Puasa

50+ Masalah yang Sering Ditanyakan oleh Wanita Terkait Ramadhan

Ini adalah berbagai masalah wanita di bulan Ramadhan yang sering ditanyakan. Masalah yang dikumpulkan moga mencapai 50 lebih masalah. Semoga bisa memberikan jawaban memuaskan dengan pertolongan Allah.

 

Daftar Isi tutup

1. Apabila wanita mendapati haidh menjelang berbuka puasa, apakah puasanya batal?

Di antara syarat sah puasa adalah suci dari haidh dan nifas pada keseluruhan siang (dari terbit Fajar Shubuh hingga tenggelam matahari). Maka jika beberapa menit menjelang berbuka diketahui dengan yakin darah haidh atau nifas keluar, maka puasanya batal.

Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.”

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ » . قُلْنَ بَلَى . قَالَ « فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا »

“Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.”

Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqadha puasa di hari lainnya. Dalilnya adalah,

عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.

Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim, no. 335)

 

Buka puasa dalam keadaan ragu keluar haidh

Bagaimana jika ada wanita yang masuk waktu Maghrib (buka puasa) dalam keadaan ragu apakah haidh yang ia temui saat Maghrib keluarnya sebelum buka puasa ataukah sesudahnya? Misal kebiasaan haidhnya hari tersebut, jam 4 sore ketika dicek tidak keluar darah haidh. Saat berbuka puasa (jam 6) baru ketahuan darah haidh ada. Kalau ternyata keluar sebelumnya, tentu saja puasanya jadi batal dan harus diganti di hari yang lain. Sedangkan kalau darah haidh keluar ketika waktu berbuka tiba, puasanya berarti tidak diqadha’.

Jawabannya untuk masalah ini adalah pegang yang yakin dan tinggalkan yang ragu-ragu.

Dalam kaidah fikih disebutkan,

ِّاليَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّك.

“Yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.”

Baca juga: Ragu Tidak Bisa Mengalahkan yang Yakin

Ada pertanyaan yang diajukan pada Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah,

“Aku pernah tertidur pada suatu hari di bulan Ramadhan sebelum Ashar. Dan aku barulah bangun ketika azan Isya. Saat Isya itu aku dapati dalam keadaan haidh. Apakah puasaku sah?”

Jawaban yang diberikan oleh Syaikh ‘Abdurrahman,

“Alhamdulillah, puasamu tetap sah. Karena kita tidak bisa pastikan haidh itu datang sebelum Maghrib. Keadaan sebelum matahari tenggelam apakah keluar darah haidh ataukah tidak adalah keadaan yang meragukan. Hukum asalnya, waktu sebelum tenggelam matahari tadi masih dalam keadaan suci. Hal ini sama halnya seperti seseorang yang shalat Shubuh kemudian tidur. Lalu ia dapati bekas junub saat bangun yaitu mendapati mani. Yang yakin, mani tersebut keluar setelah shalat Shubuh. Dalam kondisi ini, tidak wajib baginya mengulangi shalat Shubuh. Wallahu a’lam.”

Fatwa Syaikh Al-Barrak tanggal, 24/9/1434 diambil dari status telegram beliau hafizahullah.

Baca juga: Sebelum Berbuka Masih Suci, Waktu Isyak Dicek Mengalami Haidh, Puasanya Apakah Sah?

Ada penjelasan sebagai berikut, “Setiap yang meragukan dianggap seperti tidak ada. Setiap sebab yang kita ragukan kapan munculnya, maka tidak ada hukum pada yang akibatnya. Sebab tersebut seperti sesuatu yang dipastikan tidak ada, maka tidak dikenakan hukum ketika itu. Begitu pula setiap syarat yang diragukan keberadaannya, maka dianggap seperti tidak ada sehingga tidak diterapkan hukum untuknya. Begitu pula setiap mani’ (penghalang) yang diragukan keberadaannya, dianggap seperti tidak ada. Hukum baru ada apabila sebab itu ada. Perlu diketahui, kaedah ini disepakati secara umum.” (Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, 4:94, Asy-Syamilah)

Dari kaidah di atas dapat dipahami bahwa keadaan yang yakin yang dipegang adalah masih dalam keadaan suci. Sedangkan keadaan ragu-ragu adalah dalam keadaan tidak suci. Sehingga ketika berbuka baru didapati darah haidh dan tidak diketahui keluarnya baru saja ataukah sebelum berbuka puasa, maka keadaan yang dipegang adalah keadaan suci.

Baca juga: Buka Puasa dalam Keadaan Ragu Keluar Darah Haidh

Ringkasnya:

  • Mendapati haidh sebelum berbuka puasa dalam keadaan YAKIN, puasa batal, maka harus diqadha’.
  • Mendapati haidh sebelum berbuka puasa dalam keadaan RAGU-RAGU dan YAKIN-nya didapati setelah berbuka puasa, maka puasa sah, tidak perlu ada qadha’.

 

2. Bagaimana jika wanita mendapati flek saat puasa? Apakah puasanya batal?

Bagi wanita yang berhalangan untuk puasa karena haidh tersebut, ia punya kewajiban untuk mengqadha’ puasa di hari lain.

Ada kaidah dari Syaikh As-Sa’di dalam kitabnya Manhaj As-Salikin sebagai berikut:

a. Flek yang keluar di masa kebiasaan haidh sebelum darah haidh keluar, ditambah jika terasa nyeri, maka terhitung sebagai DARAH HAIDH.

b. Flek yang keluar di luar masa kebiasaan haidh, maka dianggap BUKAN DARAH HAIDH.

c. Flek yang keluar setelah darah haidh dan masih bersambung, maka dianggap DARAH HAIDH.

d. Flek yang keluar setelah suci (setelah darah haidh berhenti total), tetapi setelah beberapa hari keluar flek lagi, maka dianggap BUKAN DARAH HAIDH.

Kesimpulan kaidah: Jika flek keluar bersambung sebelum atau sesudah haidh dihukumi sebagai darah haidh. Jika flek keluar tidak bersambung dengan haidh, maka dihukumi bukan darah haidh.

Kalau dianggap HAIDH, maka tidak boleh shalat dan tidak boleh puasa. Kalau dianggap bukan darah HAIDH, maka tetap diperintahkan shalat dan puasa.

