Fathu Makkah: Kemenangan Tanpa Pertumpahan Darah dan Pelajaran Abadi dari Sirah Nabawiyah
Peristiwa Fathu Makkah—penaklukan Kota Suci Makkah—merupakan salah satu kemenangan terbesar dalam sejarah Islam. Kemenangan ini bukan hanya menjadi momen penting dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, tetapi juga diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an di beberapa tempat.
Salah satunya adalah dalam surah An-Naṣr, yang merupakan pertanda dekatnya kemenangan:
﴿إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا﴾
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.” (QS. An-Naṣr: 1–3)
Di tempat lain, Allah menunjukkan betapa besarnya keutamaan orang-orang yang berjuang di masa-masa awal Islam, sebelum kemenangan itu datang:
﴿لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ﴾
“Tidak sama antara orang-orang di antara kamu yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum kemenangan (Fathu Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan dan berperang setelah itu. Tetapi kepada masing-masing, Allah menjanjikan balasan yang terbaik.” (QS. Al-Ḥadīd: 10)
Ibnu Qayyim rahimahullāh berkata, “Fathu Makkah adalah kemenangan terbesar yang Allah karuniakan untuk memuliakan agama-Nya, Rasul-Nya, dan pasukan-Nya. Dalam kemenangan ini pula Allah menghinakan musuh-musuh-Nya. Ia menjadi titik balik bagi kota suci Makkah—kembali ke pangkuan Islam setelah sekian lama berada di tangan kaum kafir dan musyrik. Kemenangan itu disambut gembira oleh penduduk langit, dan bumi pun bersinar terang dengan cahaya iman dan petunjuk. Manusia masuk Islam secara berbondong-bondong. Allah menolong Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Al-Qur’an dan barisan pasukan-Nya, dan semua itu terjadi pada bulan Ramadhan tahun kedelapan Hijriah.” (Zaad Al-Ma’ad, 3:394)
Sebab Terjadinya Fathu Makkah
Sebab terjadinya Fathu Makkah adalah pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh Quraisy dalam kesepakatan Hudaibiyah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai perjanjian itu dan tidak menghendaki perang. Namun ketika Quraisy dan sekutunya melanggarnya, sementara Bani Khuza‘ah yang merupakan sekutu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memegang teguh isi perjanjian, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memutuskan untuk menaklukkan Makkah.
Antara Bani Bakr dan Khuza‘ah terdapat permusuhan dan dendam lama. Saat perjanjian Hudaibiyah masih berlaku, Naufal bin Mu‘āwiyah ad-Daili dari Bani Bakr keluar bersama sejumlah orang dari kaumnya, lalu menyerang Khuza‘ah saat mereka sedang berada di sumber air bernama al-Watīr. Terjadilah pertempuran. Bani Bakr kemudian meminta bantuan Quraisy. Mereka pun mengirimkan senjata dan turut berperang bersama mereka, sebagian bahkan secara diam-diam di malam hari.
