Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah (Bagian 02)
Apa saja keutamaan ilmu dan orang yang berilmu? Berikut keterangan dari Imam Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’adah, lebih dari 100 poin bahasan yang penuh pelajaran di dalamnya.
Baca juga: Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah (Bagian 01)
Keseratus tujuh (#139): Orang yang Tidak Punya Ilmu Sama Sekali akan Jadi Hina
Jiwa-jiwa bodoh yang tidak berilmu dikenakan pakaian kehinaan dan cemoohan. Jiwa-jiwa yang seperti ini lebih cepat dihina. Hal itu sudah lazim diketahui kalangan terpelajar maupun awam.
Salah seorang khalifah Bani Abbas bermain catur, lalu pamannya meminta izin masuk. Dia mengizinkan pamannya masuk lalu ia menutup papan catur. Setelah pamannya duduk, ia bertanya, “Paman! Apakah engkau membaca Al-Qur’an?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau menulis sunnah meskipun sedikit?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau mempelajari fikih dan perbedaan pendapat ulama?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau mempelajari bahasa dan sejarah manusia?” “Tidak”, jawabnya. Si khalifah akhirnya berkata, “Bukalah papan caturnya.” Dia akhirnya meneruskan permainan catur. Rasa segan dan hormat pada pamannya hilang sudah. Teman bermain catur khalifah itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Masa’ engkau membuka papan catur sementara di sini ada seorang yang engkau segani?” Khalifah berkata, “Diamlah, tidak ada seorang pun di sini bersama kita.”
Ini karena manusia memiliki: (1) ilmu, (2) akal, (3) pemahaman yang membedakannya dengan hewan. Saat seseorang tidak memiliki semua itu, maka ia sama seperti hewan.
Keseratus delapan (#140): Ilmu Tidak Akan Pernah Mau Diganti dengan Barang Lain
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
ان كل صاحب بضاعة سوى العلم إذا علم ان غير بضاعته خير منها زهد في بضاعته ورغب في الاخرى وود انها له عوض بضاعته الا صاحب بضاعة العلم فإنه ليس يحب ان له يحظه منها حظ اصلا
“Siapa pun yang memiliki barang selain ilmu, manakala mengetahui ada barang lain yang lebih baik, ia merasa tidak memerlukan lagi barang miliknya itu dan lebih menginginkan barang yang baru. Ia juga berharap barang miliknya ditukar dengan barang tadi. Kecuali pemilik ilmu, ia tidak ingin miliknya ditukar dengan apa pun.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:503)
Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata, “Suatu saat aku berada di dekat Ahmad bin Abu Imran. Lalu seorang pecinta dunia melintas, aku menatapnya hingga melalaikan pelajaran yang sedang kupelajari. Ahmad lantas berkata, “Sepertinya kamu memikirkan dunia yang diberikan kepada orang itu.” Aku menjawab, “Ya.” Ahmad menyeru, “Maukah kutunjukkan sesuatu? Bagaimana jika Allah memindahkan harta miliknya kepadamu, lalu Allah memindahkan ilmumu kepadanya, sehingga kamu hidup kaya, tetapi bodoh, sedangkan ia hidup berilmu, tetapi fakir?” “Aku tidak ingin Allah mengganti ilmu yang kumiliki dengan harta yang ia miliki. Sebab ilmu adalah kekayaan tanpa harta, kemuliaan tanpa kabilah, kekuasaan tanpa prajurit,” tegasnya.
Keseratus sembilan (#141): Allah akan Membalas Kebaikan dengan Menganugerahkan Ilmu
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
ان الله سبحانه اخبر انه يجزى المحسنين اجرهم باحسن ما كانواي يعملون واخبر سبحانه انه يجزى على الاحسان بالعلم وهذا يدل على انه من احسن الجزاء
Allah mengabarkan bahwa Allah memberi balasan bagi orang-orang yang berbuat baik, yakni mereka yang beramal saleh dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka lakukan.
Allah juga mengabarkan bahwasanya Allah akan membalas kebaikan dengan menganugerahkan ilmu. Ini menunjukkan ilmu itu balasan terbaik.
Kedudukan pertama disebutkan dalam firman Allah:
وَٱلَّذِى جَآءَ بِٱلصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِۦٓ ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ
لَهُم مَّا يَشَآءُونَ عِندَ رَبِّهِمْ ۚ ذَٰلِكَ جَزَآءُ ٱلْمُحْسِنِينَ
لِيُكَفِّرَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ أَسْوَأَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ وَيَجْزِيَهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ ٱلَّذِى كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. Agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Az-Zumar: 33-35). Balasan ini mencakup balasan dunia dan akhirat.
Kedudukan kedua disebutkan dalam firman Allah:
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُۥٓ ءَاتَيْنَٰهُ حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ
“Dan tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 22). Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Siapa yang beribadah dengan baik di masa mudanya, maka Allah akan memberikan ia HIKMAH saat masa tuanya. Itulah yang dimaksud firman Allah dalam surah Yusuf ayat 22.”
Oleh karena itu sebagian ulama berkata, “HIKMAH berkata: Siapa yang mencariku, tetapi tidak menemukanku, hendaklah ia mengamalkan hal terbaik yang ia ketahui dan meninggalkan hal terburuk yang ia ketahui. Jika ia melakukan hal itu, aku bersamanya meski ia tidak mengenaliku.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:504)
Baca juga: Arti Diberi HIKMAH dalam Al-Qur’an (Tujuh Pengertian dari Syaikh Musthafa Al-‘Adawi)
Keseratus sepuluh (#142): Allah Menjadikan Ilmu bagi Hati Laksana Hujan bagi Bumi
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
ان الله سبحانه جعل العلم للقلوب كالمطر للارض فكما انه لا حياة للارض الا بالمطر فكذلك لا حياة للقلب الا بالعلم
“Allah menjadikan ilmu bagi hati laksana hujan bagi bumi. Bumi tidak bisa hidup tanpa hujan. Begitu pula hati tidak bisa hidup tanpa ilmu.”
Disebutkan dalam kitab Al-Muwatha’,
قال لقمان لابنه يا بني جالس العلماء وزاحمهم بركبتيك فان الله تعالى يحيى القلوب الميتة بنور الحكمة كما يحيى الارض بوابل المطر
Luqman berkata kepada anaknya, “Wahai anakku! Bergaullah dengan ulama dan dekatkanlah lututmu pada mereka demi meraih rida Allah, supaya hati yang mati itu hidup dengan cahaya hikmah sebagaimana Allah menghidupkan bumi dengan hujan lebat.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
ولهذا فإن الأرض إنما تحتاج الى المطر في بعض الاوقات فإذا تتابع عليها احتاجت الى انقطاعه واما العلم فيحتاج اليه بعدد الانفاس ولاتزيده كثرته الا صلاحا ونفعا
“Bumi itu hanya memelurkan hujan pada waktu tertentu saja. Manakala hujan turun terus menerus, bumi menginginkan hujan berhenti. Berbeda dengan ilmu, ilmu selalu diperlukan hati sebanyak bilangan nafas. Banyaknya ilmu semakin membuat hati menjadi baik dan meraih manfaat.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:504-505)
Keseratus sebelas (#143): Ilmu Bisa Diraih dengan Terus Membujuk Hingga Merendahkan Diri
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
ان كثيرا من الاخلاق التي لا تحمد في الشخص بل يذم عليها تحمد في طلب العلم كالملق وترك الاستحياء والذل والتردد الى ابواب العلماء ونحوها
“Sebagian besar akhlak yang tidak terpuji dalam diri seseorang–bahkan ia dicela–justru dipuji dalam menuntut ilmu. Sifat yang dipuji dalam menuntut ilmu adalah: membujuk agar dapat ilmu, meninggalkan rasa malu, merendahkan diri (tawadhu’), dan berulang kali mendatangi pintu ulama, dan semacamnya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:505)
Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata,
ليس الملق من اخلاق المؤمنين الا في طلب العلم
“Sifat al-malaq (suka merayu-rayu, membujuk-bujuk) asalnya bukanlah akhlak orang beriman, kecuali pada orang yang menuntut ilmu.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
ذللت طالبا فعززت مطلوبا
“Aku merendahkan diri ketika mencari ilmu, hingga akhirnya aku menjadi mulia karena seringnya dicari.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata,
وجدت عامة علم رسول الله صلى الله عليه و سلم عند هذا الحي من الانصار إن كنت لاقيل عند باب احدهم ولو شئت اذن لي ولكن ابتغى بذلك طيب نفسه
“Aku mendapati sebagian besar ilmu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di perkampungan Anshar ini. Aku pernah tidur siang di dekat pintu salah seorang penduduk Anshar. Andaikan mau, aku tentu dipersilakan masuk. Namun, aku melakukan hal itu demi mencari keridaan orang yang aku cari ilmunya.”
Di antara perkataan sebagian ulama ialah:
لاينال العلم مستحي ولا متكبر هذا يمنعه حياؤه من التعلم وهذا يمنعه كبره
Sifat malu dan sifat sombong tidak akan mendapatkan ilmu. Sifat malu itu menghalangi seseorang untuk belajar. Begitu pula sifat sombong itu menghalangi dari meraih ilmu.”
Akhlak-akhlak seperti ini dipuji dalam menuntut ilmu karena semua itu merupakan jalan untuk meraih ilmu. Dengan demikian, akhlak-akhlak tersebut termasuk bagian dari kesempurnaan seseorang dan bisa mengantarkan menuju kesempurnaan ilmu.
Ada ulama yang menyebutkan,
إذا جلست الى عالم فسل تفقها لاتعنتا
“Jika kamu menemui seorang alim, bertanyalah untuk memperdalam ilmu, bukan bertanya untuk menyusahkan diri.”
Ilmu memiliki enam tingkatan
- bagus dalam bertanya,
- berusaha diam dan mendengarkan,
- berusaha memahami,
- menghafalkan,
- mengajarkan,
- buahnya adalah mengamalkan dan memperhatikan batasan-batasannya.
(Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:507)
Banyak mendengar dibanding banyak bicara
Sebagian ulama salaf berkata, “Jika engkau duduk bersama seorang alim, hendaklah engkau banyak mendengar dibanding semangat bicara.”