Baca juga: Hukum Wanita Mendapati Flek Saat Puasa

 

3. Berapa lama waktu minimal disebut haidh?

  • Tanda haidh berhenti adalah dengan munculnya di antara dua tanda berikut: (a) qashshatul baydha’ (cairan putih), (b) jufuf (kering).
  • Menurut pendapat Syaikh As-Sa’di dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, lamanya darah haidh: (a) minimalnya tidaklah dibatasi, (b) maksimalya juga tidak dibatasi.
  • Jika keluar darah haidh walau kurang dari sehari dan itu adalah ciri darah haidh, maka dihukumi sebagai darah haidh.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam Manhajus Salikin,

ِّوَالْأَصْلُ فِي اَلدَّمِ اَلَّذِي يُصِيبُ اَلْمَرْأَةَ: أَنَّهُ حَيْضٌ، بِلَا حَدٍ لِسِنِّه، وَلَا قَدَرِهِ، وَلاَ تَكَرُّرِهِ

ِّإِلَّا إِنْ أَطْبَقَ اَلدَّمُ عَلَى اَلْمَرْأَةِ، أَوْ صَارَ لَا يَنْقَطِعُ عَنْهَا إِلَّا يَسِيرًا فَإِنَّهَا تَصِيرُ مُسْتَحَاضَة

Hukum asal pada darah yang didapati wanita adalah haidh, tanpa dibatasi usia, kadar lama, maupun pengulangannya. Kecuali bila darah tersebut keluar begitu banyak pada wanita atau darah tersebut tidak berhenti kecuali sedikit (sebentar), maka dihukumi sebagai darah istihadhah.

Baca juga: Dalil tentang Fikih Haidh dari Bulughul Maram Dibahas Tuntas

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menyatakan,

“Menurut pendapat yang paling kuat, tidak ada batasan minimal atau maksimal lamanya masa haid. Karena Allah Ta’ala berfirman,

ِّوَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” (QS. Al-Baqarah: 222). Dalam ayat ini perintah untuk menjauhi wanita di masa haidnya tidak diberikan batasan waktu tertentu. Pokoknya wanita itu baru bisa disetubuhi jika telah suci (darah berhenti, lalu mandi, pen.). Sebab hukum dalam ayat adalah ada tidaknya darah haid. Jika didapati haid, maka tidak boleh menyetubuhi istri. Namun jika telah suci, maka hilanglah hukum larangan tadi.

Menetapkan masa lamanya haid dengan waktu tertentu tidaklah berdasarkan dalil. Padahal hal tersebut sangat perlu sekali dijelaskan (di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.). Jika ada batasan umur wanita mendapati haid dan jangka waktu lamanya haid, maka tentu akan dijelaskan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karenanya, jika wanita melihat darah yang sudah dikenal sebagai darah haid, maka dihukumi sebagai haid tanpa dikaitkan dengan lama waktunya. Kecuali kalau darah yang keluar pada wanita tersebut mengalir terus tidak terputus atau dalam sebulan hanya berhenti singkat selama sehari atau dua hari, maka darah tersebut dihukumi darah istihadhah. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 11: 271. Dinukil dari Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 65570)

Baca juga: Bisakah Lama Haidh Kurang dari Sehari

 

4. Bagaimana hukum mengonsumsi obat penunda haidh agar lancar puasa?

Dalam Al-Mughni (1:450), Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, “Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata, ‘Tidak mengapa seorang wanita mengkonsumsi obat-obatan untuk menghalangi haidh, asalkan obat tersebut baik (tidak membawa efek negatif).’”

Syaikh Abu Malik–penulis kitab Shahih Fiqh As-Sunnah–menerangkan, “Haidh adalah ketetapan Allah bagi kaum hawa. Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyusahkan diri mereka supaya dapat berpuasa sebulan penuh (dengan mengahalangi datangnya haidh, pen). Oleh karena itu, menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh tidak dianjurkan. Akan tetapi, jika wanita muslimah tetap menggunakan obat-obatan semacam itu dan tidak memiliki dampak negatif, maka tidak mengapa. Jika ia menggunakan obat tadi dan darah haidhnya pun berhenti, maka ia dihukumi seperti wanita yang suci, artinya tetap dibolehkan puasa dan tidak ada qadha’ baginya. Wallahu a’lam.” (Shahih Fiqh As-Sunnah, 2:128)

Baca juga: Hukum Menggunakan Obat Penghalang Haidh Saat Puasa

 

5. Kapan mandi setelah malamnya suci dari haidh atau malamnya junub, apakah sebelum ataukah sesudah masuk Shubuh?

Disunnahkan dalam puasa Ramadhan, orang yang berhadats besar melakukan mandi besar (mandi wajib) sebelum masuk Shubuh. Walaupun jika mandi setelah masuk Shubuh, masih dibolehkan.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Muslim, no. 1109)

Dalil lainnya bolehnya masuk Shubuh dalam keadaan junub adalah ayat,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187).

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang berhubungan dengan istrinya sebelum Shubuh dan ketika masuk Shubuh, ia masih dalam keadaan junub, maka ia masih boleh melakukan puasa. Karena Allah ‘azza wa jalla mengizinkan mubasyaroh (mencumbu istri) hingga terbit fajar, lalu perintahkan untuk berpuasa, maka ini menunjukkan bahwa boleh saja seseorang yang hendak berpuasa masuk shubuh dalam keadaan junub.” (Al-Majmu’, Yahya bin Syarf An-Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 6:303)

Baca juga: Masuk Shubuh dalam Keadaan Junub Sahkah Puasanya?

 

6. Bagaimana jika masuk Ashar sudah suci dari haidh, apakah mesti mengqadha’ shalat Zhuhur?

Jika wanita suci pada waktu Ashar, ia cukup mengerjakan shalat Ashar tanpa mengerjakan lagi shalat Zhuhur. Begitu pula jika wanita suci pada waktu Isyak, ia cukup mengerjakan shalat isyak tanpa mengerjakan lagi shalat Zhuhur. Alasannya adalah hadits berikut.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: – مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat Shubuh. Barang siapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat Ashar.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 579 dan Muslim, no. 608)

Dari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau “Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram” menyatakan, seorang wanita yang suci di waktu Ashar, maka ia hanya mengerjakan shalat Ashar saja, tidak lagi shalat Zhuhur.