Upaya Quraisy Melanggengkan Perjanjian
Setelah kejadian itu, ‘Amr bin Sālim al-Khuza‘ī keluar bersama empat puluh orang dari kaumnya dalam keadaan berkendara menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengadukan pengkhianatan yang menimpa mereka, sambil menyampaikan syair ratapan yang menyayat hati. Mendengar hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«نُصِرْتَ يَا عَمْرَو بْنَ سَالِمٍ»
“Engkau telah mendapat pertolongan, wahai ‘Amr bin Sālim.” (Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 4:278)
Setelah kejadian itu, Abū Sufyān pergi ke Madinah untuk mencoba memperbarui dan memperkuat kembali perjanjian. Ia mendatangi putrinya, Ummul Mukminīn Ummu Ḥabībah binti Abī Sufyān raḍiyallāhu ‘anhā. Ketika ia hendak duduk di atas tikar milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Ḥabībah segera melipat tikar tersebut dan tidak mengizinkannya duduk di atasnya. Abū Sufyān berkata, “Wahai putriku, apakah engkau tidak rela aku duduk di atas tikar ini? Apakah tikar ini lebih engkau sukai daripadaku?” Ia menjawab, “Ini adalah tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk di atas tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Setelah itu, Abū Sufyān menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencoba berbicara kepadanya, tetapi beliau tidak memberikan respons sedikit pun. Ia pun pergi menemui Abū Bakr, namun tidak mendapat jawaban. Ia datangi ‘Umar, tapi ‘Umar menolaknya. Ia lalu pergi ke ‘Uthmān, kemudian ke ‘Alī dan beberapa Sahabat dari kalangan Anṣār, namun tidak satu pun yang membantunya. Akhirnya, Abū Sufyān kembali ke Makkah dengan tangan hampa, tidak mendapatkan apa yang ia harapkan. (Ibnu Hisyam dalam As-Sirah 2:396)
Persiapan Rasulullah ﷺ Menuju Makkah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mulai mempersiapkan penaklukan Makkah. Beliau memerintahkan untuk bersiap-siap menghadapi perang, namun tidak mengumumkan arah tujuan sebenarnya. Dalam kitab as-Sīrah, Ibnu Hisyām rahimahullāh meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:
«اللَّهُمَّ خُذِ الْعُيُونَ وَالْأَخْبَارَ عَنْ قُرَيْشٍ حَتَّى نَبْغَتَهَا فِي بِلَادِهَا»
“Ya Allah, tutuplah mata-mata dan berita dari Quraisy agar kami bisa mengejutkan mereka di negeri mereka sendiri.” (Ibnu Hisyam dalam As-Sirah, 2:397)
Kisah Surat Hatib bin Abi Balta‘ah
Menjelang penaklukan Makkah, Hatib bin Abī Balta‘ah sempat mengirim surat secara diam-diam kepada penduduk Makkah, memberitahu mereka bahwa Rasulullah ﷺ akan bergerak menuju kota tersebut. Surat itu ia titipkan melalui seorang wanita.
‘Alī bin Abī Ṭālib berkata: “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda, ‘Pergilah kalian ke Rawḍah Khākh, di sana ada seorang wanita yang membawa surat. Ambillah surat itu darinya.’” Maka kami pun berangkat bersama az-Zubair dan al-Miqdād. Setelah tiba di tempat yang dimaksud, kami menemukan wanita itu.
Kami berkata kepadanya, “Keluarkan surat itu.” Ia membantah, “Aku tidak membawa surat.” Kami menegaskan, “Kamu harus mengeluarkannya, atau kami akan menelanjangimu.” Akhirnya, ia pun mengeluarkan surat itu dari sanggul rambutnya. Lalu kami bawa surat itu kepada Rasulullah ﷺ.
Setelah membacanya, Rasulullah ﷺ berkata kepada Hatib:
«يَا حَاطِبُ، مَا هَذَا؟»
“Wahai Ḥāṭib, apa maksud semua ini?”
Ḥāṭib menjawab dengan jujur, “Wahai Rasulullah, jangan tergesa menghukumku. Aku bukan orang Quraisy. Keluargaku di Makkah tidak memiliki pelindung, berbeda dengan para sahabatmu. Aku hanya ingin menjaga hubungan dengan mereka agar keluargaku tidak ditindas. Bukan karena aku murtad dari Islam atau rela dengan kekufuran setelah mendapat petunjuk.”
Rasulullah ﷺ bersabda:
«أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكُمْ»
“Sungguh, ia telah berkata jujur kepada kalian.”
Namun ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkan aku memenggal leher si munafik ini!”