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى ٱلسَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf: 37)
Allah menyebut ayat-ayat-Nya (tanda kebesaran-Nya) melalui apa yang dibaca, didengar, dan dilihat, semua itu hanya bermanfaat pada orang yang punya hati, karena siapa saja yang tidak memiliki hati yang memahami penjelasan dan peringatan dari Allah, maka apa pun tanda kebesaran yang melintas di hadapannya tidak akan membawa guna, meski seluruhnya.
Berlalunya tanda-tana kebesaran Allah di hadapannya–seperti terbitnya matahari, bulan, dan bintang–yang laksana berlalunya tanda-tanda kebesaran tersebut di hadapan orang yang tidak memiliki penglihatan. Saat objek-objek yang tampak itu melihat, dia dapat melihatnya. Bahkan orang yang memiliki hati saja tidak dapat memetik manfaat apa pun dengan hatinya tanpa adanya dua hal: (1) menghadirkan hati, (2) menyaksikan apa yang disampaikan. Ketika hati tidak hadir sebab berkelana dengan angan-angan, syahwat, dan khayalan, ia tidak dapat memetik manfaat meski memiliki hati. Ia juga tidak dapat memetik manfaat walaupun sudah menghadirkan dan membuat hati tadi menyaksikan apa yang disampaikan, kecuali jika ia mendengar nasihat dan petunjuk yang disampaikan sebaik-baiknya.
Dalam hal ini, hati terbagi menjadi tiga jenis.
- hati yang selamat, sehat, dan bisa menerima.
- menghadirkan dan menyatukan hati, serta mencegahnya agar tidak berlarian dan berserakan.
- menggunakan pendengaran dan fokus untuk ingat.
Ketiga hal ini disebutkan dalam ayat di atas.
Ibnu ‘Athiyah berkata, “Hati yang dimaksud di sini mengungkapkan fungsi akal, sebab akal tempatnya di hati. Artinya, bagi orang yang hati sadar maka dia dapat memetik manfaat dengannya.”
Dari tingkatan ilmu yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim sebelumnya, berarti ilmu tidak didapat karena enam kondisi:
- tidak mau bertanya,
- tidak bisa mendengar dengan baik dan tidak menggunakan pendengaran,
- salah paham,
- tidak menghafal,
- tidak menyebarkan ilmu karena siapa saja yang menyimpan ilmu, tidak mau mengajarkannya kepada orang lain, Allah membuatnya lupa dan menghilangkan ilmunya. Ini adalah realita.
- tidak mengamalkan ilmu sebab mengamalkan ilmu mengharuskan untuk mengingat, merenungkan, menjaganya, dan memikirkannya. Ketika seorang tidak mengamalkan ilmu, ia akan melupakannya.
Seorang ulama salaf berkata, “Kami memperkuat hafalan ilmu dengan mengamalkannya.”
Ulama yang lain berkata, “Ilmu menyeru pada amalan. Jika amalan menerima seruan, ilmu bertahan. Jika tidak, ilmu pergi.”
Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’adah (1:516) berkata, “Mengamalkan ilmu adalah sebab terbesar ilmu itu terjaga dan kokoh. Enggan mengamalkan ilmu adalah sebab ilmu itu dilupakan.”
Baca juga: Empat Langkah Tadabur Al-Qur’an
Keseratus dua belas (#144): Yang Berilmu dengan Yang Tidak Berilmu Tentu Berbeda
Allah subhanaahu wa ta’ala membedakan sepuluh hal:
- Yang berilmu dengan yang tidak berilmu.
- Yang jelek dan thayyib (baik) itu berbeda.
- Yang buta dengan melihat itu berbeda.
- Cahaya dengan kegelapan itu berbeda.
- Yang teduh dengan yang terkena panas itu berbeda.
- Penduduk surga dan neraka itu berbeda.
- Yang bisu dan tidak mampu berbuat dengan yang memerintahkan keadilan dan berada di atas jalan yang lurus itu berbeda.
- Mukmin dan kafir itu berbeda.
- Orang yang beriman dan beramal saleh dengan yang berbuat kerusakan di muka bumi itu berbeda.
- Orang yang bertakwa (muttaqin) dengan orang yang buruk (fajir) itu berbeda.
Sepuluh ayat dalam Al-Qur’an menafikan persamaan dalam hal ini. Hal ini menunjukkan betapa agungnya orang berilmu dari orang yang tidak berilmu laksana kedudukan cahaya di atas kegelapan, laksana kedudukan tempat yang teduh dari tempat yang panas, laksana kedudukan sesuatu yang baik terhadap sesuatu yang buruk. Kedudukan tersebut saling berbanding terbalik.
Hal ini sudah cukup menunjukkan kedudukan ilmu serta kedudukan orang berilmu. Lebih dari itu, jika Anda renungkan golongan-golongan di atas secara keseluruhan, Anda akan mengetahui penafian persamaan di antara semua itu merujuk pada ilmu dan penyebabnya. Di sinilah letak keutamaan dan perbedaan.
Keseratus tiga belas (#145): Burung Hudhud Selamat Karena Ilmu
Saat Sulaiman mengancam akan menyiksa burung Hudhud dengan siksaan yang berat atau akan menyembelihnya, burung Hudhud itu selamat karena ilmu. Ia memberitahukan suatu ilmu kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam melalui kata-kata lisannya. Dalam ayat disebutkan,
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِۦ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍۭ بِنَبَإٍ يَقِينٍ
“Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.” (QS. An-Naml: 22)
Ilmu tadi membuat burung Hudhud berani menyampaikan kata-kata tersebut. Sebab Andai bukan karena kekuasaan ilmu, burung Hudhud tidak akan mampu menyampaikan kata-kata seperti ini di hadapan Sulaiman, karena Hudhud lemah, sementara Sulaiman kuat.
Disebutkan dalam sebuah kisah masyhur bahwa seorang ahli ilmu ditanya tentang suatu masalah, lalu ia menjawab, “AKU TIDAK TAHU.” Satu muridnya berkata, “Aku mengetahui masalah itu.” Si guru marah dan hendak memukulnya. Murid lantas berkata, “Wahai guru! Engkau tidak lebih tahu daripada Sulaiman bin Daud meski setinggi apa pun ilmumu, dan aku tidak lebih bodoh daripada burung Hudhud, di mana burung ini berkata kepada Sulaiman,
أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ
“Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya.” Namun, Sulaiman tidak mencela atau pun memperlakukannya dengan kasar.
Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:517.
Pelajaran yang bisa diambil dari kisah Sulaiman di atas:
- Murid bisa saja lebih memiliki ilmu dibandingkan seorang guru.
- Hendaklah menghargai ilmu orang lain.
- Kalau tidak memiliki ilmu, jawablah: AKU TIDAK TAHU, daripada “sok tahu”.
- Setinggi apa pun ilmu seseorang, tetap masih ada yang lebih berilmu.
- Tak perlu memarahi murid yang memang lebih memiliki ilmu.
Keseratus empat belas (#146): Kemuliaan Dunia dan Akhirat Diraih Karena Ilmu
Perhatikan keistimewaan yang didapatkan oleh Nabi Adam atas para malaikat, mereka mengakui bahwasanya Allah mengajarkan nama benda-benda kepadanya, lantas musibah yang menimpanya digantikan oleh surga yang jauh lebih baik karena ilmu kalimat yang dia terima dari Allah.
Perhatikan pula kekuasaan, kemuliaan, serta kebesaran yang diraih Yusuf karena ilmu tafsir mimpi yang dia kuasai. Selain itu, Yusuf juga mengetahui alasan yang bisa diterima dan diakui untuk menahan saudaranya (Benyamin) di antara saudara-saudaranya yang lain, hingga akhirnya Nabi ini mencapai kemuliaan, kesudahan baik, dan kondisi sempurna karena ilmu yang dimilikinya.
Demikian seperti isyarat Allah Ta’ala dalam ayat,
كَذَٰلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ ۖ مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِى دِينِ ٱلْمَلِكِ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِى عِلْمٍ عَلِيمٌ
“Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf: 76)
Disebutkan dalam penafsiran ayat ini, Kami mengangkat derajat siapa saja yang Kami kehendaki dengan ilmu, seperti Kami mengangkat derajat Yusuf atas saudara-saudaranya.
Allah berfirman terkait Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,
وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيْنَٰهَآ إِبْرَٰهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 83)
Ayat ini menunjukkan pengangkatan derajat karena ilmu hujjah, sementara itu ayat sebelumnya menunjukkan pengangkatan derajat karena ilmu politik (ilmu siyasah).
Seperti itu pula kemuliaan yang didapatkan Khidir karena Kamillurrahman, Musa, berguru dan bertanya dengan lembut dan sopan kepadanya. Ya, sampai-sampai Nabi Musa berkata,
قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
“Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66)
Seperti itu juga ilmu bahasa burung yang dimiliki Nabi Sulaiman, hingga dia sampai ke Kerajaan Saba, mengalahkan ratu mereka, membawa singgasana kerajaannya, dan ratu itu pun tunduk pada kekuasaannya. Maka itu Sulaiman berkata,
وَوَرِثَ سُلَيْمَٰنُ دَاوُۥدَ ۖ وَقَالَ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ عُلِّمْنَا مَنطِقَ ٱلطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِن كُلِّ شَىْءٍ ۖ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلْفَضْلُ ٱلْمُبِينُ
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”.” (QS. An-Naml: 16)
Demikian pula halnya ilmu membuat baju besi untuk melindungi serangan pedang dan senjata musuh milik Nabi Daud ‘alaihis salam. Allah menyebut nikmat ilmu yang Allah karuniakan kepada hamba-hambaNya, lalu berfirman,
وَعَلَّمْنَٰهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَّكُمْ لِتُحْصِنَكُم مِّنۢ بَأْسِكُمْ ۖ فَهَلْ أَنتُمْ شَٰكِرُونَ
“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).” (QS. Al-Anbiya’: 80)
Demikian halnya ilmu kitab, hikmah, Taurat, dan Injil yang dimiliki Nabi Isa ‘alaihis salam yang karenanya Allah mengangkat derajatnya, melebihkan, dan memuliakannya.