Faedah dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin kaitannya dengan wanita haidh:

  • Jika wanita haidh telah suci, lalu masih bisa mendapatkan satu rakaat shalat, maka ia punya kewajiban untuk melaksanakan shalat.
  • Sebagian ulama berpandangan pula kalau wanita datang haidh padahal sudah masuk waktu shalat dan ia bisa dapati satu rakaat, maka jika suci, ia tetap mengqadha shalat.

Baca juga: Suci Haidh pada Waktu Ashar, Apakah Tetap Qadha Shalat Zhuhur?

 

7. Apa hukum puasa bagi wanita hamil dan menyusui? Apakah penggantinya mesti qadha’ ataukah hanya fidyah saja?

Hukum terkait wanita hamil dan menyusui rinciannya sebagai berikut:

a. Wanita hamil dan menyusui jika tidak berat menjalankan puasa, ia tidak khawatir bahaya pada dirinya atau pada bayi atau janinnya, maka wanita hamil dan menyusui hendaklah tetap berpuasa.

b. Wanita hamil dan menyusui jika khawatir pada dirinya, kewajibannya adalah qadha’, tanpa fidyah sebagaimana orang sakit. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui yang khawatir pada dirinya dan anaknya sekaligus.

c. Wanita hamil dan menyusui jika khawatir pada anaknya saja, misalnya takut keguguran atau kekurangan ASI sehingga bisa bermasalah pada anak, maka kewajibannya adalah qadha’ dan fidyah.

d. Wanita hamil dan menyusui yang tidak mampu berpuasa terus menerus, kewajibannya adalah fidyah.

Dalil yang menunjukkan keringanan puasa bagi keduanya adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala memberi keringanan bagi musafir untuk tidak berpuasa dan memberi keringanan separuh salat (salat empat rakaat menjadi dua rakaat), juga memberi keringanan tidak puasa bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. Ahmad, 5: 29; Ibnu Majah, no. 1667; Tirmidzi, no. 715; dan An-Nasa’i, no. 2277. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya).

Dalil yang menunjukkan kewajiban membayar fidyah adalah hadits berikut.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata mengenai ayat, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. Itu adalah keringanan bagi pria dan wanita yang sudah tua renta yang berat untuk puasa, maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang tidak berpuasa. Sedangkan wanita hamil dan menyusui, jika khawatir pada anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa. (HR. Abu Daud, no. 2318 dan Al-Baihaqi, 4: 230).

Baca juga: Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin tentang Apakah Wanita Cukup Fidyah Saja Tanpa Qadha’?

 

8. Bagaimana cara bayar fidyah?

Pensyariatan fidyah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin.” (HR. Bukhari, no. 4505).

 

Bentuk fidyah

a. Memasak atau membuat makanan, kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau sudah menginjak usia senja (dan tidak sanggup berpuasa). Lihat Irwa’ Al-Ghalil, 4:21-22 dengan sanad yang sahih.

b. Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk. Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumthi’, 2:22.

Pemberian ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari disalurkan kepada 20 orang miskin. Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 20 hari. Lihat penjelasan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, no. 1447, 10:198.

Al-Mawardi rahimahullah mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.” (Al-Inshaf, 5:383).

 

Waktu pembayaran fidyah

a. Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah berada di usia senja. Lihat Irwa’ Al-Ghalil, 4:21-22 dengan sanad yang sahih.

b. Para ulama berbeda pendapat tentang masalah bolehkah mempercepat pembayaran fidyah ataukah tidak untuk yang sudah tua renta atau yang menderita sakit menahun yang sulit diharapkan sembuhnya. Tentang hal ini Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa sepakat ulama madzhab Syafii menyatakan tidak bolehnya mempercepat pembayaran fidyah sebelum masuk Ramadhan.

c. Adapun mempercepat pembayaran fidyah setelah terbit fajar Shubuh setiap harinya dibolehkan.

d. Mempercepat pembayaran fidyah sebelum masuk fajar Shubuh di bulan Ramadhan juga masih diperbolehkan. Pendapat ini dipilih oleh Ad-Darimi kata Imam Nawawi.

e. Berarti tidak masalah memajukan fidyah untuk satu hari saja, tidak untuk dua hari atau lebih. Inilah pendapat madzhab Syafii. Imam Al-Khatib Asy-Syirbini mengatakan, “Tidak dibolehkan untuk wanita hamil dan menyusui memajukan fidyah dua hari atau lebih dari waktu berpuasa. Sebagaimana tidak boleh memajukan zakat untuk dua tahun. Namun, kalau memajukan fidyah untuk hari itu dibayar pada hari tersebut atau pada malamnya, seperti itu dibolehkan.” (Mughni Al-Muhtaj, 2:176)

f. Waktu akhir penunaian fidyah tidak dibatasi. Fidyah tidak mesti ditunaikan pada bulan Ramadhan, bisa pula ditunaikan bakda Ramadhan. Ayat yang menyariatkan fidyah (QS. Al-Baqarah: 184) tidaklah menetapkan waktu tertentu sebagai batasan. Fidyah ditunaikan sesuai kelapangan, walau ditunda beberapa tahun.

Penjelasan lengkap tentang fidyah ada di buku penulis: FIKIH BULAN SYAWAL, silakan pesan di Rumaysho Store.

 

9. Bagaimana cara qadha’ puasa bagi wanita?

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Beberapa catatan tentang qadha puasa

Pertama: Qadha’ Ramadhan sebaiknya dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala,

أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 61)

Kedua: Qadha’ puasa tidak boleh dibatalkan kecuali jika ada uzur yang dibolehkan sebagaimana halnya puasa Ramadhan.

Ketiga: Tidak wajib membayar qadha’ puasa secara berturut-turut, boleh saja secara terpisah. Karena dalam ayat diperintahkan dengan perintah umum,

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan.” (Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya, 4:241,243, dengan sanad yang sahih).