Nabi ﷺ menanggapi:
«إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ اطَّلَعَ إِلَى أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ»
“Ia adalah peserta Perang Badar. Dan tahukah kamu? Boleh jadi Allah telah memandang para pejuang Badar lalu berfirman: ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sungguh Aku telah mengampuni kalian.’” (HR. Bukhārī dan Muslim)
Tak lama setelah kejadian itu, Allah ﷻ menurunkan ayat:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُم مِّنَ الْحَقِّ…﴾
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang, padahal sungguh mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu…” (QS. Al-Mumtaḥanah: 1)
Disebutkan dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī –rahimahullāh– bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ia telah berkata jujur. Janganlah kalian mengatakan tentang dia kecuali yang baik.”
Namun ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu berkata, “Sungguh ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin! Izinkan aku untuk memenggal lehernya!”
Rasulullah ﷺ menjawab:
“Bukankah dia termasuk ahli Badar?”
Beliau kemudian menambahkan:
فَقَالَ: «لَعَلَّ ٱللّٰهَ ٱطَّلَعَ إِلَىٰ أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: ٱعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ، فَقَدْ وَجَبَتْ لَكُمُ ٱلْجَنَّةُ» أَوْ: «فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ»
“Bisa jadi Allah telah melihat para pejuang Badar lalu bersabda: ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sungguh Aku telah mengampuni kalian.’”
Maka berlinanglah air mata ‘Umar, lalu ia berkata: “Allāh dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” (HR. Bukhari, no. 3983)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menziarahi Kubur Ibundanya
Setelah Rasulullah ﷺ menyelesaikan persiapannya, beliau berangkat dari Madinah dengan membawa sepuluh ribu pasukan. Dalam perjalanan, beliau singgah untuk menziarahi makam ibundanya, Āminah binti Wahb.
ففي صحيح مسلم – رحمه الله تعالى – عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه: قال: زارَ النبيُّ ﷺ قبرَ أمِّه، فبكى وأبكى من حولَه، فقال: «استأذنتُ ربِّي في أن أستغفرَ لها فلم يُؤذَنْ لي، واستأذنتُه في أن أزورَ قبرَها فأذِنَ لي، فزوروا القبورَ فإنها تُذَكِّرُ الموت».
Dalam riwayat Shahih Muslim, Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu berkata: Nabi ﷺ menziarahi makam ibunya, lalu beliau menangis dan membuat orang-orang di sekitarnya ikut menangis. Beliau bersabda:
“Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi tidak diizinkan. Aku juga meminta izin untuk menziarahi kuburnya, maka aku pun diizinkan. Karena itu, ziarahilah kubur, sebab ia dapat mengingatkan kalian kepada kematian.”
ورُفِع في مسند الإمام أحمد – رحمه الله تعالى – ما يُغلَب على الظن أن ذلك كان في غزوة الفتح. فمن بُرَيْدَةَ بنُ الحُصَيْب رضي الله تعالى عنه: أن رسولَ الله ﷺ غزا غزوةَ الفتح، فخرج يمشي إلى القبور حتى إذا أتى أدناها جلس إليها كأنه يُكَلِّمُ إنسانًا جالسًا يبكي. قال: فجلس إليه عمرُ بنُ الخطاب رضي الله تعالى عنه، فقال: يا رسولَ الله ما يُبْكِيك؟ جعلني الله فداك. قال: «سألتُ ربِّي أن يأذنَ لي في زيارةِ قبرِ أمِّي محمَّدَةَ فأذِنَ لي، وسألتُه أن أستغفرَ لها فلم يأذنْ لي».
Dalam Musnad Ahmad, diriwayatkan bahwa hal itu terjadi pada Perang Fathu Makkah. Dari Buraidah bin al-Hushaib radhiyallāhu ‘anhu disebutkan: Rasulullah ﷺ dalam Perang Fath keluar berjalan menuju kuburan. Ketika sampai di dekatnya, beliau duduk seakan-akan sedang berbicara dengan seseorang sambil menangis. Umar bin al-Khaththab radhiyallāhu ‘anhu pun mendekat dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu menangis? Semoga aku menjadi tebusanmu.” Rasulullah ﷺ menjawab:
“Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk menziarahi kubur ibuku, maka Dia izinkan. Dan aku meminta izin untuk memohonkan ampun baginya, tetapi Dia tidak izinkan.”
