Faedah Ilmu

Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah (Bagian 01)

Apa saja keutamaan ilmu dan orang yang berilmu? Berikut keterangan dari Imam Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’adah, penuh pelajaran di dalamnya.

 

Keterangan: nomor urut yang dalam kurung (# …) adalah nomor urut di kitab Miftah Daar As-Sa’adah karya Ibnul Qayyim.

 

Daftar Isi tutup

Pertama (#11): Orang berilmu berbeda dengan orang tidak berilmu

Sebagaimana penduduk surga dan neraka itu tidaklah sama.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9)

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۚ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ

Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah; penghuni-penghuni jannah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 20)

 

Kedua (#12): Orang tidak berilmu disifati a’maa (buta, tidak melihat)

Allah Ta’ala berfirman,

أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَىٰ ۚ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Ar-Ra’du: 19)

Hanya ada ‘aalim (berilmu) atau a’maa (buta). Allah Ta’ala juga telah menyebutkan sifat orang yang bodoh dengan shummun, bukmun, umyun (tuli, bisu, dan buta). Lihat Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:219.

 

Ketiga (#13): Orang yang berilmu yang bisa memandang kebenaran

Allah Ta’ala berfirman,

وَيَرَى الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Saba’: 6)

 

Keempat (#14): Orang yang berilmu jadi rujukan bertanya

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ahludz dzikri dalam ayat ini adalah orang yang berilmu yang memahami wahyu yang diturunkan pada para nabi.” (Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:220)

 

Kelima (#17): Al-Quran menjadi ayat yang jelas di sisi ahli ilmu

Allah Ta’ala berfirman,

بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ ۚ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ

Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.” (QS. Al-‘Ankabut: 49)

Al-Quran itu di sisi orang yang berilmu: (1) ayat yang jelas; (2) tetap di hati orang beriman..

 

Keenam (#18): Allah memerintahkan pada Nabi Muhammad untuk meminta tambahan ilmu

Allah Ta’ala berfirman,

فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۗ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَىٰ إِلَيْكَ وَحْيُهُ ۖ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”.” (QS. Thaha: 114)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Cukup dengan ayat ini yang menunjukkan keutamaan orang berilmu karena Allah benar-benar memerintahkan nabi-Nya Muhammad untuk meminta kepada-Nya tambahan ilmu.” (Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:221)

 

Ketujuh (#19): Derajat orang yang berilmu itu bertambah

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Ayat lainnya,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfaal: 2-4)

Dalam ayat lainnya disebutkan,

وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُولَٰئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَىٰ

Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia).” (QS. Thaha: 75)

Dalam ayat lainnya disebutkan,

وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا , دَرَجَاتٍ مِنْهُ وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’: 95-96)

Di empat tempat disebutkan naiknya derajat untuk orang beriman. Orang beriman tentu berasal dari ilmu naafi (ilmu yang bermanfaat) dan amal saleh. (Lihat Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:221-222)

 

Kedelapan (#20): Imannya orang yang berilmu diakui

Allah Ta’ala berfirman,

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا ۚ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا

وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا

Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. 

Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,

dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”.” (QS. Al-Isra’: 106-108)

 

Kesembilan (#21): Orang yang berilmu, merekalah ahlul khasyah, yang paling takut kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28)

Dalam ayat lain disebutkan,

جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ

Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah: 8)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ahlul khasyah, yang paling takut kepada Allah adalah ulama, ahli ilmu. Balasan yang disebutkan dalam dua dalil diatas ditujukan kepada ahli ilmu.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:223).

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَفَى بِخَشْيَةِ اللَّهِ عِلْمًا ، وَكَفَى بِالاغْتِرَارِ بِاللَّهِ جَهْلا

“Rasa takut kepada Allah Ta’ala sudah cukup dikatakan sebagai ilmu. Anggapan bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan seseorang, sudah cukup dikatakan sebagai kebodohan.” (HR. Ibnu Mubarak dalam Az-Zuhd, hlm. 15; Ahmad dalam Az-Zuhd, hlm. 158; Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir, 9:211; Ad-Darimi, 1:106; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 2:95. Kalimat ini berasal dari Masruq. Dinukil dari Miftah Daar As-Sa’adah, 1:223).

 

Kesepuluh (#22): Hanya orang berilmu yang memahami permisalan dalam Al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ ۖ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-‘Ankabut: 43)

Sebagian salaf jika melewati suatu yang berisi permisalan dalam Al-Qur’an lantas mereka tidak memahami, mereka menangis dan mengatakan, “lastu minal ‘aalimiin, aku bukanlah seorang yang berilmu.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:223).

 

Kesebelas (#26): Siapa yang dianugerahi ilmu, ia berarti telah diberikan kebaikan yang banyak.

Allah Ta’ala berfirman,

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al-Baqarah: 269)

Ibnu Qutaibah dan jumhur berpendapat bahwa al-hikmah adalah mencocoki kebenaran dan mengamalkan kebenaran tersebut. Hikmah itulah ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Demikian disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:224.

 

Keduabelas (#27): Mendapatkan ilmu berupa Al-Qur’an dan Al-Hikmah dan diajarkan oleh Allah apa yang tidak kita ketahui adalah nikmat dan karunia.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisaa’: 113)

 

Ketigabelas (#28): Nikmat ilmu itu wajib disyukuri.

Allah Ta’ala berfirman,

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 151-152)

 

Keempat belas (#29): Allah menyuruh malaikat sujud penghormatan kepada Adam, karena Adam diberikan karunia ilmu. 

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.” (QS. Al-Baqarah: 31-32)

 

Kelima belas (#31): Allah mencela orang bodoh dalam banyak tempat.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّنَا نَزَّلْنَا إِلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتَىٰ وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلًا مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ

Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-An’am: 111)

Dalam ayat lain disebutkan,

أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا

atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqan: 44)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah tidak hanya menyifatkan orang tidak berilmu serupa dengan al-an’am (hewan ternak), bahkan mereka disebut tersesat, salah jalan.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:227)

 

Keenam belas (#32): Ilmu itu hayatun (kehidupan) dan nurun (cahaya).

Sedangkan, kebodohan adalah mawtun (kematian) dan zhulmatun (kegelapan). Kejelekan itu sebabnya karena tidak adanya kehidupan dan cahaya, sedangkan kebaikan itu sebabnya karena adanya cahaya dan kehidupan.

Baca juga: Ilmu Agama itu Bagai Cahaya Penerang

 

Ketujuh belas (#33): Anjing yang dilatih dan tidak dilatih saja berbeda hasil tangkapannya. Hal ini berarti sudah pasti berbeda antara orang yang berilmu dan tidak berilmu.

Allah menjadikan hasil buruan dari anjing yang tidak dilatih sebagai bangkai yang haram dimakan. Hal ini berbeda dengan hasil buruan dari anjing yang telah dilatih. Inilah yang menunjukkan keutamaan yang berilmu dibanding yang tidak berilmu. 

Baca juga: Permisalan antara Anjing yang Cerdas dan Tidak Cerdas

 

Kedelapan belas (#34): Nabi Musa saja disuruh bersafar untuk belajar pada seorang alim (Nabi Khidr).

Perhatikan ayat berikut.

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّىٰ أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun“.” (QS. Al-Kahfi: 60)

قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

“Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan ayat di atas bahwa Musa itu datang bukan untuk memberikan ujian, tetapi ia benar-benar ingin belajar untuk ditambahkan ilmu. Inilah yang menunjukkan keutamaan ilmu. Karena nabi Allah Musa ‘alaihis sallam–sekaligus menjadi Kalimullah (yang berbicara langsung dengan Allah)–itu bersafar sampai mengalami keletihan dalam safarnya untuk mempelajari tiga masalah dari seorang alim. (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:234)

 

Kesembilan belas (#35): Tidak semua orang disuruh pergi berjihad, harus ada yang tinggal untuk tafaqquh fid diin (belajar agama).

Allah Ta’ala berfirman, 

۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)

Dalil ini juga sebagai bukti masih boleh menerima berita dari khabar wahid (kabar satu orang, bukan kabar mutawatir).

 

Kedua puluh (#36): Manusia menjadi sempurna dengan mengenal kebenaran (berilmu), beramal, berdakwah, dan bersabar.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).

Kata Ibnul Qayyim dalam Miftah Daar As-Sa’adah (1:236), “Manusia menjadi sempurna jika ia menyempurnakan dirinya sendiri dan orang lain. Penyempurnaan ini dengan memperbaiki ilmu dan amal. Perbaikan kekuatan ilmiah dengan beriman. Perbaikan kekuatan amaliyah dengan beramal saleh. Menyempurnakan yang lain dengan mengajarkan dan bersabar, lalu bersabar dalam berilmu dan beramal.” 

Baca juga: Tafsir Surah Al-‘Ashr, Ingin Menjadi Orang Sukses Memanfaatkan Waktu

Kedua puluh satu (#37): Berilmu setelah sebelumnya tidak tahu adalah suatu nikmat. Mendapat hidayah setelah sebelumnya berada dalam kesesatan juga adalah nikmat.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisaa’: 113)

 

Kedua puluh dua (#38): Wahyu yang pertama kali turun menunjukkan keutamaan berilmu dari sebelumnya tidak tahu.

Allah Ta’ala berfirman,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq: 1-5).

 

Kedua puluh tiga (#39): Hujjah ilmiah itu disebut SULTHON. Orang yang memiliki ilmu berarti memiliki bukti yang kuat.

Allah Ta’ala berfirman,

قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا ۗ سُبْحَانَهُ ۖ هُوَ الْغَنِيُّ ۖ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۚ إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَٰذَا ۚ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: “Allah mempuyai anak”. Maha Suci Allah; Dialah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Yunus: 68)

 

Kedua puluh empat (#40): Bodoh itu merupakan sifat penduduk neraka.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Mereka tidak mendapatkan ilmu karena tidak mendengar dan tidak memikirkan. Mendengar dan memikirkan adalah dua asal pokok dari mendapatkan ilmu.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:242)

Baca juga: Dua Cara Pokok untuk Sukses dalam Belajar, Mendengarkan dan Fokus

 

Kedua puluh lima (#41): Paham agama merupakan tanda baik.

Dalam hadits dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari, no. 71 dan Muslim, no. 1037)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Siapa yang tidak diberi kepahaman pada agama, tidak diinginkan baginya kebaikan. Sebagaimana siapa saja yang ingin baik, ia akan mendalami agama. Siapa yang akhirnya dipahamkan pada agama, berarti ia diinginkan jadi baik. Fiqh fiid diin dalam hadits yang dimaksud adalah berilmu yang berlanjut dengan beramal. Karena jika seseorang hanya berilmu saja tanpa beramal, ia tidak disebut faqih dalam agama yang efeknya itu baik.” Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:243.

 

Kedua puluh enam (#42): Ilmu itu seperti hujan

Dari Abu Musa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ

Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah  tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya.” (HR. Bukhari, no. 79 dan Muslim, no. 2282).

Baca juga: Permisalan Ilmu dengan Hujan

Ilmu diibaratkan seperti hujan (ghaits).

Dari situlah ada kehidupan, kemanfaatan, asupan gizi, obat, dan maslahat bagi hambah lainnya. Hati dimisalkan dengan tanah.

Manusia terbagi tiga:

  1. Ahlul hifzhi wal fahmi, bisa menghafal dan memahami.
  2. Ahlul hifzhi, hanya bisa menghafal.
  3. Alladziina laa nashiba lahum minhu, tidak bisa menghafal dan memahami.

Dua manusia yang pertama sama-sama berilmu dan mengajarkan ilmu. Manusia yang ketiga itu tidak berilmu dan tidak mengajarkan ilmu.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kebutuhan orang pada ilmu agama seperti kebutuhan orang pada air hujan, bahkan ilmu itu lebih dibutuhkan. Karena jika tidak memiliki ilmu tersebut sama halnya dengan tanah yang tidak pernah mendapati air hujan.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:245-246)

 

Kedua puluh tujuh (#43): Hidayah ilmu itu adalah hidayah yang paling besar.

Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Ali,

فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.” (HR. Bukhari, no. 2942 dan Muslim, no. 2406, dari Sahl bin Sa’ad)

Baca selengkapnya: Keutamaan Dakwah, Mendapatkan Unta Merah

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan berilmu dan mengajarkan ilmu, juga menunjukkan mulianya kedudukan ahli ilmu. Karena jika ada seseorang mendapatkan hidayah lewat perantaraan seorang alim, itu lebih berharga dari unta merah. Unta merah adalah harta terbaik dan paling mulia. Bagaimana penilaianmu terhadap orang yang setiap hari ada sekelompok orang dapat hidayah lewat dia.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:247)

 

Kedua puluh delapan (#44): Menjadi pelopor kebaikan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَن تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَن تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا.

