Teladan

Faedah Sirah Nabi: Perang Uhud dan Pelajaran di Dalamnya

Perang Uhud terjadi pada hari Sabtu, pada bulan Syawal, tahun ketiga Hijriyah. Latar belakang perang ini terjadi adalah keinginan kaum musyrikin untuk balas dendam atas terbunuhnya pasukan mereka pada perang Badar.

 

 

 

Awal Perang Uhud

Ketika Abu Sufyan kembali dengan membawa kafilah dagangnya, ia berkata di hadapan para pembesar Quraisy, “Wahai Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah mengalahkan kalian dan membunuh pemimpin-pemimpin terbaik kalian. Bantulah aku dengan harta ini untuk memeranginya!” Mereka pun menyambut ajakan tersebut sehingga terkumpul 1.000 ekor unta dan 50.000 dinar.

Mereka pun mulai menggalang pasukan untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta bantuan kepada kabilah-kabilah yang tersebar di sekitar Makkah. Mereka berangkat meninggalkan Makkah pada hari Kamis bulan Syawal dengan kekuatan 3.000 prajurit.

Al-Abbas bin ‘Abdul Muththalib telah menulis surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginformasikan apa yang tengah terjadi. Surat itu disampaikan oleh seorang kurir dari kabilah Bani Ghiffar. Kemudian surat itu dibacakan oleh Ubay bin Ka’ab di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun meminta merahasiakannya.

Baca juga: Kenapa Kita Harus Menjaga Rahasia?

Akhirnya, berita kedatangan tentara Quraisy pun tersebar di masyarakat dan membuat takut orang-orang Yahudi dan munafik. Apalagi ketika pasukan musyrikin sudah tiba mendekati Madinah membuat suku Aus dan Khazraj berjaga-jaga sambil membawa senjata di seputar Masjid Nabawi dekat dengan rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, khawatir akan adanya serangan mendadak.

Baca juga: Menawarkan Islam kepada Beberapa Tokoh dan Kabilah

Pada malam Jumat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi dan keesokan paginya, beliau ceritakan di hadapan para sahabatnya seraya berkata, “Demi Allah! Sungguh semalam aku bermimpi baik. Aku bermimpi ada beberapa ekor sapi yang disembelih, pedangku sumbing dan aku memasukkan tanganku ke dalam baju perangku. Adapun sapi yang disembelih adalah terbunuhnya beberapa orang dari sahabatku. Selain itu, sumbingnya pedangku adalah tanda terbunuhnya seorang dari anggota keluargaku.”

Baca juga: Mimpi Baik dan Mimpi Buruk

Dari Abu Musa Al-Asy’ary, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Aku bermimpi mengayunkan pedang lalu patah, ternyata itu adalah isyarat kekalahan yang menimpa kaum mukminin dalam perang Uhud. Kemudian akun ayunkan kembali, maka pedang itu pun menjadi tampak lebih bagus dari sebelumnya, ternyata itu adalah pertolongan Allah dan bersatunya kaum mukminin. Aku juga bermimpi melihat beberapa ekor sapi, demi Allah sangat baik dan ternyata mereka adalah kaum mukminin yang terbunuh dalam perang Uhud.” (HR. Bukhari, no. 4081)

Kemudian beliau pun bermusyawarah dengan para sahabatnya dan berkata, “Bagaimana menurut kalian apakah lebih baik menetap di Madinah dan kita tempatkan kaum wanita dan anak-anak di Al-Athom. Apabila mereka (musuh) tetap bertahan, maka bertahan dalam suasana buruk. Jika mereka masuk Madinah menyerang, kita perangi mereka melalui lorong-lorong jalan yang kita kuasai dan kita serang dengan panah dari atap-atap rumah.”

Pendapat ini didukung oleh para tokoh Muhajirin dan Anshar serta pendapat dari ‘Abdullah bin Ubay.