Juga ilmu yang diperoleh oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang disebut oleh Allah sebagai nikmat yang Allah karuniakan kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisaa’: 113)
Keseratus lima belas (#147): Meneladani Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam Ilmu dan Amal
Allah memuji khalilullah–kekasih Allah–Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, melalui firman-Nya,
إِنَّ إِبْرَٰهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ ۚ ٱجْتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nahl: 120-121)
Demikian empat pujian Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Nabi Ibrahim disebut:
- ummatan
- qaanitan lillah
- haniifan
- syaakiran li an’umihi
1. Ummatan, yaitu teladan yang menjadi panutan (al-qudwah alladzi yu’tamma bihi). Ibnu Mas’ud berkata, “Ummat yaitu yang mengajarkan kebaikan (al-mu’allim lil khair).” Wazan Ummat ini adalah fu’latan, dari kata al-i’timaam, sama seperti qudwatan, yaitu orang yang dijadikan contoh.
Pertama, imam adalah segala sesuatu yang diikuti, baik dilakukan dengan niat dan perasaan atau pun tidak. Dalam ayat disebut dengan imamum mubiin, artinya jalan yang jelas. Sedangkan kata jalan tidak disebut dengan ummat.
Kedua, lafazh ummatan mengandung makna lebih. Karena ia ibarat seseorang yang menyatukan sifat-sifat sempurna berupa ilmu dan amal, yang hanya dia yang miliki kesempurnaan tersebut. Ia menyatukan sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang lain, hingga seakan berbeda dengan yang lainnya.
Lafaz ummat mengesankan pada makna menyatukan, yaitu ada sifat-sifat sempurna menyatukan antara ilmu dan amal.
Dalam makna lain, ummat itu berarti kesatuan dari berbagai bangsa karena mereka ialah orang-orang yang bersatu di atas satu agama atau suatu masa.
2. Qaanitan lillah, yaitu orang yang taat kepada Allah. Kata Ibnu Mas’ud, artinya adalah al-qaanit al-muthii’, makhluk yang taat. Qunut sendiri bermakna selalu taat (dawaam ath-thoo’ah).
3. Haniifan, yaitu orang yang menghadap kepada Allah. Konsekuensinya, ia condong dengan meninggalkan apa pun selain Allah. Condong sendiri adalah konsekuensi makna hanif, terlepas kata hanif ini bermakna condong secara bahasa.
4. Syaakiran li an’umihi, yaitu mensyukuri nikmat-nikmat Allah, syukur nikmat bertumpu pada tiga sendi (rukun):
- mengakui nikmat (dengan hati),
- menyandarkannya kepada Allah yang telah memberinya (dengan lisan),
- menggunakan nikmat dalam keridaan Allah dan melakukan amalan yang Allah sukai (dengan anggota badan).
Tanpa tiga rukun ini, seorang hamba tidaklah disebut bersyukur.
Baca juga: Pengertian Syukur, Hakikat Syukur, dan Rukun Syukur
Allah memuji Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dengan empat sifat yang seluruhnya kembali kepada ILMU, mengamalkan, mengajarkan, dan menyebarkan ilmu.
Oleh karena itu, seluruh kesempurnaan merujuk kepada ilmu, mengamalkan ilmu, dan menyerukan manusia kepadanya.
Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:520-521.
Keseratus enam belas (#148): Ilmu adalah Suatu Keberkahan, Nabi Isa Diberkahi di mana pun Karena Mengajarkan Kebaikan
Allah Ta’ala berfirman,
قَالَ إِنِّى عَبْدُ ٱللَّهِ ءَاتَىٰنِىَ ٱلْكِتَٰبَ وَجَعَلَنِى نَبِيًّا
وَجَعَلَنِى مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ وَأَوْصَٰنِى بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱلزَّكَوٰةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
“Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (QS. Maryam: 30-31)
Sufyan bin ‘Uyainah berkata mengenai ayat “dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada“, ia berkata, “Maksudnya, diberkahi dengan dijadikan pengajar dalam kebaikan (mu’alliman lil khairi).” Hal ini menunjukkan bahwa mengajarkan kebaikan (mengajarkan ilmu) adalah berkah yang diberikan oleh Allah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
ُفَإِنَّ البَرَكَةَ حُصُوْلُ الخَيْرِ وَنَمَاؤُهُ وَدَوَامُه
“Hakikat berkah adalah: (1) memperoleh kebaikan, (2) berkembangnya kebaikan, (3) langgengnya kebaikan.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:521)
Pada hakikatnya, berkah hanya ada pada ilmu yang diwarisi dari para nabi serta mengajarkannya pada orang lain. Karena itulah Allah menyebutkan kitab-Nya MUBAROK, yaitu yang diberkahi. Di antarnya disebutkan dalam ayat,
وَهَٰذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَٰهُ ۚ أَفَأَنتُمْ لَهُۥ مُنكِرُونَ
“Dan Al Quran ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya?” (QS. Al-Anbiya’: 50)
كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ إِلَيْكَ مُبَٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shaad: 29)
Allah menyebut rasul-Nya–Isa ‘alaihis salam–sebagai rasul yang diberkahi, seperti diungkap dalam ayat,
وَجَعَلَنِى مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ
dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada.
Berkah kitab dan rasul menjadi sebab diraihnya ilmu, petunjuk, dan dakwah di jalan Allah.
Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:521.
Keseratus tujuh belas (#149): Pahala dari Ilmu yang Diajarkan Sampai kepada Pengajar Ilmu
Disebutkan dalam kitab Ash-Shahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) sedekah yang pahalanya terus mengalir, (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) anak saleh yang mendoakan orang tua.” (HR. Muslim, no. 1631)
Hadits ini merupakan dalil terbesar yang menunjukkan kemuliaan, keutamaan, serta besarnya manfaat ilmu karena pahalanya sampai kepada si pengajar ilmu meskipun sudah meninggal, selama ilmu itu masih diambil manfaatnya, hingga seakan ia masih hidup dan amalnya tidak terputus, selain ia masih terus mendapatkan sanjungan. Maka, pahalanya terus mengalir ketika ia berpisah dari manusia, pahala ini menjadi kehidupan keduanya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus menyebut sampainya pahala tiga hal ini kepada orang yang telah meninggal dunia karena ia menjadi sebab pahala-pahala tersebut. Tatkala seseorang melakukan sebab terkait perintah dan larangan, ia mendapatkan hasilnya meskipun bukan usaha dan amalannya sendiri. Karena ia menjadi sebab adanya anak saleh, sedekah yang pahalanya terus mengalir, dan ilmu yang bermanfaat, pahalanya terus menerus mengalir untuknya dengan tersebarnya ilmu itu.
Dengan demikian, seseorang mendapat pahala dari amalan yang dilakukan sendiri atau turunannya.
Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:522.
Baca juga: Terputusnya Amalan Selain Tiga Perkara
Keseratus delapan belas (#150): Para Ulama akan Masuk Surga Tanpa Hisab pada Hari Kiamat
Disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dari ‘Abdullah bin Daud, ia berkata, “Pada hari kiamat, Allah akan menjauhkan para ulama dari perhitungan amal, lalu Allah berfirman, “Masuklah ke surga meski apa pun (kebaikan dan keburukan) pada diri kalian. Sungguh, Aku menempatkan ilmu-Ku pada kalian karena kebaikan yang Aku inginkan.”
Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Yang lain menambahkan dalam riwayat ini: ‘Allah menahan ulama-ulama pada hari kiamat dalam satu golongan tersendiri sampai urusan di antara manusia selesai diputuskan, di mana penghuni surga masuk ke dalam surga, penghuni neraka masuk ke dalam neraka. Allah memanggi para ulama dan berkata: ‘Hai para ulama! Sungguh, tidaklah Aku menempatkan hikmah-Ku dalam diri kalian, lalu Aku bermaksud menyiksa kalian. Aku tahu bahwa kalian berbuat kemaksiatan seperti yang dilakukan selain kalian, lalu aku menutupi kesalahan kalian dan aku mengampuni kesalahan kalian. Aku diibadahi semata karena fatwa dan pengajaran yang kalian sampaikan pada hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga tanpa hisab.’ Setelah itu Allah berfirman, “Tidak ada yang mampu memberikan apa yang dicegah oleh Allah dan tidak ada yang menghalangi apa yang diberikan oleh Allah.”
Hal ini disebabkan karena amalan kebaikan orang yang mengajarkan ilmu itu akan mengalahkan amalan kejelakannya karena ada kebaikan yang dahulu diajarkan masih diamalkan orang lain sepeninggal orang berilmu.
Ingat, siapa saja yang memiliki kebaikan dan kadarnya besar, di samping dia berpengaruh secara nyata dalam Islam, orang seperti ini mendapat ampunan tidak seperti ampunan yang diberikan kepada orang lain. Sebab kemaksiatan adalah kotor, tetapi ketika air sudah menjadi dua kolam, ia tidak mengandung kotoran lagi. Berbeda dengan air yang hanya sedikit, air ini kotor ketika ada kotoran jatuh ke dalamnya.
Itulah kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada sahabat yang mengikuti perang Badar, “Lakukan sesuka kalian, Aku telah mengampuni kalian.”
Allah itu lebih memaafkan orang-orang berilmu yang memiliki banyak kebaikan, yang lebih mementingkan cinta serta rida Allah, itu bila dibandingkan dengan orang selain orang berilmu. Manakala orang alim berbuat salah, ia segera kembali, membenahi kekeliruan, dan mengobati luka karena ia laksana dokter yang mahir dan mengetahui penyakit, apa saja sebab-sebabnya, dan apa saja obatnya, karena penyakit tersebut lebih cepat hilang di tangannya daripada melalui tangan orang bodoh.
Keburukan dosa orang berilmu dan orang tidak berilmu tentu berbeda, karena kebodohan itu lebih parah karena ia tidak memiliki kebaikan yang bisa melawan keburukan.
Lihat penjelasan Imam Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:523-529.