Siapa yang mengajak yang lain kepada petunjuk, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun juga. Siapa yang mengajak yang lain kepada kesesatan, maka baginya dosa dari orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun juga.” (HR. Muslim, no. 2674)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Siapa yang menjadi penyebab yang lain mendapatkan hidayah, maka ia mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:248)

 

Kedua puluh delapan (#45): Tidak boleh hasad kecuali kepada dua orang

  1. Orang berilmu yang mengajarkan ilmunya
  2. Orang yang punya harta yang digunakan sedekah

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu, ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari, no. 73 dan Muslim, no. 816)

Baca juga: Hanya Boleh Hasad pada Dua Orang

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Seseorang hanya boleh hasad (dengan maksud ghibthoh: ingin semisal dia, tanpa menginginkan nikmat Allah pada yang lain itu hilang)–yaitu kepada orang yang berbuat baik dengan ilmu dan hartanya. Selain dua orang ini, kita tidaklah boleh hasad kepadanya (bersikap ghibthoh) yaitu tidak boleh ingin semisal dia karena selain keduanya tidaklah memberikan manfaat untuk orang lain.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:248)

 

Ketiga puluh (#46): Orang yang berilmu lebih utama dari ahli ibadah

Dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa diceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada seseorang yang ‘aalim (orang yang berilmu) dan ada seseorang yang ‘aabid (ahli ibadah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ ثمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الحُوْتَ لَيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الخَيْرَ

Keutamaan seorang ‘aalim (orang yang berilmu) dibanding seorang ‘aabid (ahli ibadah) adalah seperti keutamaanku dari orang yang paling rendah di antara kalian.” Kemudian beliau melanjutkan sabdanya, “Sesungguhnya Allah, malaikat-Nya, serta penduduk langit dan bumi bahkan semut yang ada di dalam sarangnya sampai ikan paus, mereka akan mendoakan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi, no. 2685. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Karena sebab mengajarkan kebaikan didapatlah keselamatan dan kebahagiaan, serta baiknya hati. Allah pun akan membalas dari jenis amalnya dengan mendapatkan pujian dari Allah, juga doa dari malaikat dan penduduk bumi. Itulah yang menyebabkan pengajar kebaikan mendapatkan keselamatan, kebahagiaan, dan keburuntungan. Keutamaan lainnya, pengajar kebaikan karena ia telah menyebarkan agama Allah, mengenalkan hukum, juga mengajarkan nama dan sifat Allah, maka sanjungan dari Allah dan doa penduduk langit menjadi bentuk pemuliaan kepadanya. Pujian kepada pengajar kebaikan tampak di tengah-tengah penduduk langit dan bumi.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:250)

 

Ketiga puluh satu (#47): Malaikat rida pada penuntut ilmu

Dari Katsir bin Qais, ia berkata, aku pernah duduk bersama Abu Darda’ di Masjid Damasqus. Kemudian ada seorang pria yang datang lantas berkata,

“Wahai Abu Darda’, aku sungguh mendatangimu dari Kota Rasul–shallallahu ‘alaihi wa sallam–(Madinah Nabawiyah) karena ada suatu hadits yang telah sampai padaku di mana aku tahu bahwa engkau yang meriwayatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku datang untuk maksud mendapatkan hadits tersebut. Abu Darda’ lantas berkata, sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya di antara jalan menuju surga.

Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridha pada penuntut ilmu.

Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air.

Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya.

Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” (HR. Abu Daud, no. 3641. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Baca juga: Semangat Menuntut Ilmu Dulu dan Sekarang

 

Ketiga puluh dua (#48): Seorang fakih lebih dikhawatirkan setan dibanding 1000 ahli ibadah.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَقِيْهٌ وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ.

“Seorang fakih lebih ditakuti oleh setan dibanding dengan seribu ahli ibadah.” (HR. Tirmidzi, no. 2681; Ibnu Majah, no. 222; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 11:78; Ibnu Hibban dalam Al-Majruhiin, 1:295; Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayan Al-‘Ilmi, 1:26; Al-Khathib dalam Al-Faqih Al-Mutafaqqih, 1:24; Ibnul Jauzi dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyyah, no. 192. Hadits ini dhaif jiddan).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Makna hadits ini sahih.”

Ibnul Qayyim rahimahullah katakan, “Adapun ahli ibadah tujuan dia hanyalah berjuang untuk dirinya sendiri.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:266)

 

Ketiga puluh tiga (#49): Orang yang berilmu dan belajar termasuk orang yang selamat dari laknat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّنْيَا مَلْعُوْنَةٌ ، مَلْعُوْنٌ مَا فِيْهَا ، إِلاَّ ذِكْرَ اللهِ وَ مَا وَالاَهُ ، وَ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا

“Dunia itu terlaknat. Terlaknat semua yang ada di dalamnya. Yang selamat hanyalah: (1) orang yang berdzikir, (2) orang yang bersama dengan orang yang berdzikir, (3) seorang ‘aalim (berilmu), (4) orang yang mau belajar.” (HR. Tirmidzi, no. 2323; Ibnu Majah, no. 4112; Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab, 1580; hadits ini hasan menurut Imam Tirmidzi dan juga diriwayatkan yang semakna dari beberapa sahabat. Lihat catatan kaki Miftah Daar As-Sa’adah, 1:266).

 

Ketiga puluh empat (#50): Menuntut ilmu termasuk berjihad di jalan Allah.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبِ الْعِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ

Siapa yang keluar menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.” (HR. Tirmidzi, no. 2647. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan pula bahwa hadits ini dha’if). 

Abu Ad-Darda’ berkata, “Siapa yang menganggap bahwa berjihad dengan ilmu bukanlah jihad, maka ia akal dan logikanya telah salah.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1:269-270)

Baca juga: Jihad dengan Ilmu vs Jihad dengan Senjata

 

Ketiga puluh lima (#51): Menuntut ilmu adalah jalan mudah menuju surga.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)

Baca juga: Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga 

 

Ketiga puluh enam (#52): Penuntut ilmu mendapatkan doa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نَضَّرَ اللهُ اِمْرَءًا سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يَبْلُغَهُ غَيْرُهُ ، فَإِنَّهُ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ ، وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ

“Semoga Allah mencerahkan wajah kepada orang yang mendengar sabdaku, kemudian dia menghafalkannya dan menyampaikannya pada yang lain. Betapa banyak orang yang menyampaikan hadits, namun dia tidak memahaminya. Terkadang pula orang yang menyampaikan hadits menyampaikan kepada orang yang lebih paham darinya.” (HR.  Abu Daud, Ibnu Majah dan Ath Thobroni. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Nadhrah itu kecerahan di wajah, kebahagiaan itu di hati. Nikmat dan baiknya hati akan tampak pada wajah. … Nadhrah ini adalah cerah di wajah bagi yang mendengar sunnah Rasul, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Itulah akhirnya berpengaruh pada hati dan batinnya. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:273.

Baca juga: Permisalan Ilmu dengan Hujan

 

Ketiga puluh tujuh (#53): Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan ilmu walau satu ayat.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَلِّغُوْا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوْا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat. Berkisahlah tentang Bani Israil dan tidak apa-apa. Barangsiapa berdusta atas namaku, maka bersiaplah mendapatkan kursinya dari api neraka.” (HR. Bukhari, no. 3461)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ منكمُ الغائِبَ

Hendaklah yang hadir di antara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (Potongan dari hadits khutbah haji wada’, HR. Bukhari, no. 67 dan Muslim, no. 1679)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan ilmu dari beliau karena hal itu akan menghasilkan huda (petunjuk). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendapatkan pahala dari yang mengambil ilmu dari beliau dan mendapatkan pahala pula dari orang yang menerima penyampaian ilmu tersebut.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:276)

 

Ketiga puluh delapan (#54): Orang yang berilmu syari lebih didahulukan menjadi imam.

Dari Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يؤم القوم اقرؤهم لكتاب الله فإن كانوا في القراءة سواء فأعلمهم بالسنة فإن كانوا في السنة سواء فاقدمهم إسلاما او سنا

Hendaklah yang menjadi imam adalah yang paling paham kitabullah. Jika dalam hal pemahaman kitabullah sama, maka didahulukan yang lebih paham sunnah. Jika dalam hal pemahaman sunnah sama, maka didahulukan yang masuk Islam lebih dahulu atau yang lebih tua.” (HR. Muslim, no. 673)

 

Yang dipilih menjadi imam

Dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i (1:413-418), Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily membahas beberapa syarat seseorang menjadi imam:

  1. Shalat imam harus sah dengan memenuhi rukun dan syarat sah shalat.
  2. Makmum tidak mengetahui batalnya shalat imam atau tidak meyakini batalnya. Misalnya, jika seseorang meyakini bahwa shalat imam itu batal karena berwudhu dengan suatu yang najis, ia berarti tidak boleh bermakmum dengannya.
  3. Imam tidak sedang bermakmum dengan yang lain.
  4. Imam bukanlah orang yang disuruh i’adah shalat (mengulangi shalat). Misalnya, mengikuti imam yang mukim yang bertayamum karena tidak adanya air. Ini adalah uzur yang jarang. Shalat yang dilakukan dengan tayamum hanyalah untuk menghormati waktu (ihtiroman lil waqti), lalu shalatnya nanti diulangi.
  5. Imam tidak boleh seorang ummi, sedangkan makmum adalah qari’. Yang dimaksud dengan ummi adalah tidak benar dalam membaca surah Al-Fatihah, yaitu tidak mampu mengeluarkan huruf dari makhrajnya atau tidak mampu mengucapkan tasydid dalam surah Al-Fatihah.
  6. Imam tidak boleh wanita dan makmumnya laki-laki. Yang dibolehkan adalah jika imamnya wanita untuk mengimami jamaah wanita, di mana imam wanita tadi berdiri di tengah jamaah wanita. Imam laki-laki yang bersendirian boleh juga mengimami banyak wanita atau bersama jamaah laki-laki, posisi jamaah wanita berada di belakang jamaah laki-laki. Ada kisah bahwa Umar pernah mengimami jamaah wanita dalam shalat tarawih pada bulan Ramadhan. Catatan: Seorang wanita dimakruhkan berdiri di samping laki-laki dalam shalat. Jika itu terjadi, shalat laki-laki dan perempuan itu tidak batal. Begitu pula, seorang laki-laki dimakruhkan shalat dengan wanita non mahram. Makruh di sini adalah makruh tahrim. Namun, shalat keduanya tetap sah. Adapun, kalau seorang laki-laki mengimami istri atau wanita yang masih mahram dengannya, tetap sah, tidak makruh.
  7. Imam adalah seorang muslim dan dalam keadaan thahir (suci).

 

Ketiga puluh sembilan (#55): Sebaik-baik manusia adalah yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an

Dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

Sebaik-baik orang di antara kamu adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya (kepada orang lain).” (HR. Bukhari, no. 4739)

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa belajar dan mengajarkan Al-Qur’an mencakup:

  1. mempelajari dan mengajarkan huruf-hurufnya
  2. mempelajari dan mengajarkan maknanya

Yang kedua ini malah yang lebih utama karena makna itulah yang dimaksud tujuan mempelajari Al-Qur’an. Sedangkan, lafaz hanyalah wasilah (perantara). (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:277)

Baca juga: Dakwah dan Mengajarkan Ilmu Termasuk Amalan Mutaaddi

 

Keempat puluh (#56): Menuntut ilmu itu sampai mati, menuntut ilmu itu tak pandang usia.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَنْ يَشْبَعَ الْمُؤْمِنُ مِنْ خَيْرٍ يَسْمَعُهُ حَتَّى يَكُونَ مُنْتَهَاهُ الْجَنَّةُ

Seorang mukmin tidak semestinya merasa puas dengan kebaikan yang ia dengarkan hingga kehidupannya berujung masuk ke dalam surga.” (HR. Tirmidzi, no. 2687; Ibnu Hibban, no. 903; Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil, 3:981; Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab, 1176. Sanad hadits ini ada Darroj bin Abu As-Samh, ia adalah perawi yang dhaif). 

Dalam hadits ini disebutkan bahwa orang yang tak pernah merasa puas dalam hal ilmu merupakan tanda keimanan dan sifat orang beriman. Oleh karena itu, para ulama ketika ditanya, “Sampai kapan engkau menuntut ilmu?” Jawab mereka,  “Ilal mamaat, sampai mati.”

‘Abdullah bin Mubarak ditanya, “Sampai kapan engkau mendengar hadits?” Jawab beliau, “Ilal mamaat, sampai mati.”

Imam Ahmad ditanya, “Sampai kapan engkau menulis hadits dari seseorang?” Jawab beliau, “Ilal maut, sampai mati.”

Imam Ahmad rahimahullah juga pernah berkata, “Aku benar-benar akan terus menuntut ilmu hingga aku masuk kubur.”

‘Abdullah bin Bisyr Ath-Thaqoni berkata, “Aku berharap ketika maut datang, tinta masih di sisiku. Semoga pena dan tintaku tidak lepas dariku.”

Sebagian ulama ditanya pula, “Sampai kapan seseorang pantas untuk belajar?” Jawaban mereka adalah, “Sampai mereka pantas untuk hidup.”

Al-Hasan Al-Bashri ditanya oleh seseorang yang usianya 80 tahun, “Apakah saya masih pantas belajar?” Imam Al-Hasan Al-Bashri menjawab, “Selama ia layak hidup, maka ia layak juga untuk belajar.”

Perkataan-perkataan di atas dinukil dari Miftah Daar As-Sa’adah, 1:278-279.

 

Keempat puluh satu (#58): Menuntut ilmu akan selamat dari sifat munafik.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَصْلَتَانِ لاَ تَجْتَمِعَانِ فِي مُنَافِقٍ حُسْنُ سَمْتٍ وَلاَ فِقْهٌ فِي الدِّيْنِ

Ada dua sifat yang tidak mungkin terkumpul pada diri seorang munafik: (1) perangai yang bagus (tenang dan berwibawa), (2) fakih dalam agama.” (HR. Tirmidzi, no. 2684. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Hadits ini menunjukkan bahwa tanda iman adalah: (1) perangai yang bagus dan (2) paham agama. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:281.

 

Keempat puluh dua (#63): Allah membanggakan orang yang berada di majelis ilmu di hadapan para malaikat

 

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata,

خَرَجَ مُعَاوِيَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى حَلْقَةٍ فِي المسْجِدِ، فَقَالَ: مَا أَجْلَسَكُمْ؟ قَالُوا: جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ. قَالَ: آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلاَّ ذَاكَ؟ قَالُوْا: مَا أَجْلَسَنَا إِلاَّ ذَاكَ، قَالَ: أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُم تُهْمَةً لَكُمْ وَمَا كَانَ أَحَدٌ بِمَنْزِلَتِي مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَلَّ عَنْهُ حَدِيثاً مِنِّي: إِنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ:”مَا أَجْلَسَكُمْ؟ “قَالُوْا: جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ، وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَاهَدَانَا لِلإِسْلامِ، وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا. قَالَ:”آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلاَّ ذَاكَ؟ قَالُوْا: وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلاَّ ذَاكَ. قَالَ:”أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ، وَلِكنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيْلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّه يُبَاهِي بِكُمُ المَلاَئِكَةَ

“Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu keluar mendatangi sekumpulan orang di masjid, lalu ia berkata, ‘Apakah yang menyebabkan kalian duduk di sini?’ Mereka menjawab, ‘Kami duduk untuk berdzikir (mengingat) Allah.’ Mu’awiyah berkata, ‘Apakah—demi Allah—tidak ada yang menyebabkan kalian duduk ini melainkan karena berdzikir (mengingat) Allah saja?’ Mereka menjawab, ‘Ya, tidak ada yang menyebabkan kami semua duduk ini, kecuali untuk itu.’

