat istirahatmu, menyiapkan hewan kendaraanmu dan kemudian kita baru menyerang musuh kita? Sungguh, seandainya Allah memberikan kemenangan dan kejayaan kepada kita atas musuh-musuh kami, maka itulah yang kami inginkan. Namun, bila kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, maka engkau sudah siap untuk menyelamatkan diri dan menemui kaum kita.”

Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada beberapa kaum yang menantimu di tanah air kita dan kecintaan mereka terhadapmu lebih besar dari kami. Sehingga, bila mereka mendengar bahwa engkau berperang, niscaya mereka pun tidak akan tinggal diam. Allah pasti akan melindungimu dengan mereka. Sebab mereka pasti akan memberimu pertimbangan dan senantiasa berjuang di belakangmu.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyepakati usulan Sa’ad tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji Sa’ad dan mendoakannya kebaikan. Kemudian didirikanlah sebuah bangunan untuk Rasulullah di sekitar anak bukit di medan pertempuran, dan bersama Mu’adz serta Abu Bakar.

Kemudian Sa’ad bin Mu’adz berdiri di pintu tandu dengan pedang terhunus. Selanjutnya Rasulullah meninjau medan peperangan seraya menunjuk tempat-tempat tertentu, “Ini tempat matinya si fulan, di sini tewasnya si fulan. Apa yang beliau katakan itu, tidak satu pun yang meleset dengan kejadian yang sebenarnya.”

Pada malam peperangan, malam 17 Ramadhan tepatnya pada malam Jumat, kaum muslimin mengantuk dan mereka pun tidur. Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, “Kami tidak memiliki kuda pada saat perang Badar kecuali yang kurus dan lemah. Pada malamnya kami semua tidur, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shalat di bawah pohon sampai pagi.”

Ima’ah bin Rukhdhah Al-Ghifari diutus kepada orang-orang Quraisy untuk membagikan hadiah kemudian berkata, “Jika kalian suka, maka kami akan mempersiapkan pedang dan pasukan, niscaya akan kami lakukan.” Oleh karena itu, mereka mengutusnya dan anaknya agar menyambung silaturahim, dan aku telah melaksanakan apa yang ditugaskan, maka demi umurku, kalaulah kami meneruskan peperangan dengan siapa saja, maka kami tidak akan lemah sedikit pun, tetapi jika kita memerangi Allah–sebagaimana keyakinan Muhammad–, maka tidak ada seorang pun yang sanggup melawan-Nya.

Orang-orang kafir mengutus Umair bin Wahab Al-Jumhi. Oleh karena itu, mereka pun berkata kepadanya, “Coba tebak, berapa jumlah pasukan Muhammad?” Kemudian dia berkeliling dengan kudanya di sekeliling bala tentara, Umair kembali kepada mereka dan berkata, “Sekitar tiga ratus orang, bahkan lebih dari itu sedikit, atau bahkan kurang dari itu. Akan tetapi, izinkan saya melihat kaum itu lebih dekat. Maka ia pun turun ke lembah sampai jauh, tetapi tidak melihat apa pun. Kemudian ia pun kembali kepada mereka, seraya berkata, “Aku tidak melihat apa pun wahai orang-orang Quraisy, kecuali bala yang membawa kepada kematian, daratan Yatsrib sebagai lembah kematian yang nyata, mereka adalah kaum yang tidak punya tujuan selain menggantungkan hidupnya kepada pedang. Demi Allah, aku tidak melihat akan dibunuh salah seorang dari mereka, kecuali mereka mampu membunuh salah seorang di antara kalian. Jika salah seorang dari mereka terbunuh, maka mereka akan membalas dan tidak ada kehidupan yang lebih baik setelah itu, sekarang terserah apa pendapat kalian?”

Tatkala Hakim bin Hizam mendengar hal itu, ia pun menuju ke kerumunan, kemudian ia pun mendatangi ‘Utbah bin Rabi’ah dan mengajaknya agar seraya berkata, “Hal Abul Walid, engkau adalah pembesar Quraisy sekaligus pemimpin mereka yang sangat setia, apakah ada suatu perkara yang senantiasa kamu ingat kebaikannya sampai akhir masa?” Ia pun bertanya, “Apakah itu wahai Hakim?” Hakim pun menjawab, “Kembalilah kepada kaummu, dan ambil alihlah posisi sahaba setiamu ‘Amru bin Al-Hadhramy, ia pun menjawab, “Baiklah, dan engkau menjadi saksi atas apa yang aku lakukan bahwa dia adalah sahabat setiaku atas apa yang menimpa diri dan hartanya.” Kemudian datanglah Ibnul Hanzhalah–Abu Jahal–seraya berkata, “Sesungguhnya aku tidak takut peperangan.” ‘Utbah berpidato di hadapan manusia dan berkata, “Wahai sekalian kaum Quraisy, demi Allah sesungguhnya kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Demi Allah, jika sampai kalian mencederai Muhammad, maka setiap orang dari mereka akan melihat setiap di antara kalian dengan pandangan kebencian seperti seseorang yang telah membunuh anak pamannya atau seseorang yang telah membunuh anggota keluarganya. Pulanglah kalian, janganlah kalian berada di antara Muhammad dan jangan kalian pula berada di antara golongan-golongan Arab. Jika mereka mencederainya, maka itulah yang kalian inginkan. Jika tidak, sebaliknya mereka akan berteman dengan kalian dan kalian tidak akan dapat memalingkan mereka dari apa yang kalian inginkan. Sesungguhnya aku melihat kaum-kaum yang keras pendirian, kalian tidak akan dapat menyamai mereka dan pada kalian pun tidak akan kelebihan. Wahai kaumku, catatlah hal itu di kepalaku dan katakanlah, “‘Utbah itu penakut, padahal kalian mengetahui bahwa aku bukanlah orang yang paling penakut di antara kalian.”

Hakim berkata, “Aku pun pergi dan mendatangi Abu Jahal, lalu aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya ‘Utbah telah mengutusku kepadamu dengan ini dan itu, maka ia pun berkata, “Hembuskanlah, demi Allah, Muhammad telah menyihirnya ketika ia melihatnya dan sahabat-sahabatnya, hal ini tidak boleh terjadi. Demi Allah, kita tidak boleh kembali sehingga Allah menentukan apa yang terjadi di antara kita dan Muhammad.” Kemudian Hakim diutus kepada ‘Amir bin Al-Hadrami dan mengatakan padanya, “Ambillah pedangmu.” Kemudian ‘Amir pun pergi ke kerumunan manusia sambil berteriak dan memprovokasi orang-orang sehingga berkecamuklah perang dan merusak pandangan orang-orang terhadap ajakan ‘Utbah.