Baca juga: Mereka yang Keluar dari Neraka
Keseratus sembilan belas (#151): Menuntut Ilmu Lebih Utama Dibanding Ibadah Sunnah
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa orang alim sibuk belajar serta mengajarkan ilmunya akan senantiasa berada dalam pahala ibadah karena belajar. Ingatlah, mengajarkan ilmu itu sendiri adalah ibadah. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:529)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Orang faqih (yang memahami agama) senantiasa shalat.” Orang-orang bertanya, “Bagaimana bentuk shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia menyebut Allah di hati dan lisannya.” Atsar ini disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
Mu’adz pernah berkata, “Pelajarilah ilmu. Sungguh, mempelajari ilmu karena Allah adalah wujud rasa takut, mencarinya adalah bagian ibadah, dan mudzakarah (bertukar pikiran) tergolong tasbih.” Riwayat ini mawquf, yaitu perkataan sahabat.
Ibnu ‘Abdil Barr menukilkan hadits marfu’ dari Mu’adz, “Sungguh, kamu pergi pagi-pagi lalu mempelajari satu bab ilmu, itu lebih baik bagimu daripada shalat seratus rakaat.”
Ibnu Wahab berkata, “Suatu ketika aku berada di dekat Malik bin Anas, lantas waktu shalat Zhuhur atau Ashar tiba saat aku sedang membaca dan membahas ilmu di hadapannya. Aku lantas mengumpulkan buku-bukuku, merapihkannya, lalu aku bangkit untuk shalat, lalu Malik berkata kepadaku, ‘Mau ke mana?’ Aku menjawab, ‘Aku hendak shalat.’ Malik berkata, ‘Ini aneh! Apa yang hendak kamu lakukan (untuk shalat pada awal waktu) tidaklah lebih baik daripada apa yang tadi kamu kerjakan (belajar ilmu), jika niatnya benar.”
Ar-Rabi’ berkata, “Aku mendengar Imam Syafii rahimahullah berkata, ‘Menuntut ilmu itu lebih baik daripada ibadah nafilah (ibadah sunnah).'”
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Tak ada suatu amalan yang lebih baik daripada menuntut ilmu jika niatnya benar.”
Seseorang bertanya kepada Al-Mu’afa bin Imran, “Mana yang lebih engkau sukai, apakah aku mengerjakan shalat malam sepanjang malam ataukah aku duduk di malam hari untuk menulis hadits?” Ia menjawab, “Engkau menulis sebuah hadits itu lebih kusukai daripada engkau shalat malam dari awal hingga akhir malam.”
Dia juga berkata, “Menulis satu hadits itu lebih aku sukai daripada qiyamul lail.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Mudzakarah ilmu (bertukar pikiran dalam hal ilmu) pada sebagian malam lebih aku sukai daripada menghidupkan malam seluruhnya.”
Abu Hurairah rahimahullah berkata, “Aku duduk sesaat lantas aku paham pada ilmu dalam agama ini lebih aku sukai daripada menghidupkan malam seluruhnya hingga datang Shubuh.”
Ibnul Qayyim rahimahullah lalu berkata, “Menuntut ilmu, menulis, serta memeriksa ilmu adalah salah satu amalan terbaik karena termasuk amalan hati dan raga. Kedudukan menuntut ilmu bagi raga laksana kedudukan amalan hati, seperti ikhlas, tawakal, cinta, inabah (kembali kepada Allah), takut, rida, dan amalan batin lainnya.”
Beliau rahimahullah melanjutkan, “Jika ada yang mengatakan, ilmu tidak lain sebagai sarana sekaligus maksud dari amal, sedangkan amal adalah tujuan. Tujuan itu lebih mulia daripada alat atau sarana. Lantas bagaimana alat bisa dianggap lebih utama daripada tujuan.
Maka jawabannya adalah, masing-masing dari ilmu dan amal terbagi menjadi dua, yaitu ada yang menjadi alat dan ada yang menjadi tujuan. Tidak semua ilmu menjadi alat untuk mencapai suatu yang lain. Karena ilmu dalam mengenal Allah, nama, dan sifat-Nya adalah ilmu yang paling mulia secara mutlak. Ilmu inilah yang secara esensi atau hakiki diperintahkan supaya kita ketahui.”
Ibnul Qayyim rahimahullah lalu berkata, “Siapa saja yang melaksanakan dua hal, yaitu berilmu dan beramal, tentu lebih sempurna. Jia pun salah satunya lebih baik, toh kebaikan ilmu lebih baik daripada kebaikan ibadah. Oleh karena itu, manakala seorang hamba memiliki amalan lebih yang melebihi amalan wajibnya, maka kesempatan untuk melaksanakan amalan ini lebih baik dialihkan untuk mempelajari ilmu yang merupakan warisan para nabi daripada dialihkan untuk ibadah yang tanpa ilmu.”
Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:529-533.
Ingatlah, Allah menciptakan kita agar kita benar-benar mengenal Allah. Itulah tujuan penciptaan manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 12)
Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitab tafsirnya,
“Kemudian Allah mengabarkan bahwa Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa saja yang ada padanya dan yang ada di antara masing-masing tingkatannya. Allah menurunkan perintah yang berupa syariat dan hukum-hukum duniawi yang diwahyukan kepada para rasulNya sebagai peringatan dan nasihat untuk manusia. Begitu juga dengan undang-undang alam dan takdir yang mengatur seluruh mahkluk. Semua itu bertujuan agar manusia mengetahui keluasan KuasaNya atas segala sesuatu. Semuanya berada dalam jangkauan ilmuNya. Jika manusia mengetahui nama-namaNya yang indah dan sifat-sifatNya yang suci, mereka akan menyembah, mencintai, dan menunaikan hakNya. Dan inilah tujuan yang dimaksudkan dari penciptaan dan diturunkannya perintah (syariat dan hukum); yaitu mengenal dan menyembah Allah. Hamba-hamba Allah yang saleh yang mendapatkan taufik menunaikannya, sedangkan orang-orang zhalim berpaling darinya.”
Ayat di atas dilengkapi dengan ayat,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56). Inilah dalil yang menunjukkan bahwa diciptakannya manusia itu untuk: (1) beribadah kepada Allah semata, (2) mengenal Allah Sang Pencipta.
Perlu diketahui bahwa irodah (kehendak) Allah itu ada dua macam.
Pertama adalah irodah diniyyah (irodah syariyyah), yaitu setiap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah berupa amalan saleh. Namun, orang-orang kafir dan fajir (ahli maksiat) melanggar perintah ini. Seperti ini disebut dengan irodah diniyyah, tetapi amalannya dicintai dan diridai. Irodah seperti ini bisa terealisir dan bisa pula tidak terealisasi.
Kedua adalah irodah kauniyyah, yaitu segala sesuatu yang Allah takdirkan dan kehendaki, tetapi Allah tidaklah memerintahkannya. Contohnya adalah perkara-perkara mubah dan bentuk maksiat. Perkara-perkara semacam ini tidak Allah perintahkan dan tidak pula diridai. Allah tidaklah memerintahkan makhluk-Nya berbuat kejelekan, Dia tidak meridai kekafiran, walaupun Allah menghendaki, menakdirkan, dan menciptakannya. Dalam hal ini, setiap yang Dia kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Dia kehendaki tidak akan terwujud. Jika kita melihat surat Adz Dzariyat ayat 56,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56). Tujuan penciptaan di sini termasuk irodah diniyyah. Jadi, tujuan penciptaan di sini tidaklah semua makhluk mewujudkannya. Oleh karena itu, dalam tataran realita ada orang yang beriman dan orang yang tidak beriman. Tujuan penciptaan di sini yaitu beribadah kepada Allah adalah perkara yang dicintai dan diridhoi, namun tidak semua makhluk merealisasikannya. (Lihat pembahasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Al-Fatawa, 8:189)
Baca juga: Untuk Apa Kita Diciptakan di Dunia Ini?
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Tujuan yang terpuji yang jika setiap insan merealisasikannya bisa menggapai kesempurnaan, kebahagiaan hidup, dan keselamatan adalah dengan mengenal, mencintai, dan beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada-Nya. Inilah hakekat dari perkataan seorang hamba “Laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah)”. Dengan kalimat inilah para Rasul diutus dan semua kitab diturunkan. Suatu jiwa tidaklah menjadi baik, suci dan sempurna melainkan dengan mentauhidkan Allah semata.” (Miftaah Daaris Sa’aadah, 2:120)
Keseratus dua puluh (#01 – 10): Orang Berilmu Bersaksi pada Kalimat Laa Ilaha Illallah
Allah Ta’ala berfirman,
شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلْعِلْمِ قَآئِمًۢا بِٱلْقِسْطِ ۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)
Ini menunjukkan keutamaan ilmu dan orang berilmu melalui beberapa sisi:
- Di antara seluruh manusia, orang berilmu yang diminta untuk bersaksi.
- Kesaksian orang berilmu disandingkan dengan kesaksian Allah Rabb semesta alam.
- Kesaksian orang berilmu disandingkan dengan kesaksian para malaikat.
- Secara tersirat, kesaksian orang berilmu ini mengandung rekomendasi dan pernyataan bahwa mereka itu orang yang ‘UDUL. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan,
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُولُهُ
“Ilmu agama ini dibawa oleh orang-orang ‘UDUL (terpercaya) dari setiap generasi.”
Catatan:
- ‘Adel menurut fuqaha adalah seseorang yang kebaikannya lebih mendominasi daripada kejelekannya.
- Antonim dari ‘adel adalah fasik. Fasik berarti orang yang keluar dari ketaatan. Maksud fasik, asalnya adalah keluarnya sesuatu dari sesuatu dalam bentuk kerusakan. (Lihat bahasan Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 30: 5-6)
Baca juga: Apa itu Adel dan Fasik?
5. Allah menyebut orang-orang berilmu . Ini menunjukkan bahwa hanya mereka yang memiliki ilmu, mereka ahlinya. Sifat ini bukan pinjaman, tetapi sifat asli.
6. Allah memberikan kesaksian atas mereka, sedangkan Allah adalah saksi yang paling utama. Kemudian para malaikat sebagai makhluk terbaik juga bersaksi, begitu pula para ulama (orang-orang berilmu). Kesaksian ini sudah menjadi dalil keutamaan dan kemuliaan orang berilmu.