Mu’awiyah lalu berkata, ‘Sebenarnya aku bukan ingin meminta sumpah dari kalian karena adanya kecurigaan terhadap kalian. Dan tidak ada seorang pun, dengan kedudukanku dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling sedikit haditsnya daripada aku sendiri. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu ketika keluar mendatangi sekumpulan orang dari kalangan sahabat-sahabatnya, lalu beliau bersabda, ‘Apakah yang menyebabkan kalian duduk ini?’ Para sahabat menjawab, ‘Kami duduk untuk berdzikir (mengingat) Allah dan memuji-Nya karena Dia telah menunjukkan kami semua kepada Islam dan mengaruniakan kenikmatan Islam itu kepada kami.’ Beliau bersabda, ‘Apakah—demi Allah—tidak ada yang menyebabkan kalian duduk ini melainkan karena itu? Sesungguhnya aku bukan ingin meminta sumpah dari kalian karena adanya kecurigaan terhadap kalian semua, tetapi Jibril datang kepadaku dan memberitahukan sesungguhnya Allah membanggakan kalian di hadapan para malaikat.’” (HR. Muslim, no. 2701)

Hadits ini menunjukkan keutamaan ilmu secara mutlak, terutama lagi bagi orang-orang yang rasikh (mendalam) dalam ilmu. Merekalah yang mengenal Allah, sifat-Nya, perbuatan-Nya, agama, dan rasul-Nya. (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:288)

Baca juga: Malaikat Bangga pada Orang yang Berada dalam Majelis Ilmu

 

Keempat puluh tiga (#65): Manusia terbedakan dengan ilmu.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia itu terbedakan dengan makhluk lainnya adalah dengan ilmu dan bayan. Jika bukan karena ilmu pembedanya, tentu hewan akan lebih utama karena lebih banyak makan, lebih kuat, lebih banyak keturunan, dan umurnya lebih panjang. Yang membedakan manusia dan lainnya adalah dengan ilmu dan bayan. Kalau tidak memiliki ilmu, manusia akan sama dengan hewan. Itu baru sebagian sifat hewan, mereka tidak semulia manusia, bahkan pada hewan itu ada kerusakan.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:290)

Ayat yang mendukung maksud Ibnul Qayyim adalah firman Allah Ta’ala,

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

وَلَوْ عَلِمَ اللَّهُ فِيهِمْ خَيْرًا لَأَسْمَعَهُمْ ۖ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ

Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun. Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).” (QS. Al-Anfaal: 22-23)

Dalam ayat lain disebutkan,

وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً ۚ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Baqarah: 141)

As-sam’u atau mendengar yang dimaksudkan adalah:

  1. mendengarkan suara.
  2. memahami makna.
  3. qabul dan ijabah, menerima dan menjawab

(Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:290-291)

 

Keempat puluh empat (#67): Kita bisa beriman dengan benar dengan adanya ilmu.

Iman itu memiliki dua rukun:

  1. Mengenal wahyu yang rasul bawa dan mengilmuinya.
  2. Membenarkan (tashdiq) dengan berkata dan beramal. Membenarkan tanpa mengilmui dan mengenal itu suatu hal yang mustahil.

Kedudukan ilmu pada iman adalah seperti ruh pada jasad. Iman tidaklah benar hingga benar ilmu dan pengenalan. Ilmu adalah puncak yang tertinggi yang seharusnya dicapai. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:295.

Makin bertambah ilmu, harusnya iman makin bertambah.

 

Keempat puluh lima (#68): Seluruh sifat kebaikan sempurna diperoleh karena bergabungnya tiga hal, yaitu ilmu, irodah (keinginan), dan qudroh (kemampuan). Irodah dan qudroh sangat bergantung kepada ilmu.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Seluruh sifat kebaikan sempurna kembali kepada ilmu, qudroh (kemampuan), dan irodah (keinginan). Irodah (keinginan) adalah cabang dari ilmu. Tujuan itu tercapai jika ada irodah (keinginan). Namun, irodah (keinginan) itu sangat bergantung  kepada ilmu secara dzat dan hakikatnya. Qudroh (kemampuan) tidaklah memberi pengaruh melainkan dengan perantaraan irodah (keinginan). Ilmu sendiri tidak bergantung kepada irodah maupun qudroh. Irodah dan qudroh yang sangat bergantung kepada ilmu. Itulah yang menunjukkan keutamaan dan kedudukan ilmu.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:295)

 

Keempat puluh enam (#70): Orang yang berilmu akan menjadi pemimpin dalam agama.

Allah Ta’ala berfirman,

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajadah: 24)

Di tempat lain disebutkan,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74). Imam dalam ayat ini maksudnya yang diikuti setelah kami.

Allah mengabarkan bahwa sabar dan yakin akan membuahkan kepemimpinan dalam agama. Kepemimpinan inilah derajat tertinggi dari para shiddiqin (orang yang jujur).

Yakin itu adalah kesempurnaan dan puncak ilmu. Semakin sempurna keilmuan, maka semakin tercapai kepemimpinan dalam agama. Kepemimpinan ini diberikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:296.

 

Keempat puluh tujuh (#71): Kebutuhan pada ilmu termasuk kebutuhan primer (dhoruri).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kebutuhan seseorang kepada ilmu termasuk kebutuhan primer (dhoruri). Kebutuhan ini melebihi kebutuhan badan pada makanan. Karena kebutuhan seseorang kepada makan hanya sekali atau dua kali dalam sehari. Sedangkan kebutuhan seseorang kepada ilmu itu sebanyak helaan nafasnya. Setiap jiwa itu membutuhkan iman atau hikmah. Jika iman atau hikmah itu lepas dari jiwa, ia akan binasa dan hancur. Iman dan hikmah itu bisa diperoleh hanya dengan jalan ilmu. Kesimpulannya, kebutuhan seseorang kepada ilmu lebih dari kebutuhan seseorang pada makan dan minum.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:296)

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

ِالنَّاسُ أَحْوَجُ إِلَى العِلْمِ مِنْهُمْ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ لِأَنَّ الطَّعَامَ وَالشَّرَابَ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي اليَوْم مَرَّةً اَوْ مَرَّتَيْنِ وَالعِلْمَ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ كُلَّ وَقْت

“Manusia sangat membutuhkan ilmu daripada kebutuhan pada makan dan minum. Karena kebutuhan makan dan minum dalam sehari hanya sekali atau dua kali. Sedangkan kebutuhkan kepada ilmu itu setiap waktu.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:297)

 

Keempat puluh delapan (#72): Orang yang berilmu bisa jadi sedikit beramal, tetapi mendapatkan pahala yang besar.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ِإِنَّ صَاحِبَ العِلْمِ أَقَلُّ تَعْبًا وَعَمَلا ًوَأَكْثَرُ أَجْرًا

“Sesungguhnya orang yang berilmu itu lebih sedikit capek dan amalnya. Namun, pahala orang yang berilmu itu lebih banyak.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:297)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengisyaratkan pada keadaan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Ia adalah orang yang terbaik dari umat Muhammad. Padahal ada sahabat nabi yang amalan, haji, puasa, shalat, dan bacaan Al-Qur’annya lebih banyak daripada Abu Bakar. Abu Bakar bin ‘Iyyasy berkata,

ِمَا سَبَقَكُمْ أَبُوْ بَكْرٍ بِكَثْرَةِ صَوْمٍ وَلاَ صَلاَةٍ وَلَكِنْ بِشَيْءٍ وَقَرَ فِي قَلْبِه

“Abu Bakar bukanlah mengungguli kalian dengan banyaknya puasa dan shalat, tetapi ia mengungguli kalian dengan iman yang tertanam dalam hatinya.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:297-298)

 

Keempat puluh sembilan (#73): Ilmu itu imam bagi amal.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ِإِنَّ العِلْمَ إِمَامُ العَمَلِ وَقَائِدٌ لَهُ وَالعَمَلُ تَابِعٌ لَهُ وَمُؤْتِمٌّ بِهِ فَكُلُّ عَمَلٍ لاَ يَكُوْنُ خَلْفَ العِلْمِ مُقْتَدِيًا بِهِ فَهُوَ غَيْرُ نَافِعٍ لِصَاحِبِهِ بَلْ مَضَرَّةٌ عَلَيْهِ كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا ِيُفْسِدُ أَكْثَرُ مِمَّا يُصْلِحُ وَألاَعْمَالُ إِنَّمَا تَتَفَاوَتٌ فِي القَبُوْلِ وَالرَّدِّ بِحَسَبِ مُوَافَقَتِهَا لِلْعِلْم وَمُخَالَفَتِهَا لَهُ فَالعَمَلُ المُوَافِقُ لِلْعِلْمِ هُوَ المَقْبُوْلُ وَالمُخَالِفُ لَهُ هُوَ المَرْدُوْد

“Sesungguhnya ilmu itu imam dan pemimpin dari amal. Sedangkan amalan itu pengikut dan menjadikan amal sebagai imam. Setiap amal yang tidak berada di belakang ilmu, tidak mau mengikuti ilmu, maka amal itu tidak bermanfaat untuk pelakunya. Bahkan amalan tanpa didasari ilmu hanyalah mendatangkan mudarat. Sebagaimana sebagian salaf pernah berkata, ‘Siapa saja yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, amal tersebut lebih membawa kerusakan daripada mendatangkan kebaikan. Amal yang diterima itu tergantung pada kesesuaiannya dengan ilmu yang benar ataukah menyelisihi ilmu tersebut. Amal yang sesuai dengan ilmu yang benar itulah yang diterima. Sedangkan amal yang menyelisi ilmu yang benar, itulah amalan yang tertolak. ” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:298)

 

Kelima puluh (#74): Orang yang beramal tanpa ilmu bagai orang yang berjalan tanpa ada petunjuk jalan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ِالعَامِلُ بِلاَ عِلْمٍ كَالسَّائِرِ بِلاَ دَلِيْلٍ وَمَعْلُوْمٌ أنَّ عَطَبَ مِثْلِ هَذَا أَقْرَبُ مِنْ سَلاَمَتِهِ وَإِنْ قُدِّرَ سَلاَمَتُهُ اِتِّفَاقًا نَادِرًا فَهُوَ غَيْرُ مَحْمُوْدٍ بَلْ مَذْمُوْمٌ عِنْدَ العُقَلاَءِ

“Orang yang beramal tanpa ilmu bagai orang yang berjalan tanpa ada penuntun. Sudah dimaklumi bahwa orang yang berjalan tanpa penuntun akan mendapatkan kesulitan dan sulit untuk selamat. Taruhlah ia bisa selamat, namun itu jarang. Menurut orang yang berakal, ia tetap saja tidak dipuji bahkan dapat celaan.”

Guru dari Ibnul Qayyim yaitu Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

ِمَنْ فَارَقَ الدَّلِيْلَ ضَلَّ السَّبِيْل وَلاَ دَلِيْلَ إِلاَّ بِمَا جَاءَ بِهِ الرَّسُوْلُ

“Siapa yang terpisah dari penuntun jalannya, maka tentu ia akan tersesat. Tidak ada penuntun yang terbaik bagi kita selain dengan mengikuti ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

ِالعَامِلُ عَلَى غَيْرِ عِلْمٍ كَالسَّالِكِ عَلَى غَيْرِ طَرِيْقٍ وَالعَامِلُ عَلَى غَيْرِ عِلْمٍ مَا يُفْسِدُ اَكْثَرُ مِمَّا يُصْلِحُ فَاطْلُبُوْا العِلْمَ طَلَبًا لاَ تَضُرُّوْا بِالعِبَادَةِ وَاطْلُبُوْا العِبَادَةَ طَلَبًا لاَ تَضُرُّوْا بِالعِلْمِ فَإِنَّ قَومًا طَلَبُوْا العِبَادَةَ وَتَرَكُوْا العِلْمَ

“Orang yang beramal tanpa ilmu seperti orang yang berjalan bukan pada jalan yang sebenarnya. Orang yang beramal tanpa ilmu hanya membuat banyak kerusakan dibanding mendatangkan kebaikan. Tuntutlah ilmu dengan sungguh-sungguh, namun jangan sampai meninggalkan ibadah. Gemarlah pula beribadah, namun jangan sampai meninggalkan ilmu. Karena ada segolongan orang yang rajin ibadah, namun meninggalkan belajar.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:299-300).

 

Kelima puluh satu (#75): Hidayah adalah pada ilmu yang haq (ilmu yang benar).

Dalam hadits sahih dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat lail (shalat malam) membaca doa iftitah berikut,

ِاللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اِهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“ALLOHUMMA ROBBA JIBROO-IILA WA MII-KA-IILA WA ISROOFIILA, FAATHIROS SAMAAWAATI WAL ARDHI ‘ALIIMAL GHOIBI WASY SYAHAADAH ANTA TAHKUMU BAYNA ‘IBAADIKA FIIMAA KAANUU FIIHI YAKHTALIFUUN, IHDINII LIMAKHTULIFA FIIHI MINAL HAQQI BI-IDZNIK, INNAKA TAHDI MAN TASYAA-U ILAA SHIROOTIM MUSTAQIIM

(artinya: Ya Allah, Rabbnya Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum untuk memutuskan apa yang mereka pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizin dari-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki).” (HR. Muslim, no. 770; Abu Daud, no. 767; At-Tirmidzi, no. 3420; An-Nasai, 3:212; Ibnu Majah, no. 1357, sanad hadits ini sahih).