Sedangkan sebagian besar anak-anak muda yang tidak ikut dalam perang Badar dan pemuda yang mencari syahid menginginkan untuk berhadapan dengan musuh. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, marilah kita hadapi musuh kita agar mereka tidak menganggap kita pengecut.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai sikap mereka yang meminta terus menerus. Ketika mereka bersikeras dengan keinginannya itu, beliau pun mengimami mereka dalam shalat Jumat, menasihati, dan memerintahkan mereka untuk serius dan bersungguh-sungguh. Mereka pun senang untuk menghadapi musuh, sementara yang lainnya tidak menyukainya.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami mereka untuk shalat Ashar, sementara mereka telah bersiap siaga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumahnya. Pada saat itu datanglah dua sahabat yang bernama Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair seraya berkata, “Kalian telah memaksa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kembalikanlah keputusannya kepada beliau!” Tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul dengan pakaian perangnya dan sebilah pedang yang terhunus dan tutup kepala baja. Mereka pun menyesal atas sikap mereka selama ini seraya berkata, “Kami tidak ingin menentangmu, ambillah keputusan sesuai kehendakmu, wahai Rasulullah.” Kemudian beliau menjawab, “Tidak pantas bagi seorang Nabi yang telah mengenakan topi bajanya untuk melepas kembali sampai Allah memutuskan antara dirinya dengan musuhnya.”

Kemudian berangkatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kekuatan kurang lebih 1.000 pasukan. Ketika mereka sampai di wilayah Syauth (tempat antara Madinah dan Uhud), ‘Abdullah bin Ubay beserta 300 pengikutnya menarik diri sambil berkata, “Dia (Muhammad) telah mengikuti kemauan mereka (sahabat) dan mengabaikan aku. Untuk apa kita membunuh diri kita sendiri wahai teman-teman?” Maka ia pun kembali bersama pengikutnya dari kalangan munafik dan orang-orang yang ragu.

Di tengah perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan inspeksi pasukan, ternyata terdapat beberapa anak kecil yang belum memiliki kemampuan untuk berperang, hanya semangat saja dan keinginan untuk menjadi syuhada. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak keikutsertaan mereka karena masih kecil. Di antara mereka yang ditolak adalah Samurah bin Jundab dan Rafi’ bin Khudaij. Usia mereka kala itu baru 15 tahun. Kemudian dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, Rafi’ itu memiliki keahlian memanah.” Kemudian beliau pun mengizinkannya. Selain itu, dikatakan kepada beliau, “Samurah dapat mengalahkan Rafi’.” Maka beliau pun mengizinkan Samurah untuk ikut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melanjutkan perjalanannya, seraya berkata, “Siapakah orang yang dapat mengantarkan kami ke pihak musuh lebih dekat lagi?” Abu Khaitsamah berkata, “Saya wahai Rasulullah.” Kemudian ia pun mengajak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melintasi bukit Bani Haritsah dan perkebunan mereka. Ketika melintasi kebun milik Murabba’ bin Qaizhi seorang munafik yang buta matanya (dharirul bashor), ketika ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya akan melintasi kebunnya ia pun melemparkan segenggam tanah ke arah para sahabat sambil berkata, “Jika kamu adalah Rasulullah, akut tidak menghalalkan masuk ke kebunku.” Sahabat pun mengepung untuk membunuhnya, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah mereka dan bersabda, “Janganlah kalian membunuhnya, sesungguhnya orang ini buta hatinya, juga buta penglihatannya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah lembah di Uhud dengan posisi membelakangi gunung Uhud dan melarang sahabat untuk berperang hingga ada intruksi.

 

Mulailah Perang Uhud

Sabtu pagi, beliau telah siap untuk berperang bersama 700 sahabat. Beliau menugaskan para pemanah yang berjumlah 50 orang di bawah komando ‘Abdullah bin Jubair untuk tetap dalam posisinya, tidak meninggalkan posnya sekalipun ia melihat pasukannya disambar burung. Posisi pemanah ini berada di belakang pasukan utama dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka mengusir kaum musyrikin dengan hujan panah agar tidak menyerang kaum muslimin dari arah belakang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tampil dengan dua baju perangnya, sementara kaum musyrikin tengah menyiapkan pasukannya. Mereka memiliki pasukan kavaleri (pasukan berkuda) dengan 200 ekor kuda. Sayap kanannya dipimpin oleh Khalid bin Walid dan sayap kirinya dipimpin oleh ‘Ikrimah bin Abu Jahal.