7. Allah meminta mereka bersaksi atas kesaksian paling mulia, agung, dan terbesar, yaitu kesaksian pada kalimat LAA ILAHA ILLALLAH. Allah Yang Mahaagung tentu hanya menjadikan orang-orang besar dan para pemimpin manusia untuk menangani hal-hal besar pula.
8. Allah menjadikan kesaksian mereka sebagai bukti yang kuat pada orang-orang yang mengingkari untuk menunjukkan keesaan Allah.
9. Kesaksian orang berilmu terkait erat dengan kesaksian Allah. Seakan-akan Allah memberikan kesaksian tauhid untuk diri-Nya melalui lisan mereka, membuat mereka mengutarakan kesaksian itu.
10. Dengan kesaksian ini, Allah menjadikan mereka menunaikan hak Allah yang wajib untuk hamba. Jika orang berilmu menunaikan kesaksian LAA ILAHA ILLALLAH, artinya menjalankan konsekuensi LAA ILAHA ILLALLAH dengan benar, maka makhluk lainnya hendaklah menjalankan pula dengan benar (mengikuti ulul ilmi, orang berilmu). Itulah puncak kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:217-219.
Keseratus dua puluh satu (#15): Allah memberikan kesaksian kepada ahli ilmu
Allah memberikan kesaksian kepada ahlul ilmi yang secara tersirat menjadikan mereka sebagai saksi atas kebenaran apa yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
أَفَغَيْرَ ٱللَّهِ أَبْتَغِى حَكَمًا وَهُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ إِلَيْكُمُ ٱلْكِتَٰبَ مُفَصَّلًا ۚ وَٱلَّذِينَ ءَاتَيْنَٰهُمُ ٱلْكِتَٰبَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُۥ مُنَزَّلٌ مِّن رَّبِّكَ بِٱلْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلْمُمْتَرِينَ
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” (QS. Al-An’am: 114)
Keseratus dua puluh dua (#16): Orang berilmu mengenali, beriman, dan membenarkan Al-Qur’an
Allah Ta’ala menghibur nabi-Nya dengan keimanan orang-orang berilmu, dan memerintahkan beliau agar tidak peduli terhadap orang bodoh.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَٰهُ لِتَقْرَأَهُۥ عَلَى ٱلنَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَٰهُ تَنزِيلًا
قُلْ ءَامِنُوا۟ بِهِۦٓ أَوْ لَا تُؤْمِنُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ مِن قَبْلِهِۦٓ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا
وَيَقُولُونَ سُبْحَٰنَ رَبِّنَآ إِن كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا
“Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.
Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,
Dan mereka berkata: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi“.” (QS. Al-Isra’: 106-108)
Ini merupakan kemuliaan terbesar bagi orang berilmu. Artinya ialah orang-orang berilmu mengenali, beriman, dan membenarkan Al-Qur’an. Tak peduli apakah selain mereka beriman padanya ataukah tidak.
Keseratus dua puluh tiga (#23): Ibrahim unggul dengan ilmu dan argumen yang kuat
Allah mengutarakan perdebatan Ibrahim dengan ayah dan kaumnya, hingga Ibrahim mengalahkan mereka dengan hujjah (argumen ilahiah). Allah jelas-jelas mengabarkan kelebihan Ibrahim dan tingginya derajat sang kekasih Allah ini (khalilullah) karena mengetahui hujjah tersebut.
Allah berfirman setelah menyebut perdebatan Ibrahim dengan ayah dan kaumnya dalam surah Al-An’am,
وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيْنَٰهَآ إِبْرَٰهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 83)
Zaid bin Aslam radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami mengangkat derajat siapa yang Kami kehendaki dengan ilmu tentang hujjah.”
Keseratus dua puluh empat (#24): Mengenal Allah adalah Tujuan Penciptaan
Allah mengabarkan bahwa Dia menciptakan makhluk, menjadikan Baitul Haram, bulan suci, hadyu, dan qalaid* agar hamba-hamba-Nya tahu bahwa Allah Maha Mengetahui dan Mahakuasa atas segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman,
ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ سَبْعَ سَمَٰوَٰتٍ وَمِنَ ٱلْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ ٱلْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ ٱللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَىْءٍ عِلْمًۢا
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 12)
Ini bermakna bahwa mengenali Rabb dan sifat-sifat-Nya, serta beribadah kepada-Nya semata, merupakan tujuan dari penciptaan Allah dan pengaturan segala urusan oleh-Nya. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:224)
* Qalaid yaitu binatang-binatang hadyu (qurban) yang sudah dikalungi dengan tali, yang menunjukkan bahwa binatang itu dipersiapkan secara khusus untuk dikurbankan dan dihadiahkan kepada Kabah.
Keseratus dua puluh lima (#25): Bangga dan Senang dengan Ilmu
Allah memerintahkan orang-orang berilmu agar senang pada apa yang Allah beri kepada mereka. Lalu, Allah mengabarkan bahwa Allah mengetahui apa yang dikumpulkan manusia. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.” (QS. Yunus: 58)
Karunia Allah ditafsirkan dengan iman, sedangkan rahmat Allah ditafsirkan dengan Al-Qur’an. Iman dan Al-Qur’an itulah ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Keduanya adalah al-huda wa diinul haqq (petunjuk dan agama yang benar). Keduanya adalah ilmu terbaik dan amal terbaik. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:224)
Keseratus dua puluh enam (#30): Nabi Adam ‘alaihis salam Diberikan Kelebihan dalam Hal Ilmu oleh Allah
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Rabb berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.” (QS. Al-Baqarah: 30)
Kesimpulan dari ayat ini:
- Allah melebihkan Nabi Adam ‘alaihis salam dari malaikat walaupun malaikat rajin berdzikir dengan bertasbih, malaikat itu lebih taat. Allah jawab “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Allah Mahatahhu sisi batin dan hakikat sesuatu, sedangkan manusia tidak tahu, memiliki keterbatasan ilmu.
- Allah melebihkan dan menjadi Nabi Adam sangat spesial di mana Adam dikaruniai ilmu dengan diajarkan nama-nama segala benda. Malaikat tidak dikaruniai ilmu. Malaikat merasa lebih mulia daripada Adam. Padahal malaikat ketika diajarkan ilmu, mereka lemah.
- Allah memberitahu ilmu lahiriyyah yang tampak dan batiniyyah yang tidak terlihat. Malaikat lemah dalam menangkap hal ini.
- Nabi Adam memiliki sifat terbaik yaitu dianugerahkan ilmu. Ilmu adalah hal terbaik yang dimiliki manusia, inilah kelebihan manusia, dan wujud ilmu itu lebih indah dari hal lainnya (harta, dan lain-lain).
Keseratus dua puluh tujuh (#57): Jangan Sampai Kehilangan Ilmu dan Hikmah
Dalam hadits disebutkan,
الحِكْمَةُ ضَالَةُ المُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
“Kata-kata hikmah adalah barang hilang orang mukmin, di mana pun ia mendapatkannya, ia yang paling berhak atasnya.” Namun hadits ini dhaif atau lemah.
Baca juga: Arti Hikmah dalam Al-Qur’an
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hikmah adalah ilmu. Apabila seorang mukmin kehilangan ilmu, ia laksana kehilangan salah satu barang berharga miliknya. Saat ia dapati barang berharga, hatinya merasa tenang dan jiwanya pun demikian, sebab mendapatkannya kembali. Demikian pula halnya apabila orang mukmin mendapatkan barang hilang milik hati dan rohaninya yang selalu dicari-cari dan diselidiki keberadaannya.
Ini termasuk perumpaan terbaik, karena hati seorang mukmin selalu mencari ilmu di mana pun ilmu itu berada, melebihi semangat mencari barang yang hilang miliknya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:280)
Hikmah itu adalah ilmu. Carilah, jangan sampai lepas!
Keseratus dua puluh delapan (#58): Dua Sifat yang Tidak Akan Tergabung pada Diri Orang Munafik adalah Perangai yang Bagus dan Paham Agama
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِخَصْلَتَانِ لاَ يَجْتَمِعَانِ فِي مُنَافِقٍ : حُسْنُ سَمْتٍ وَفِقْهٌ فِي الدِّيْن
“Ada dua sifat yang tidak mungkin ada bersamaan dalam diri orang munafik: (1) perangai yang bagus (tenang atau baik dalam diam), (2) paham agama.” (HR. Tirmidzi, no. 2685. Syaikh Ali Hasan Al-Halaby mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Sehingga jika ada dalam diri seseorang dua hal ini yaitu perangai yang bagus (tenang) dan paham agama, maka dialah seorang mukmin.
Orang munafik tidak memiliki salah satu dari dua sifat tadi atau tidak memiliki dua-duanya. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:280-281)
Keseratus dua puluh sembilan (#59): Selamat dari Kecurangan, Menghidupkan Sunnah Nabi, Menjadi Pelopor dalam Kebaikan
Dalam hadits disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku! Jika kamu bisa memasuki pagi dan sore hari tanpa ada ghisyy (kecurangan) dalam hatimu, maka lakukanlah.”
Kemudia beliau bersabda, “Wahai anakku! Itu bagian dari sunnahku. Siapa yang menghidupkan sunnahku, berarti dia mencintaiku. Siapa yang mencintaiku, maka ia akan bersamaku di surga.” (HR. Tirmidzi, no. 2678, dalam sanadnya ada perawi yang dhaif)
Dalam hadits lain disebutkan, “Sesungguhnya siapa yang menghidupkan salah satu dari sunnahku yang telah mati sepeninggalku, ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengamalkan hal ini tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Siapa yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridai oleh Allah dan Rasul-Nya, ia mendapat dosa seperti dosa orang yang melakukannya tanpa ia dikurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka.” (HR. Ad-Darimi dan Tirmidzi, no. 2977. Sanad hadits ini dhaif jiddan)
Hadits di atas semakna dengan hadits berikut.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ِمَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ وَمِثْلُ أُجُورِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهُ وَمِثْلُ أَوْزَارِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا
“Barang siapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barang siapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR. Muslim, no. 1017)
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِمَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala pelakunya.” (HR. Muslim, no. 1677)
Baca juga: Pelopor Kebaikan (Khutbah Jumat)
Keseratus tiga puluh (#60): Kita diperintahkan untuk berbuat baik pada orang berilmu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar memperlakukan para penuntut ilmu dengan baik. Ini tidak lain karena keutamaan dan kemuliaan dari ilmu yang mereka cari.