 

Kerabat Saling Membunuh Saat Perang Badar

Pada Shubuh Jumat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatur barisan sahabat-sahabatnya, kemudian ‘Utbah bin Rabi’ah yang berbaris di antara saudaranya Syaibah dan anaknya Al-Walid bin ‘Utbah keluar dari barisan musyrikin dan mengajak untuk perang tanding. Kemudian majulah beberapa pemuda dari golongan Anshar seperti ‘Auf dan Mu’adz yang keduanya merupakan anak dari Al-Haris, dan ‘Abdullah bin Rawahah. Mereka bertanya, “Siapa kalian?” Mereka menjawab, “Kami adalah pemuda Anshar.” Mereka pun berkata, “Kami tidak memerlukan kalian.” Kemudian salah seorang di antara mereka berseru, “Wahai Muhammad, keluarkan prajurit yang seimbang dengan kami.” Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil, “Majulah wahai ‘Ubaidah bin Al-Harits, majulah wahai Hamzah, majulah wahai ‘Ali, maka tatkala salah seorang dari mereka mendekat, musyrikin pun menanyakan, “Siapakah kalian?” Setiap dari mereka pun menyebutkan namanya. Musyrikin pun berkata, “Ini baru lawan yang seimbang.” Akhirnya ‘Ubaidah yang paling tua di antara mereka melawan ‘Utbah. Hamzah melawan Syaibah. Ali melawan Al-Walid. Hamzah dan Ali membunuh kedua lawannya. Namun, tidak demikian halnya dengan ‘Ubaidah yang terkena dua tusukan. Ali dan Hamzah pun bergegas untuk menolong ‘Ubaidah untuk membunuh musuhnya. Pada saat berperangnya dua kubu inilah turun firman Allah,

هَٰذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ ۖ فَالَّذِينَ كَفَرُوا قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِنْ نَارٍ يُصَبُّ مِنْ فَوْقِ رُءُوسِهِمُ الْحَمِيمُ

“Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka.” (QS. Al-Hajj: 19)

Mengenai kerabat yang saling membunuh dalam perang ini disebutkan dalam ayat,

لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga mereka.” (QS. Al-Mujadilah: 22)

Dalam ayat, yang dimaksud “walau itu bapak mereka” adalah kisah Abu ‘Ubaidah yang membunuh ayahnya saat Perang Badar. “Walau itu anaknya” yaitu kisah seorang putra yang bernama ‘Abdurrahman yang dibunuh oleh bapak kandungnya dalam peperangan. “Walau itu saudaranya” yaitu kisah Mush’ab bin ‘Umair sewaktu ia membunuh saudaranya, ‘Ubaid bin ‘Umair. “Walau itu kerabatnya” yaitu kisah ‘Umar yang membunuh keluarga dekatnya. Begitu pula kisah Hamzah, Ali, dan ‘Ubaidah bin Al-Harits yang membunuh kerabatnya, yaitu ‘Utbah, Syaibah, dan Al-Walid bin ‘Utbah. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:212-213)

 

Tentang Sawad bin Ghaziyah yang Memeluk Rasulullah

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan barisan sahabat-sahabatnya, beliau lewat di depan Sawad bin Ghaziyah yang keluar dari barisan. Lalu beliau memukul perutnya dengan tongkat seraya berkata, “Luruskan wahai Sawad.” Sawad pun berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah membuatku sakit, padahal engkau diutus untuk kebenaran dan keadilan. Sekarang biarlah aku membalas atas perbuatanmu.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membuka perutnya untuk dibalas seraya berkata, “Balaslah.” Maka Sawad pun memeluk dan mencium perut beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Apa yang kamu lakukan ini, wahai Sawad?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, engkau telah melihat ini adalah bukti kesetiaanku. Aku ingin pada akhir masa hidupku, kulitku dan kulitmu bersentuhan. Maka Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendoakannya dengan kebaikan. Lihat As-Sirah An-Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam.

Orang-orang saling perperang antara satu sama lain. Sedangkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas bukit bersama Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermunajat kepada Rabbnya untuk meminta pertolongan yang dijanjikan oleh Allah,

اللَّهُمَّ إِنْ تُهْلِكَ هَذِهِ العَصَابَةَ مِنْ أَهْلِ الإِيْمَانِ اليَوْمَ فَلاَ تُعْبَدُ فِي الأَرْضِ أَبَدًا

“Ya Allah, jika engkau membinasakan kelompok ini dari ahli iman pada hari ini, maka Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi selamanya.”

Kemudian Abu Bakar menyapa, “Wahai Rasulullah, cukuplah apa yang telah kau minta kepada Tuhanmu karena sesungguhnya Allah akan memberikan apa yang telah dijanjikannya kepadamu.”

Selanjutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertidur kemudian terbangun dengan tersenyum dan berkata, “Bergembiralah, wahai Abu Bakar, pasukan itu akan dilumatkan dan lari ke belakang. Bergembiralah karena pertolongan Allah telah datang. Ini Jibril memegang kendali kuda dan menungganginya. Kemudian beliau turun dari atas bukit sambil membaca,

سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ

Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (QS. Al-Qamar: 45)

Mahabenar Allah yang berfirman,

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ

(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut”.” (QS. Al-Anfal: 9)

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju barisan muslimin dan memberikan semangat kepada mereka untuk berperang dan menjanjikan mereka dengan surga yang nikmat bagi mereka yang syahid di jalan Allah. Seperti dalam sabdanya,

ِقُوْمُوْا إِلَى جَنَّةٍ عَرْضِهَا السَّمَوَاتِ وَالأَرْض

Berdirilah kalian menuju surga yang luasnya bagai langit dan bumi.” ‘Umair bin Al-Humam Al-Anshari berkata, “Wahai Rasulullah, surga yang luasnya seluas lapisan langit dan bumi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” ‘Umair menimpali, “Wah, betapa besarnya!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mengapa engkau mengatakan hal itu?” ‘Umair menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah. Aku hanya berharap agar aku akan menjadi penghuninya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau akan menjadi penghuninya.” Kemudian ia mengeluarkan kurma-kurma yang terdapat dalam bungkusannya dan memakan sebagiannya seraya berkata, “Jika aku hidup karena memakan kurma-kurma ini, sungguh ia adalah kehidupan yang panjang.” Ia pun membuang sebagian kurmanya dan langsung berperang sehingga terbunuh dan syahid.

Baca juga: Meraih Surga yang Luasnya Seluas Langit dan Bumi Melalui Amalan Takwa

Kedua kubu pun saling bertempur dan peperangan pun makin berkobar dan bertambah sengit, dan makin bertambah pula pertolongan Allah dengan tentara-tentaranya dari para malaikat yang menguatkan hati orang-orang mukmin dan memberi mereka kabar gembira serta menumbuhkan ketakutan dalam hati kaum musyrikin. Mahabenar Allah dalam firman-nya,

ِإِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا ۚ سَأُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ فَاضْرِبُوا فَوْقَ الْأَعْنَاقِ وَاضْرِبُوا مِنْهُمْ كُلَّ بَنَانٍ

(Ingatlah), ketika Rabbmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman”. Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.” (QS. Al-Anfal: 12)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke hadapan orang-orang musyrik dan berkata, “Kenalah wajah kalian.” Maka tidak tersisa seorang musyrik pun, kecuali matanya terkena debu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh orang-orang yang dipaksa berperang. Mereka patut bersyukur atas larangan dan perlindungan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Pada suatu hari, beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya, “Sesungguhnya aku mengetahui beberapa orang dari Bani Hasyim yang terpaksa berperang dan kita tidak perlu untuk membunuh mereka. Oleh karena itu, siapa saja yang bertemu seorang dengan Bani Hasyim, maka jangan membunuhnya. Selain itu, siapa saja yang bertemu Abu Al-Bakhtari, maka jangan membunuhnya. Siapa saja yang bertemu dengan Al-‘Abbas bin ‘Abdul Mutthalib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jangan membunuhnya. Karena mereka berperang dengan terpaksa.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pun pada hari itu berperang dengan sengit. Demikian juga Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana keduanya di atas bukit bermujahadah dalam doa dan pengharapan. Kemudian keduanya turun dan menyemangati prajurit dalam berperang dan keduanya berperang dengan seluruh jiwa dan raganya.

Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku telah ikut perang Badar, kami melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliaulah yang paling dekat dengan musuh dan paling berani di antara kami.”

Peperangan terjadi denagn musuh Allah dan Rasul-Nya. Kaum muslimin pun membunuh dan menyandera musuh-musuhnya. Sehingga terbunuhlah sedikitnya tujuh puluh orang pembesar Quraisy, di antaranya: Utbah bin Rabi’ah saudaranya Syaibah dan anaknya Walid dalam perang tanding. Dua pemuda Anshar Mu’az bin ‘Amru bin Al-Jamuh dan Mu’awwidz bin Afra’ berhasil membunuh Abu Jahal. ‘Abdullah bin Mas’ud yang mengetahui hal itu pun ikut membunuh Abu Jahal. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengetahui hal itu pun beranjak bersama Ibnu Mas’ud dan berdiri di depan mayat Abu Jahal seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghinakan engkau wahai musuh Allah. Ia adalah Fir’aunnya umat ini.”

 

Kematian Abu Jahal dalam Perang Badar

Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Ketika Perang Badar aku berada di tengah barisan. Tiba-tiba saja dari sisi kanan dan kiriku muncul dua orang pemuda yang masih sangat belia. Aku berharap seandainya saat itu aku berada di antara tulang-tulang rusuk mereka (untuk melindungi mereka, pen.). Salah seorang dari mereka mengedipkan mata kepadaku dan berkata,  “Wahai paman, engkau kenal Abu Jahal?” Kukatakan kepadanya, “Anakku, apa yang akan kau perbuat dengannya?” Pemuda itu kembali berkata,

ِأُخْبِرْتُ أَنَّهُ يَسُبُّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَئِنْ رَأَيْتُهُ لاَ يُفَارِقُ سَوَادِى سَوَادَهُ حَتَّى يَمُوتَ الأَعْجَلُ مِنَّا

“Aku mendengar bahwa ia telah mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun bersumpah kepada Allah seandainya aku melihatnya niscaya aku akan membunuhnya atau aku yang akan mati di tangannya.”

Aku pun tercengang kaget dibuatnya. Lalu pemuda yang satunya lagi mengedipkan mata kepadaku dan mengatakan hal yang sama kepadaku. Seketika itu aku melihat Abu Jahal berjalan di tengah kerumunan orang. Aku berkata, “Tidakkah kalian lihat? Itulah orang yang kalian tanyakan tadi.” Mereka pun saling berlomba mengayunkan pedangnya hingga keduanya berhasil membunuh Abu Jahal.”

ِثُمَّ انْصَرَفَا إِلَى رَسُولِ اللَّهُ – صلى الله عليه وسلم – فَأَخْبَرَاهُ فَقَالَ « أَيُّكُمَا قَتَلَهُ » . قَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنَا قَتَلْتُهُ . فَقَالَ « هَلْ مَسَحْتُمَا سَيْفَيْكُمَا » . قَالاَ لاَ . فَنَظَرَ فِى السَّيْفَيْنِ فَقَالَ « كِلاَكُمَا قَتَلَهُ »

Kemudian mereka menghadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan kepada beliau. Maka beliau bertanya, “Siapakah di antara kalian berdua yang membunuhnya?” Keduanya mengacung lalu mengatakan, “Saya yang telah membunuhnya.” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, “Apakah kalian sudah membersihkan pedang kalian?” Mereka menjawab, “Belum.” Perawi berkata, “Lalu beliau memeriksa pedang mereka dan bersabda, ‘Kalian berdua telah membunuhnya.’” Kemudian beliau memutuskan bahwa harta rampasannya untuk Mu’adz Ibnu ‘Amr Ibnu al-Jamuh. Kedua pemuda itu adalah Mu’adz bin ‘Afra’ dan Mu’adz bin ‘Amr bin Al-Jamuh. (HR. Bukhari, no. 3141 dan Muslim, no. 1752)

Baca juga: Bukan Pemuda Biasa

 

Kekalahan Kafir Quraisy dalam Perang Badar

Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Ruwai’i Al-Ghanam, “Aku baru saja melalui peperangan yang berat, tetapi aku berhasil memenggal kepala Abu Jahal dan membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian yang terbunuh adalah Umayyah bin Khalaf, Al-‘Ash bin Hisyam, ‘Abdullah bin Al-Jarrah, Hanzhalah bin Abu Sufyan, Naufal bin Khuwailid, dan Abu Bakar Al-Bakhtari bin Hisyam, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menasihatinya, tetapi ia menolaknya. Para sahabat berkata kepadanya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk membunuh kecuali kamu.” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah kalau begitu aku akan mati terbunuh bersama-sama mereka.” Dan masih banyak lagi yang terbunuh dari kalangan Quraisy saat itu.

Seiring dengan tergelincirnya matahari pada hari itu, pulanglah Quraisy ke Makkah dengan kekalahan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para sahabat untuk memindahkan mayat-mayat syuhada yang bergelimpangan di arena peperangan untuk dikuburkan di tanah Badar, kecuali Umayyah bin Khalaf. Sebab, jasadnya menggelembung sehingga mengisi baju besinya. Kemudian mereka mencoba menanggalkan baju besinya tersebut, tetapi kulitnya mengelupas.

Pertolongan telah sempurna, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengirim para pemberi kabar gembira sebelum beliau bertolak ke Madinah, yaitu ‘Abdullah bin Rawahah diutus ke penduduk ‘Aliyah, dan Zaid bin Haritsah diutus kepada penduduk Madinah dengan mengendarai unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keduanya pun mengeliling kota Madinah sambil bertahlil dan bertakbir, serta mengabarkan kepada penduduk Madinah dengan pertolongan yang besar itu.