وجاء في لفظٍ آخر عن بُرَيْدةَ رضي الله تعالى عنه: قال رسولُ الله ﷺ: «إنِّي استأذنتُ ربِّي في استغفارِ أمِّي فلم يأذَنْ لي، فأنزلني عند قبرِها رحمةً عَيْنَيَّ».
Dalam riwayat lain dari Buraidah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi Dia tidak izinkan. Lalu aku berada di sisi kuburnya hingga kedua mataku basah penuh air mata.”
Bertemu dengan Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib
Di tengah perjalanan itu, beliau bertemu dengan Al-‘Abbās bin ‘Abdil Muththalib, yang keluar dari Makkah untuk berhijrah bersama keluarga dan anak-anaknya. Sebelumnya, ia masih tinggal di Makkah mengurus pekerjaan memberi minum jamaah haji. Rasulullah ﷺ pun merestui keputusannya.
Ketika Rasulullah ﷺ sampai di daerah Marruzh-Zhahrān, beliau singgah di sana. Beliau memerintahkan para sahabat – semoga Allah meridhai mereka – untuk menyalakan sepuluh ribu api unggun. Saat itu, Quraisy sama sekali belum mengetahui perjalanan pasukan Muslim, sementara mereka diliputi kegelisahan karena khawatir akan diserang.
Abu Sufyan Masuk Islam
Abu Sufyan, Hakim bin Hizam, dan Budail bin Warqā’ keluar mencari informasi. Mereka terus menyusuri berita hingga akhirnya tiba di Marruzh-Zhahrān. Ketika melihat pasukan besar kaum Muslimin, mereka pun ketakutan. Beberapa orang dari pasukan penjaga Rasulullah ﷺ menangkap mereka lalu membawa mereka kepada beliau. Saat itu, Abu Sufyan akhirnya masuk Islam.
Rasulullah ﷺ kemudian berkata kepada Al-‘Abbās radhiyallāhu ‘anhu:
احبِسْ أبا سفيان عند خَطْمِ الجبل حتّى ينظرَ إلى المسلمين
“Tahan Abu Sufyan di dekat celah gunung, agar ia bisa melihat sendiri pasukan kaum Muslimin.”
Al-‘Abbās pun menahan Abu Sufyan di sana. Lalu, kabilah-kabilah lewat satu per satu bersama Nabi ﷺ sehingga Abu Sufyan menyaksikan kekuatan besar Islam.
Sebelumnya, Al-‘Abbās berkata kepada Rasulullah ﷺ: “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang suka dengan kehormatan dan kebanggaan. Berikanlah sesuatu untuknya.” Maka Rasulullah ﷺ menjawab:
نَعَم، من دخل دارَ أبي سفيان فهو آمن، ومن أغلق عليه بابَه فهو آمن، ومن دخل المسجد فهو آمن».
“Baiklah. Barang siapa masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman. Barang siapa menutup pintu rumahnya, maka ia aman. Dan barang siapa masuk ke masjid, maka ia aman.”
Masuknya Nabi ﷺ ke Makkah dengan Kerendahan Hati
Kemudian Rasulullah ﷺ melanjutkan perjalanan hingga sampai di Dzu Ṭuwā. Beliau masuk ke Mekah dengan penuh kerendahan diri kepada Allah Ta‘ālā. Saat itu, kepala beliau menunduk di atas untanya dengan penuh kekhusyukan, hingga janggut beliau hampir menyentuh pelana. Beliau membaca Surah Al-Fatḥ.
Rasulullah ﷺ mengutus Az-Zubair bin Al-‘Awwām – raḍiyallāhu ‘anhu – kepada kaum Muhājirin dan kabilah tertentu. Beliau memerintahkannya agar masuk dari arah Kaddā (jalur atas Mekah) dan menancapkan benderanya di Al-Ḥujūn, tanpa berperang kecuali bila diserang.