Dari Abu Harun, ia berkata bahwa mereka mendatangi Abu Said, lantas Abu Said berkata, “Marhaban, selamat datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat dengan beliau berkata,
إِنَّ النَّاسَ لَكُمْ تَبَعٌ وَإِنَّ رِجَالاً يَأْتُوْنَكُمْ مِنْ أَقْطَارِ الأَرْضِ يَتَفَقَّهُوْنَ فِي الدِّيْنِ فَإِذَا أَتَوْكُمْ فَاسْتَوْصُوْا بِهِمْ خَيْرًا
“Sesungguhnya manusia itu mengikuti kalian. Sesungguhnya orang-orang akan mendatangi kalian dari berbagai penjuru dunia, mereka akan belajar agama. Jika mereka mendatangi kalian, berbuat baiklah kepada mereka.” (HR. Tirmidzi, no. 2650; Ibnu Majah, no. 247, 249; ‘Abdur Razaq, 11:252; Al-Baghawi, no. 134. Abu Harun adalah perawi matruk. Ada riwayat ringkat mengenai hadits ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 280)
Keseratus tiga puluh satu (#61): Menuntut Ilmu Mendapatkan Pengampunan Dosa
Dalam hadits dari ‘Abdullah bin Sakhbarah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ طَلَبَ العِلْمَ كَانَ كَفَّرَاةً لِمَا مَضَى
“Siapa yang menuntut ilmu, amalan tersebut akan menghapus dosanya yang telah lalu.” (HR. Tirmidzi, no. 2648; Ad-Darimi dalam Sunannya, 1:139; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, no. 6615. Tirmidzi mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif).
Baca juga: Keutamaan Ilmu dari Ibnul Qayyim no. 47
Disebutkan bahwa orang berilmu dimintakan ampunan oleh para malaikat di langit dan para makhluk di bumi.
وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ
“Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridha pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air.” (HR. Abu Daud, no. 3641. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Diriwayatkan oleh Sufyan Ats-Tsauri dari Abdul Karim dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas bahwa ada malaikat yang ditugaskan untuk menjaga seorang penuntut ilmu hingga memulangkannya ke tempat semula dalam keadaan diampuni kesalahan-kesalahannya.
‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah seorang hamba mengenakan sandal, sepatu, dan juga pakaian untuk pergi menuntut ilmu melainkan dosa-dosanya diampuni sejak saat melangkahkan kaki di dekat pintu rumahnya.”
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Siapa saja yang mengenakan sandal untuk mempelajari kebaikan, niscaya diampuni baginya dosa-dosanya sebelum dia melangkahkan kaki.”
Meskipun riwayat-riwayat di atas tidak bisa dijadikan argumen, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Menuntut ilmu tetap menjadi salah satu kebaikan yang utama. Ingatlah bahwa setiap kebaikan akan menghapuskan kejelekan. Sehingga menuntut ilmu demi mencari wajah Allah sepantasnyalah bisa menghapus dosa-dosa masa lalu. Berbagai dalil menunjukkan bahwa mengikutkan kejelekan dengan kebaikan pasti akan menghapuskan kejelekan. Padahal diketahui bahwa menuntut ilmu adalah sebaik-baik kebaikan dan ketaatan yang paling utama. Sehingga pendalilan hal ini bukan hanya dari hadits Abu Daud di atas.”
Baca juga: Amalan Kebaikan Sebagai Pelebur Dosa
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh, ada seseorang keluar dari rumahnya dengan membawa dosa sebesar Gunung Tihamah. Apabila mendengar ilmu, ia merasa takut, kembali, lalu bertaubat. Lantas dia pulang ke rumah dalam keadaan tidak memikul dosa apa pun. Maka, janganlah kalian jauhi majelis-majelis ulama.”
Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:284-286.
Baca juga: 10 Pelebur Dosa
Keseratus tiga puluh dua (#62): Menuntut Ilmu itu untuk Menghilangkan Kebodohan dari yang Lain
Dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan tanpa diduga ada dua majelis di dalam masjid. Majelis pertama adalah majelis yang benar-benar mendalami agama. Sedangkan majelis kedua adalah majelis yang berdoa dan memohon kepada Allah. Beliau kemudian berkata,
ِكِلاَ المَجْلِسَيْنِ إِلَى خَيْرٍ أَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَدْعُوْا اللهَ وَأَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَتَعَلَّمُوْنَ وَيُفَقِّهُوْنَ الجَاهِلَ هَؤُلاَء ُأَفْضَلُ بِالتَّعْلِيْمِ أُرْسِلْت
“Kedua majelis ini sama-sama mengajak kepada kebaikan. Adapun mereka (majelis pertama), mereka berdoa kepada Allah. Sementara mereka (majelis kedua), mereka belajar dan mengajarkan orang jahil (bodoh) yang tidak memahami agama. Mereka itu lebih utama. Aku diutus untuk mengajar.” Setelah itu beliau duduk bersama mereka. (HR. Ibnu Majah, no. 22. Hadits ini dhaif). Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:287.
Dalam hadits di atas walaupun haditsnya dhaif, bisa dipetik pelajaran bahwa majelis yang isinya mempelajari ilmu lebih utama daripada majelis amal. Karena di antara tujuan belajar adalah mengajarkan ilmu kepada yang lain.
Baca juga: Empat Kaidah dalam Berdakwah
Keseratus tiga puluh tiga (#64): Orang Berilmu adalah Perantara Sampainya Wahyu pada Umat
Kedudukan manusia yang paling utama di sisi Allah adalah kedudukan kerasulan dan kenabian (risalah dan nubuwah). Allah memilih rasul-rasul (utusan-utusan) di antara kalangan para malaikat dan juga manusia. Mereka dijadikan oleh Allah sebagai perantara antara diri-Nya dan para hamba-Nya dalam menyampaikan risalah-Nya, memperkenalkan nama Allah, segala perbuatan Allah, sifat Allah, hukum Allah, juga segala hal yang mendatangkan rida Allah dan murka-Nya, serta pahala dan siksa-Nya.
Allah mengistimewakan para utusan dengan wahyu, mengkhususkan dengan keutamaan, meridai mereka untuk menyampaikan risalah Allah kepada para hamba, menjadikan mereka sebagai makhluk paling bersih jiwanya di antara seluruh alam, paling mulia akhlaknya, paling sempurna ilmu dan amalnya, paling baik bentuk penciptannya, paling dicintai dan diterima di hati manusia.
Di samping itu Allah membebaskan mereka dari sifat buruk, aib, dan akhlak tercela, serta menjadikan tingkatan manusia paling mulia setelah mereka adalah tingkatan para pengganti mereka di tengah-tengah umat, karena mereka ini menggantikan para nabi dan rasul dengan meniti manhaj dan jalan mereka. Wujudnya seperti menasihati umat, menuntun orang tersesat, mengajari orang yang buta ilmu agama, membela orang yang dizalimi, membimbing orang yang berbuat zalim, memerintahkan kebaikan seusai melakukannya, mencegah kemungkaran setelah meninggalkannya, menyeru manusia menuju kepada Allah secara hikmah bagi mereka yang memenuhi seruan, dengan tutur kata yang baik bagi mereka yang berpaling dan lalai, serta berdialog dengan cara terbaik bagi mereka yang membangkang dan menentang.
Itulah kondisi para pengikut rasul dan yang mendapatkan warisan ilmu dari para nabi. Allah Ta’ala berfirman,
ِقُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS. Yusuf: 108)
Yang mendapatkan warisan ilmu dari para rasul bukanlah orang kebanyakan. Mereka adalah orang-orang yang berilmu yang mempelajari serta mengamalkan ilmu yang disampaikan rasul, menuntun dan membimbing orang lain, bersabar dan berjihad untuk kepentingan ilahi. Dengan kata lain, mereka adalah para shiddiqun.
Dalam ayat disebutkan,
ِمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَٰٓئِكَ رَفِيقًا
ِذَٰلِكَ ٱلْفَضْلُ مِنَ ٱللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ عَلِيمًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (QS. An-Nisaa’: 69-70)
Allah menyebut tingkatan orang-orang yang paling berbahagia dalam ayat di atas, merekalah penghuni surga: (1) para nabi, (2) shiddiq (orang yang jujur), (3) syuhada’ (orang yang mati syahid), (4) shalihin (orang saleh, wali Allah). Setelah para nabi, shiddiq lebih tinggi dibanding syuhada’ dan orang saleh.
Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:288-290.
Keseratus tiga puluh empat (#66): Ilmu itu Akar Pohon, Tashdiq itu Rantingnya, Sedangkan Amal itu Buahnya
Ilmu adalah pemberi putusan terhadap apa pun selainnya, dan tak ada sesuatu pun yang memberi putusan terhadap ilmu.
Segala sesuatu yang diperselisihkan ada tidaknya, benar tidaknya, manfaat dan bahayanya, mudarat dan tidaknya, sempurna dan kurangnya, terpuji dan tercelanya, tingkatan baiknya, kualitas baik dan buruknya, dekat dan jauhnya, apakah ia bisa mencapai sasaran atau tidak, apakah ia bisa mewujudkan tujuan atau tidak, serta sisi pengetahuan lainnya, maka ILMULAH YANG MEMBERI PUTUSAN PADA SEMUA ITU.
Apabila ilmu sudah memutuskan sesuatu, saat itulah tidak ada lagi persengketaan, putusannya haruslah diikuti. Ilmulah yang memutuskan urusan kerjaan, kebijakan, harta benda, dan pena.
Berdasarkan surah An-Nisaa’ ayat 69-70, tingkat kesempurnaan ada empat:
- nubuwwah (kenabian),
- shiddiqiyyah (mencintai kebenaran),
- syahadah (mati syahid),
- wilayah (kewalian).
Empat hal di atas juga disebutkan dalam surah Al-Hadid berikut ini.