Keempat: Qadha’ puasa tetap wajib berniat di malam hari (sebelum Shubuh) sebagaimana kewajiban dalam puasa Ramadhan. Puasa wajib harus ada niat di malam hari sebelum Shubuh, berbeda dengan puasa sunnah yang boleh berniat di pagi hari.

Dari Hafshah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Abu Daud, no. 2454; Tirmidzi, no. 730; An-Nasai, no. 2333; dan Ibnu Majah no. 1700. Para ulama berselisih apakah hadits ini marfu’—sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—ataukah mauquf—hanya sampai pada sahabat–. Yang menyatakan hadits ini marfu’ adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, An-Nawawi. Sedangkan yang menyatakan hadits ini mauquf adalah Al-Imam Al-Bukhari dan itu yang lebih sahih. Lihat Al-Minhah Al-‘Allam fii Syarh Al-Bulugh Al-Maram, 5:18-20).

Adapun puasa sunnah (seperti puasa Syawal) boleh berniat dari pagi hari hingga waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ

Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim, no. 1154).

Imam Nawawi membawakan judul bab untuk hadits di atas “Bolehnya berniat di siang hari sebelum zawal untuk puasa sunnah. Boleh pula membatalkan puasa sunnah tanpa ada uzur. Namun, yang lebih baik adalah menyempurnakannya.”

Imam Nawawi juga berkata, “Menurut jumhur (mayoritas) ulama, puasa sunnah boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal.” (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 32-33).

Kelima: Ketika ada yang melakukan qadha’ puasa lalu berhubungan intim di siang harinya, maka tidak ada kewajiban kafarah, yang ada hanyalah qadha’ disertai dengan taubat. Kafarat berat (yaitu memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu berarti berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu berarti memberi makan pada 60 orang miskin, pen.) hanya berlaku untuk puasa Ramadhan saja.

Penjelasan lengkap tentang qadha’ puasa ada di buku penulis: FIKIH BULAN SYAWAL, silakan pesan di Rumaysho Store.

 

10. Bagaimana jika qadha’ puasa Ramadhan belum lunas sampai Ramadhan berikutnya?

  • Jika ia mengetahui bahwa diharamkan kalau mengakhirkan qadha’ puasa hingga Ramadhan berikut, lalu tidak tahu akan wajibnya fidyah, ia tidak dianggap mendapatkan uzur. Ia wajib menunaikan qadha’ dan fidyah sekaligus. Fidyah akan berlipat ganda sesuai hitungan tahun yang tertunda qadha’-nya.
  • Jika tidak mampu karena bersafar atau sakit terus menerus (uzur puasa terus menerus ada) hingga datang bulan Ramadhan berikutnya atau ia menunda puasa karena tidak tahu kalau mengakhirkan itu diharamkan, padahal ia sudah sering bergaul dengan ulama, kewajibannya adalah qadha’ saja.

Penjelasan ini diambil dari bahasan kitab Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja’ karya As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syathiri.

 

11. Bagaimana jika memiliki qadha’ puasa Ramadhan, tetapi lupa berapa jumlahnya?

 

 

12. Bagaimana konsekuensi hubungan intim di siang hari bulan Ramadhan?

Perhatikan dalil tentang hukuman bagi orang yang melakukan hubungan seks di siang hari bulan Ramadhan saat puasa disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini, ia menyatakan,

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ»

“Suatu hari kami pernah duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak.” Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak.” Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari, no. 1936 dan Muslim, no. 1111).

Menurut mayoritas ulama, jimak bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qadha’, ditambah dengan menunaikan kafarat. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jimak oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun, yang jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kafarat.

Hukuman bagi yang berhubungan intim di siang hari bulan Ramadhan:

a. Puasa batal

b. Qadha’ puasa

c. Berdosa

d. Bayar kafarat besar

e. Hukuman ta’zir (peringatan dari penguasa), jika ia belum bertaubat

f. Wajib imsak (menahan diri dari pembatal puasa) untuk siang hari yang tersisa

Kafarat besar yang mesti ditunaikan adalah:

a. Memerdekakan seorang budak mukmin.

b. Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.

c. Jika tidak mampu, memberi makan kepada enam puluh orang miskin, setiap orang miskin diberi satu mud (6 ons).

Jika orang yang melakukan jimak di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafarat di atas, kafarat tersebut tidaklah gugur, tetap tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7:224.

Catatan: Hubungan intim (jimak) walau tidak keluar mani tetaplah membatalkan puasa. (Fath Al-Mu’in, hlm. 296)

Penjelasan lengkap tentang jimak siang hari Ramadhan ada di buku penulis: PANDUAN RAMADHAN KONTEMPORER, silakan pesan di Rumaysho Store.

 

13. Siapakah yang membayar kafarat besar ketika hubungan intim siang hari Ramadhan, suami saja ataukah suami dan istri?

Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafarat, yang menanggung kafarat hanyalah suami.

Dalam Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris (1:390), Syaikh Sami bin Muhammad Baasyakil menyebutkan, “Adapun wanita yang disetubuhi siang hari Ramadhan, maka wanita ini tidak wajib menunaikan kafarat. Karena dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memerintahkan kepada suami untuk bayar kafarat, tidak pada istrinya walaupun mereka berdua berserikat dalam hubungan intim. Kalau memang istri harus ikut bayar kafarat besar, maka tentu akan dijelaskan dalam dalil, tidak ditunda penjelasan tersebut karena dibutuhkan. Karena kerugian harta terkait jimak itu seperti mahar, maka istri yang disetubuhi tidak terkena dalam hal ini.”

Alasan lainnya, Al-Qadhi Husain berkata, “Puasa wanita yang disetubuhi di siang hari Ramadhan itu telah batal sebelum jimak itu terjadi. Karena kemaluan pria yang masuk pada kemaluan wanita (disebut jauf, rongga) itu sudah membatalkan puasa sama seperti tongkat yang masuk dalam jauf (rongga). Jika sebagian penis pria (tanpa keseluruhan) sudah masuk dalam vagina perempuan, maka puasa si wanita sudah batal. Padahal yang disebut jimak adalah jika keseluruhan penis pria sudah masuk pada vagina perempuan (ibaratnya: timba sudah masuk dalam sumur). Seandainya, ada jari yang dimasukkan dalam vagina perempuan, puasanya batal. Namun, jika awalnya hubungan seks dilakukan secara paksa (mukrohah), kemudian setelah itu si wanita melakukannya secara sukarela atau awalnya wanita ini dalam keadaan lupa, lalu ia ingat di tengah-tengah hubungan intim, maka saat ini puasa si wanita batal karena hubungan intim.” (Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris, 1:391)

Penjelasan lengkap tentang jimak siang hari Ramadhan ada di buku penulis: PANDUAN RAMADHAN KONTEMPORER, silakan pesan di Rumaysho Store.