Ketika orang-orang muslim ingin membagi ghanimah (harta rampasan perang) yang mereka peroleh pada perang Badar, mereka pun berselisih tentangnya. Para pemuda yang berperang untuk mengintai orang-orang kafir mengatakan, “Kamilah yang telah membunuh para musuh itu, dan jika bukan karena kami tidak akan dapatkan ghanimah ini.” Orang-orang yang berada di sekeliling Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melindungi beliau dari musuh pun berkata, “Kamilah yang takut apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkena senjata musuh. Jika tidak, niscaya kami pun akan ikut mengumpulkan ghanimah.” Lalu berkata pula orang-orang yang mengumpulkan ghanimah, “Kamilah yang mengumpulkannya, jika tidak, niscaya tidak seorang pun yang mendapatkan bagian.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mengumpulkan seluruh harta ghanimah hingga Allah menentukan hukum-Nya. Lalu turunlah firman Allah,

ِيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَنْفَالِ ۖ قُلِ الْأَنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ ۖ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman”.” (QS. Al-Anfal: 1)

Pada hari ketiga setelah peristiwa Badar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk meninggalkan tempat tersebut yang kemudian diikuti oleh para sahabat. Kemudian beliau berdiri di pinggir pemakaman para syuhada seraya memanggil nama para syuhada yang telah gugur, “Wahai fulan bin fulan, wahai fulan bin fulan, bergembiralah kalian bahwa sesungguhnya kalian telah taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apakah kalian mendapatkan apa yang telah dijanjikan Rabb kalian?” Umar bin Al-Khaththab pun bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin engkau berbicara dengan jasad-jasad yang tidak bernyawa?” Beliau menjawab, “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah kalian lebih dapat mendengar dibandingkan mereka tentang apa yang aku katakan.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beranjak meunju Madinah dengan penuh rasa syukur dan memuji-Nya. Bersama mereka tersapat para tawanan perang yang jumlahnya sekitar tujuh puluh orang lalu diberikan kepada para sahabat. Beliau berwasiat kepada para sahabat tersebut agar memperlakukan mereka dengan baik. Para sahabat pun melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu ‘Aziz bin ‘Umair yang merupakan saudara dari Mush’ab bin ‘Umair mengatakan, “Aku termasuk salah seorang tawanan Badar dan berada dalam salah satu kelompok Anshar. Apabila waktu makan siang dan makan malam tiba, mereka mengkhususkanku untuk makan roti, sedangkan mereka makan kurma karena wasiat Rasulullah kepada mereka. Tidak seorang pun di antara mereka yang di tangannya terdapat roti, kecuali dia memberikannya kepadaku. Aku pun merasa malu dan menolak pemberian itu. Akan tetapi, dia pun menolak dan tidak menyentuh roti itu sedikit pun.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya tentang para tawanan. Abu Bakar mengusulkan agar membiarkan mereka hidup, tetapi dengan tebusan. Umar bin Al-Khaththab mengusulkan agar membunuh mereka semua. Rasul pun ternyata lebih setuju untuk menerima tebusan dari mereka. Kemudian turun firman Allah Ta’ala,

ِمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

ِلَوْلَا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.” (QS. Al-Anfal: 67-68)

Tafsiran dari ayat di atas:

  • Tidak sepatutnya seorang Nabi memiliki tawanan perang dari golongan kafir yang menyerangnya sebelum ia berhasil menghabisi banyak orang kafir. Hal itu dimaksudkan untuk menggentarkan hati mereka sehingga tidak kembali menyerangnya. Kalian -wahai orang-orang mukmin- ingin menjadikan tawanan perang Badar sebagai alat untuk meminta tebusan. Sedangkan Allah menghendaki (kalian mendapatkan kebahagiaan hidup di) akhirat yang dapat diperoleh dengan menolong dan memenangkan agama-Nya. Dan Allah Maha Perkasa di dalam Żāt-Nya, sifat-sifat-Nya, dan kekuatan-Nya, tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkan-Nya, lagi Maha Bijaksana dalam menentukan takdir-Nya dan menetapkan syariat-Nya.
  • Kalaulah bukan karena adanya ketetapan dari Allah yang sudah ditetapkan dengan qadha dan qadar-Nya, bahwa Dia menghalalkan ghanimah (harta rampasan perang) bagi kalian dan memperbolehkan kalian mengambil tebusan dari tawanan perang, niscaya kalian akan ditimpa azab yang sangat berat dari Allah karena kalian telah mengambil ganimah dan tebusan sebelum turunnya wahyu dari Allah yang memperbolehkan hal itu.

Baca juga: Uang Tips dan Hadiah Khianat

Catatan:

  • Thalhah bin ‘Ubaidillah tidak mengikuti perang Badar karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya bersama Sa’id bin Zaid untuk menelisik berita rombongan kaum musyrik. Namun, Thalhah dan Sa’id bin Zaid tetap diberikan ghanimah dan upah.

Baca juga: Karamah Said bin Zaid dengan Doanya yang Terkabul

 

Kemudian para tawanan pun mulai mengumpulkan tebusan, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkeinginan untuk membebaskan sebagian tawanan tanpa tebusan karena mereka orang-orang fakir yang tidak mempunyai harta seperti Abu ‘Izzah, si penyair. Di antara mereka ada yang tebusannya berupa mengajarkan sepuluh pemuda muslim Madinah agar bisa membaca dan menulis.

Sementara yang syahid di kalangan muslim pada perang Badar berjumlah empat belas orang. Enam dari kaum Muhajirin dan delapan orang dari Anshar yang enam di antara mereka berasal dari Khazraj dan dua lainnya dari Aus.

Demikianlah akhir perang Badar dengan pertolongan yang besar bagi orang-orang mukmin serta kehinaan bagi orang-orang kafir.

 

Pelajaran dari Kisah Perang Badar

 

Pertama: Balasan kejahatan adalah sepadan dengannya. Orang-orang Quraisy memusuhi dan menyiksa orang mukmin; baik dari agama, harta, keluarga, dan tempat tinggalnya, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat pun harus berpindah dari tanah air dan keluarga mereka. Oleh karena itu, mencegat unta mereka dan berusaha untuk menguasai apa yang ada pada unta-unta tersebut berupa harta merupakan suatu hal yang dibolehkan, adil, dan bukanlah suatu tindakan kezaliman. Selain itu, kaum muslimin dalam kondisi berperang dengan orang-orang kafir Quraisy. Selain itu, mengambil harta rampasan adalah sesuatu yang dibolehkan. Selain karena masih ada sebab khusus dan umum, karena tahun ini merupakan tahun terakhir orang muslim dibolehkan keluar untuk merampas unta dan harta kafir Quraisy.

Kedua:  Kaum muslimin keluar dengan maksud merampas harta orang kafir yang dibawa unta dan yang keluar untuk melaksanakan tujuan ini hanya berjumlah tujuh puluh orang dengan senjata biasa. Namun, Allah menghendaki yang lebih mulia dari itu agar Islam lebih berpengaruh dan untuk mengalahkan orang-orang kafir. Menegakkan kebenaran dan menghancurkan orang kafir lebih mulia daripada hanya sekadar memeras kafilah pedagang yang membawa harta orang-orang kafir, sekalipun ini juga merupakan hal yang baik.