Beliau juga mengutus Khālid bin Al-Walīd – raḍiyallāhu ‘anhu – bersama kabilah Qudhā‘ah, Sulaim, dan lainnya, serta memerintahkannya agar masuk Mekah dari arah bawah (Kudā), dan menancapkan benderanya di dekat rumah-rumah Mekah.
Beliau juga mengutus Sa‘d bin ‘Ubādah – raḍiyallāhu ‘anhu – dengan panji kaum Anṣār, dan memerintahkannya agar tidak memerangi kecuali bila diserang.
Maka berangkatlah Khālid bin Al-Walīd, beliau masuk dari arah bawah Mekah. Namun, beberapa kabilah Quraisy berkumpul untuk melawannya, yaitu Banu Bakr, Banu Ḥārith bin ‘Abdi Manāf, sebagian dari Hudzayl, serta orang-orang dari daerah pinggiran Mekah. Mereka menyerang pasukan Khālid, tetapi akhirnya kalah dan terpukul mundur.
Rasulullah ﷺ memberi keamanan umum pada hari itu kepada semua orang, kecuali empat laki-laki dan dua perempuan. Beliau memerintahkan agar mereka dibunuh meskipun berlindung di bawah kain Ka‘bah. Mereka adalah:
- ‘Ikrimah bin Abī Jahl,
- ‘Abdullāh bin Khathal,
- Miqyas bin Shubābah,
- ‘Abdullāh bin Abī Sarḥ.
‘Abdullāh bin Khathal dibunuh saat itu juga, meskipun ia bergantung pada kain Ka‘bah. Miqyas juga terbunuh di Mekah. Adapun ‘Ikrimah, ia sempat melarikan diri, lalu akhirnya kembali masuk Islam dengan tulus. Sedangkan ‘Abdullāh bin Abī Sarḥ bersembunyi hingga kemudian mendapat jaminan keamanan, lalu datang kepada Rasulullah ﷺ dan masuk Islam.
Dua perempuan yang diperintahkan untuk dibunuh adalah Fartanā dan Sārah, keduanya bekas budak penyanyi milik ‘Abdullāh bin Khathal.
Panji Rasulullah ﷺ ditancapkan di Al-Ḥujūn dekat Masjid al-Fatḥ. Beliau memerintahkan para sahabat agar berkumpul di sana. Abu Hurairah – raḍiyallāhu ‘anhu – meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْزِلُنَا إِذَا فَتَحَ اللَّهُ الْخَيْفُ
“Tempat tinggal kita nanti – insyaAllah – bila Allah memberi kemenangan adalah di Al-Khaif.”
Ketika siang mulai meninggi, Rasulullah ﷺ masuk ke Mekah. Beliau menuju rumah Ummu Hāni’ binti Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhā – lalu mandi di sana. Setelah itu beliau shalat delapan rakaat. Ummu Hāni’ berkata:
“Aku tidak pernah melihat beliau shalat dengan lebih ringan daripada shalat ini, meskipun tetap sempurna rukuk dan sujudnya.”
Pembersihan Ka‘bah dari Berhala
Kemudian beliau kembali ke pasukan. Tenda beliau dipasang di Syib ‘Abī Ṭālib, sementara kaum Quraisy berkumpul di sekitar beliau. Saat itu, Rasulullah ﷺ masuk ke Masjidil Haram. Beliau menghadap Ka‘bah, di sekelilingnya ada kaum Muhājirin dan Anṣār. Beliau membawa tongkat di tangannya. Ketika itu Ka‘bah dikelilingi oleh 360 berhala. Rasulullah ﷺ mulai menghancurkan berhala-berhala itu dengan tongkatnya sambil membaca firman Allah:
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Katakanlah: Telah datang kebenaran, dan lenyaplah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” (QS. AL-Isra’: 81)
Dan juga firman Allah Ta‘ālā:
قُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ
“Katakanlah: Telah datang kebenaran, dan kebatilan itu tidak akan memulai dan tidak pula akan mengulang kembali.” (QS. Saba’: 49)
Maka berhala-berhala itu berjatuhan satu per satu di hadapan beliau.