Perang diawali dengan pertarungan satu lawan satu. Thalhah bin Abi Thalhah salah satu pemegang panji orang kafir menantang untuk bertanding. Ajakan ini pun disambut oleh Zubair dengan langsung menerjangnya saat musuh berada di atas untanya hingga jatuh tersungkur lalu ditebaslah batang lehernya dengan pedangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkomentar,

إِنَّ لِكُلِّ نَبِىٍّ حَوَارِيًّا ، وَحَوَارِىَّ الزُّبَيْرُ

Setiap Nabi itu punya seorang Hawariyyun (pengikut setia). Pengikut setiaku adalah Az-Zubair.” (HR. Bukhari, no. 2846, hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)

Baca juga: Zubair bin Awwam itu Hawariyyun

Setelah itu perang massal pun berkecamuk, pedang saling berdentingan. Kaum musyrikin sempat berusaha sebanyak tiga kali untuk menembus pertahanan kaum muslimin, tetapi dapat digagalkan oleh pasukan pemanah sehingga mereka pun mundur. Umat Islam saat itu tengah diuji dengan kebaikan dan mereka mampu memperlihatkan kepahlawanannya sehingga membuat kaum musyrikin lemah tak berdaya.

 

Terbunuhnya Hamzah bin ‘Abdul Muththalib

Ali, Zubair, Thalhah, Abu Thalhah, Sa’ad bin Abi Waqqashmereka berperang dengan gagah berani. Begitu pula singa Allah dan Rasul-Nya, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib. Bahkan beliau sempat membunuh beberapa pembawa panji-panji kemusyrikan dari Bani ‘Abdid Dar. Namun, tiba-tiba Wahsyi yang sejak tadi mencari kesempatan untuk membunuh Hamzah melemparkan tombaknya hingga membunuhnya.

Wahsyi menceritakan peristiwa tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari, “Sesungguhnya Hamzah telah membunuh Thu’aimah bin ‘Adi pada perang Badar. Tuanku, Jubair bin Muth’im berkata kepadaku, ‘Jika kamu berhasil membunuh Hamzah yang telah membunuh pamanku, maka kamu akan merdeka (tidak menjadi budak lagi).’ Ketika orang-orang keluar menuju Uhud untuk berperang, aku pun ikut bersama mereka. Tatkala pasukan sudah saling berhadapan, tampillah Siba’ seraya berkata, ‘Adakah di antara kalian yang berani melakukan perang tanding?’ Maka tampillah Hamzah menghadapinya seraya berkata, ‘Hai Siba’ anak induk singa yang putus ekornya! Apakah kamu menentang Allah dan Rasul-Nya?’ Maka Hamzah pun mampu membunuhnya. Aku pun menyelinap di balik batu untuk mendekati Hamzah dan kemudian aku pun melemparkan tombakku ke arahnya.”

Setelah peristiwa tersebut, Wahsyi masuk Islam dan ikut dalam perang Yamamah dan berhasil membunuh Musailamah Al-Kadzdzab dengan tombak yang sama.

 

Awalnya, Kaum Muslimin Meraih Kemenangan

Malaikat juga ikut dalam perang Uhud ini. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Uhud dikawal oleh dua orang berpakaian putih berperang dengan gagah berani yang belum pernah aku melihat sebelumnya maupun sesudahnya.” (Fath Al-Baari, 7:358, hadits no. 4054). Ibnu Hajar mengomentari hadits ini dengan menyatakan bahwa kedua orang yang mengawal beliau adalah Jibril dan Mikail (Fath Al-Baari, 7:358)

Kemudian Allah pun memberikan kemenangan kepada kaum muslimin. Mereka menghalau kaum musyrikin dengan pedang sehingga mengakibatkan kekalahan fatal bagi kaum musyrikin. Mereka lari tunggang-langgang, sementara kaum perempuannya meneriakkan doa kesialan dan sumpah serapah. Kaum muslimin terus mendesak mereka dan berhasil mengumpulkan ghanimah (rampasan perang) yang sangat banyak.

 

Kaum Muslimin Kemudian Kalah Karena Tak Manut Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Sementara itu, pasukan pemanah melupakan pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak meninggalkan posisinya. Mereka berkata, “Ayo kita kumpulkan ghanimah! Teman-teman kita telah menang. Apa yang kalian tunggu lagi?” Abdullah bin Jubair berkata, “Apakah kalian lupa apa yang dipesankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalian?” Mereka pun berkata, “Demi Allah, orang-orang pada datang untuk mengambil ghanimah.” Khalid bin Walid yang melihat pos pemanah telah ditinggalkan, maka ia pun membawa pasukan berkudanya yang diikuti oleh Ikrimah dan berhasil menempati pos tersebut setelah membunuh ‘Abdullah bin Jubair dan beberapa temannya.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Dalam perang Uhud, kaum musyrikin dapat dikalahkan. Tiba-tiba Iblis la’natullah ‘alaih berteriak, ‘Hai hamba-hamba Allah kalian telah menang!’ Kemudian kaum musyrikin yang sebagian sudah lari meninggalkan medan perang balik kembali dan bergabung.”