ِإِنَّ ٱلْمُصَّدِّقِينَ وَٱلْمُصَّدِّقَٰتِ وَأَقْرَضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَٰعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ
ِوَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦٓ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصِّدِّيقُونَ ۖ وَٱلشُّهَدَآءُ عِندَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ وَنُورُهُمْ ۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ وَكَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَآ أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْجَحِيمِ
“Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak. Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang Shiddiqien dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan cahaya mereka. Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka.” (QS. Al-Hadid: 18-19)
Shiddiqiyyah adalah beriman secara sempurna terhadap apa yang disampaikan oleh Rasul (wahyu) dengan mengetahui, membenarkan, dan mengamalkannya. Sifat shiddiqiyyah ini kembali kepada ilmu.
Siapa saja yang mengilmui wahyu dari rasul, membenarkan dengan sempurna, maka sempurnalah sifat shiddiq pada dirinya.
Sehingga shiddiq itu diibaratkan seperti pohon, di mana akarnya adalah ilmu, cabangnya adalah tashdiq (membenarkan), dan buahnya adalah amal. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:294-295)
Pengertian shiddiq dari perkataan para ulama lainnya
Shiddiq menurut Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya (5:272), “Shiddiq mengikuti wazan fa’iil, artinya al-mubaaligh fish shidqi (tashdiq), benar-benar jujur. Shiddiq adalah orang yang selaras antara lisan dan perbuatannya. Ada yang menyatakan bahwa shiddiq adalah follower (pengikut) yang utama dari para nabi yang mengikuti kejujuran seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq.”
Shiddiq menurut Imam Ibnul Qayyim dalam Madaarij As-Salikin (2:258), “Shiddiq adalah tingkatan jujur yang paling tinggi. Shiddiq ini termasuk tingkatan orang jujur. Shiddiq adalah orang yang patuh pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia benar-benar ikhlas pada mursil (pada Allah yang mengutus Rasul).”
Shiddiq menurut Al-Khazin rahimahullah dalam kitab Tafsir Al-Khazin (1:397), “Shiddiq adalah al-katsirush shidq, benar-benar jujur. Shiddiqun adalah pengikut rasul yang mengikuti jalan hidupnya sampai mereka bertemu dengan rasul tersebut. Ada juga yang menyatakan bahwa shiddiq adalah membenarkan semua ajaran agama, tanpa ada keraguan sama sekali dalam keyakinannya”
Shiddiq menurut Syaikh As-Sa’di dalam kitab tafsirnya (hlm. 841), “Shiddiq adalah tingkatan iman, amal saleh, ilmu yan bermanfaat, dan sikap yakin yang benar yang paling sempurna.”
Berbagai istilah shiddiq dirangkum dari penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 216829.
Dapat disimpulkan dari berbagai penjelasan ulama di atas, SHIDDIQ adalah orang yang benar-benar jujur dalam menjalani agama di mana sifatnya adalah: (1) ikhlas karena Allah, (2) berilmu yang bermanfaat, (3) membenarkan semua ajaran Islam, (4) patuh pada ajaran agama, (5) beriman dengan sempurna, (6) beramal saleh, (7) rasa yakin yang kuat, serta (8) selaras antara ucapan dan perbuatan.
Keseratus tiga puluh lima (#69): Zat, Sifat-Sifat, Serta Nama-Nama Allah Diketahui dengan Ilmu
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Zat, sifat, dan nama Allah hanyalah bisa diketahui oleh hamba hanya dengan ilmu.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:295)
Kaidah mengenai nama dan sifat Allah
Pertama: Nama Allah itu a’lam wa awshaf, yaitu nama-nama Allah itu merujuk pada Zat Allah, kemudian setiap nama itu mengandung makna khusus. Nama “al-hayyu, al-‘aliim, al-qadiir, as-samii’, al-bashiir, ar-rahmaan, ar-rahiim, al-‘aziz, al-hakiim” adalah nama-nama Allah. Nama-nama ini merujuk pada Allah yang satu. Namun, al-hayyu memiliki makna khusus yaitu Mahahidup, Al-‘Aliim bermakna Maha Mengetahui, Al-Qadiir bermakna Mahakuasa, As-Samii’ bermakna Maha Mendengar, Al-Bashiir bermakna Maha Melihat, Ar-Rahmaan bermakna Maha Pengasih, Ar-Rahiim bermakna Maha Penyayang, Al-‘Aziz bermakna Mahaperkasa, Al-Hakiim bermakna Yang Maha Bijaksana.
Kedua: Nama Allah itu kadang bergandengan dengan nama lainnya. Penyebutana seperti ini menunjukkan makna kesempurnaan Allah, pujian dan pengagungan yang sempurna kepada Allah. Hal ini berbeda jika nama tersebut berdiri sendiri. Contohnya adalah Allah itu Al-‘Aziz Al-Hakim, artinya Allah itu Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. Keperkasaan Allah tidak berkonsekuensi melakukan kezaliman dan kejelekan. Keperkasaan Allah ini diiringi kebijaksanaan. Allah itu As-Samii’ Al-‘Aliim (Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui), di tempat lain disebutkan As-Samii’ Al-Bashiir (Maha Mendengar lagi Maha Melihat).
Ketika kita diperintahkan untuk meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan, ayat menyebutkan sebagai berikut.
ِوَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ نَزْغٌ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۚ إِنَّهُۥ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 200)
ِوَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ نَزْغٌ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ
“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.Fushilat: 36)
Ketika kita diperintahkan untuk meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan manusia, ayat menyebutkan sebagai berikut.
ِإِنَّ ٱلَّذِينَ يُجَٰدِلُونَ فِىٓ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَٰنٍ أَتَىٰهُمْ ۙ إِن فِى صُدُورِهِمْ إِلَّا كِبْرٌ مَّا هُم بِبَٰلِغِيهِ ۚ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
“Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Mukmin: 56)
Apa kandungan dari ayat-ayat di atas dengan menyebut As-Samii’ Al-‘Aliim dan As-Samii’ Al-Bashir?
- Setan itu tidak terlihat, walaupun kita mengetahui wujudnya. Sehingga ayat yang membicarakan perlindungan dari setan ditutup dengan As-Samii’ Al-‘Aliim (Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).
- Manusia itu terlihat. Sehingga ayat yang membicarakan perlindungan dari setan ditutup dengan As-Samii’ Al-Bashiir (Maha Mendengar lagi Maha Melihat).
- Godaan setan itu menyerang hati. Hal ini terkait dengan ilmu.
Dalil yang menunjukkan bahwa setan itu tak terlihat adalah ayat berikut.
ِإِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ
“Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27)
Ayat yang lain menyebutkan At-Tawwabur Rahiim (Maha Penerima Taubat dan Rahiim) seperti dalam ayat berikut.
ِيَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12). Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang artinya Allah itu menerima taubat dan memberikan taufik untuk melakukan sebab untuk diterimanya taubat dan mendapatkan kasih sayang Allah. Yang pertama, Allah itu memberi taufik untuk bertaubat dengan menempuh sebab-sebab taubat. Yang kedua, Allah menerima taubat dari orang-orang yang bertaubat. Itu semua adalah bentuk kasih sayang Allah.
Ayat yang lain menyebutkan Al-Ghafurur Rahiim (Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) sebagaimana dalam ayat berikut ini.
ِقُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53). Nama Allah yang digandengkan ini menunjukkan besarnya karunia Allah. Bentuk karunia Allah adalah rahmat Allah itu mendahului murka-Nya.
Ketiga: Allah memiliki nama-nama yang terbaik. Allah Ta’ala berfirman,
ِوَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا۟ ٱلَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِىٓ أَسْمَٰٓئِهِۦ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180). Nama dan sifat Allah tidaklah sama dengan makhluk, walau ada nama dan sifat yang punya kesamaan.
Keseratus tiga puluh enam (#80): Segala Sesuatu Selain Allah Sangat Butuh pada Ilmu
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
ِأَنَّ كُلَّ مَا سِوَى اللهِ مُفْتَقِرٌ إِلَى العِلْمِ لاَ قَوَامَ لَهُ بِدِيْنِه
“Segala sesuatu selain Allah butuh pada ilmu. Segala sesuatu tidak memiliki pijakan jika tidak ada ilmu.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:309)
Ilmu itu dua macam:
- Ilmu yang mesti ada sebelum perbuatan. Kalau dipelajari berpengaruh langsung pada orang yang mempelajarinya. Ini disebut ‘ilmu fi’liy (aktif).
- Ilmu yang sudah ada sebelumnya, objek yang dipelajari tidak terpengaruh apa-apa karena sudah ada sebelumnya. Contoh ilmunya adalah ilmu mengenai keberadaan Nabi, raja-raja, dan hal-hal lain yang sudah ada sebelumnya. Ilmu ini tidaklah berpengaruh pada objek yang dipelajari.
Semakin jelas tentang ini diterangkan pada keutamaan ilmu ke-81.
Tentang Ilmu dan Petunjuk
Ada yang berpendapat bahwa:
- Konsekuensi dari ilmu dan makrifah adalah mendapatkan petunjuk. Ketika seseorang tidak mendapatkan petunjuk, itu menunjukkan bahwa ia tidak berilmu.
- Memiliki ilmu tidak berkonsekuensi mendapatkan petunjuk. Kesesatan seringkali dilakukan secara sengaja dan atas dasar sepengetahuan pelakunya, tanpa ia meragukannya (bahwa apa yang dilakukannya itu sesat). Bahkan ia lebih memilih kesesatan dan kekafiran meski ia mengetahui keburukan dan kerusakannya.
10 Sebab Ilmu Tidak Menghasilkan Petunjuk dan Amal
Ilmu adalah sebab kemaslahatan, kenikmatan, dan kebahagiaan seorang hamba. Namun, adanya seseorang tidaklah mendapatkan petunjuk dengan ilmu.
- Lemahnya makrifah, lemahnya ilmu pada sesuatu.
- Ilmu tidak masuk di tempat yang layak karena bisa jadi hati itu keras. Ibaratnya hujan itu tidak begitu manfaat turun di tanah yang keras. Ketika hati menjadi keras, kasar, dan jumud, ilmu sama sekali tidak berfungsi di dalamnya. Demikian halnya tatkala, hati sakit, hina, tidak ada kekuatan dan tekad, ilmu juga tidak berpengaruh padanya.