Setelah itu, Rasulullah ﷺ thawaf di Ka‘bah dengan menaiki untanya. Beliau lalu memanggil ‘Utsmān bin Ṭalḥah dan meminta kunci Ka‘bah darinya. Ketika kunci itu diserahkan, beliau membuka pintu Ka‘bah. Saat masuk, beliau melihat banyak gambar di dalamnya. Di antaranya adalah gambar Nabi Ibrāhīm dan Nabi Ismā‘īl ‘alaihimas-salām yang sedang mengundi nasib dengan anak panah.
Melihat itu, Rasulullah ﷺ bersabda:
قَاتَلَهُمُ اللهُ، وَاللهِ لَقَدْ عَلِمُوا مَا اسْتَقْسَمَا بِهَا قَطُّ
“Semoga Allah membinasakan mereka! Demi Allah, sungguh mereka tahu bahwa keduanya tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah sama sekali.”
Beliau juga melihat ada gambar seekor merpati dari kayu di dalam Ka‘bah. Maka beliau menghancurkannya dengan tangannya dan memerintahkan agar semua gambar dihapus.
Dari Usāmah bin Zayd – raḍiyallāhu ‘anhu – ia berkata: “Aku masuk bersama Rasulullah ﷺ ke dalam Ka‘bah. Beliau melihat ada gambar, lalu beliau meminta diambilkan air. Beliau pun mengusap gambar itu seraya bersabda:
قَاتَلَ اللهُ قَوْمًا يَصُوِّرُونَ مَا لَا يَخْلُقُونَ
“Semoga Allah membinasakan suatu kaum yang membuat gambar sesuatu yang mereka tidak mampu menciptakannya.”
Khutbah Rasulullah ﷺ di Masjidil Haram
Kemudian beliau shalat di dalam Ka‘bah. Setelah itu, beliau keluar dan berdiri menghadap kaum Quraisy yang telah memenuhi Masjidil Haram. Beliau berkhutbah di hadapan mereka:
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ نُخْوَةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَظُّمَهَا بِالْآبَاءِ. النَّاسُ مِنْ آدَمَ، وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ
“Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghapus dari kalian kesombongan jahiliah dan kebanggaan terhadap nenek moyang. Manusia semuanya berasal dari Ādam, dan Ādam diciptakan dari tanah.”
Lalu beliau membaca firman Allah Ta‘ālā:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Kemudian Rasulullah ﷺ berkata: “Wahai kaum Quraisy, menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?”
Mereka menjawab: “Engkau adalah saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.”
Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka, sebagaimana ucapan Nabi Yūsuf ‘alaihissalām kepada saudara-saudaranya:
لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ
“Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian.”
Beliau pun berkata:
اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ
“Pergilah kalian, kalian semua bebas.”
Imam Al-Baihaqī – raḥimahullāh – berkata: maksudnya adalah beliau memberikan mereka jaminan keamanan.
Pengembalian Kunci Ka‘bah dan Amanah yang Dijaga
Setelah itu, beliau duduk di dalam Masjidil Haram. Lalu berdirilah ‘Alī bin Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhu – seraya meminta kunci Ka‘bah. Rasulullah ﷺ pun bertanya: “Di mana ‘Utsmān bin Ṭalḥah?”
Maka beliau dipanggil, dan Rasulullah ﷺ berkata kepadanya:
هَاكَ مِفْتَاحَكَ يَا عُثْمَانُ، الْيَوْمَ يَوْمُ بِرٍّ وَوَفَاءٍ
“Ini kuncimu wahai ‘Utsmān, hari ini adalah hari kebaikan dan kesetiaan.”
Lalu kunci itu dikembalikan kepadanya dan tetap berada pada keluarganya (Bani Abī Ṭalḥah), sebuah amanah yang tidak akan dicabut dari mereka selamanya.