Baca juga: Macam-Macam Doa Iftitah 

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hidayah adalah ilmu pada kebenaran. Hal itu lebih dari segalanya. Orang yang mengamalkan kebenaran adalah orang yang mendapatkan petunjuk dan itulah orang yang mendapatkan nikmat terbesar dari Allah. Oleh karenanya, Allah Ta’ala memerintahkan kepada kita meminta hidayah shirothol mustaqim setiap siang dan malam pada shalat lima waktu (pada saat membaca surah Al-Fatihah). Karena setiap hamba sangat butuh pada kebenaran yang Allah ridai pada gerakan lahir dan batin.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:300-301)

Dalam doa iftitah ini disebutkan bahwa Allah itu Rabbnya Jibril, Mikail, dan Israfil. Tiga malaikat ini dijadikan oleh Allah menjadi sebab kehidupan hamba. Jibril itu penyampai wahyu kepada para nabi, di mana wahyu adalah sebab kehidupan dunia dan akhirat. Mikail ditugaskan mengurus hujan yang menjadi sebab kehidupan segala sesuatu. Israfil bertugas meniupkan sangkakala, di mana Allah menghidupkan yang mati dengan tiupannya, akhirnya manusia berbangkit dan berdiri di hadapan Allah Rabb semesta alam. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:302-303.

Baca juga: Empat Tingkatan Hidayah

 

Kelima puluh dua (#76): Hati dan ruh bisa hidup hanya dengan ilmu.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ٍوَأَمَّا فَقْدُ العِلْمِ فَفِيْهِ فَقْدُ حَيَاةِ القَلْبِ وَالرُّوْحِ فَلاَ غِنَاءً لِلْعَبْدِ عَنْهُ طَرْفَةَ عَيْن

“Adapun luput dari ilmu akan membuat hilangnya kehidupan hati dan ruh. Setiap hamba pasti akan membutuhkan ilmu, tak bisa ia lepas darinya walau sekejap mata.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:305)

 

Kelima puluh tiga (#77): Ilmu yang paling utama adalah ilmu mengenal Allah.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ٍأَنَّ شَرْفَ العِلْمِ تَابِعٌ لِشَرْفِ مَعْلُوْمِه

“Keagungan suatu ilmu dilihat dari keagungan yang dipelajari.”

Lalu beliau rahimahullah melanjutkan, “Tidak diragukan lagi bahwa ilmu tentang Allah kemudian tentang nama dan sifat-Nya serta perbuatan-Nya adalah ilmu yang paling mulia dan utama. Ilmu ini dibandingkan dengan ilmu lainnya sama saja dengan membandingkan Allah dengan lainnya. Bahkan ilmu tentang Allah ilmu yang paling mulia dan ilmu dasar dari segalanya.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:306)

 

Kelima puluh empat (#78): Ilmu adalah pintu pembuka untuk mendapatkan kelezatan dan kenikmatan dalam mencintai, mengingat, dan berusaha mencapai rida Allah.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ِإِنَّهُ لاَ شَيْءَ أَطْيَبُ لِلْعَبْدِ وَلاَ أَلَذُّ وَلاَ أَهْنَأُ وَلاَ أَنْعَمُ لِقَلْبِهِ وَعَيْشِهِ مِنْ مَحَبَّةِ فَاطِرِهِ وَبَارِيْهِ وَدَوَام ذِكْرِهِ وَالسَّعْيِ فِي مَرْضَاتِه

ِوَهَذَا هُوَ الكَمَالُ الَّذِي لاَكَمَالَ لِلْعَبْدِ بِدُوْنِه

ِوَلاَسَبِيْلَ إِلَى الدُّخُوْلِ إِلَى ذَلِكَ إِلاَّ مِنْ بَابِ العِلْمِ فَإِنَّ مَحَبَّةَ الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنِ الشُّعُوْرِ بِه ْوَأَعْرَفُ الخَلْقِ بِاللهِ أَشَدُّهُمْ حُبًّا لَهُ فَكُلُّ مَنْ عَرَفَ اللهَ أَحَبَّهُ وَمَنْ عَرَفَ الدُّنْيَا وَأَهْلَهَا زَهِدَ فِيْهِم ِفَالعِلْمُ يَفْتَحُ هَذَا البَابَ العَظِيْمَ الَّذِي هُوَ سِرُّ الخَلْقِ وَالأَمْر

“Tidak ada sesuatu yang lebih baik, lebih lezat, lebih enak, lebih nikmat yang dirasakan seorang hamba untuk hati dan kehidupannya dibanding dengan mencintai Sang Khaliq dan Penciptanya, terus menerus mengingat-Nya, dan berusaha menggapai rida-Nya. Inilah bentuk kesempurnaan yang tidak ada yang sempurna bagi hamba kecuali dengan mencintai, mengingat, dan menggapai rida-Nya. Semua bentuk kesempurnaan tadi hanya bisa diraih lewat pintu ilmu. Mencintai sesuatu adalah cabang dari mudah merasainya. Makhluk yang paling mengenal Allah itulah yang paling cinta kepada Allah. Siapa saja yang mengenal Allah, pasti Allah mencintainya. Sedangkan siapa yang mengenal dunia dan pemilik kenikmatan dunia, ia akan meninggalkannya. Ilmu itulah yang membuka pintu yang mulia ini yang merupakan inti dari penciptaan dan perintah.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:308)

 

Kelima puluh lima (#79): Ilmu adalah jalan terdekat untuk mendapatkan puncak kesenangan.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kelezatan pada sesuatu yang dicintai semakin lemah dan kuat tergantung pada kuat dan lemahnya kecintaan. Ketika kecintaan itu kuat, maka semakin mendapatkan kenikmatan. Oleh karena itu, lezatnya dahaga dirasakan ketika meminum air dingin dilihat dari semakin sulit saat mencari air. Begitu pula orang yang dalam keadaan lapar merasakannya. Orang yang senang pada sesuatu, ia akan merasakan kenikmatan saat ia begitu mencintainya. Cinta itulah yang mengikuti ilmu, yaitu mengilmui yang dicintai, mengenal kecantikannya secara lahir dan batin. Kenikmatan melihat Allah setelah berjumpa dengan-Nya tentu tergantung pada kuatnya kecintaan dan keinginan. Demikian pula dalam hal mengenal Allah dan sifat-Nya yang sempurna. Oleh karena itu dapat dikatakan:

ِالعِلْمُ هُوَ أَقْرَبُ الطُّرُقِ إِلَى أَعْظَمِ اللَّذَّات

Ilmu adalah jalan terdekat untuk mendapatkan puncak kesenangan.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:308-309)

 

Kelima puluh enam (#81): Keutamaan ilmu itu diketahui dari mengetahui lawannya.

Ibnul Qayyim rahimahullah membawakan bait syair:

ِفَالضِدُّ يُظْهَرُ حُسْنُهُ الضِد 

ِوَبِضِدِّهَا تَتَبَيَّنُ الأَشْيَاء

“Lawan itu menampakkan kebaikan lawannya, dengan mengenal lawan akan jelas segala sesuatu.”

Tidak diragukan lagi bahwa kebodohan itu biang kerusakan segala sesuatu. Setiap kerusakan yang didapati oleh manusia di dunia dan akhirat adalah dampak jelek dari kebodohan. (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:310)

Ilmu itu diketahui baiknya dari mengenal dampak jelek kebodohan.

 

Kelima puluh tujuh (#82): Manusia yang lebih mengunggulkan akal dari syahwat akan lebih mulia dari malaikat, beda dengan sebaliknya.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah menciptakan malaikat dalam keadan berakal, tanpa syahwat. Allah menciptakan hewan dalam keadaan memiliki syahwat, tetapi tidak berakal. Manusia dikaruniai akal dan syahwat sekaligus. Jika manusia lebih mengunggulkan akal dibanding syahwatnya, maka ia lebih baik dari malaikat. Namun, jika manusia mengunggulkan syahwat dibanding akal, maka ia lebih jelek dari hewan. Manusia pun bertingkat-tingkat.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:347)

 

Kelima puluh delapan (#83): Kemuliaan manusia itu dilihat dari berfungsinya tempat masuknya ilmu yaitu hati, pendengaran, dan penglihatan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Keyakinan itu ada tiga tingkatan: (1) as-sam’u (pendengaran), (2) al-‘ainu (penglihatan, mata), (3) hati.” Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:352.

Kenikmatan ahli surga didapati dengan: (1) melihat Allah, dan (2) mendengarkan kalamullah.” Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:352.

 

Kelima puluh sembilan (#84): Kebahagiaan manusia adalah dengan baiknya pendengaran, penglihatan, dan hati.

Allah Ta’ala berfirman,

ِإِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kebahagiaan manusia adalah dengan baiknya tiga hal (yaitu pendengaran, penglihatan, dan hati). Kesengsaraan manusia adalah karena rusaknya tiga hal tersebut.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:354)

 

Keenam puluh (#85): Raih kebahagiaan dengan ilmu.

Kebahagiaan itu ada tiga macam:

Pertama, sa’adah kharijiyyah, yaitu kebahagian dari luar, di mana kebahagiaan itu dengan harta, kedudukan, dan yang mengikutinya.

Kedua, sa’adah fii jismihi wa badanihi, yaitu kebahagiaan pada jasad dan badannya, terlihat secara lahiriyah itu bagus, seperti nikmat sehat.

Ketiga, sa’adah haqiqiyyah, yaitu kebahagiaan yang ada dalam hati, yaitu berupa ilmu yang bermanfaat, di mana ini adalah buah dari ilmu. Kebahagiaan inilah yang akan menemani pada tiga alam yaitu dunia, barzakh, dan darul qarar (negeri akhirat). Kebahagiaan ilmu diperoleh dengan:

  • berusaha meraihnya,
  • jujur (benar) dalam mencari,
  • benarnya niat.

Sebagaimana disebutkan oleh Yahya bin Abi Katsir,

ِلاَ يُنَالُ العِلْمُ بِرَاحَةِ الجِسْم

“Ilmu itu tidak diraih dengan badan yang bersantai-santai.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:358)

Ada juga yang mengatakan,

َمَنْ طَلَبَ الرَّاحَةَ تَرَكَ الرَّاحَة

“Siapa yang mencari kebahagiaan pasti ia akan meninggalkan kesenangan.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:358)

 

Keenam puluh satu (#86): Ahli ilmu itu berada di bawah tingkatan kenabian dan menjadi pewaris nabi.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pada manusia, jika ia itu saleh Allah akan memilihnya dan memberinya wahyu dan kenabian sehingga menjadi seorang rasul dan nabi. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

ِ اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ ۗ 

Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (QS. Al-An’am: 124). Jika kurang dari itu, maka Allah jadikan ia saleh sebagai pengganti nabi dan pewaris nabi, yaitu ia menjadi seorang ahli ilmu. Jika ia adalah orang yang kurang dari itu, maka ia menjadi ahli amal dan ibadah, tentu ini di bawah seorang ahli ilmu. Hingga ia berada pada tingkatan orang mukmin secara umum. Jika ia berada di bawah derajat itu, berarti ia tidak lagi menerima kebaikan (menjadi orang kafir), sehingga menjadi kayu bakar dan bahan bakar api neraka.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:359)

Tingkatan manusia adalah:

  1. Nabi dan rasul
  2. Orang yang berilmu, menjadi pewaris nabi
  3. Ahli ibadah, kurang ilmu
  4. Orang beriman secara umum (kurang ilmu dan amal)
  5. Orang kafir (tidak ada kebaikan), yang menjadi kayu dan bahan bakar neraka

 

Keenam puluh dua (#87): Asal penyakit manusia adalah penyakit syahwat dan syubhat. Syubhat itu penyakit yang paling parah dan hanya bisa diatasi dengan ilmu.

Penyakit syubhat (pemikiran sesat) itu adalah penyakit yang paling berat dan menyulitkan hati. Allah Ta’ala berfirman tentang orang munafik,

ِفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 10)

Dalam ayat lain disebutkan,

ِوَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلًا

dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): “Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?” (QS. Al-Mudattsir: 31)

Dalam ayat lain disebutkan,

ِلِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ

Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat.” (QS. Al-Hajj: 53)

Tiga ayat ini menerangkan marodhul qolb (penyakit hati), yang dimaksud adalah penyakit jahl (kebodohan) dan syubhat (pemikiran sesat).

Adapun penyakit syahwat, sebagaimana diterangkan dalam,

ِيَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 32). Ayat ini membicarakan penyakit hati yaitu fujur dan zina.

Hati juga memiliki penyakit lain seperti riya’, kibr (sombong), ujub, hasad (benci pada nikmat orang lain), berbangga diri, gila kekuasaan, merasa tinggi di muka bumi. Penyakit-penyakit ini adalah gabungan dari penyakit syubhat dan syahwat. Penyakit ini karena berkhayal dan berkeinginan yang rusak sehingga lupa akan keagungan Sang Khaliq dan lupa untuk menyanjung-Nya.

Penyakit hati itu berarti tidak lepas dari penyakit syahwat, syubhat, atau gabungan keduanya. Semua penyakit ini tidaklah lepas dari jahl (kebodohan), yang obatnya adalah ilmu.

Perlu diingat bahwa penyakit hati itu lebih berat mengatasinya daripada penyakit badan.

Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:362-365.

Ingatlah, obat dari kebodohan adalah dengan bertanya pada ahli ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِشِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ

Obat dari kebodohan adalah dengan bertanya.” (HR. Abu Daud, no. 336; Ibnu Majah, no. 572 dan Ahmad, 1:330. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat Shahih Al-Jaami’, no. 4363)

Ketika membawakan hadits ini, Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kebodohan dengan penyakit dan obatnya adalah dengan bertanya pada para ulama (yang berilmu).” (Ighotsah Al-Lahfaan min Mashoid Asy-Syaithon, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, 1:19, Dar Al-Ma’rifah, cetakan kedua, tahun 1395 H)

 

Keenam puluh tiga (#88): Yang bisa selamat dari langkah setan adalah orang yang berilmu

Baca juga: Enam Langkah Setan dalam Menyesatkan Manusia

Dengan ilmu dapat mengatasi langkah-langkah setan di atas.

Baca juga: 4 Langkah Setan, Banyak Memandang, Makan, Bicara, dan Bergaul

 

Keenam puluh empat (#89): Mengatasi ghaflah (kelalaian) dan kasl (kemalasan) adalah dengan ilmu dan ‘azimah (tekad kuat).

Ada dua penyakit yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam poin ini yaitu ghaflah (lalai) dan kasl (malas).