Ketiga: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ali bin Abi Thalib, dan Martsad bin Abi Martsad Al-Ghanawi saling bergantian menaiki unta. Ketika sampai giliran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berjalan, keduanya berkata, “Wahai Rasulullah, biarlah kami saja yang berjalan.” Beliau menjawab, “Kalian berdua tidak lebih kuat dariku dan saya tidak membutuhkan upah dari kalian.”

Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap kepada kedua sahabatnya dengan penuh keadilan dan kasih sayang. Dengan kedudukannya sebagai Rasul, beliau tetap tidak sombong diri dari kedua sahabatnya dengan menaiki tunggangan dan membiarkan keduanya berjalan. Namun, beliau ikut bersama dalam menanggung kesusahan dan keletihan.

Keempat: Orang-orang muslim dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk mencegat kafilah dagang Abu Sufyan, kemudian turunlah firman Allah, surah Al-Anfaal ayat 5-8. Allah lebih memilih agar kaum muslimin berperang agar menampakkan kekuatan orang-orang muslim kepada orang-orang kafir, mengalahkan mereka, dan memproklamasikan agama-Nya dan meninggikan nama-Nya, Allah yang mengatur urusan hamba-Nya, walaupun hamba menginginkan selain itu.

Kelima:  Dalam perjalanan, Hudzaifah dan ayahnya Husail menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hudzaifah berkata, “Tidak ada yang menghalangiku untuk ikut perang Badar. Hanya saja orang-orang kafir Quraisy ingin mengajak kami, mereka berkata, “Apakah kalian menginginkan Muhammad?” Maka kami menjawab, “Tidak, kami tidak menginginkannya. Kami mau menuju Madinah.” Kemudian berperang bersama mereka. Kemudian kami pun menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau berkata kepadanya, “Ikutlah bersama kami, batalkan sumpah dengan mereka  dan kita meminta perlindungan kepada Allah.” (HR. Muslim, 3:1414, no. 1787)

Hudzaifah dan ayahnya ditawan oleh orang-orang musyrik dan tidak akan dilepas, kecuali setelah menandatangani perjanjian untuk tidak membantu orang muslim. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan agar membatalkan sumpah tersebut dan ikut bersama beliau. Hal ini ada dua pelajaran:

1. Pentingnya setia terhadap suatu perjanjian.

2. Perjanjian ada yang tidak perlu ditaati, sebab akan mendatangkan mudarat yang lebih besar dibandingkan manfaatnya.

Keenam: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui berita tentang kelompok dagang Abu Sufyan, beliau pun melakukan musyawarah dengan para sahabatnya untuk melawan musuh. Dari sini ada beberapa pelajaran yang bisa diambil:

1. Perintah untuk bermusyawarah ketika mengambil suatu keputusan.

2. Musyawarah di sini bertujuan untuk mengetahui kondisi kaum muslimin, walau dengan jumlah dan persiapan yang sedikit.

3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menampung berbagai ide dari para sahabat. 

Ketujuh: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah padahal beliau memiliki pendapat yang sempurna. Beliau ingin mengajarkan kepada para sahabat agar musyawarah dijadikan kebiasaan sepeninggal beliau wafat.

Kedelapan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ke suatu tempat di dekat Badar sampai keduanya berhenti dan bertanya kepada seseorang yang sudah tua (syaikh), tetapi orang tersebut enggan menjawab, kecuali jika keduanya memberitahukan identitasnya. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berjanji akan memberitahunya, lalu orang tua memberitahukan apa yang diketahuinya tentang kelompok Quraisy dan pasukan beliau. Ketika orang tersebut menanyakan identitas keduanya, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kami dari Maa’ (air).” Kemudian mereka meninggalkan orang tua tersebut. Laki-laki itu berkata, “Dari maa‘ (air)? Maa’ yang mana? Apakah Maa’ ‘Iraq?”

Jawaban ini tidak mengindikasikan pada suatu tertentu, ini termasuk tawriyah (trik, seolah-olah terlihat benar). Walaupun maksud jawaban beliau tersebut benar adanya, bahwa segala yang hidup itu berasal dari maa’ (air). Namun, jawaban tersebut sejatinya tidak memberikan jawaban manfaat untuk orang tua yang bertanya tadi. Ini adalah cara bagi seorang muslim untuk menghindari kebohongan pada posisi terdesak.

 

Catatan: Berbohong asalnya tidak boleh. Berbohong hanya boleh ketika keadaan terdesak.

ِ- وعن أمِّ كُلْثُوم بنت عُقْبَة بن أَبي مُعَيط رضي الله عنها ، قَالَتْ : سمِعتُ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، يَقُولُ : (( لَيْسَ الكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيراً ، أَوْ يقُولُ خَيْراً )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .

ِوفي رواية مسلم زيادة ، قَالَتْ : وَلَمْ أسْمَعْهُ يُرْخِّصُ في شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُهُ النَّاسُ إلاَّ في ثَلاثٍ ، تَعْنِي : الحَرْبَ ، وَالإِصْلاَحَ بَيْنَ النَّاسِ ، وَحَدِيثَ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ ، وَحَدِيثَ المَرْأةِ زَوْجَهَا)) .

Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abu Mu’aith radhiyallahu ‘anha berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bukannya termasuk pendusta, orang yang mendamaikan antara sesama manusia lalu ia menyampaikan berita yang baik atau mengatakan sesuatu yang baik.” (HR. Bukhari, no. 2692 dan Muslim, no. 101/2605)

Dalam riwayat Muslim disebutkan tambahannya demikian, “Ummu Kultsum berkata, ‘Saya tidak pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan berdusta melainkan pada tiga hal:

  1. dalam peperangan,
  2. dalam mendamaikan antara sesama manusia,
  3. perkataan seorang suami pada istrinya atau perkataan istri pada suaminya (yang akan membawa kebaikan rumah tangga dan lain-lain).”

Baca juga: Berbohong yang Boleh dan Tawriyah

Kesembilan: Ketika Al-Hubab bin Al-Mundzir radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tempat yang beliau pilih itu berdasarkan wahyu ataukah pendapatnya sendiri? Beliau mengatakan bahwa itu adalah pendapatnya sendiri. Tatkala Al-Hubab mengetahui bahwa hal itu bukanlah wahyu yang beliau terima, maka ia pun mengemukakan pendapat yang lain yang berbeda dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini adalah cara yang baik yang harus diikuti oleh setiap muslim. Sebab, dalil syariat tidak boleh kalah dengan ijtihad, apalagi ditentang, tetapi wajib bagi setiap muslim mengikuti dan melaksanakan dalil syariat. Jika tidak ada ketentuannya dalam dalil, yakni Al-Qur’an dan Hadits, maka barulah seseorang boleh mengemukakan pendapatnya dan melakukan ijtihad, jika ia kompeten dalam hal ini.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata,

ِإِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ

Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 1:63)