- Adanya penghalang: hasad dan sombong. Inilah penyakit yang ada pada Iblis sehingga ia tidak mau tunduk pada perintah. Ini adalah penyakit orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan, kecuali siapa yang dijaga oleh Allah. Ini adalah yang jadi sebab Yahudi tidak mengakui kebenaran nubuwwah (kenabian) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini juga jadi sebab Abdullah bin Ubay dan Abu Jahal serta kalangan musyrikin tidak beriman.
- Adanya penghalang syubhat dengan adanya kepemimpinan dan kekuasaan. Inilah yang jadi sebab Heraklius dan raja-raja kafir sulit masuk Islam.
- Ada penghalang: mengikuti syahwat dan harta. Inilah sebab mayoritas Ahli Kitab sampai tidak beriman. Kaum Kafir Quraisy juga menghalangi yang lainnya masuk Islam dengan menyatakan bahwa kalau kalian masuk Islam nafsu syahwat kalian tidak bisa dipenuhi yaitu dalam zina dan minum khamar.
- Cinta keluarga, kerabat, dan suku.
- Cinta tempat tinggal dan cinta tanah air.
- Takut dianggap mencela leluhur. Inilah yang terjadi pada paman Nabi, Abu Thalib.
- Ada musuh yang mengikuti kebenaran, dan kita tidak suka pada musuh tersebut. Inilah yang terjadi pada kaum Anshar dan Yahudi.
- Adanya pembiasaan, rutinitas, dan faktor kampung halaman.
Maksiat itu dilakukan dalam keadaan tidak berilmu
Allah Ta’ala berfirman,
ِإِنَّمَا ٱلتَّوْبَةُ عَلَى ٱللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلسُّوٓءَ بِجَهَٰلَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُو۟لَٰٓئِكَ يَتُوبُ ٱللَّهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa’: 17)
Ayat di atas menunjukkan bahwa konsekuensi dari memiliki ilmu dan makrifah (pengetahuan) adalah mendapatkan petunjuk, sedang ketika seseorang tidak mendapat petunjuk, itu menunjukkan kebodohan dan keadaan tidak berilmu. Selama manusia berakal, ia tidak mungkin memilih binasa daripada selamat, ditimpa siksa besar dan kekal abadi daripada mendapat nikmat nan abadi. Kenyataan membuktikan hal itu. Itulah kenapa Allah menyebut orang-orang yang durhaka kepada-Nya sebagai orang bodoh.
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Siapa pun di antara makhluk Allah yang berbuat dosa berarti ia bodoh, baik ia benar-benar bodoh atau pun berilmu. Jika dia orang yang berilmu, lantas siapa lagi yang lebih bodoh daripada dirinya? Jika dia tidak berilmu, sama juga seperti itu.” Dalam ayat disebutkan, “… yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
‘Abdullah bin ‘Abbas berkata, “Dosa orang mukmin tidak lain adalah buah kebodohannya.”
Qatadah menyatakan, “Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepakat bahwa segala sesuatu yang ditunjukkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka ia adalah kebodohan.”
As-Suddi menyatakan, “Siapa pun yang durhaka kepada Allah, ia berarti bodoh.”
Dosa terjadi mana kala hati lalai dari ilmu, ketika ilmu lenyap dari hati. Saat itulah dosa terjadi karena kebodohan, kelalaian, kealpaan, dan anti ilmu.
Dosa itu diliputi dua kebodohan, yaitu: (1) kebodohan hakikat sebab yang dapat memalingkan dari dosa, (2) kebodohan akan akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh dosa.
Tidaklah Allah dihurkai melainkan karena kebodohan. Tidaklah Allah ditaati melainkan karena ilmu.
Keseratus tiga puluh tujuh (#106, 102): Ibadah Harus Dituntun oleh Ilmu Agar Benar
Muhammad bin Syihab Az-Zuhri berkata,
ِمَا عُبِدَ اللهُ بِمِثْلِ الفِقْه
“Tidak ada cara ibadah kepada Allah yang semisal dengan pemahaman mendalam dalam agama.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:385). Hal yang sama juga dikatakan oleh Mak-hul.
Ada dua maksud dari perkataan di atas:
- Maksud perkataan ini dan perkataan serupa lainnya adalah tidak ada cara ibadah kepada Allah yang seperti cara beribadah melalui pemahaman mendalam dalam agama. Maka pemahaman itu sendiri termasuk ibadah, seperti dikatakan Mu’adz bin Jabal, “Hendaklah kalian menuntut ilmu, karena menuntutnya karena Allah termasuk ibadah.”
- Atau mungkin yang dimaksud adalah tidaklah Allah diibadahi dengan suatu ibadah yang lebih baik dibandingkan ibadah yang disertai pemahaman agama. Pasalnya, orang yang memiliki pemahaman agama yang baik akan mengetahui apa saja tingkatan ibadah, apa saja yang dapat merusak ibadah, apa saja kewajiban, apa saja sunnah dan pelengkapnya, dan hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaannya.
Kedua makna di atas itu sahih.
Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:385.
Keseratus tiga puluh delapan (#115): Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat bagi penuntut ilmu
Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai manusia! Hendaklah kalian menekuni ilmu (mempelajari dan mengamalkan ilmu), karena Allah memiliki pakaian yang Allah sukai. Maka, siapa yang menuntut suatu bab ilmu, maka Allah mengenakan pakaian-Nya kepadanya. Apabila dia melakukan suatu dosa, Allah memberinya kesempatan bertaubat, agar Allah tidak melepas pakaian tersebut sampai dia meninggal dengan tetap mengenakannya.”
Jadi, Allah memberinya kesempatan bertaubat maksudnya adalah meminta hamba menghilangkan celaan Allah darinya dengan taubat, memohon ampun, dan beristighfar. Ketika si hamba kembali kepada Allah, celaan dihilangkan darinya. Dengan demikian, Rabb telah menghilangkan celaan darinya.
Termasuk di antaranya perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud pada waktu terjadi gempa bumi di Kufah, “Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberi kalian kesempatan untuk bertaubat, maka mintalah ampunan kepada Allah.”
Dalam ayat disebutkan,
ِفَٱلْيَوْمَ لَا يُخْرَجُونَ مِنْهَا وَلَا هُمْ يُسْتَعْتَبُونَ
“maka pada hari ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat.” (QS. Al-Jatsiyah: 35)
Yaitu, Kami tidak meminta mereka mengilangkan celaan terhadap mereka. Sebab menghilangkan celaan hanya dapat dilakukan dengan melakukan TAUBAT DI DUNIA. Ingat, taubat tidaklah berguna lagi di akhirat.
Hal ini berbeda dengan permohonan seorang hamba kepada Allah agar dikasihani. Allah Ta’ala berfirman,
ِفَإِن يَصْبِرُوا۟ فَٱلنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ ۖ وَإِن يَسْتَعْتِبُوا۟ فَمَا هُم مِّنَ ٱلْمُعْتَبِينَ
“Jika mereka bersabar (menderita azab) maka nerakalah tempat diam mereka dan jika mereka mengemukakan alasan-alasan, maka tidaklah mereka termasuk orang-orang yang pantas dikasihani. (QS. Fushshilat: 24)
Makna ayat ini adalah mereka meminta Kami hilangkan celaan terhadap mereka, dan mereka memohon ampunan. “Maka mereka itu tidaklah termasuk orang yang pantas dikasihani“, yaitu celaan tidak patut dihilangkan dari mereka. Permohonan ampunan seperti ini bermanfaat di dunia, tidak di akhirat.
Intinya, taubat atau memohon ampunan hanya bermanfat di dunia, tidak di akhirat.
Baca juga: Taubatnya Pembunuh 100 Nyawa
Keseratus tiga puluh sembilan (#121): Ulama adalah Manusia Sejati
Ibnul Mubarak ditanya,
ِمَنِ النَّاس
“Siapakah manusia sejati itu?” Dia menjawab,
ُالعُلَمَاء
“Ulama (ahli ilmu).” Lalu dia ditanya, “Siapakah para raja yang sebenarnya itu?” Dia menjawab, “Orang-orang zuhud.” Dia ditanya, “Siapa orang-orang jelata itu?” Dia menjawab, “Orang yang mencari makan dengan menukarkan agamanya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:395)
Keseratus empat puluh (#124, 50): Menuntut Ilmu itu Jihad
Abu Ad-Darda’ berkata,
ِمَنْ رَأَى أَنَّ الغُدُوَّ إِلَى العِلْمِ لَيْسَ بِجِهَادٍ فَقَدْ نَقَصِ فِي رَأْيِهِ وَعَقْلِه
ْ“Siapa saja yang tidak menganggap pagi-pagi pergi menuntut ilmu sebagai jihad, berarti fungsi akal dan rasio pendapatnya telah berkurang.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1:396 dan 1:269-270)
Keseratus empat puluh satu (#124): Menuntut Ilmu itu Lebih Disukai daripada Shalat Malam
Abu Ad-Darda’ berkata,
ٍلِأَنْ أَتَعَلَّمَ مَسْأَلَةً أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ قِيَامِ لَيْلَة
“Sungguh, mempelajari suatu masalah lebih aku sukai daripada melakukan qiyamul lail (shalat malam).” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1:396)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Referensi:
Miftah Daar As-Sa’aadah wa Mansyur Walaayah Ahli Al-‘Ilmi wa Al-Idarah. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabiy Al-Atsariy. Penerbit Dar Ibnul Qayyim dan Dar Ibnu ‘Affan. Mulai dari 1:217.
—
Mulai diringkas, 21 Muharram 1443 H, 27 Agustus 2021
Alhamdulillah diselesaikan pada 18 Syakban 1445 H, 28 Februari 2024
@ Darush Sholihin Pangggang Gunungkidul
Artikel Rumaysho.Com
Saya suka cara penulis menyajikan informasi dengan sangat baik.
Artikel yang memberikan inspirasi untuk terus berkembang dan belajar.
Pembahasan yang sangat mengajak pembaca untuk berdiskusi dan berpartisipasi.
Tadz afwan itu saya agak terkejut dengan yang pertama di atas itu yang bermain catur itu