Dari Al-Barra’ berkata, “Hari itu kami menghadapi kaum musyrikin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah mengatur pasukan memanah dan menunjuk ‘Abdullah bin Jubair sebagai komandannya. Beliau berpesan, ‘Kalian jangan tinggalkan pos kalian sekalipun kami menang atau kalian melihat kami kalah tidak perlu kalian turun membantu kami.'”

Ketika perang berkecamuk, mereka (kaum musyrikin) lari tunggang-langgang. Aku melihat kaum perempuannya mengangkat gaunnya sehingga terlihat perhiasan yang ada pada betisnya. Kemudian pasukan pemanah berteriak ‘ghanimah!’. ‘Abdullah bin Jubair berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan kepada kita untuk tidak meninggalkan pos.” Namun, mereka tidak mempedulikannya sehingga terbunuhlah 70 sahabat saat perang Uhud.

Abu Sufyan sangat senang sekali seraya berkata, “Masih hidupkah Muhammad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jangan kalian jawab.” Abu Sufyan melanjutkan, “Masih hidupkah Ibnu Quhafah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jangan kalian jawab.” Abu Sufyan melanjutkan, “Adakah di tengah kaum Umar bin Al-Khaththab?” Ia melanjutkan, “Kalau begitu mereka telah terbunuh. Seandainya mereka masih hidup, pasti mereka akan menjawabnya.”

Umar yang tidak mampu mengendalikan emosinya berkata, “Perkiraan kamu tidak benar, wahai musuh Allah! Semoga Allah akan selalu menghinakanmu!”

Abu Sufyan berkata, “Hidup Hubal!”

“Jawablah!” kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sahabat berkata, “Dengan apa kami harus menjawabnya?”

Beliau berkata, “Katakan Allah lebih tinggi dan mulia.”

Abu Sufyan berkata lagi, “Kami memiliki Tuhan ‘Uzza yang mulia, sementara kalian tidak memiliki kemuliaan.”

“Jawablah!” sergah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sahabat bertanya, “Dengan apa kami menjawabnya?” Katakan, “Allah itu penolong kami, sementara kalian tidak memiliki penolong.”

Abu Sufyan berkata, “Hari ini kami telah menebus kekalahan kami pada perang Badar dan perang akan terus berlanjut. Kalian telah mendapatkan perlawanan yang seimbang, aku tidak memerintahkannya dan kamu pun tidak mampu mencederaiku.”

Bencana telah menimpa umat Islam, barisan mereka pun sempat kacau balau, sehingga kaum musyrikin berupaya untuk membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti yang dilakukan oleh Ibnu Qum’ah, tetapi dapat dihadang oleh Mush’ab dan kemudian ia pun membunuhnya karena menduga Mush’ab adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dikira sudah mati

Tersebarlah berita kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menimbulkan kekacauan dan kelemahan barisan kaum muslimin. Ada di antara mereka yang lari meninggalkan kancah peperangan menuju Madinah untuk mengurus kembali rumah dan kebunnya. Ada juga yang naik ke gunung lalu membuang senjatanya. Ada juga yang tetap berjuang membela agamanya. Anas bin Nazhar tampil di hadapan orang-orang seraya berkata, “Apa yang membuat kalian duduk-duduk saja?”

Mereka berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terbunuh.”

Anas berkata, “Wahai kalian semua, kalaupun Muhammad telah terbunuh, maka sesungguhnya Rabb Muhammad tidaklah terbunuh. Lalu apa yang akan kalian lakukan dalam kehidupan ini sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berperanglah sebagaimana beliau berperang dan matilah sebagaimana beliau mati.”