Loyalitas Rasulullah ﷺ kepada Kaum Anshar
Setelah Fathu Makkah, sebagian kaum Anṣār saling berbisik satu sama lain: “Sepertinya Rasulullah ﷺ akan kembali ke kampung halamannya setelah Allah memenangkan beliau atas Mekah.”
Ketika itu datanglah wahyu, yang tidak samar bagi kami. Jika wahyu turun, semua orang tahu dari tanda-tandanya. Maka seseorang bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal itu. Setelah wahyu selesai, Rasulullah ﷺ memanggil kaum Anṣār dan bersabda: “Wahai kaum Anṣār, apa yang kalian bicarakan? Apakah kalian mengira aku akan kembali ke kampung halamanku?”
Mereka menjawab: “Benar, ya Rasulullah.”
Beliau bersabda:
كَلَّا، إِنِّي عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، هَاجَرْتُ إِلَى اللهِ وَإِلَيْكُمْ، وَالْمَحْيَا مَحْيَاكُمْ وَالْمَمَاتُ مَمَاتُكُمْ
“Tidak, demi Allah! Aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Aku hijrah kepada Allah dan kepada kalian. Hidupku bersama kalian, dan matiku juga bersama kalian.”
Maka kaum Anṣār pun menangis terharu hingga jenggot mereka basah, seraya berkata:
“Demi Allah, kami hanya ridha dengan Allah dan Rasul-Nya.”
Rasulullah ﷺ pun menenangkan mereka:
إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ يُصَدِّقَانِكُمْ وَيَعْذِرَانِكُمْ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya membenarkan kalian dan memaafkan kalian.”
Baiat Agung di Shafā
Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu berkata, sebagaimana dalam al-Mustadrak:
“Demi Allah, tidak ada seorang pun dari mereka kecuali menangis hingga membasahi jenggotnya dengan air mata.”
Kemudian Rasulullah ﷺ mengambil baiat dari semua manusia: laki-laki, perempuan, tua, muda, hingga anak kecil. Beliau ﷺ memulainya dengan para lelaki di atas Shafā, lalu mereka membaiat atas Islam, ketaatan, mendengar, dan patuh kepada Rasulullah ﷺ sesuai kemampuan mereka.
Diriwayatkan dari Abū Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang berbicara kepada Nabi ﷺ pada hari Fathu Makkah, lalu tubuhnya gemetar karena takut. Maka Nabi ﷺ bersabda:
هَوِّنْ عَلَيْكَ فَإِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ، كَانَتْ تَأْكُلُ الْقَدِيدَ
“Tenanglah, aku hanyalah anak dari seorang wanita Quraisy yang biasa memakan daging kering.”
Adapun ketika membaiat kaum wanita, Rasulullah ﷺ tidak pernah berjabat tangan dengan mereka. Beliau hanya menerima baiat dengan lisan, tanpa menyentuh tangan wanita mana pun, kecuali wanita yang dihalalkan Allah baginya (yakni para istri atau mahram beliau).
‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā berkata: “Demi Allah, tangan Rasulullah ﷺ sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita, kecuali wanita yang menjadi mahram beliau.”
Keislaman Abū Quḥāfah
Ketika Rasulullah ﷺ memasuki Masjidil Haram, datanglah Abū Bakr radhiyallāhu ‘anhu sambil membawa ayahnya, Abū Quḥāfah, yang ketika itu sudah renta dan matanya buta. Abū Bakr menuntunnya hingga bertemu dengan Rasulullah ﷺ.
Rasulullah ﷺ bersabda:
هَلَّا تَرَكْتَ الشَّيْخَ فِي بَيْتِهِ حَتَّى أَكُونَ أَنَا آتِيهِ فِيهِ
“Mengapa engkau tidak meninggalkan orang tua itu di rumahnya, agar aku yang datang kepadanya?”
Abū Bakr menjawab: “Wahai Rasulullah, dialah yang lebih pantas berjalan menuju engkau daripada engkau yang mendatanginya.”