 

14. Bagaimana jika batal dulu dengan makan ataukah minum, lalu berhubungan intim dengan istri di siang hari Ramadhan?

Abu Syuja’ rahimahullah berkata,

وَمَنْ وَطِئَ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ عَامِدًا فِي الفَرْجِ فَعَلَيْهِ القَضَاءُ وَالكَفَّارَةُ وَهِيَ : عِتْقُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا لِكُلِّ مِسْكِيْنٍ مُدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan hubungan seks di siang hari Ramadhan secara sengaja di kemaluan, maka ia punya kewajiban menunaikan qadha’ dan kafarat. Bentuk kafaratnya adalah memerdekakan 1 orang budak beriman. Jika tidak didapati, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka memberi makan kepada 60 orang miskin yaitu setiap satu orang miskin mendapatkan 1 mud.”

Penulis kitab Fath Al-Qarib berkata, “Orang yang terkena hukuman di sini adalah mukalaf (baligh dan berakal) yang berniat berpuasa sejak malam hari. Ia terkena dosa karena melakukan hubungan seks di saat puasa.”

Muhammad Al-Hishni dalam Kifayah Al-Akhyar berkata, “Siapa yang merusak puasa Ramadhannya dengan jimak (hubungan seks), maka dicatat baginya dosa.”

Sedangkan bagi orang yang melakukan hubungan seks tersebut dalam keadaan lupa, puasanya tidaklah batal. Inilah pendapat yang dianut dalam madzhab Syafi’i.

Adapun orang yang melakukan hubungan intim tersebut di siang hari Ramadhan, maka ia punya kewajiban menunaikan kafarat. Berbeda halnya dengan seseorang yang makan dan minum di siang hari Ramadhan, tidak ada kafarat dalam hal itu.

Bagi orang yang ada keringanan tidak puasa, seperti seorang musafir, maka ia tidak mendapatkan dosa ketika ia niatkan untuk mengambil keringanan (rukhsah) dengan melakukan hubungan intim di siang hari. Demikian keterangan dalam Kifayah Al-Akhyar.

Penulis pernah menanyakan pada Syaikh Dr. Amin bin Utsman di Markaz Tarim Al-Fiqhy Hadromaut Yaman–semoga Allah menjaga beliau dan memudahkan urusan beliau–, “Assalamu’alaikum. Wahai Syaikhuna Al-Habib, ahsanallahu ilaikum. Apakah ada kafarat jimak bagi orang yang sengaja membatalkan puasa dengan minum terlebih dahulu di siang hari Ramadhan lalu setelah itu ia mendatangi istrinya untuk melakukan jimak (hubungan intim)?”

Jawab Syaikh Dr. Amin adalah sebagai berikut.

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

لا عليه كفارة لأنه وان وجب عليه الإمساك بعد أكله او شربه ليس لصحة صومه وإنما حرمة لنهار رمضان

فالنص قصر الكفارة على الفطر بالجماع

“Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh. Ia tidak terkena kafarat jimak. Walaupun imsak (menahan diri dari pembatal) itu wajib baginya setelah ia sengaja makan atau minum. Hal ini tidaklah menunjukkan puasanya sah, tetapi itulah larangan di siang hari Ramadhan. Adapun dalil menunjukkan bahwa kafarat jimak hanya berlaku karena hubungan intim di siang hari Ramadhan.” (Pesan WA pada 26-27 Februari 2024)

 

15. Bagaimana hukum mencium istri di siang hari bulan Ramadhan?

Dalil-dalil yang menunjukkan hukum mencium istri di siang hari Ramadhan adalah sebagai berikut.

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ .

وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ: – فِي رَمَضَانَ –

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium istrinya padahal beliau sedang puasa. Beliau mencumbu istrinya padahal sedang puasa. Akan tetapi beliau mampu menahan syahwatnya.Muttafaqun ‘alaih. Lafazhnya dari Muslim. Ditambahkan dalam riwayat lain, “Yaitu di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106)

Baca juga: Mencium Istri Saat Puasa bgai yang Mampu Menahan Syahwat (Hadits Bulughul Maram)

Dari ‘Umar Bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

هَشَشْتُ فَقَبَّلْت وَأَنَا صَائِمٌ ، فَقُلْت : يَا رَسُولَ اللَّهِ : صَنَعْت الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا ، قَبَّلْت وَأَنَا صَائِمٌ .فَقَالَ : أَرَأَيْت لَوْ تَمَضْمَضْت مِنْ إنَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ ؟ قُلْت : لَا بَأْسَ بِهِ ، قَالَ : فَمَهْ ؟

(Suatu saat) aku rindu dan kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?” Aku menjawab, “Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?” (HR. Abu Daud). Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan mencium dengan berkumur-kumur dari sisi sama-sama merupakan mukadimah syahwat. Berkumur-kumur tidak membatalkan puasa selama air tidak masuk. Jika masuk, maka batal.

Baca juga: Mencium Istri Hingga Keluar Mani

Rincian hukum terkait mubasyarah dengan istri

  • Dimakruhkan mencium istri saat puasa. Jika khawatir sampai keluar mani, dihukumi haram.
  • Mubasyarah atau mencumbu istri, bisa dengan perbuatan seperti mencium atau dengan melakukan mukadimah jimak/ hubungan intim. Jika mubasyarah dilakukan sampai keluar mani, puasa batal. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’, hlm. 172)
  • Jika mencumbu sampai keluar mani, maka membatalkan puasa jika bersentuhan langsung (mubasyarah). Jika tidak bersentuhan langsung karena adanya pembatas, maka tidaklah membatalkan puasa. (Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris, 1:391)
  • Jika memeluk istri atau menciumnya tanpa terjadi persentuhan badan secara langsung, di mana antara badan ada pembatas, lantas keluar mani, maka puasanya tidaklah batal karena tidak terjadi mubasyarah.