Baca juga: Manut pada Kyai

Kesepuluh: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima pendapat Al-Hubbab yang beliau isyaratkan dengan perkataannya, “Engkau telah memberikan pendapat yang tepat.” Hal tersebut mengajarkan kepada kita mengenai kebenaran dan tidak mengapa bagi seorang muslim meninggalkan pendapatnya untuk mengambil pendapat yang lain jika memang itu lebih benar. Selain itu, bukan dari sikap seorang muslim untuk bersikeras dan mempertahankan pendapatnya seperti ia mempertahankan harga dirinya, terlebih lagi apabila jelas-jelas pendapat orang lain lebih benar dan lebih baik dari pendapatnya. Hal ini mencerminkan teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah telah berfirman dalam kisah Nuh ‘alaihis salam,

ِقَالَ رَبِّ اِنِّيْٓ اَعُوْذُ بِكَ اَنْ اَسْـَٔلَكَ مَا لَيْسَ لِيْ بِهٖ عِلْمٌ ۗوَاِلَّا تَغْفِرْ لِيْ وَتَرْحَمْنِيْٓ اَكُنْ مِّنَ الْخٰسِرِيْنَ

Dia (Nuh) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu untuk memohon kepada-Mu sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya). Kalau Engkau tidak mengampuniku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku termasuk orang yang rugi.” (QS. Hud: 47). Ayat ini menunjukkan bentuk penyerahan Nuh ‘alaihis salam terhadap keputusan Allah dan ia pun memohon ampun kepadsa Allah. Imam Al-‘Aini rahimahullah berkata tentang ayat ini bahwa kembali kepada kebenaran termasuk dalam kesempurnaan agama.

Kesebelas: Ketika sebuah tenda atau tandu dibuat untuk memuliakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Abu Bakarlah yang menemani beliau. Hal ini merupakan keistimewaan Abu Bakar. Ia juga bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam gua. Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Inilah keistimewaan Abu Bakar dan dialah yang berhak bersama beliau dalam tenda tersebut sebab ia juga telah menemani beliau di dalam gua.” Hal ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah.

Kedua belas: Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh aku telah melihat semua orang tertidur pada malam perang Badar, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shalat di bawah pohon sampai Shubuh.”

Baca juga: Mereka Sedikit Tidur pada Malam Hari

Dalam hal ini terdapat sebuah pelajaran untuk selalu dan bersegera berlindung kepada Allah terutama pada situasi darurat. Pada malam berikutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berdoa dan bermunajat kepada Allah serta berharap pertolongan kepada Allah bagi orang beriman. Mengharap pertolongan tidaklah datangnya dari orang yang duduk-duduk atau tidur, tetapi haruslah dari seseorang yang khusyuk dalam doanya, agar ia diberikan jawaban atas doanya dan tercapai apa yang diinginkannya. Dalam memohon kepada Allah, disyariatkan untuk berlindung kepada Allah, serta memperbanyak doa dan penyerahan diri di hadapan-Nya sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menghabiskan malam Badar dengan mengerjakan shalat sampai Shubuh.

Baca juga: Kiat-Kiat Terkabulnya Doa

Ketiga belas: Diutusnya Ima’ah Al-Ghifari kepada Quraisy dengan membawa pesan bahwa ia akan mempersiapkan persenjataan dan pasukan bagi mereka. Namun, mereka berkata padanya, “Jika kita ingin memerangi Muhammad, maka kita sudah mempunyai cukup prajurit untuk memeranginya, tetapi jika kita ingin memerangi Rabb Muhammad, maka tidak seorang pun yang sanggup untuk memerangi-Nya.” Kata-kata ini dilontarkan oleh para penyembah berhala. Namun, orang-orang muslim zaman sekarang lalai akan hal ini, bukankah kita perlu kepada keyakinan yang kuat akan pertolongan Allah? Orang mukmin itu istimewa, ia tidak berperang sendiri untuk menghadapi musuhnya, tetapi dengan izin dan pertolongan Allah. Inilah perbedaan antara jihad yang dilakukan oleh orang-orang mukmin dan perang yang lebih dulu dikobarkan oleh orang kafir. Dua hal yang jauh berbeda, antara jihad di jalan Allah, maka Allah bersama mereka dengan pertolongan, tentu berbeda dengan orang yang memerangi Allah dan berkeinginan untuk membunuh para wali-Nya.

Keempat belas: Kisah Sawad bin Ghaziyah yang menuntut balas kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Rasul memukul perutnya dengan tongkat dan berkata, “Luruskan wahai Sawad.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka bajunya untuk dibalas, Sawad pun mencium perut beliau.

Baca juga: Memahami Ngalap Berkah

Pada kisah ini dapat kita petik dua hal:

  1. Kecintaan yang tinggi dari para sahabat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Kemuliaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemuliaan akhlaknya ketika membuka bajunya sehingga memungkinkan Sawad mencium perut beliau. Ini adalah bentuk keadilan yang patut dicontoh oleh manusia.

Kelima belas: Keharusan berdoa dan memperbanyak munajat kepada Allah terutama dalam situasi genting. Kebanyakan orang lupa dan lalai berdoa karena kesibukannya mengejar hal-hal yang bersifat duniawi. Sebab, doa merupakan senjata orang mukmin yang dituntut untuk selalu melakukannya dalam setiap situasi dan kondisi.

Lihatlah orang musyrik saja masih berdoa kepada Allah dengan tulus ketika mereka dalam kondisi genting. Maka jangan sampai seorang muslim tinggalkan doa dalam kondisi semacam itu. Allah Ta’ala berfirman,

ِفَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)” (QS. Al-Ankabut: 65).

Baca juga:

Keenam belas: Keutamaan berjihad dan berperang di jalan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah kamu kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” Pengaruh dari sabda beliau tersebut terlihat pada ‘Umair bin Al-Humam radhiyallahu ‘anhu. Ia pun membuang sebagian kurmanya dan langsung berperang sehingga terbunuh dan syahid di jalan Allah.

Di antara keutamaan jihad disebutkan dalam hadits,

ِعَلَيْكُمْ بِالْجِهَادِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ –تَبَارَكَ وَتَعَالَى-، فَإِنَّ الْـجِهَادَ فِـيْ سَبِيْلِ اللهِ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الْـجَنَّةِ ، يُذْهِبُ اللهُ بِهِ مِنَ الْهَمِّ وَالْغَمِّ.

“Wajib atas kalian berjihad di jalan Allah Tabaaraka wa Ta’ala, karena sesungguhnya jihad di jalan Allah itu merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu Surga, Allah akan menghilangkan dengannya dari kesedihan dan kesusahan.” (HR. Al-Hakim, 2:74-75 dan Ahmad, 5:314, 316, 319, dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit, disahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِأُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ…

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah…” (HR. Bukhari, no. 25 dan Muslim, no. 22)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan, “Tujuan jihad adalah agar kalimat Allah tinggi, dan agar agama semuanya milik Allah, yaitu maksud tujuannya agar agama Allah tegak (di muka bumi).” (Majmu’ah Al-Fatawa, 15:170; 28:23,354)

Ketujuh belas: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh pasukan dari Bani Hasyim sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh Al-Bakhtari bin Hisyam, karena mereka dipaksa untuk berperang, sementara mereka sudah beriman tetapi masih menyembunyikan keimanannya. Selain itu, mereka termasuk orang-orang yang membela nabi di Makkah. Hal ini menggambarkan kepada kita tentang suatu sikap untuk menjaga dan membina silaturahim serta memenuhi hak-hak sahabatnya. Selain itu, ini merupakan metode pembelajaran yang diajarkan oleh Rasulullah yang seharusnya tercermin dalam keseharian seorang muslim.