Lalu Anas berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, dari apa yang mereka kaum muslimin katakan dan aku melepas dari apa yang dibawa oleh mereka (kaum musyrikin).” Kemudian Anas bertemu dengan Sa’ad bin Mu’adz, seraya berkata, “Ya, Sa’ad aku mencium aroma dari belakang Uhud.” Kemudian ia pun memasuki kancah perang yang tengah berkecamuk dan terus beperang hingga syahid.

Sedikitnya terdapat 80 lebih luka pada tubuhnya yang disebabkan sabetan pedang, tikaman tombak, dan anak panah.

Di sekitar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat beberapa sahabat Muhajirin dan Anshar yang menjadikan dirinya sebagai tameng untuk melindunginya. Mereka benar-benar gigih dalam berjuang. Hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atas batu yang berada di atas gunung Uhud. Beliau mengalami luka yang cukup serius. Gigi beliau patah, bibir bawahnya dan keningnya robek, dua mata besi masuk melukai pipi beliau yang kemudian dicabut oleh Abu Ubaidah bin Jarrah dengan giginya hingga copot karena sangat dalamnya besi tersebut menancap pada wajah beliau.

Ketika kekalahan melanda disebabkan sikap membangkangnya para pemanah terhadap perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, banyak sahabat yang terbunuh yang kemudian dimutilasi oleh kaum musyrikin dengan cara memotong hidung dan telinga para syuhada serta membelah perut mereka dengan penuh kedengkian dan dendam kesumat.

Sedikitnya ada 70 sahabat yang menjadi syuhada dan kebanyakan mereka adalah dari kalangan Anshar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur mereka pada lokasi mereka terbunuh. Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghimpun dua orang syuhada dalam satu baju (kafan) kemudian beliau berkata, “Siapa yang paling banyak hafal Al-Qur’an?” Apabila sahabat menunjuk salah satunya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkannya lebih dahulu ke liang lahad seraya berkata, “Aku menjadi saksi mereka kelak pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, Fath Al-Baari, 7:374, no. 4079)

Pada perang tersebut, banyak kaum muslimin yang mengalami luka. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah setelah mengubur para syuhada dan mengusir kaum musyrikin hingga Hamra Asad (gunung merah di selatan Madinah) untuk menunjukkan kekuatan umat Islam dan bahwa mereka tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi.

Peristiwa yang dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dijadikan alasan untuk memaki dan mencela Abdullah bin Ubay bin Salul, kaum munafikin, dan orang-orang Yahudi. Mereka berkata, “Muhammad hanya mencari kekuasaan!” Mereka pun mengolok-olok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Seandainya yang terbunuh bersama kami, niscaya mereka tidak akan terbunuh.”

Tentang peristiwa Uhud ini, Allah menurunkan 60 ayat dalam surah Ali Imran, diawali dengan firman-Nya,

وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ ٱلْمُؤْمِنِينَ مَقَٰعِدَ لِلْقِتَالِ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran: 121), hingga 60 ayat berikutnya. Lihat Tafsir Ibnu Katsir.

 

Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Perang Uhud

Pertama: Ketika surat Al-‘Abbas sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rencana orang Quraisy, Rasulullah memerintahkan Ubay bin Ka’ab untuk merahasiakannya. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya menyembunyikan sesuatu yang apabila disebarkan beritanya akan berdampak negatif sehingga diketahui oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Dalam hadits dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِسْتَعِيْنُوا عَلَى إِنْجَاحِ الحَوَائِجِ بِالكِتْمَانِ، فَإِنَّ كُلَّ ذِي نِعْمَةٍ مَحْسُوْدٌ.

“Sukseskanlah penyelesaian hajat kalian dengan menyembunyikan (hajat tersebut), karena setiap orang yang memiliki nikmat pasti akan mendapatkan sikap hasad (dari orang lain)”. (HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5:215, 6:96. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini sahih sebagaimana dalam Shahih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir dan tambahannya, 1:320, hadits no. 956)

Baca juga: Kenapa Harus Menjaga Rahasia?

Apabila seseorang memiliki agenda atau informasi yang apabila diketahui oleh orang lain akan menimbulkan mudarat, maka sebaiknya ia merahasiakannya serta tidak menceritakannya kepada siapa pun. Karena menceritakan kepada orang lain seperti misalnya kasus surat Al-‘Abbas kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rencana Quraisy, maka akan dapat membuat orang Yahudi dan munafik senang dan membuat kaum muslimin menjadi sedih dan takut, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan persiapan yang matang untuk menghadapinya tanpa diketahui oleh pihak musuh bahwa beliau sudah mengetahui rencana mereka.