 

16. Apa hukum istri menolak ajakan suami berhubungan intim di siang hari Ramadhan? Apakah berdosa jika istri menolak?

Hubungan intim di siang hari Ramadhan adalah perbuatan dosa. Sehingga menaati suami dalam hal dosa tidaklah diperkenankan. Bahkan syariat Islam melarang menaati seseorang dalam rangka bermaksiat kepada Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari, no. 7257)

Baca juga: Menaati pada yang Makruf

Maka, sudah tepat jika istri menolak ajakan suami untuk berhubungan intim di siang hari bulan Ramadhan. Penolakan tersebut tidaklah dihukumi dosa.

 

17. Mimpi basah, memandang, berpikiran dan selain mubasyarah, keluar madzi apakah membatalkan puasa?

  • Mimpi basah, memandang, dan berpikiran hingga keluar mani tidaklah membatalkan puasa. (Fath Al-Mu’in, hlm. 297)
  • Jika menyentuh mahram atau menyentuh rambut istri, lantas keluar mani, maka tidaklah membatalkan puasa karena wudhu sendiri tidaklah batal karena perbuatan ini. (Fath Al-Mu’in, hlm. 297)
  • Madzi yang keluar tidaklah membatalkan puasa. Demikian pendapat dalam madzhab Syafii yang bertentangan dengan pendapat dari madzhab Malikiyyah. (Fath Al-Mu’in, hlm. 297)

 

18. Apa hukum suami melakukan onani dengan tangan istri, apakah puasanya batal?

Dalam Fath Al-Mu’in (hlm. 297), Imam Zainuddin Ahmad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Malibari berkata, “Istimna’ (mengeluarkan mani dengan onani) baik dengan tangannya sendiri atau dengan tangan pasangannya (istrinya) atau karena bersentuhan yang membatalkan wudhu di mana menyentuhnya tanpa ada penghalang lalu keluar mani, maka termasuk pembatal puasa.”

 

19. Apa hukum wanita mencicipi makanan di siang hari Ramadhan?

Dalam Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris (1:386), “Yang termasuk hal yang dimakruhkan saat puasa adalah dzauquth tho’aam (mencicipi atau merasakan makanan) karena dikhawatirkan bisa masuk ke jauf (rongga) dalam tubuh. Namun, sesuatu yang makruh dibolehkan ketika ada hajat (kebutuhan). Membantu mengunyah makanan seperti roti untuk anak kecil yang tidak bisa mencerna roti tersebut dengan baik atau untuk mentahnik (mengunyah agar lembut dan menaruh di langit-langit) dibolehkan hal yang makruh ini ketika butuh (ada hajat).”

Baca juga: Mencicipi Makanan Ketika Berpuasa

 

20. Manakah yang lebih afdal, wanita shalat tarawih di masjid ataukah di rumah?

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ

“Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad, 6: 297. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya)
Namun jika wanita ingin melaksanakan shalat berjama’ah di masjid selama memperhatikan aturan seperti menutup aurat dan tidak memakai harum-haruman, maka janganlah dilarang.

Istri dari Abu Humaid As-Sa’idi, yaitu Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya sangat ingin sekali shalat berjamaah bersamamu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab,

قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ مَعِى وَصَلاَتُكِ فِى بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى حُجْرَتِكِ وَصَلاَتُكِ فِى حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِى دَارِكِ وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى

“Aku telah mengetahui hal itu bahwa engkau sangat ingin shalat berjamaah bersamaku. Namun shalatmu di dalam kamar khusus untukmu (bait) lebih utama dari shalat di ruang tengah rumahmu (hujrah). Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama dari shalatmu di ruang terdepan rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama dari shalat di masjid kaummu. Shalat di masjid kaummu lebih utama dari shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi).” Ummu Humaid lantas meminta dibangunkan tempat shalat di pojok kamar khusus miliknya, beliau melakukan shalat di situ hingga berjumpa dengan Allah (meninggal dunia, pen.) (HR. Ahmad, 6: 371. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dari Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا

“Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.”(HR. Muslim, no. 442)

Baca juga: Shalat Wanita di Masjid ataukah di Rumah yang Lebih Afdal?

 

21. Apa hukum wanita ghibah (membicarakan jelek orang lain) di siang hari Ramadhan? Apakah puasanya batal?

Apa itu ghibah telah dibicarakan dalam hadits berikut ini.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim, no. 2589).

Ghibah kata Imam Nawawi adalah menyebutkan kejelekan orang lain di saat ia tidak ada saat pembicaraan. (Syarh Shahih Muslim, 16: 129).

Kata seorang ulama tafsir, Masruq, “Ghibah adalah jika engkau membicarakan sesuatu yang jelek pada seseorang. Itu disebut mengghibah atau menggunjingnya. Jika yang dibicarakan adalah sesuatu yang tidak benar ada padanya, maka itu berarti menfitnah (menuduh tanpa bukti).” Demikian pula dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 167).

Dosa ghibah sudah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

Dalam Kunuz Riyadhis Sholihin (18: 164) disebutkan, “Para ulama sepakat akan haramnya ghibah dan ghibah termasuk dosa besar.”

Imam Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak mengetahui siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.” (Fath Al-Qadir, 5:87)

Qatadah rahimahullah berkata, “Sebagaimana engkau tidak suka jika mendapati saudarimu dalam keadaan mayit penuh ulat. Engkau tidak suka untuk memakan bangkai semacam itu. Maka sudah sepantasnya engkau tidak mengghibahinya ketika ia masih dalam keadaan hidup.” (Lihat Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26:169).

Baca juga: 

 

Perlu dipahami pula bahwa maksiat yang dilakukan di bulan Ramadhan itu lebih besar dosanya dibanding bila dilakukan di luar bulan Ramadhan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).

Perlu diingat bahwa ghibah itu dihukumi dosa baik saat berpuasa di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Sehingga maksiat ghibah yang dilakukan tidak sampai membatalkan puasa karena tidak termasuk pembatal, tetapi masuk dalam pengurang kesempurnaan pahala puasa.

Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Baari (6:129) mengatakan mengenai hadits perkataan zuur (dusta) dan mengamalkannya, “Mayoritas ulama membawa makna larangan ini pada makna pengharaman, sedangkan batalnya hanya dikhususkan dengan makan, minum, dan jimak (berhubungan intim).”

Mulla ‘Ali Al-Qari rahimahullah dalam Mirqah Al-Mafaatih Syarh Misykah Al-Mashabih (6:308) berkata, “Orang yang berpuasa seperti ini sama keadaannya dengan orang yang haji yaitu pahala pokoknya (ashlu) tidak batal, tetapi kesempurnaan pahala yang tidak dia peroleh. Orang semacam ini akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang dia lakukan.”

Baca juga: Jangan Biarkan Puasa Sia-Sia

 

22. Apa hukum wanita berenang di siang hari Ramadhan?

Rincian hukum renang sebagai berikut:

  • Jika orang yang berenang punya sangkaan kuat bahwa air tidak akan sampai ke al-jauf (rongga) dari lubang mulut, hidung, atau telinga, maka tidaklah masalah berenang pada siang hari bulan Ramadhan karena tidak adanya larangan mengenai hal tersebut. Itulah yang dimaksud dengan fatwa makruhnya berenang saat berpuasa oleh ulama Syafiiyah karena khawatir masuknya air.
  • Namun, jika air masuk ke dalam jauf (rongga) karena cara yang salah ketika berenang, puasanya batal, ia harus menahan diri pada sisa hari, dan puasanya harus diqadha’ bakda Ramadhan.
  • Jika ada sangkaan kuat, air bisa masuk ke kerongkongan karena sebab berenang, maka jangan sampai ia membuat puasanya batal, karena jika melakukannya dan air masuk, puasanya batal, ia punya kewajiban qadha’ dan bertaubat.

(Diambil dari Fatwa Lajnah Al-Ifta: https://www.aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=2666#.Yh8Noy-l3f, diakses pada 2 Maret 2022, 13.30 WIB)

Ringkasnya, yang tidak bisa berenang, maka jangan coba-coba berenang saat puasa. 

 

23. Apakah wanita boleh melakukan iktikaf? Bagaimana caranya?

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّى الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ ، فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا ، فَضَرَبَتْ خِبَاءً ، فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – رَأَى الأَخْبِيَةَ فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « آلْبِرُّ تُرَوْنَ بِهِنَّ » . فَتَرَكَ الاِعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beriktikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Aku mendirikan tenda untuk beliau. Kemudian beliau melaksanakan shalat Shubuh dan memasuki tenda tersebut. Hafshah meminta izin pada ‘Aisyah untuk mendirikan tenda, ‘Aisyah pun mengizinkannya. Ketika Zainab binti Jahsy melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beriktikaf dalam tenda, ia meminta untuk didirikan tenda, lalu didirikanlah tenda yang lain. Ketika di Shubuh hari lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat banyak tenda, lantas beliau bertanya, “Apa ini?” Beliau lantas diberitahu dan beliau bersabda, “Apakah kebaikan yang kalian inginkan dari ini?” Beliau meninggalkan iktikaf pada bulan ini dan beliau mengganti dengan beriktikaf pada sepuluh hari dari bulan Syawal.” (HR. Bukhari, no. 2033).

Ada hadits yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam kitab beliau Bulughul Maram, yaitu hadits no. 699 tentang permasalahan iktikaf.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:- أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beriktikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beriktikaf setelah beliau wafat. (HR. Bukhari, no. 2026 dan Muslim, no. 1172)

Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Jika wanita ingin melaksanakan iktikaf di masjid, maka hendaklah menutupi diri (dari pandangan laki-laki). Disyaratkan bagi wanita untuk berdiam di masjid selama tempat tersebut tidaklah mengganggu (menyempitkan) orang-orang yang shalat.” (Fath Al-Bari, 4:277)

Baca juga: Apakah Wanita Boleh Iktikaf di Masjid?

Cara lakukan iktikaf adalah di masjid yang diadakan shalat berjamaah (lebih bagus lagi diadakan shalat Jumat) dan waktu minimalnya tidaklah dibatasi. Seandainya iktikaf dilakukan di malam hari dan siangnya beraktivitas lain, masih dibolehkan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

Sedang kamu beriktikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beriktikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” Lihat Al-Muhalla, 5: 180.

Al-Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan iktikaf pada iktikaf yang sunnah atau iktikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (Al-Inshaf, 6:17)

Baca juga: Iktikaf di Malam Hari, Siangnya Kerja

 

24. Apakah wanita boleh mengunjungi suami yang sedang beriktikaf di masjid?

Jawabannya boleh berdasarkan hadits berikut ini.

‘Ali bin Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma menceritakan bahwa Shafiyyah binti Huyay—istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—mengabarkan padanya,

أَنَّهَا جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – تَزُورُهُ فِى اعْتِكَافِهِ فِى الْمَسْجِدِ ، فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ، ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ ، فَقَامَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مَعَهَا يَقْلِبُهَا ، حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلاَنِ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ لَهُمَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِىَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَىٍّ » . فَقَالاَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ . وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الشَّيْطَانَ يَبْلُغُ مِنَ الإِنْسَانِ مَبْلَغَ الدَّمِ ، وَإِنِّى خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِى قُلُوبِكُمَا شَيْئًا ‘

“Shafiyyah pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengunjungi beliau dan saat itu beliau sedang iktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Shafiyyah berbincang-bincang dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa saat, kemudian ia berdiri dan hendak pulang. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan mengantarnya keluar. Ketika sampai pintu masjid, di pintu Ummu Salamah, ada dua orang Anshar lewat, maka keduanya mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan kepada keduanya, “Tak perlu kalian berdua tergesa-gesa, ini Shafiyyah binti Huyay.” Keduanya lantas mengucapkan, “Subhanallah, wahai Rasulullah.” Mereka terheran dengan apa yang jadi jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia seperti mengalirnya darah. Aku khawatir terdapat dalam diri kalian suuzhan (prasangka jelek).”  (HR. Bukhari, no. 2038 dan Muslim, no. 2175).