Kedelapan belas: Menjelaskan tentang kematian Abu Jahal yang dibunuh oleh dua pemuda Anshar, yang kemudian kepalanya dipancung oleh Ibnu Mas’ud hingga putus, lalu membawanya ke hadapan Rasulullah.

Firman Allah Ta’ala,

ِقَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ

ِوَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ ۗ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَىٰ مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan menghilangkan panas hati orang-orang mukmin. Dan Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya. Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 14-15). Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ayat ini menjelaskan tentang kematian Abu Jahal di tangan pemuda Anshar. Kemudian Ibnu Mas’ud berdiri di samping jasadnya dan memegang jenggot Abu Jahal lalu berkata, “Engkau telah menempuh jalan yang sulit, wahai penggembala kambing.” Kemudian setelah itu, ia memenggal kepala Abu Jahal lalu membawanya ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan kematian Abu Jahal, hati kaum muslimin menjadi terobati.”

Baca juga: Abu Jahal Ternyata Mengakui Allah Sebagai Pencipta

Kesembilan belas: Terbunuhnya para kafir Quraisy di Badar seperti Umayyah bin Khalaf menunjukkan bahwa peperangan Islam memiliki keistimewaan tersendiri. Mereka yang terbunuh adalah orang-orang yang menyakiti, menyiksa, menghina, mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam berbagai bentuk. Mereka jugalah yang mengusir nabi dan para sahabat dari rumah-rumah mereka, dari keluarga, serta harta mereka. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengubur mereka dengan tanah dan batu. Ini untuk menunjukkan kemuliaan Islam dan juga bagaimana Islam memuliakan manusia. Allah Ta’ala berfirman,

ِوَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Israa’: 70)

Baca juga: Siapakah Sahabat Nabi dan Berapa Jumlahnya?

Dalam Sunan Daruquthni (4:116, dalam kitab As-Siyar) disebutkan, dari Ya’la bin Murrah, ia berkata, “Aku bepergian bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah sekali. Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati mayat manusia, melainkan beliau menyuruh untuk menguburkannya. Beliau tidak bertanya apakah ia muslim ataukah kafir.”

Baca juga: Manusia itu Suci Ketika Hidup dan Matinya

Kedua puluh: Apa hikmah malaikat ikut berperang bersama Nabi dalam perang Badar, padahal Jibril mampu mengalahkan mereka hanya dengan bulu sayapnya saja?

Jawaban, hal itu terjadi atas kehendak Allah yang perbuatan nyatanya dilakukan oleh nabi dan para sahabat ditambah jumlah malaikat sesuai dengan jumlah pasukan. Ini menunjukkan bahwa kita harus tetap lakukan sebab agar mendapatkan akibat, tidak hanya bergantung kepada takdir.

Baca juga: Jangan Hanya Bergantung kepada Takdir

Kedua puluh satu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus para sahabatnya ke Madinah untuk memberi kabar atas kemenangan mereka di Perang Badar. Dari sini ada faedah, disyariatkan memberikan kabar gembira kepada kaum muslimin ketika mendapatkan satu kebaikan. Seorang muslim tentu menyukai jika saudaranya mendapatkan kebaikan.

Baca juga: Adapun Nikmat Allah, Beritahukanlah kepada yang Lain

Kedua puluh dua: Ketika orang-orang muslim ingin membagi ghanimah (harta rampasan perang) yang mereka peroleh pada perang Badar, mereka pun berselisih. Hal ini menunjukkan, kita mesti waspada terhadap perkara-perkara duniawi, karena efek jeleknya bisa menimbulkan perpecahan dan pertengkaran. Cukuplah berpuas diri dan mengambil sekadarnya saja. Jika kita kembalikan perihal harta kepada Allah, itu akan mendamaikan dan menenangkan hati. Mengenai hal ini turunlah ayat,

ِيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَنْفَالِ ۖ قُلِ الْأَنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ ۖ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman”.” (QS. Al-Anfal: 1)

Ada dua hal yang perlu diingatkan tentang harta dibandingkan dengan ilmu yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim:

  • Orang kaya harta mengharuskan dirinya berbuat baik kepada orang lain, hingga ia dihadapkan pada dua kemungkinan, yaitu menutup pintu kebaikan itu atau membukanya. Jika menutup pintu berbuat baik kepada orang lain, ia dikenal sebagai orang yang jauh dari kebaikan dan manfaat sehingga ia dibenci, dicela, lagi dihina banyak orang sehingga hatinya merasa pedih, duka, dan pilu. Sedangkan, jika ia membuka pintu kebaikan dan berbagai dengan orang lain, tetap saja ia tidak akan mampu melakukannya kepada semua orang. Ia hanya bisa berbuat baik kepada sebagian orang. Cara seperti ini tentu saja akan membuka pintu permusuhan serta celaan orang miskin dan orang yang tidak dibantu. Kekurangan-kekurangan semacam ini tidaklah menimpa orang yang kaya ilmu. Orang yang berilmu bisa membagikan ilmunya kepada semua orang. Ilmu yang telah dibagikan darinya justru tetap utuh dan tidak pernah lenyap. Bahkan, ia seperti berbisnis dengan ilmu yang diberikannya. Seperti orang kaya yang memberikan hartanya kepada orang fakir, lantas harta tersebut dipakai untuk berdagang, sehingga si fakir menjadi orang kaya seperti dirinya. (Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:419, poin 32)
  • Lengkapnya nikmat kekayaan dapat dirasakan ketika bergaul dengan orang lain, seperti dengan pembantunya, istri, selir, atau para pengikut (followernya). Orang kaya itu akan selalu diusik oleh orang lain sehingga timbul kebencian, permusuhan, timbul rasa marah karena hanya bisa menyenangkan sebagian orang. Itulah alasan keburukan yang ditimbulkan kerabat dan sanak keluarga pada harta berlipat kali dibandingkan dengan keburukan orang yang jauh atau bukan kerabat. Pergaulan seperti ini hanya dialami oleh orang kaya harta. Adapun jika ia tidak memiliki jasa kepada orang lain, orang lain akan menjauhi dirinya agar terhindar dari sisi negatif interaksi dengannya. Penyakit demikian tidak ada dalam orang yang kaya ilmu. (Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:422, poin 34)

Baca juga: 40 Alasan Kenapa Ilmu Agama Lebih Baik daripada Harta

Kedua puluh tiga: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bersama tawanan. Kemudian beliau mewasiatkan agar tawanan-tawanan tersebut dijaga dan dilayani dengan baik. Para sahabat memuliakan para tawanan, padahal para tawanan tersebut baru saja memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Selain itu, mereka juga menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama di Makkah dan sekarang mereka menjadi tawanan kaum muslimin, sementara beliau memerintahkan kepada para sahabat agar berlaku baik terhadap mereka. Ini menunjukkan bahwa perang dalam Islam berbeda dengan perang yang dilakukan oleh orang-orang kafir. 