Ibnul Qayyim berkata bahwa ghaflah itu bertolak belakang dengan ilmu. Orang yang lalai ini telah Allah ingatkan seperti dalam ayat,

ِوَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28)

Ibnul Qayyim berkata bahwa hati yang lalai (ghaflah) adalah sarangnya setan. Sifat setan itu menggoda (waswas) ketika kita lalai dan bersembunyi (khannas) jika kita mengingat Allah.

Ibnul Qayyim menjelaskan pula bahwa kemalasan (kasl) menyebabkan kita banyak menyia-nyiakan sesuatu, meremehkan, menerjang yang haram, hingga benar-benar menyesal. Kemalasan ini bertolak belakang dengan irodah (keinginan) dan ‘azimah (tekad) yang merupakan buah dari ilmu.

Baca juga: Kita yang Selalu Lalai

Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan

ِاللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

‘ALLOHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL ‘AJZI WAL KASALI, WAL BUKHLI WAL HAROMI, WA ‘ADZAABIL QOBRI. ALLOHUMMA AATI NAFSII TAQWAAHAA, WA ZAKKIHAA ANTA KHOIRU MAN ZAKKAHAA, ANTA WALIYYUHAA WA MAWLAAHAA. ALLOHUMMA INNI A’UDZU BIKA MIN ‘ILMIN LAA YANFA’, WA MIN QOLBIN LAA YAKH-SYA’, WA MIN NAFSIN LAA TASYBA’, WA MIN DA’WATIN LAA YUSTAJAABU LAHAA’ (Artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, kekikiran, ketuaan—kepikunan–, dan siksa kubur. Ya Allah, datangkanlah pada jiwaku ini ketakwaannya dan bersihkanlah ia. Engkaulah sebaik-baik yang dapat membersihkannya, Engkaulah Pelindungnya dan Rabbnya. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, nafsu yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan).” (HR. Muslim, no. 2722)

Baca juga: Doa Agar Tidak Malas 

Manusia dari sisi ilmu dan tekad ada empat kelompok:

  1. Yang dikaruniai ilmu dan tekad kuat mengamalkan ilmu, itulah orang-orang yang disebut dalam Al-Qur’an dengan orang yang beriman dan beramal saleh dan orang yang diberi cahaya.
  2. Yang tidak memiliki ilmu dan tidak memiliki tekad untuk beramal, inilah sejelek-jeleknya makhluk (syarrul bariyyah), bentuknya manusia, tetapi sejatinya dia itu setan.
  3. Yang dikaruniai pintu ilmu, tetapi tidak ada tekad dan amal. Orang ini paling berat siksanya pada hari kiamat.
  4. Yang sudah punya tekad dan keinginan belajar, tetapi masih kurang dalam hal ilmu dan mengenal Islam, jika ia mengikuti pendakwah yang benar, ia akan dikumpulkan bersama orang-orang baik di akhirat (para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin), itulah sebaik-baik rofiqo (teman), sebagaimana dalam surah An-Nisaa’ ayat 67-70.

 

Keenam puluh lima (#90): Akhlak yang mulia adalah buah dari ilmu.

Pujian Allah dalam Al-Qur’an adalah buah dan hasil dari ilmu. Setiap celaan dalam Al-Qur’an adalah buah dan hasil dari kebodohan. Inti pujian dalam Al-Qur’an tentu karena dasar iman karena iman itu adalah inti dari ilmu. Pujian dalam Al-Qur’an juga pada amal saleh yang merupakan buah dari ilmu yang manfaat. 

Allah memuji akhlak yang mulia dengan diawali sumpah pada ayat:

ِن ۚ وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ

ِمَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ

ِوَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ

ِوَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

1. Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis,

2. berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila.

3. Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya.

4. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

(QS. Al-Qalam: 1-4)

Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya mengenai akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menjawab,

كَانَ خُلُقُهُ القُرْآن

Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 746)

Yang bertanya pun sudah cukup dengan jawaban tersebut, ia bergegas berdiri dan tidak bertanya lagi setelah itu. 

Sedangkan pohon kebodohan menghasilkan buah yang jelek:

  • kekafiran
  • kerusakan
  • Kesyirikan
  • Kezaliman
  • Melampaui batas (al-baghyu)
  • Permusuhan

dan akhlak jelek lainnya. 

Di antara pengertian bakhil adalah: Jahl (bodoh) berbarengan dengan suuzhon (akan hilangnya harta, tak diganti oleh Allah).

Keenam puluh enam (#91): Majelis ilmu adalah taman surga.

Dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ

”Jika kamu melewati taman-taman surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya, ”Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab, ”Halaqah-halaqah dzikir.” (HR Tirmidzi, no. 3510. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

 

Keenam puluh tujuh (#92): Majelis fikih (majelis ilmu) lebih baik dari ibadah 60 tahun.

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

ًمَجْلِسُ فِقْهٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سِتِّيْنَ سَنَة

“Majelis fikih (majelis ilmu) lebih baik dari ibadah 60 tahun.” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, 1:14 dan ini adalah potongan dari hadits. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:380-381)

 

Keenam puluh delapan (#93): Ilmu yang sedikit itu lebih baik daripada banyak ibadah.

‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu berkata,

ِيَسِيْرُ الفِقْهِ خَيْرٌ مِنْ كَثِيْرٍ مِنَ العِبَادَة

“Pemahaman ilmu yang sedikit itu lebih baik daripada banyak ibadah.” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, 1:14-15. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:381)

 

Keenam puluh sembilan (#94): Seorang faqih (yang berilmu) lebih utama di sisi Allah dari seribu ahli ibadah.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

ٍفَقِيْهٌ اَفْضَلُ عِنْدَ اللهِ مِنْ أَلْفِ عَابِد

“Seorang faqih (yang berilmu) lebih utama di sisi Allah dari seribu ahli ibadah.” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, 1:18, diriwayatkan pula oleh Tirmidzi dari hadits Ruh bin Jinah, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas secara marfu‘. Namun, jika dikatakan marfu’, ada kritikan tentang hal itu. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:381)

 

Ketujuh puluh (#95): Sebaik-baik ibadah adalah al-fiqh (menuntut ilmu, memahami agama).

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

ُاَفْضَلُ العِبَادَةِ الفِقْه

“Sebaik-baik ibadah adalah al-fiqh (menuntut ilmu, memahami agama).” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, 1:21. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:382)

 

Ketujuh puluh satu (#96, 103, 106): Ibadah barulah benar hanyalah dengan ilmu dan berilmu adalah ibadah.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

ٍمَا عُبِدَ اللهُ بِشَيْءٍ اَفْضَلُ مِنْ فِقْهٍ فِي دِيْن

“Yang paling afdal untuk dijadikan cara yang benar dalam beribadah kepada Allah adalah fiqh fi diin, yaitu memahami agama.” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, 1:21. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:382)

Muhammad bin Syibah Az-Zuhri berkata,

ِمَا عُبِدَ اللهُ بِمِثْلِ الفِقْه

“Tidak ada ibadah kepada Allah yang benar semisal yang memahami agama.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 3:365 dan Al-Khathib dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, 11:20479. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:385).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ٌنَفْسُ التَّفَقُّهِ عِبَادَة

“Memahami agama itu sendiri termasuk ibadah.” (Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:385)

Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah berkata,

ِلَيْسَتْ عِبَادَةُ اللهِ بِالصَّوْمِ وَالصَّلاَةِ وَلَكِنْ بِالفِقْهِ فِي دِيْنِهِ 

“Ibadah kepada Allah itu bukan hanya dengan puasa dan shalat. Memahami agama juga termasuk ibadah.” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, 1:23. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:384)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,

وهذا الكلام يراد به امران احدهما انها ليست بالصوم والصلاة الخاليين عن العلم ولكن بالفقه الذي يعلم به كيف الصوم والصلاة والثاني انها ليست الصوم والصلاة فقط بل الفقه في دينه من اعظم عباداته

“Perkataan ini memiliki dua maksud: (1) puasa dan shalat itu tak bisa lepas dari ilmu karena puasa dan shalat bisa diketahui dengan benar hanya dengan ilmu; (2) bukan hanya puasa dan shalat sajalah yang termasuk ibadah, bahkan menuntut ilmu termasuk ibadah yang paling agung.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:384)

 

Ketujuh puluh dua (#97): Seorang alim mendapatkan pahala lebih besar dari orang yang berpuasa, yang shalat malam, dan yang berjihad di jalan Allah.

‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,

ِالعَالِمُ اَعْظَمُ اَجْرًا مِنَ الصَّائِمِ القَائِمِ الغَازِي فِي سَبِيْلِ الله

“Seorang alim mendapatkan pahala lebih besar dari orang yang berpuasa, yang shalat malam, dan yang berjihad di jalan Allah.” (Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:382)

 

Ketujuh puluh tiga (#98): Satu bab dari ilmu yang dipelajari dibandingkan seribu rakaat shalat sunnah, lebih utama ilmu.

Abu Hurairah dan Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhuma berkata,

ْبَابٌ مِنَ العِلْمِ نَتَعَلَّمُهُ اَحَبُّ اِلَيْنَا مِنْ اَلْفِ رَكْعَةٍ تَطَوُّعًا وَبَابُ مِنَ العِلْمِ نَعْلَمُهُ عَمِلَ بِهَ اَوْ لَم يَعْمَلْ اَحَبُّ اِلَيْنَا مِنْ مِائَةِ رَكْعَةٍ تَطَوُّعًا

“Satu bab dari ilmu yang kami pelajari lebih dicintai dari seribu rakaat shalat sunnah dan satu bab ilmu yang kami ilmui–baik mengamalkannya ataukah tidak–lebih dicintai dari seratus shalat sunnah.” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, 1:16. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:382-383)

 

Ketujuh puluh empat (#99): Satu bab dari ilmu tentang perintah atau larangan lebih dicintai dari mengikuti 70 perang di jalan Allah (jika perangnya dilakukan tanpa ilmu).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

ْلِاَنْ اَعْلَمَ بَابًا مِنَ العِلْمِ فِي أَمْرٍ اَوْ نَهْيٍ اَحَبُّ اِلَيَّ مِنْ سَبْعِيْنَ غَزْوَةً فِي سَبِيْلِ اللهِ 

“Satu bab dari ilmu tentang perintah atau larangan lebih aku cintai dari mengikuti 70 perang di jalan Allah.” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, 1:16. Riwayat ini tidak sahih. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:383)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَهَذَا ان صح فمعناه احب الي من سبعين غزوة بلا علم لان العمل بلا علم فساده اكثر من صلاحه او يريد علما يتعلمه ويعلمه فيكون له اجر من عمل به الى يوم القيامة وهذا لا يحصل في الغزو المجرد

“Ini jika sahih, maknanya adalah lebih aku cintai dari 70 perang yang dilakukan tanpa ilmu. Karena amal tanpa ilmu lebih bawa dampak kerusakan daripada manfaat. Atau yang dimaksud adalah ilmu yang mempejari dan mengajarkannya, maka baginya pahala dari orang yang mengamalkannya hingga hari kiamat. Hal terakhir ini tidaklah didapati jika hanya sekadar perang saja.” (Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:383)

 

Ketujuh puluh lima (#100): Mudzakarah (berdiskusi) ilmu sesaat lebih baik dari qiyamul lail.

Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata,

ٍمُذَاكَرَةُ العِلْمِ سَاعَةً خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَة

“Mudzakarah ilmu (berdiskusi tentang ilmu) sesaat itu lebih baik dari menghidupkan satu malam (dengan ibadah).” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, 1:16. Riwayat ini terputus. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:383)

 

Ketujuh puluh enam (#101): Satu bab ilmu lantas mengajarkannya kepada muslim yang lain lebih aku sukai daripada memiliki dunia seluruhnya yang diinfakkan di jalan Allah.

Al-Hasan rahimahullah berkata,

لِأَنْ أَتَعَلَّمَ بَابًا مِنَ العِلْمِ فَأُعَلِّمُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ لِي الدُّنْيَا كُلُّهَا فَأُنْفِقُهَا فِي سَبِيْلِ اللهِ

“Aku mempelajari satu bab dari ilmu lalu mengerjakannya lebih aku sukai dari memiliki seluruh dunia lalu aku infakkan di jalan Allah.” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, 1:16. Riwayat ini terputus. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:384)

 

Ketujuh puluh tujuh (#104): Orang yang paling dekat derajatnya dengan kenabian adalah ulama (orang yang berilmu) dan orang yang berjihad.

Ishaq bin ‘Abdullah bin Abi Farwah berkata,

أَقْرَبُ النَّاسِ مِنْ دَرَجَةِ النُّبُوَّةِ العُلَمَاءِ وَأَهْلُ الجِهَادِ وَالعُلَمَاءُ دَلُّوْا النَّاسَ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الرُّسُلُ وَأَهْلُ الجِهَادِ جَاهَدُوا عَلَى مَا جَاءَ بِهِ الرُّسُلُ 

“Orang yang paling dekat derajatnya dengan kenabian adalah ulama (orang yang berilmu) dan orang yang berjihad. Ulama itu memberi petunjuk agar mengikuti rasul. Sedangkan ahli jihad berjuang untuk membela ajaran rasul.” (Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:384)

 

Ketujuh puluh delapan (#105): Kedudukan manusia yang paling tinggi di sisi Allah adalah para rasul dan para ulama.

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata,

أَرْفَعُ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً مَنْ كَانَ بَيْنَ اللهِ وَبَيْنَ عِبَادِهِ وَهُمُ الرُّسُلُ وَالعُلَمَاءُ

“Kedudukan manusia yang paling tinggi di sisi Allah–yaitu antara Allah dan antara hamba-Nya–adalah para rasul dan ulama.” (Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:384)

 

Ketujuh puluh sembilan (#107): Siapa saja yang ingin melihat majelis para nabi, maka lihatlah majelis para ulama (orang berilmu). Karena para ulama adalah penerus para rasul dari umat ini dan menjadi pewaris para rasul dengan ilmunya. Maka majelis para ulama adalah majelis penerus para nabi.

