Faedah Ilmu

Fasik, Fajir, dan Maksiat: Apa Bedanya?

Dalam Islam, setiap istilah yang berkaitan dengan dosa memiliki makna khusus dan tingkatan yang berbeda. Tiga istilah yang sering disebut adalah fasik, fujur, dan maksiat. Sekilas terlihat mirip, tetapi para ulama menjelaskan adanya perbedaan mendasar di antara ketiganya. Memahami perbedaan ini penting agar seorang muslim lebih berhati-hati dalam menjaga diri dari dosa, khususnya dosa besar.

 

Fasiq (الفسق):

Kata ini lebih sering digunakan untuk dosa-dosa besar, seperti mencuri, memakan riba, berzina, dan sejenisnya.

Fujūr (الفجور):

Kata ini juga banyak dipakai untuk dosa-dosa besar. Namun, penggunaannya seringkali lebih khusus, yaitu pada mereka yang terus-menerus melakukan dosa besar, bersikap meremehkan, dan larut di dalamnya. Istilah ini juga kerap dipakai untuk dosa-dosa yang sangat keji, yang bahkan orang berakal sekalipun—meskipun ia bukan seorang muslim—akan menganggapnya menjijikkan. Misalnya perbuatan homoseksual, zina dengan mahram, tuduhan dusta (fitnah keji), menyiksa dengan kejam dalam pembunuhan, serta sumpah palsu yang berat (al-yamīn al-ghamūs), dan semacamnya.

Dengan demikian, fujūr lebih keji daripada fisq, sedangkan istilah ma‘ṣiyah (معصية / maksiat) menempati tingkat yang lebih rendah dibanding keduanya.

Penjelasan Ulama

Abu Hilāl al-‘Askarī rahimahullah berkata:

“Perbedaan antara al-fisq dan al-fujūr adalah:

Al-fisq berarti keluar dari ketaatan kepada Allah dengan melakukan dosa besar.

Sedangkan al-fujūr bermakna larut dalam kemaksiatan dan melebar di dalamnya. Asalnya dari ucapanmu: أَفْجَرْتُ السَّكْرَ (aku membolongi bendungan), jika engkau membuat lubang yang lebar sehingga air pun keluar deras dari semua arah. Karena itu, tidaklah pantas orang yang hanya melakukan dosa kecil disebut fājir (pelaku fujūr). Sebagaimana tidak pantas pula jika seseorang hanya membuat lubang kecil pada bendungan lalu dikatakan: ia telah ‘memecahkan’ bendungan.”

Kemudian, istilah fujūr makin sering digunakan sehingga menjadi khusus bagi dosa zina, homoseksual, dan sejenisnya.” (Al-Furūq, hlm. 231).

Abu al-Makārim al-Khuwārizmī (w. 610 H) rahimahullah berkata:

“Fujūr, fisq, dan ‘iṣyān (maksiat) memiliki kedekatan makna. Seakan-akan seorang fājir adalah orang yang membuka pintu maksiat lalu meluas di dalamnya. Dalam doa qunūt terdapat bacaan: wa natruka man yafjuruk—maksudnya: orang yang durhaka kepada-Mu.” (Al-Mughrib fī Tartīb al-Mu‘rib, hlm. 351).

Catatan Penting

Semua keterangan di atas tidak menutup kemungkinan penggunaan istilah fisq, fujūr, dan maksiat secara saling menggantikan. Perbedaan yang telah dijelaskan tadi baru berlaku ketika ketiga istilah tersebut disebutkan bersamaan, atau ketika digunakan dengan pengertian khusus sesuai istilah para ulama.

Namun, bila disebutkan secara terpisah, maka ketiganya bisa saja dipakai untuk makna yang sama. Contoh, perbuatan homoseksual bisa disebut ma‘ṣiyah, kabīrah (dosa besar), maupun fujūr. Abu al-Baqā’ al-Kaffawī rahimahullah berkata:
“Seorang fājir bisa berarti seorang kafir atau seorang fāsiq.” (Al-Kulliyyāt, hlm. 693).

Adapun dosa-dosa kecil biasanya tidak disebut dengan istilah fisq atau fujūr. Karena itu, penyematan kata fisq atau fujūr menjadi tanda bahwa perbuatan itu termasuk dosa besar. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Az-Zawājir ‘an Iqtirāf al-Kabā’ir (1/8).

Meski begitu, ada beberapa riwayat yang memperluas makna fisq dan fujūr hingga mencakup seluruh bentuk maksiat.

Contohnya, Abu al-Makārim al-Khuwārizmī رحمه الله mengatakan tentang doa qunūt: “Dalam doa qunūt: wa natruka man yafjuruk—maksudnya adalah: orang yang durhaka kepada-Mu.” (Al-Mughrib fī Tartīb al-Mu‘rib, hlm. 351). Hal ini juga dikatakan oleh al-‘Ainī dalam ‘Umdat al-Qārī (14/307).

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Fujūr adalah istilah umum bagi siapa pun yang terang-terangan dalam kemaksiatan, atau ucapan keji yang memperlihatkan kebusukan hati si pengucap.” (Majmū‘ al-Fatāwā, 15/286).

Abu al-Baqā’ al-Kaffawī رحمه الله juga menuturkan: “Fisq dalam Al-Qur’an memiliki beberapa makna. Di antaranya adalah makna ‘perbuatan dosa’, seperti dalam firman Allah:

وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

(tidak ada kefasikan dan tidak ada perdebatan dalam haji) [QS. Al-Baqarah: 197]. Semua kembali kepada akar bahasa yang berarti ‘keluar’. Misalnya, mereka mengatakan: fasaqati ar-rutbah ‘anil-qishr—kurma itu keluar dari kulitnya.” (Al-Kulliyyāt, hlm. 693).

Kesimpulan

  1. Jika ketiga istilah ini disebutkan bersamaan, maka tingkatan paling keji adalah fujūr, kemudian fisq, lalu ma‘ṣiyah.
  2. Jika disebutkan terpisah, maka masing-masing istilah boleh dipakai untuk menggambarkan yang lain.
  3. Namun, penggunaan kata fujūr dan fisq untuk menyebut semua bentuk maksiat, termasuk dosa kecil, jarang digunakan.

Wallāhu a‘lam.

 

—-

 

Perjalanan Darush Sholihin – Sekar Kedhaton, 26 Safar 1447 H, 20 Agustus 2025

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button