Maka Rasulullah ﷺ mengusap dadanya, menyerunya kepada Islam, lalu Abū Quḥāfah pun masuk Islam.
Disebutkan pula dari Zayd bin Aslam bahwa Rasulullah ﷺ menyambut Abū Bakr seraya berkata:
هَلُمَّ أَبَا بَكْرٍ بِإِسْلَامِ أَبِيكَ»
“Bergembiralah wahai Abū Bakr dengan keislaman ayahmu.”
Taubat ‘Ikrimah bin Abī Jahl
Adapun orang-orang yang Nabi ﷺ perintahkan untuk dibunuh meski berada di bawah perlindungan Ka‘bah, salah satunya adalah ‘Ikrimah bin Abī Jahl. Ia melarikan diri, menunggangi kapal laut. Ketika kapal itu dilanda angin kencang, para penumpang berkata:
“Wahai penumpang kapal, ikhlaskan niat kalian, karena sesungguhnya hanya keikhlasanlah yang dapat menyelamatkan kalian di lautan ini.”
‘Ikrimah berkata: “Demi Allah, jika tidak ada yang menyelamatkanku di lautan ini selain keikhlasan, maka tidak ada yang dapat menyelamatkanku di daratan selain itu juga. Ya Allah, jika Engkau selamatkan aku dari bahaya ini, aku akan mendatangi Muhammad dan meletakkan tanganku di tangannya. Sungguh aku akan mendapati beliau sebagai pribadi yang pemaaf dan mulia.”
Akhirnya ia pun selamat, datang kepada Rasulullah ﷺ, dan masuk Islam.
Penghancuran Berhala-Berhala Quraisy
Rasulullah ﷺ tinggal di Makkah selama sembilan belas hari. Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā berkata:
أَقَامَ النَّبِيُّ ﷺ بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ
“Nabi ﷺ tinggal di Makkah selama sembilan belas hari, setiap shalat beliau melaksanakannya dua rakaat.”
Selama itu beliau meneguhkan akidah tauhid, meruntuhkan simbol-simbol syirik dan jahiliyah, mengajarkan agama kepada manusia, serta mengutus para sahabat ke berbagai penjuru untuk menghapus sisa-sisa berhala.
Dalam masa itu pula, Rasulullah ﷺ mengutus sebagian sahabat untuk menyeru kepada Islam dan menghancurkan berhala-berhala di sekitar Makkah.
Beliau mengutus Khālid bin Walīd untuk menghancurkan berhala al-‘Uzzā, yang dahulu diagungkan oleh seluruh kabilah Quraisy.
Beliau mengutus ‘Amr bin al-‘Āṣ untuk menghancurkan berhala Suwā‘.
Beliau mengutus Sa‘d bin Zayd al-Asyhalī untuk menghancurkan berhala Manāt di Qudayd, yang menjadi sesembahan orang-orang Aus dan Khazraj.
Maka hancurlah pusat-pusat penyembahan berhala itu, dan dengan itu pula tercabutlah akar-akar paganisme di Jazirah Arab.
Disebutkan dalam riwayat al-Wāqidī, bahwa seorang penyeru Rasulullah ﷺ berteriak di Makkah:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَدَعَنَّ فِي بَيْتِهِ صَنَمًا إِلَّا كَسَرَهُ»
“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah ia biarkan satu pun berhala di rumahnya melainkan dihancurkan.”
Maka tidak ada seorang pun dari Quraisy yang memiliki berhala kecuali dihancurkan.
Masih bersambung insya Allah …
Baca Juga:
- Faedah Sirah Nabi: Apa yang Terjadi pada Peristiwa Hudaibiyah dan Pelajaran di Dalamnya
- Faedah Sirah Nabi: Perang Badar Kubra dan Pelajaran di Dalamnya
—-
@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Jumat, 20 Rabiul Awwal 1447 H, 12 September 2025
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com