Sahl bin ‘Abdillah At-At-Tustury rahimahullah berkata,

مَنْ أَرَادَ النَّظْرَ اِلَى مَجَالِسِ الاَنْبِيَاءِ فَلْيَنْظُرْ اِلَى مَجَالِسِ العُلَمَاءِ وَهَذَا لِاَنَّ العُلَمَاءَ خُلَفَاءُ الرُّسُلِ فِي أُمَمِهِمْ وَوَارِثُوْهُمْ فِي عِلْمِهِمْ فَمَجَالِسُهُمْ مَجَالِسُ خِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ

“Siapa saja yang ingin melihat majelis para nabi, maka lihatlah majelis para ulama (orang berilmu). Karena para ulama adalah penerus para rasul dari umat ini dan menjadi pewaris para rasul dengan ilmunya. Maka majelis para ulama adalah majelis penerus para nabi.” (Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:385)

 

Kedelapan puluh (#108): Tidak ada sesuatu setelah perkara wajib yang lebih baik dari menuntut ilmu.

Imam Syafii rahimahullah berkata,

ِلَيْسَ شَيْءٌ بَِعْدَ الفَرَائِضِ أَفْضَلُ مِنْ طَلَبِ العِلْم

“Tidak ada sesuatu yang lebih afdal dari ibadah wajib selain thalabul ilmi (menuntut ilmu).” (Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:385)

 

Kedelapan puluh satu (#109): Keutamaan ilmu itu lebih baik dari amalan sunnah dan yang paling baik dari agama adalah sifat wara’.

Sebagian sahabat Rasulullah berkata,

ُفَضْلُ العِلْمِ خَيْرٌ مِنْ نَفْلِ العَمَلِ وَخَيْرُ دِيْنِكُمْ الوَرَع

“Keutamaan ilmu itu lebih baik dari amalan sunnah dan yang paling baik dari agama adalah sifat wara’.” (Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:388)

Baca juga: Pengertian Zuhud dan Wara’ (Bahasan Bulughul Maram – Akhlak)

 

Kedelapan puluh dua (#110): Mempelajari ilmu karena Allah adalah khasyah, mencarinya adalah ibadah, saling mengkajinya adalah tasbih, membahasnya adalah jihad, dan mengajarkannya adalah sedekah.

Di antara yang dikatakan oleh Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,

ُتَعَلَّمُوْا العِلْمَ فَإِنَّ تَعَلُّمَهُ للهِ خَشْيَةٌ وَطَلَبَهُ عِبَادَةٌ وَمُدَارَسَتَهُ تَسْبِيْحٌ وَالبَحْثَ عَنْهُ جِهَادٌ وَتَعْلِيْمَه لِمَنْ لاَ يُحْسِنُهُ صَدَقَةٌ وَبَذْلَهُ لِاَهْلِهِ قُرْبَةٌ بِه

“Hendaklah pelajari ilmu karena mempelajarinya karena Allah akan menimbulkan rasa takut kepada-Nya. Mencari ilmu adalah ibadah. Membacakannya adalah tasbih. Menelitinya adalah jihad. Mengajarkan pada yang tidak tahu adalah sedekah. Mendermakan pada yang berhak adalah suatu bentuk ibadah dengannya.” (Al-Khathib dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, 1:15 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 1:239. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:389)

 

Kedelapan puluh tiga (#111): Penuntut ilmu untuk menghidupkan agama Allah termasuk shiddiq, derajat setelah kenabian.

Allah Ta’ala berfirman,

ُوَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisaa’: 69). Tingkatan yang disebutkan dalam ayat ini adalah: (1) nubuwah, (2) shiddiq, (3) syahadah, (4) kesalehan. (Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, hlm. 391)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ِفَمَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُحْيِى بِه ِالاِسْلاَمَ فَهُوَ مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَدَرَجَتُهُ بَعْدَ دَرَجَةِ النُّبُوَّة

“Siapa saja yang menuntut ilmu agar Islam itu terus hidup, maka ia termasuk shiddiq yang tingkatannya adalah setelah tingkatan kenabian.” (Miftah Daar As-Sa’adah, hlm. 391)

 

Kedelapan puluh empat (#112): Kebaikan dunia yang paling utama adalah ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, itulah yang diminta dalam doa sapu jagat.

Allah Ta’ala berfirman,

ِرَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Baqarah: 201)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

ربنا آتنا في الدنيا حسنة هي العلم والعبادة وفي الاخرة حسنة هي الجنة 

“Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia, yaitu ilmu dan ibadah. Juga berikanlah kepada kami kebaikan di akhirat, yaitu surga.”

Ibnul Qayyim rahimahullah lantas berkata setelah menyebutkan tafsiran dari Al-Hasan Al-Bashri,

وهذا من احسن التفسير فإن اجل حسنات الدنيا العلم النافع والعمل الصالح

“Inilah tafsiran yang paling bagus karena kebaikan dunia yang paling utama adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan saleh.” (Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:391)

Baca juga: Kandungan Doa Sapu Jagat

 

Kedelapan puluh lima (#113): Tuntutlah ilmu sebelum ilmu itu diangkat, ingatlah seseorang tidak lahir dalam keadaan berilmu

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

عَلَيْكُمْ بِالعِلْمِ قَبْلَ اَنْ يُرْفَعَ وَرَفْعُهُ هَلاَكُ العُلَمَاءِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَيُوَدَّنَّ رِجَالٌ قُتِلُوْا فِي سَبِيْلِ اللهِ شُهَدَاءَ اَنْ يَبْعَثَهُمُ اللهُ عُلَمَاءَ لِمَا يَرَوْنَ مِنْ كَرَامَتِهِمْ وَإِنَّ اَحَدًا لَمْ يُوْلَدْ عَالِمًا وَإِنَّمَا العِلْمُ بِالتَّعَلُّم

“Hendaklah kalian belajar sebelum ilmu itu diangkat. Ilmu itu diangkat dengan meninggalnya para ulama. Sungguh para lelaki yang terbunuh di jalan Allah dalam keadaan syahid, Allah akan utus ulama kepada mereka sebagai bentuk karamah pada mereka. Ingatlah, seseorang itu tidaklah lahir langsung menjadi seorang alim. Sesungguhnya ilmu itu diperoleh dengan cara belajar.” (HR. Ad-Darimi, 1:54; ‘Abdur Rozaq, 1:252; Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al-Jaami’, 1:152; Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, 387. Cacat hadits ini karena ada inqitha’ terputus sebagaimana disebutkan oleh Al-Baihaqi dan Al-Haitsami dalam Al-Majma’, 1:126. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:391)

 

Kedelapan puluh enam (#114): Diskusi ilmu lebih disukai daripada menghidupkan seluruh malam dengan ibadah.

Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, dan Imam Ahmad bin Hambal mengatakan hal yang sama,

تَذَاكُرُ العِلْمِ بَعْضَ لَيْلَةٍ اَحَبُّ اِلَيْنَا مِنْ اِحْيَائِهَا

“Diskusi ilmu pada sebagian malam lebih aku sukai daripada menghidupkan seluruh malam dengan ibadah.” (HR. ‘Abdurrozaq, 11:253; Ad-Darimi, 1:82; Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami Bayan Al-‘Ilmi, no. 107; Al-Khathib dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih, 1:17. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:392)

 

Kedelapan puluh tujuh (#116): Matinya ahli ibadah dibanding orang berilmu

‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,

ِمَوْتُ أَلْفِ عَابِدٍ أَهْوَنُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ بَصِيْرٍ بِحَلاَلِ اللهِ وَحَرَامِه

“Matinya seribu ahli ibadah masih lebih ringan dibanding matinya seorang alim yang mengetahui hal yang Allah halalkan dan haramkan.” (Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:393)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan perkataan Umar di atas, “Seorang alim itu bisa mengalahkan iblis dengan ilmunya. Sedangkan, manfaat ahli ibadah adalah terbatas untuk dirinya saja.” (Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:393)

 

Kedelapan puluh delapan (#117): Ilmu harus bertambah setiap hari.

Sebagian salaf berkata,

إِذَا اَتَى عَلَىَّ يَوْمٌ لاَ اَزْدَادُ فِيْهِ عِلْمًا يُقَرِّبُنِي اِلَى اللهِ فَلاَ بُوْرِكَ لِي فِي طُلُوْعِ شَمْسٍ ذَلِكَ اليَوْم

“Jika hari bertambah, lalu diriku tidaklah bertambah ilmu yang mendekatkan diriku kepada Allah, maka matahari yang terbit pada hari itu tidaklah menjadi berkah untukku.” (Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:393). Artinya, jika bertambah hari tidaklah bertambah ilmu, umur yang berlalu menjadi sia-sia.

 

Kedelapan puluh sembilan (#118): Iman itu di dalam, ilmu itu buahnya.

Sebagian salaf berkata,

ُالاِيْمَانُ عُرْيَان وَلِبَاسُهُ التَّقْوَى وَزِيْنَتُهُ الحَيَاءُ وَثَمَرَتُهُ العِلْم

“Iman itu di dalam. Pakaiannya adalah ketakwaan. Perhiasannya adalah sifat malu. Buahnya adalah ilmu.” (Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:393)

 

Kesembilan puluh (#119): Perbedaan yang jauh antara ahli ibadah dan ahli ilmu.

Sebagian atsar menyebutkan,

ًبَيْنَ العَالِمِ وَالعَابِدِ مِائَةُ دَرَجَةٍ , بَيْنَ كُلِّ دَرَجَتَيْنِ حُضْرُ الجَوَادِ المُضْمِرِ سَبْعِيْنَ سَنَة

“Antara orang berilmu dan ahli ibadah ada 100 derajat (tingkatan). Di antara dua derajat itu ada yang rajin berderma diam-diam selama tujuh puluh tahun.” (Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:394)

 

Kesembilan puluh satu (#120): Ulama adalah orang pilihan dan mendapatkan ampunan dari Allah.

Ada riwayat dari Harb menyebutkan hadits–walau hadits ini gharib, tetapi masih punya penguat yang hasan–,

َّيَجْمَعُ اللهُ تَعَالَى العُلَمَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ ثُمَّ يَقُوْلُ يَا مَعْشَرَ العُلَمَاءِ إِنِّي لَمْ اَضَعْ عِلْمِي فِيْكُمْ إِلا لِعِلْمِي بِكُمْ وَلَمْ اَضَعْ عِلْمِى فِيْكُمْ لِاُعَذِّبُكُمْ اِذْهَبُوْا فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُم

“Allah Ta’ala akan mengumpulkan orang berilmu pada hari kiamat lantas Dia berkata, ‘Wahai sekumpulan orang berilmu, Aku tidaklah meletakkan ilmu-Ku di tengah kalian melainkan karena mengetahui keutamaan kalian. Aku tidaklah meletakkan ilmu di tengah kalian untuk menyiksa kalian. Pergilah, sungguh Aku telah mengampuni kesalahan kalian.” (Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:394-395)

 

Kesembilan puluh dua (#122): Meraih ilmu adalah keberuntungan dan anugerah yang besar dibanding dengan meraih dunia.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ْأَنَّ مَنْ أَدْرَكَ العِلْمَ لَمْ يَضُّرَهُ مَا فَاتَاهُ بَعْدَ إِدْرَاكِهِ إِذْ هُوَ أَفْضَلُ الحُظُوْظِ وَالعَطَايَا, وَمَن

ِفَاتَاهُ لَمْ يَنْفَعْهُ مَا حَصَلَ لَهُ مِنَ الحُظُوْظِ بَلْ  يَكُوْنُ وَبَالاً عَلَيْهِ وَسَبَبًا لِهَلاَكِه

“Siapa saja yang mendapati ilmu, maka perihal dunia yang luput darinya tidak menjadi masalah untuknya. Ilmu adalah suatu keberuntungan dan pemberian yang paling utama (afdal). Siapa saja yang luput dari ilmu, maka keberuntungan dunia yang diperoleh tidaklah bermanfaat. Bahkan keberuntungan dunia itu dianggap menjadi bencana dan sebab kehancurannya.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:395)

 

Kesembilan puluh tiga (#123): Hati tidak mendapatkan ilmu tiga hari bisa mati.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata bahwa sebagian ahli hikmah (orang yang ‘arif) berkata, “Bukankah orang sakit bila tidak mendapatkan asupan makanan, minuman, dan obat, ia akan mati? Iya, tentu akan mati. Demikianlah dengan hati jika tidak mendapatkan ilmu dan hikmah selama tiga hari tentu akan mati pula. Ini benar adanya. Ilmu itu ibarat makanan, minuman, sekaligus obat untuk hati. Karenanya, hidup dan terjaganya hati adalah dengan ilmu. Hati yang tak diisi ilmu bagaikan orang mati, tetapi ada yang tidak merasakan keadaa hatinya yang sudah mati.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:395)

 

Kesembilan puluh empat (#126): Orang yang berilmu dan yang belajar berserikat dalam pahala dan mendapatkan kebaikan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata bahwa ada perkataan dari Abu Ad-Darda’, “Orang yang berilmu dan yang mau belajar sama-sama mendapatkan ganjaran pahala. Sedangkan, manusia lainnya (selain orang berilmu dan yang mau belajar) dianggap bersikap bengis, tak ada kebaikan pada mereka.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:396)

 

Kesembilan puluh lima (#127): Orang yang masuk masjid dalam rangka belajar seperti mujahid di jalan Allah.

Ada hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang masuk ke masjid kami untuk mempelajari kebaikan, maka ia adalah mujahid (orang yang berjihad) di jalan Allah. Siapa yang niatannya untuk hal lain, maka ia seperti menunggu yang tidak mendapatkan apa-apa.” (HR. Abu Hatim bin Hibban dalam kitab sahihnya, no. 87; Ibnu Majah, no. 227; Ibnu Abi Syaibah, 12:209; Ahmad, 2:350, 415, 526; Al-Hakim, 1:91, hadits ini sanadnya hasan).

 

Kesembilan puluh enam (#128): Yang berada dalam majelis ilmu akan mendapatkan perlindungan Allah, tidak dipalingkan dari Allah.

ِوَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ الحَارِثِ بْنِ عَوْفٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ في المَسْجِدِ ، والنَّاسُ مَعَهُ ، إذْ أقْبَلَ ثَلاثَةُ نَفَرٍ ، فأقْبَلَ اثْنَانِ إِلَى رسُولِ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، وَذَهَبَ واحِدٌ ؛ فَوَقَفَا عَلَى رسولِ الله – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – . فأمَّا أحَدُهُما فَرَأَى فُرْجةً في الحَلْقَةِ فَجَلَسَ فِيهَا ، وَأمَّا الآخرُ فَجَلَسَ خَلْفَهُمْ ، وأمَّا الثَّالثُ فأدْبَرَ ذاهِباً . فَلَمَّا فَرَغَ رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : (( ألاَ أُخْبِرُكُمْ عَنِ النَّفَرِ الثَّلاَثَةِ : أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأوَى إِلَى اللهِ فآوَاهُ اللهُ إِلَيْهِ . وَأمَّا الآخَرُ فاسْتَحْيَى فَاسْتَحْيَى اللهُ مِنْهُ ، وأمّا الآخَرُ ، فَأعْرَضَ ، فَأَعْرَضَ اللهُ عَنْهُ )) . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Waqid Al-Harits bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang duduk di masjid dan orang-orang sedang bersamanya, tiba-tiba datanglah tiga orang. Maka dua orang menghampiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan yang satu pergi. Lalu kedua orang tua itu berdiri di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satunya melihat tempat yang kosong di perkumpulan tersebut, maka ia duduk di sana. Sedangkan yang satu lagi, duduk di belakang mereka. Adapun orang yang ketiga pergi. Maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai, beliau berkata, “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang tiga orang? Yang pertama, ia berlindung kepada Allah, maka Allah pun melindunginya. Yang kedua, ia malu, maka Allah pun malu terhadapnya. Sedangkan yang ketiga, ia berpaling maka Allah pun berpaling darinya.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 66 dan Muslim, no. 2176)

Baca juga: Keutamaan Duduk dalam Majelis Ilmu

 

Kesembilan puluh tujuh (#129): Manusia terbagi menjadi tiga yaitu ‘aalim yang mengajarkan ilmu, muta’allim yang belajar ilmu, dan orang awam.

Kumail bin Ziyad An-Nakha’i berkata bahwa ‘Ali bin Abi Thalib mengambil tangannya lantas berkata:

ِيا كميلُ بن زياد! القلوبُ أوعيةٌ؛ فخيرها أوعاها؛ احفظْ ما أقول لك: الناسُ ثلاثةٌ؛ فعالمٌ ربَّانيٌّ، ومتعلِّمٌ على سبيل نجاةٍ، وهَمَجٌ رِعَاعٌ أتباعُ كلِّ ناعقٍ يميلون مع كلِّ رِيح؛ لم يستضيئوا بنور العلم ولم يلجَئوا إلى ركنٍ وثيقٍ؛


العلمُ خيرٌ من المال: العلمُ يحرِسُك وأنت تحرِسُ المالَ، العلمُ يزكُوْ على الإنفاق–وفي رواية على العمل–والمالُ تنقُصُه النفقةُ، العلمُ حاكمٌ  و المالُ محكومٌ عليه ومحبةُ العلمِ دينٌ يُدان بها، العلمُ يُكسِب العالمَ الطاعةَ في حياته وجميلَ الأُحْدُوْثَةِ بعد موته، وصنيعةُ المال تزول بزواله، مات خُزَّانُ الأموال وهم أحياءٌ، والعلماءُ باقُون ما بقي الدهرُ، أعيانُهم مفقودةٌ، وأمثالهُم في القلوب موجودةٌ.

“Wahai Kumail bin Ziyaad! Ingatlah, hati itu ibarat wadah. Hati yang paling baik adalah yang paling banyak menampung (kebaikan). Ingatlah, apa yang akan aku katakan kepadamu.

Manusia itu ada tiga (golongan): alim rabbani (ulama), penuntut ilmu yang berada di atas jalan keselamatan, dan orang awam yang mengikuti setiap orang yang berteriak (seruan), mereka condong sesuai dengan arah angin (kemanapun diarahkan) , tidak menerangi diri dengan cahaya ilmu, dan tidak berpegangan dengan pegangan yang kuat.”

Ilmu itu lebih baik daripada harta:

– Ilmu itu menjagamu. Sedangkan harta itu dijaga olehmu.

– Ilmu bertambah dengan diamalkan, sedangkan harta berkurang setiap kali diinfakkan (dikeluarkan).

– Ilmu itu menjadi haakim (yang memberikan hukum), sedangkan harta itu menjadi objek hukum (terkena hukum).

– Mencintai orang yang berilmu (ulama) bagian dari agama, cinta yang mendekatkan diri kepada Allah.

– Ilmu menjadikan orang yang memilikinya menjadi seorang yang ditaati semasa hidupnya dan disebut dengan kebaikan setelah matinya.

– Apa yang dihasilkan oleh harta akan hilang bersama kemusnahannya.

– Orang yang menumpuk harta, (nama) mereka mati sedang dalam keadaan hidup (jasadnya), dan para ulama akan tetap ada selamanya; jasad mereka musnah, tapi sifat-sifat teladan mereka hidup di dalam hati-hati manusia.

(Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah Al-Auliya’, 1:79-80; Al-Khathib dalam Al-Faqiih wa Al-Mutafaqqih, 1:49; Asy-Syajari dalam Amaalihi, hlm. 66; Al-Muzani dalam Tahdzib Al-Kamaal, 24:220; An-Nahrawaani dalam Al-Jaliis Ash-Shaalih, 3:331. Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaan Al-‘Ilmi, 2:112, “Hadits ini begitu masyhur di kalangan ahli ilmu, tanpa lagi memperhatikan sanadnya karena sudah saking masyhurnya).

 

Berbagai pelajaran dari hadits ‘Ali

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

ِفلما كان القلب وعاء والأذن مدخل ذلك الوعاء وبابه كان حصول العلم موقوفا على حسن الإستماع

“Kalau hati diibaratkan seperti wadah, lalu telinga diibaratkan dengan tempat masuk dan menjadi pintu ke wadah tersebut, maka ilmu itu dapat diraih tergantung pada baiknya dalam istima’ (mendengarkan).” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:403)

Manusia dapat dibagi menjadi tiga:

1. Al-waashil (penyampai ilmu), yaitu seorang ‘aalim robbani yang menyampaikan ilmu.

2. Ath-thaalib (penuntut ilmu), yaitu orang yang semangat dalam mencari ilmu

3. Al-mahruum (yang terhalang dari ilmu), yaitu orang yang hamajun ri’aa’, liar penggembala, asal ikut-ikutan.

Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:404.

Mengenai yang pertama:

ِالعالم الرياني

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

ِولا يوصف العالم بكونه ربانيا حتى يكون عاملا بعلمه معلما له

“Seseorang disebut berilmu yang disifati ROBBANI bila ia mengamalkan ilmu dan mengajarkannya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:405)

Mengenai yang kedua:

ِمتعلم على سبيل النجاة

Orang yang belajar dengan menempuh jalan yang selamat.

Ada tiga sifat yang harus dimiliki:

ِالمخلص في تعلمه

ِالمتعلم ما ينفعه

ِالعامل بما علمه

1. Ikhlas ketika belajar

2. Belajar ilmu yang manfaat

3. Mengamalkan yang telah dipelajari

Ada hadits dari Ibnush Shalaah dan Abu Nu’aim tentang hal ini,

ِمن تعلم علما مما يبتغى به وجه الله لا يتعلمه إلا ليصيب عرضا من الدنيا لم يجد رائحة الجنة

“Siapa saja yang menuntut ilmu yang seharusnya untuk meraih wajah Allah, tetapi ilmu itu dicari hanya untuk mendapatkan tujuan duniawi semata, maka ia tidak akan mencium bau surga.” (HR. Ahmad, 2:338; Abu Daud, no. 3664; Ibnu Majah, no. 252, dari Abu Hurairah, di dalam sanadnya terdapat Fulaih bin Sulaiman yang kurang bagus hafalannya, tetapi hadits ini masih memiliki syahid atau penguat).

Dalam hadits disebutkan juga,

ِأشد الناس عذابا يوم القيامة عالم لم ينفعه الله بعلمه

“Orang yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah seorang alim yang tidak dijadikan diberi manfaat oleh Allah dengan ilmunya.” (Hadits ini dhaif jiddan)

Mengenai yang ketiga:

ِالمحروم المعرض

Yang terhalang dari ilmu dan berpaling dari ilmu.

Ia bukan termasuk ‘aalim, bukan termasuk muta’allim (yang mau belajar). Ia termasuk golongan yang bodoh.

Manusia jenis disifati:

1. Seperti lalat liar yang sering hinggap pada domba. Artinya, ia tak punya jalan hidup yang jelas.

2. Ia asal ikut suara burung itu berasal atau asal ikut penggembala membawanya atau asal ikut ke mana arah angin bertiup. Artinya, hidupnya hanya ikut-ikutan.

Dalam ayat Al-Qur’an disebutkan,

ِوَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً ۚ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Baqarah: 171)

ِوهَمَجٌ رِعَاعٌ أتباعُ كلِّ ناعقٍ يميلون مع كلِّ رِيح

“dan orang awam yang mengikuti setiap orang yang berteriak (seruan), mereka condong sesuai dengan arah angin (kemanapun diarahkan),

ِلم يستضيئوا بنور العلم ولم يلجَئوا إلى ركنٍ وثيقٍ؛

tidak menerangi diri dengan cahaya ilmu, dan tidak berpegangan dengan pegangan yang kuat.”

Maksud yang disifati oleh Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib adalah:

– mereka tidak punya ilmu

– hati mereka gelap

– mereka tidak memiliki cahaya untuk membedakan yang benar dan yang keliru, semua di mata mereka itu sama

ِالعلمُ يزكُوْ على الإنفاق

Ilmu bertambah dengan diamalkan, sedangkan harta berkurang setiap kali diinfakkan (dikeluarkan).

 

Zakaaul ‘llmi ada dua jalan:

1. Mengajarkannya

2. Mengamalkannya

Mengamalkan ilmu itu dengan membuat ilmu tumbuh dan bertambah. Mengamalkan ilmu itu membuka pintunya.

Karena mengajarkan dan mengamalkan ilmu adalah tijaaroh di dalamnya. Harta itu bisa berkembang dengan DAGANG, maka demikian pula ilmu.

 

Ilmu itu lebih baik daripada harta karena …

  1. Ilmu adalah warisan para nabi, sementara harta adalah warisan para raja dan orang kaya.
  2. Ilmu akan menjaga pemiliknya. Sedangkan, harta itu harus dijaga oleh pemiliknya.

Baca juga: 40 Alasan Kenapa Ilmu Agama itu Lebih Baik daripada Harta

 

Cintailah Ilmu!

Mencintai ilmu dan ulama adalah bagian dari agama. Mencintai ilmu berarti mencintai warisan para nabi, sebaliknya membencinya berarti membenci warisan para nabi.

Mencintai ilmu adalah tanda kebahagiaan, sedangkan membenci ilmu adalah tanda kesengsaraan.

Allah itu memiliki nama ‘ALIIM (Maha berilmu) dan Allah mencintai setiap orang yang punya sifat berilmu. Allah meletakkan ilmu pada orang yang Allah cintai. Maka, mencintai ilmu dan orang berilmu berarti mencintai apa yang Allah cintai. Inilah yang disebut dekat dengan Allah.

 

Ilmu akan Dikenang Setelah Kita Meninggal Dunia

  • Ini menunjukkan keutamaan ilmu karena ilmu bisa diwariskan, dan sebelumnya sudah diusahakan.
  • Ilmu itu membuat yang lain taat pada kita ketika hidup, sedangkan kalau sudah tiada, ilmu itu akan dikenang.
  • Ulil amri dalam surah An-Nisa’ ayat 59 adalah bermakna ulama yang mengajarkan ilmu dan mengajak untuk melakukan kewajiban. Ulil amri ada dua makna: (1) pemerintah, (2) ulama (orang berilmu).

 

Kesembilan puluh delapan (#130): Dakwah itu kedudukan yang paling mulia, dakwah itu butuh ilmu

Allah Ta’ala berfirman,

ِوَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ini adalah mukmin yang Allah mau berdakwah. Ia mengajak manusia kepada ajakan Allah. Dalam menerima dakwah itu, ia beramal saleh. Itulah habibullah, kekasih Allah. Itulah wali Allah, kekasih Allah.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:469).

Kedudukan dakwah itu sangatlah mulia. 

Allah Ta’ala berfirman,

ِوَأَنَّهُۥ لَمَّا قَامَ عَبْدُ ٱللَّهِ يَدْعُوهُ كَادُوا۟ يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا

“Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya.” (QS. Al-Jin: 19)

Dalam ayat lain yang patut direnungkan,

ِٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)

Ayat di atas menunjukkan tiga tipe orang yang didakwahi dan cara mendakwahinya sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim berikut ini.

Pertama: Untuk orang yang menerima kebenaran dan tidak menolaknya, cara mendakwahinya adalah dengan HIKMAH.

Kedua: Untuk orang yang lalai dan terjerumus dalam maksiat, cara mendakwahinya adalah dengan MAW’IZHAH HASANAH, yaitu mengajak pada kebaikan dengan memberi motivasi (targhib) dan melarang dari kemungkaran dengan memberi rasa takut (tarhib).

Ketiga: Untuk orang yang menentang, maka cara mendakwahinya dengan MUJADALAH, berdebat atau berdiskusi dengan cara yang baik. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:470).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika dakwah ilallah adalah kedudukan yang paling mulia dan utama bagi seorang hamba, dakwah itu harus didasari dengan ilmu. Ilmu itu jadi bekal dakwah dan dakwah itu diajak kepada ilmu (bihi wa ilaihi). Bahkan dakwah yang sempurna itu mesti menjadikan ilmu itu tersampaikan dan sehingga seorang bisa mengamalkan ilmu itu dengan baik.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:471).

Lalu Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, “Cukup hal ini yang menunjukkan keutamaan ilmu. Orang yang berilmulah yang layak memegang amanat dakwah. Allah-lah yang memberikan karunia kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:471).