Baca juga: Amalan Iktikaf

 

25. Apakah boleh wanita beriktikaf tanpa izin suaminya?

Seharusnya wanita iktikaf dengan izin suami, bahkan bersama suami melakukan iktikaf sehingga aman baginya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al-Ahzab: 33).

Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)

Baca juga: Kewajiban Istri

 

26. Apa solusi wanita yang mendapati haidh agar bisa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan?

Yang jelas, wanita haidh dan nifas tidaklah boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an ketika ia haidh atau nifas. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini.

عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا فَكَانَ فِيهِ لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ

Dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya, “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an melainkan orang yang suci”. (HR. Daruquthni, no. 449. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’, no. 122).

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan,

ثُمَّ مَسُّ الْمُصْحَفِ يُشْتَرَطُ لَهُ الطَّهَارَةُ الْكُبْرَى وَالصُّغْرَى عِنْدَ جَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ وَكَمَا دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَهُوَ ثَابِتٌ عَنْ سَلْمَانَ وَسَعْدٍ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الصَّحَابَةِ

“Menyentuh mushaf Al-Qur’an dipersyaratkan suci dari hadats besar dan hadats kecil. Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama) sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Qur’an, hadits, dan pendapat ini diketahui dari para sahabat seperti Salman, Sa’ad, dan sahabat lainnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 26: 200)

Baca juga: Tidak Boleh Menyentuh Al-Qur’an Kecuali Orang yang Suci

Namun, wanita haidh dan nifas masih boleh membaca mushaf Al-Qur’an tanpa menyentuhnya.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan dalam Majmu’ Fatawanya, “Wanita haidh dan nifas untuk diperbolehkan membaca Al-Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil tegas yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh dan nifas tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al-Qur’an (karena ada larangan mengenai hal ini). Kalau memang mau menyentuh Al-Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya (misalnya: sarung tangan).”

Baca juga: Hukum Membaca Al-Qur’an bagi Wanita Haidh

Dua solusi bagi wanita haidh dan nifas yang ingin membaca Al-Qur’an adalah:

a- Membaca mushaf saat haidh namun tidak menyentuh secara langsung

b- Membaca Al-Qur’an terjemahan

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al-Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir, di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.”

Jika yang disentuh adalah Al-Qur’an terjemahan dalam bahasa non-Arab, tidak disebut mushaf yang disyaratkan dalam hadits mesti menyentuhnya dalam keadaan suci. Namun kitab atau buku seperti itu disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh karena itu, tidak mengapa menyentuh Al-Qur’an terjemahan seperti itu karena hukumnya sama dengan menyentuh kitab tafsir. Akan tetapi, jika isi Al-Qur’an (tulisan Arab dari Al-Qur’an) lebih banyak atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, sudah sepatutnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats.

Baca juga: Bagaimana Wanita Haidh Membaca Al-Qur’an?

 

27. Apa hukum wanita haidh membaca Al-Qur’an lewat handphone?

Syaikh Prof. Dr. Khalid Al Musyaiqih–semoga Allah senantiasa menjaga dan memberkahi umur beliau–menjelaskan, “Handphone yang memiliki aplikasi Al-Qur’an atau berupa softfile, tidak dihukumi seperti hukum mushaf Al-Qur’an (di mana harus dalam keadaan bersuci ketika ingin menyentuhnya). Handphone seperti ini boleh disentuh meskipun tidak dalam keadaan bersuci. Begitu pula handphone ini bisa dibawa masuk ke dalam kamar mandi karena aplikasi Al-Qur’an di dalamnya tidaklah seperti mushaf. Ia hanya berupa aplikasi yang ketika dibuka barulah tampak huruf-hurufnya, ditambah dengan suara jika di-play. Aplikasi Al-Qur’an tersebut akan tampak, tetapi jika beralih ke aplikasi lainnya, ia akan tertutup. Yang jelas aplikasi tersebut tidak terus ON (ada atau nyala). Bahkan dalam handphone tersebut bukan hanya ada aplikasi Al-Qur’an saja, ada aplikasi lainnya pula.

Ringkasnya, handphone tersebut dihukumi seperti mushaf ketika aplikasinya dibuka dan ayat-ayat Al-Qur’an terlihat. Namun lebih hati-hatinya, aplikasi Al-Qur’an dalam HP tersebut tidak disentuh dalam keadaan tidak suci, cukup menyentuh bagian pinggir handphone-nya saja. Wallahu a’lam.” (Fiqh An-Nawazil fi Al-‘Ibadah, Syaikh Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih, Penerbit Maktabah Ar Rusyd, Cetakan pertama, Tahun 1433 H, hlm. 76).

Baca juga: Menyentuh Handphone yang Terdapat Aplikasi Al-Qur’an Saat Tidak Suci

 

28. Apakah wanita haidh bisa mendapatkan lailatul qadar?

Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh-Dhahak, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir, dan orang yang tidur (tetapi hatinya tidak lalai dalam dzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh-Dhahak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, hal. 341)

Baca juga: Tanpa Melakukan Iktikaf Masih Bisa Mendapatkan Lailatul Qadar

 

29. Istri apakah harus membayar zakat fitrah sendiri ataukah dibayarkan suami?

 

30. Jika istri memiliki harta sendiri, apakah harus bayar zakat maal sendiri?

 

31. Apakah tas branded milik istri terkena kewajiban zakat?

 

32. Apakah dana haji yang telah disetorkan ke Kementrian Agama tetap dimasukkan dalam hitungan zakat?

 

33. Jika istri memiliki penghasilan, apakah membayar zakatnya setiap bulan sebagaimana zakat profesi ataukah cukup setiap tahun saat haul dari simpanan?

Baca juga: Kritikan pada Zakat Profesi

 

34. Apa hukum mudik wanita sendirian tanpa ditemani mahram?

 

35. Apa hukum menghadiri shalat Idulfitri bagi wanita haidh?

 

 

JIka ada pertanyaan lainnya yang belum tertulis di atas, silakan tuliskan dalam kolom komentar. Semoga bisa sampai 50+ masalah yang akan dijawab.

 

 

 

Mulai disusun dari Senin, 16 Syakban 1445 H, 26 Februari 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin

Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button