Kedua: Musyawarahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan para sahabat, apakah keluar Madinah untuk menyongsong musuh ataukah tetap di Madinah dan keinginan sebagian besar sahabat untuk keluar menyongsongnya dan kemudian beliau mengambil pendapat ini menunjukkan bahwa suara mayoritas dapat dipertimbangkan, tetapi tidak mutlak.

Baca juga: Jangan Golput (Buku Gratis)

Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak pantas bagi seorang Nabi yang telah mengenakan baju perangnya untuk menanggalkannya kembali sehingga Allah memutuskan antara dia dengan musuhnya.” (HR. Bukhari secara mu’allaq)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jihad harus dilakukan apabila telah direncanakan. Terutama apabila pakaian perang sudah dikenakan dan siap untuk berangkat. Tidak boleh pulang atau kembali sampai ia bertemu musuh dan memeranginya.” (Zaad Al-Ma’ad, 3:211)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Berdasarkan hal ini, maka berlakulah suatu tradisi bahwa apabila sudah berencana untuk belajar dan berjihad, maka harus dilaksanakan sebagaimana berencana untuk berhaji.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28: 186-187)

Keempat: Persiapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berperang yang mengenakan dua baju perang secara berlapis menunjukkan disyariatkannya bertawakal dan berupaya maksimal. Tawakal itu tidak cukup hanya dengan pasrah tanpa melakukan usaha.

Baca juga: Sudah Tahu Tawakal Sebenarnya?

Kelima: Desersi (pergi dari perang tanpa permisi) yang dilakukan oleh ‘Abdullah bin Ubay dan para sahabatnya serta sikap senang mereka terhadap apa yang menimpa umat Islam bahwa mukmin sejati berbeda dengan munafik pendusta. Ketika Allah memberi kemenangan kaum muslimin dalam perang Badar dan kaum muslimin menjadi terkenal, banyak orang yang masuk Islam secara lahiriyah saja. Sementara batinnya tidak.

Sudah menjadi hikmah Allah bahwa dengan adanya ujian, maka akan terlihat siapa yang benar-benar mukmin dan munafik. Tokoh-tokoh munafik memantau perang ini dan mereka berbicara dan menampakkan apa yang selama ini mereka sembunyikan, sehingga manusia pun terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kafir, mukmin, dan munafik. Kaum mukmin menjadi tahu bahwa di dalam negeri mereka sendiri terdapat musuh yang selalu bersamanya sehingga mereka semakin hati-hati dan waspada. Allah berfirman,

مَّا كَانَ ٱللَّهُ لِيَذَرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ مَآ أَنتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ ٱلْخَبِيثَ مِنَ ٱلطَّيِّبِ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى ٱلْغَيْبِ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَجْتَبِى مِن رُّسُلِهِۦ مَن يَشَآءُ ۖ

Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.” (QS. Ali Imran: 179)

Dalam kesusahan akan terlihatlah dengan jelas antara kawan dan lawan. Di antara nikmat yang besar adalah mengenal dan mengetahui lawan sehingga bisa berhati-hati dan waspada dari kejahatan dan tipu dayanya.

Keenam: Dalam perjalanan ke Uhud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan inspeksi pasukan, ternyata terdapat beberapa anak muda yang masih dianggap terlalu kecil oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun menolaknya. Mereka sedih dengan penolakan tersebut, tetapi mereka tetap berlomba-lomba agar diizinkan dan diberi kesempatan untuk bergabung dalam jihad.

Hal ini merupakan pengaruh dari didikan (tarbiyah) islamiyah pada diri mereka ketika itu. Mendidik mereka dengan baik merupakan pekerjaan yang mulia, mengingat para pemuda adalah tiang umat dan kemajuan Islam ada pada mereka. Para pemuda harus mendapatkan didikan dan arahan yang baik dan benar.

Ketujuh: Sabda Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa di antara kalian yang dapat menunjukkan jalan terdekat” dan perjalanan mereka yang melintasi kebun seorang munafik yang bernama Murabba’ bin Qaizhi, menunjukkan kemaslahatan umum harus didahulukan atas kemaslahatan pribadi. Kemaslahatan tentara muslimin dalam memotong jalan didahulukan atas kemaslahatan kebun orang tersebut. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang hal ini bahwa dibolehkan menggunakan jalan milik orang lain bagi pemimpin dan pasukannya sekalipun pemimpinnya tidak rela selama hal tersebut diperlukan.