 

Kesembilan puluh sembilan (#131): Ilmu itu membuahkan keyakinan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Faedah ilmu membuahkan keyakinan yang merupakan kehidupan hati yang paling utama. Ketenangan, kekuatan, semangat, dan berbagai konsekuensi kehidupan adalah hasil dari yakin. Orang yang yakin inilah yang dipuji oleh Allah dalam Al-Qur’an.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:471).

Yakin itu adalah ilmu dan menghilangkan keraguan.

Di antara ayat yang memuji orang-orang yang yakin adalah:

ِوَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ

dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Al-Baqarah: 4)

Yakin itu karunia luar biasa. Dalam ayat disebutkan bagaimanakah orang yang yakin mudah dalam menghadapi musibah.

ِمَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun: 11). Ibnu Mas’ud berkata, “Ini adalah keadaan hamba yang mendapatkan musibah. Ia mengetahui apa yang ada di sisi Allah (yaitu YAKIN), sehingga ia pun rida dan berserah diri.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:473).

 

Keseratus (#132): Menuntut ilmu itu wajib.

Dari hadits Anas bin Malik, secara marfu’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ٍطَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِم

Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Abu Ya’la, no. 2837. Hadits ini hasan)

lmu yang wajib dipelajari:

  1. Pokok iman yang lima: iman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Baqarah: 177.
  2. Ilmu syariat yang harus dikerjakan hamba seperti ilmu wudhu, shalat, puasa, haji, zakat dan turunannya meliputi syarat dan pembatalnya.
  3. Ilmu tentang yang haram yang lima yang disebutkan dalam surah Al-A’raf ayat 33.

Allah Ta’ala berfirman,

ِقُلْ إنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui“.” (QS. Al A’rof: 33)”

Ibnul Qayyim -rahimahullah- ketika menjelaskan ayat di atas mengatakan, “Allah mengurutkan keharaman menjadi empat tingkatan. Allah memulai dengan menyebutkan tingkatan dosa yang lebih ringan yaitu al fawaahisy (perbuatan keji). Kemudian Allah menyebutkan keharaman yang lebih dari itu, yaitu melanggar hak manusia tanpa jalan yang benar. Kemudian Allah beralih lagi menyebutkan dosa yang lebih besar lagi yaitu berbuat syirik kepada Allah. Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari’at-Nya.” Lihat I’lamul Muwaqi’in, Ibnul Qayyim, 1/38, Darul Jail Beirut

Baca juga: Berbicara Agama Tanpa Ilmu Lebih Bahaya dari Syirik

4. Ilmu hukum bergaul antara sesama (mu’asyarah) dan muamalah.

 

Keseratus satu (#133): Orang yang paling berilmu adalah orang yang tidak pernah puas dengan ilmu.

Ada hadits riwayat Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya, dari Abu Hurairah secara marfu’ yang sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda, “Musa bertanya kepada Rabbnya ihwal enam perkara yang dia sangka hanya dimilikinya, sedang perkara yang ketujuh tidak disukai Musa.

  1. Musa bertanya, “Wahai Rabb! Siapakah hamba-Mu yang paling bertakwa?” Allah menjawab, “Yang selalu ingat kepada-Ku dan yang tidak pernah lupa.”
  2. Musa bertanya, “Siapa hamba-Mu yang paling mendapat petunjuk?” Allah menjawab, “Yang mengikuti petunjuk.”
  3. Musa bertanya, “Siapa hamba-Mu yang paling adil?” Allah menjawab, “Yang memberi keputusan terhadap manusia seperti dia memberi keputusan untuk dirinya sendiri.”
  4. Musa kembali bertanya, “Siapa hamba-Mu yang paling berilmu?” Allah menjawab, “Orang berilmu yang tidak pernah puas dari ilmu, yang menyatukan ilmu-ilmu manusia dengan ilmunya.”
  5. Musa bertanya, “Siapa dari hamba-Mu yang paling mulia?” Allah menjawab, “Yang ketika mampu membalas, dia malah memilih untuk memaafkan.”
  6. Musa bertanya, “Siapa pula hamba-Mu yang paling kaya?” Allah menjawab, “Orang yang rida atas apa yang diberikan kepadanya.”
  7. Musa bertanya lagi, “Siapakah hamba yang paling fakir?” Allah menjawab, “Orang yang merasa serba kekurangan.”

Lihatlah bagaimana Musa belajar dan mengambil faedah dari Khidr sebagaimana disebutkan dalam ayat,

ِقَالَ لَهٗ مُوْسٰى هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلٰٓى اَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?” (QS. Al-Kahfi: 66)

 

Keseratus dua (#134): Orang yang berilmu itulah yang sampai pada maqam (kedudukan) mendapatkan cinta Allah.

Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada Allah, mencintai Allah, mendahulukan rida Allah, mengharuskan untuk mengenal Allah. Allah pun memberikan ilmu kepada hamba-hamba-Nya yang tanpanya manusia tak akan memiliki kesempurnaan.

Ilmu membimbing tindak tanduk manusia agar sesuai dengan rida dan cinta Allah. Oleh karenanya, Allah mengutus para rasul, menurunkan kitab suci, dan menetapkan syariat-syariat. Mengikuti sunnah Rasul adalah bukti bahwa kita itu mencintai Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

ِقُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

Mencintai dengan tulus berarti menganggap perilaku yang tidak sesuai rida Allah sebagai bentuk pengkhianatan terhadap Sang Kekasih. Kondisi ini mengakibatkan hal-hal mubah berubah menjadi ibadah, seperti tidur, makan, dan istirahat agar mudah dalam menjalankan shalat malam, puasa, dan sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah.

Seorang alim berkata, “Kebiasaan harian (‘aadat) orang cerdas/ berilmu (akyaas) bisa jadi ibadah, sementara ibadahnya orang yang tidak berilmu hanya menjadi kebiasaan pribadinya (‘aadat-nya).”

Seorang salaf berkata, “Betapa bagus tidur dan makan orang-orang yang cerdas/ berilmu (akyaas). Dengannya, mereka bisa mengalahkan begadang dan puasa yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang tidak berilmu.”

Kita tidak bisa membedakan apa yang Allah cintai dan apa yang Allah benci kecuali dengan adanya ilmu.

Abu Yazid berkata, “Jika kamu melihat seseorang diberi karamah hingga dapat terbang di udara, janganlah terperdaya olehnya sebelum kalian melihat seperti apa sikapnya terhadap perintah, larangan, cara menjaga batasan-batasan Allah, dan pengetahuan syariatnya.”

Muhammad bin Al-Fadhl Ash-Shufi Az-Zahid berkata, “Islam akan lenyap di tangan empat golongan manusia:

  1. orang-orang yang tidak mengamalkan ilmu yang diketahui,
  2. orang-orang yang mengamalkan apa yang tidak mereka ketahui ilmunya,
  3. orang-orang yang tidak beramal serta tidak pula berilmu,
  4. orang-orang yang menghalangi orang lain untuk belajar atau mencari ilmu.”

Orang pertama adalah golongan yang paling berbahaya bagi orang awam, karena mereka menjadi alasan bagi tiap kekurangan dan kehinaan.

Orang kedua adalah ahli ibadah yang tidak berilmu, tetapi orang-orang berbaik sangka padanya karena ibadah dan kesalehan pribadi, hingga orang kedua ini diikuti padahal ia orang bodoh.

Orang ketiga itu seperti hewan ternak yang dibiarkan berkeliaran (al-an’aam as-saa’imah).

Orang keempat itu adalah wakil Iblis di bumi. Mereka ini mengendurkan semangat orang yang menuntut ilmu dan mendalami agama. Mereka ini lebih berbahaya bagi manusia dari setan-setan kalangan jin. Karena mereka ini menghalangi hati untuk mencari petunjuk Allah dan meniti jalan-Nya.

 

 

Keseratus tiga (#135): Allah menjadikan orang yang berilmu (ulama) sebagai wakil serta kepercayaan untuk memegang agama dan wahyu dari-Nya. Mereka diamanahi untuk menjaga, melaksanakan, dan membelanya.

Allah Ta’ala berfirman,

ذَٰلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ۚ فَإِنْ يَكْفُرْ بِهَا هَٰؤُلَاءِ فَقَدْ وَكَّلْنَا بِهَا قَوْمًا لَيْسُوا بِهَا بِكَافِرِينَ

Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.

Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kitab, hikmat dan kenabian Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya.” (QS. Al-An’am: 88-89)

Orang yang berilmu dijadikan wakil untuk menjaga kitab, hukum, dan nubuwwah. Ini berkat taufik yang menuntun mereka untuk mengimaninya, menunaikan hak-haknya, menjaga dan membelanya, serta berlaku tulus. Seperti seseorang mewakilkan sesuatu kepada orang lain untuk dia laksanakan dan dia jaga.

Allah memiliki para pembela seperti termaktub dalam Al-Qur’an,

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63)

Baca juga: Siapakah Wali Allah?

Begitu juga dalam ayat,

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ 

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).” (QS. Al-Baqarah: 257)

Pembelaan ini tidak lain adalah pembelaan rahmat, kebaikan, dan hiburan Allah untuk para hamba-Nya.

 

Keseratus empat (#136): Ilmu agama ini dibawa oleh orang-orang yang ‘adel dan terpercaya dari setiap generasi.

Yang dimaksud dengan ‘adl (‘adalah) bukan berarti orang yang tidak pernah berbuat dosa. Yang dimaksud ‘adil adalah terpercaya untuk memegang agama meski pernah berbuat dosa, dan dia sudah bertaubat dari dosa itu. Ini tidak menafikan ‘adl, sebagaimana tidak menafikan iman dan kewalian.

Baca juga: Apa itu ‘Adel dan Fasik?

Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari beberapa jalur, beliau bersabda, “Ilmu agama ini dibawa oleh orang-orang yang ‘adel (terpercaya) dari setiap generasi. Mereka menghapus perubahan orang-orang yang berlebihan (para ahli bid’ah) darinya, pengakuan para pengikut kebatilan, dan penakwilan orang-orang bodoh.

Siapa pun yang membawa ilmu haruslah orang ‘adel. Karena itulah, sifat ‘adel dari para pembawa ilmu sudah masyhur di kalangan umat tanpa diragukan lagi.

Orang yang ‘adel ini bukanlah orang yang dikenal tercela dan menjadi sasaran kritik, seperti para ahli bid’ah dan pengikut bid’ah.

 

Keseratus lima (#137): Keberlangsungan agama dan dunia ini bergantung pada keberlangsungan ilmu.

Ketika ilmu lenyap, maka lenyap pula dunia serta agama. Karenanya tegaknya agama dan dunia tergantung pada ilmu.

Imam Al-Auza’i berkata bahwa Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Berpegang teguhlah kepada sunnah. Karena sunnah adalah jalan keselamatan. Ilmu dicabut dengan cepat. Karenanya, tegaknya ilmu adalah teguhnya agama dan dunia. Lenyapnya ilmu adalah lenyapnya semua itu.”

Ibnu Syihab juga berkata mengenai perkataan para ulama, “Berpegang teguh kepada sunnah adalah keselamatan. Ketahuilah bahwasanya ilmu itu dicabut dengan cepat. Jadi, tegaknya ilmu adalah teguhnya agama dan dunia. Lenyapnya ilmu berarti lenyapnya semua itu.”

 

Keseratus enam (#138): Ilmu mengangkat deraja pemiliknya di dunia dan di akhirat. 

Ilmu tidak seperti derajat yang diberikan kerajaan, harta benda, dan semacamnya karena ilmu semakin meningkatkan kemuliaan, mengangkat derajat seorang budak hingga menempatkannya di tempat-tempat para raja.

Dalam hadits disebutkan,

إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ

Sesungguhnya Allah mengangkat derajat seseorang dengan kitab ini (Al Qur’an) dan merendahkan yang lain dengan kitab ini.” (HR. Muslim no. 817, dari ‘Umar bin Al Khattab)

Ini buktinya,

أَنَّ نَافِعَ بْنَ عَبْدِ الْحَارِثِ لَقِىَ عُمَرَ بِعُسْفَانَ وَكَانَ عُمَرُ يَسْتَعْمِلُهُ عَلَى مَكَّةَ فَقَالَ مَنِ اسْتَعْمَلْتَ عَلَى أَهْلِ الْوَادِى فَقَالَ ابْنَ أَبْزَى. قَالَ وَمَنِ ابْنُ أَبْزَى قَالَ مَوْلًى مِنْ مَوَالِينَا. قَالَ فَاسْتَخْلَفْتَ عَلَيْهِمْ مَوْلًى قَالَ إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِنَّهُ عَالِمٌ بِالْفَرَائِضِ. قَالَ عُمَرُ أَمَا إِنَّ نَبِيَّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ قَالَ

« إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ ».

Nafi’ bin ‘Abdul Harits pernah bertemu ‘Umar di ‘Usfan dan ketika itu ‘Umar menugaskan Nafi’ untuk mengurus kota Makkah.

Umar pun bertanya, “Kalau begitu siapa yang mengurus penduduk Al Wadi?”

“Ibnu Abza”, jawab Nafi’.

Umar balik bertanya, “Siapa Ibnu Abza”.

Ketika itu dijawab, “Dia adalah di antara bekas budak kami.”

Umar terheran dan berkata, “Kok bisa yang engkau tugaskan adalah bekas budak?”

Nafi’ menjawab, “Ia itu paham Al Qur’an dan memahami ilmu faroidh (waris).”

Umar berkata, “Sesungguhnya nabi kalian itu bersabda, “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat seseorang dengan kitab ini (Al Qur’an) dan merendahkan yang lain dengan kitab ini.“ (HR. Muslim, no. 817)

Baca juga: Semakin Mulia dengan Al-Qur’an 

 

Referensi:

Miftah Daar As-Sa’aadah wa Mansyur Walaayah Ahli Al-‘Ilmi wa Al-Idarah. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabiy Al-Atsariy. Penerbit Dar Ibnul Qayyim dan Dar Ibnu ‘Affan. Mulai dari 1:217.

 

Baca Juga:

Mulai diringkas, 21 Muharram 1443 H, 27 Agustus 2021

Selesai diedit pada, Rabu, 12 Jumadal Ula 1444 H, 7 Desember 2022

@ Darush Sholihin Pangggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button