Baca juga: Kaidah Ibnu Taimiyyah Mengenai Balas Dendam

Kedua puluh empat: Kasih sayang (mawaddah) dengan memperlakukan manusia dengan baik (husnul mu’amalah) itu berbeda. Allah Ta’ala berfirman,

ِلَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS. Al-Mujadilah: 22). Mencintai non-muslim itu terlarang, tetapi berbuat baik kepada mereka tetap diharuskan. Hal ini dikarenakan jika mereka diperlakukan dengan baik, diharapkan mereka akan kembali kepada jalan Allah dan kepada kebenaran. Allah Ta’ala berfirman,

ِوَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 83). Dalam bergaul dengan non-muslim harus dibedakan antara cinta dan berlaku baik dengan mereka. Sebab, memberikan kecintaan kepada non-muslim adalah sesuatu yang dilarang, sedangkan berinteraksi dengan baik terhadap mereka adalah suatu keharusan.

Baca juga:

Kedua puluh lima: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil tebusan dari para tahanan. Di antara bentuk tebusan itu adalah dengan mengajarkan sepuluh pemuda Madinah tentang baca tulis. Diterimanya tebusan seperti ini, padahal pada waktu itu yang lebih dibutuhkan adalah harta, maka hal tersebut menunjukkan kepada kita tentang besarnya perhatian Islam terhadap ilmu dan pemberantasan kebodohan melebihi daripada kebutuhan mereka kepada harta. Sebagaimana ayat yang pertama kali turun, yang memerintahkan untuk membaca. Allah Ta’ala berfirman,

ِاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5)

Baca juga: Faedah Sirah Nabi, Lima Ayat dari Wahyu Pertama 

Selain itu, masih banyak ayat atau pun hadits yang memberikan dorongan untuk menuntut ilmu serta mulianya orang yang berilmu (ulama). Peristiwa tersebut merupakan langkah awal dari pengentasan buta aksara dan menyebarkan baca tulis di kalangan kaum muslimin.

Baca juga: Keutamaan Ilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah karya Imam Ibnul Qayyim

Kedua puluh enam: Pengajaran baca tulis yang dilakukan oleh para tawanan kepada pemuda-pemuda Islam menunjukkan bolehnya bolehnya mempelajari ilmu duniawi dari orang kafir. Baca tulis seperti ini tidak membahayakan agama dan diri. Sebab, tawanan Badar saat itu adalah kaum musyrikin. Hal seperti ini seharusnya dilakukan ketika tidak ada orang muslim yang mengajarkan anak-anak mereka. Keadaan tersebut dilakukan dalam keadaan terpaksa saja, karena pengajar itu bisa jadi contok baik ataukah jelek walau secara tidak langsung.

Baca juga: Hukum Kuliah ke Negeri Kafir

Kedua puluh tujuh: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tawanan, “Kalau saja Al-Muth’im bin ‘Adi masih hidup, kemudian ia berbicara padaku tentang mereka, niscaya aku akan membebaskannya.” Artinya, ia dibiarkan hidup tanpa tebusan sebagai bentuk dari memuliakannya dan menerima permohonan maafnya. Karena ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari Thaif dan tidak masuk ke Makkah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di dekat Muth’im. Muth’im memuliakan nabi dan melayani nabi tanpa rasa canggung. Jadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan balas budi meskipun dengan non-muslim.

Kedua puluh delapan: Keistimewaan orang-orang yang ikut serta dalam perang Badar.

  • Diriwayatkan dari Mu’adz bin Rifa’ah bin Raafi’ Az-Zurqi–bapaknya termasuk ahli Badar–, ia berkata, “Jibril telah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Bagaimana menurut kalian tentang Ahli Badar?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Mereka adalah sebaik-baiknya muslim, begitu pula para malaikat yang turut serta dalam perang Badar.'”
  • Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, “Saat perang Badar, Haritsah tewas terkena panah, ia adalah seorang pemuda. Kemudian ibunya datang menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, engkau lebih mengetahui keadaan Haritsah dibandingkan aku. Jika ia di surga, maka aku akan bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah. Namun, jika ia di tempat yang lain, niscaya engkau akan melihat apa yang akan aku lakukan.’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya, ‘Ia berada di surga, tetapi surga itu banyak dan ia berada di surga Firdaus.'” Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan bahwa inilah hadits yang menunjukkan keutamaan Ahli Badar.
  • Dari ‘Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang kedudukan Hathib bin Abi Baltha’ah, “Bukankah dia termasuk Ahli Badar? Semoga Allah mencatat ia sebagai Ahli Badar. Lalu beliau berkata, ‘Berbuatlah sekehendak hati kalian, sesungguhnya kalian telah mendapatkan surga atau dosa kalian telah diampuni.'” Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang benar mengenai maksud hadits ini adalah dosa para Ahli Badar tetap ada, tetapi dosa mereka diampuni. Ini sebagai bentuk pemuliaan pada Ahli Badar dibanding dengan yang lainnya karena mereka telah mengikuti perang yang besar.”

Abu Syuhbah berkata, “Maksudnya adalah mereka tidak akan disiksa karena keimanan mereka telah teruji dengan perang Badar. Bukan berarti Allah membiarkan mereka melakukan apa yang mereka kehendaki tanpa batasan, tetapi Allah menjamin mereka untuk tidak melakukan larangan Allah. Karena Ahli Badar terdiri dari kaum muslimin yang paling bertakwa. Dengan lulusnya mereka dalam ujian yang besar, maka mereka diberikan kemuliaan dan kedudukan yang tinggi.”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah telah memuliakan Ahli Badar dengan mengatakan kepada mereka, i’maluu maa syi’tum, lakukan sesukamu, faqad ghofartu lakum, Aku telah mengampuni kalian, maksudnya adalah setiap maksiat bisa saja dilakukan Ahli Badar, tetapi telah dimaafkan. Karena mereka telah membayar terlebih dahulu dengan perang Badar.” (Syarh Riyadh Ash-Shalihin).

 

Selesai, walhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

 

Referensi:

Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.

 

Baca Juga:

  • Bulughul Maram – Shalat: Bermain Perang-Perangan di dalam Masjid
  • Faedah Sirah Nabi: Perang Fijar dan Hilful Fudhul

Ditulis sejak 3 Juni 2022, diperbaharui pada 8 Jumadal Ula 1444 H, 2 Desember 2022, 17.30 WIB

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

5 Komentar

  1. assalamu’alaikum. perang badar ini bagi sebagian kalangan dianggap sebagai kegiatan perampokan. karena kaum muslim niatnya akan menjarah barang dagangan orang makkah. bagaimana tanggapannya?

  2. Ijin bertanya Ustdaz, Bagaimana hukum mengontrak rumah di Bali, yg di halaman rumahnya ada semacam bangunan kecil utk menyimpan sesajen…?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button