Kedelapan: Pembangkangan mayoritas pasukan pemanah terhadap pemimpin mereka ‘Abdullah bin Jubair dengan meninggalkan posnya sehingga menimbulkan dampak negatif yang serius dapat kita jadikan pelajaran, bahwa pentingnya taat kepada pemimpin. Karena taat kepada pemimpin memiliki nilai dan kedudukan yang sangat penting yang akan berdampak sangat besar. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59)

Apa yang dimaksud ulil amri dalam ayat di atas?

Ulil amri dalam ayat di atas ada empat tafsiran dari para ulama, yaitu ada ulama yang berpendapat bahwa mereka adalah penguasa. Ada juga pendapat lainnya yang menyatakan bahwa ulil amri adalah para ulama. Dua pendapat lainnya menyatakan bahwa ulil amri adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga ada yang menyebut secara spesifik bahwa ulil amri adalah Abu Bakr dan Umar sebagaimana pendapat dari ‘Ikrimah.

Kalau yang dimaksudkan ulil amri adalah penguasa, maka perintah mereka memang wajib ditaati selama bukan dalam perkara maksiat. Dalam hadits disebutkan,

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Patuh dan taat pada pemimpin tetap ada selama bukan dalam maksiat. Jika diperintah dalam maksiat, maka tidak ada kepatuhan dan ketaatan.” (HR. Bukhari, no. 2955)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menyebutkan bahwa Allah memerintahkan untuk taat kepada-Nya dan taat kepada Rasul dengan menjalankan perintah keduanya baik yang wajib maupun sunnah serta menjauhi setiap larangannya. Juga dalam ayat disebutkan perintah untuk taat pada ulil amri. Yang dimaksud ulil amri di sini adalah yang mengatur urusan umat. Ulil amri di sini adalah penguasa, penegak hukum dan pemberi fatwa (para ulama). Urusan agama dan urusan dunia dari setiap orang bisa berjalan lancar dengan menaati mereka-mereka tadi. Ketaatan pada mereka adalah sebagai bentuk ketaatan pada Allah dan bentuk mengharap pahala di sisi-Nya. Namun dengan catatan ketaatan tersebut bukanlah dalam perkara maksiat pada Allah. Kalau mereka memerintah pada maksiat, maka tidaklah ada ketaatan pada makhluk dalam bermaksiat pada Allah.

Diutarakan pula oleh Syaikh As-Sa’di bahwa ketaatan pada Allah diikutkan dengan ketaatan pada Rasul dengan mengulang bentuk fi’il (kata kerja) athi’u (taatlah). Rahasianya adalah bahwa ketaatan pada Rasul sama dengan bentuk ketaatan pada Allah. Maksudnya, kalau kita mengikuti dan taat pada Rasul berarti kita telah taat pada Allah. Sedangkan ketaatan pada ulil amri disyaratkan selama bukan dalam maksiat. Itulah rahasianya. (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 183-184)

Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati menjadi bergetar dan mata menangis, maka kami berkata, ‘Wahai Rasulullah! Sepertinya ini adalah wasiat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah wasiat kepada kami.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ

Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun kalian dipimpin seorang budak.” (HR. Abu Daud, no. 4607 dan Tirmidzi, no. 2676. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ أَطَاعَنِى فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِى فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِى وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِى

Barangsiapa menaatiku, maka ia berarti menaati Allah. Barangsiapa yang  tidak mentaatiku berarti ia tidak menaati Allah. Barangsiapa yang taat pada pemimpin berarti ia menaatiku. Barangsiapa yang tidak menaati pemimpin berarti ia tidak menaatiku.” (HR. Bukhari, no. 7137 dan Muslim, no. 1835).

Baca Juga: Tidak Taat Pemimpin, Akibatnya Mati Jahiliyah

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».

Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”

Beliau bersabda, “Dengarlah dan taat kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat kepada mereka.” (HR. Muslim, no. 1847)

Dari Abu Umamah Shuday bin ‘Ajlan Al Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah saat haji wada’ dan mengucapkan,

اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ

Bertakwalah pada Allah Rabb kalian, laksanakanlah shalat limat waktu, berpuasalah di bulan Ramadhan, tunaikanlah zakat dari harta kalian, taatilah penguasa yang mengatur urusan kalian, maka kalian akan memasuki surga Rabb kalian.” (HR. Tirmidzi no. 616 dan Ahmad 5: 262. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, Syaikh  Al Albani menshahihkan hadits ini).

Baca juga: Menaati Pemimpin dalam Hal yang Makruf

Semua harus memahami benar pentingnya taat kepada pemimpin selama ia tidak mengajak atau menyuruh pada kemaksiatan. Sesungguhnya kemaslahatan masyarakat terdapat pada ketaatan. Betapa banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh sikap membangkang pada pemanah terhadap perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ‘Abdullah bin Jubair, pemimpin mereka, ketika memerintahkan mereka untuk tetap pada posisinya serta tidak meninggalkan bukit. Bahkan beliau mengingatkan akan pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini.

Kesembilan: Teriakan pemanah “Hai kaum, lihat ghanimah (harta rampasan perang)!” dan segala risiko yang terlihat, maka hal ini memberi pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dari sikap ambisi terhadap dunia. Allah Ta’ala berfirman,

مِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلْءَاخِرَةَ

Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” (QS. Ali Imran: 152)

Dalam hadits dari ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَوَاللَّهِ ما الفَقْرَ أخْشَى علَيْكُم، ولَكِنِّي أخْشَى أنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كما بُسِطَتْ علَى مَن كانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كما تَنَافَسُوهَا، وتُهْلِكَكُمْ كما أهْلَكَتْهُمْ.

Demi Allah, kefakiran bukanlah yang kukhawatirkan menimpa kalian. Namun, yang kukhawatirkan adalah dunia dibuka untuk kalian sebagaimana telah dibuka seluas-luasnya untuk orang sebelum kalian. Maka berlomba-lombalah raih dunia sebagaimana orang sebelum kalian melakukannya. Lihatlah, dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana mereka sebelumnya telah hancur karena dunia.” (HR. Bukhari, no. 4015 dan Muslim, no. 2296)

Padahal apa yang dilakukan oleh sahabat dalam ambisi dunia hanya sedikit dan sesaat. Lantas bagaimana dengan orang yang sepanjang waktunya dan seluruh ambisinya hanya untuk dunia.

Kesepuluh: Pembicaraan tentang dunia, ambisi dan dampaknya, seyogyanya kita mengingat firman Allah tentang Yahudi,

وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ ٱلنَّاسِ عَلَىٰ حَيَوٰةٍ وَمِنَ ٱلَّذِينَ أَشْرَكُوا۟ ۚ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِۦ مِنَ ٱلْعَذَابِ أَن يُعَمَّرَ ۗ وَٱللَّهُ بَصِيرٌۢ بِمَا يَعْمَلُونَ

Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 96)

Ambisius (hirsh syadid) adalah alasan yang membedakan Yahudi begitu tamak pada dunia. Orang Yahudi disejajarkan dengan sifat orang musyrik yang begitu rakus pula pada dunia. Orang yang punya ambisi kuat pada dunia pasti akan mencampakkan agamanya demi memperoleh dunia, lalu berani melakukan dosa dan kemungkaran demi dunia.

Baca juga:

Kesebelas: Ucapan sebagian pasukan pemanah, “Apa yang kalian tunggu? Teman-teman kalian telah menang!” Padahal, sebelumnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan untuk tidak meninggalkan posnya, baik di kala menang maupun kalah. Kita dapat mengambil pelajaran, betapa pentingnya berpegang teguh dengan syariat dan bahayanya ijtihad pribadi apabila bertentangan dengan dalil-dalil syariat. Selama masih ada perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka harus berpegang teguh dengannya dan jangan menukar dengan pendapat dan ijtihad pribadi.

Kedua belas: Dari Abu Uqbah, ia adalah mantan budak keturunan Persia, berkata, “Aku itu perang Uhud bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku pun sempat membunuh seorang musyrik sambil berkata, “Rasakan ini dariku budak Persia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling kepadaku seraya berkata, “Coba yang kamu katakan rasakan ini dariku Budak Anshar.”

Dari sini, kita bisa mengambil pelajaran tentang membetulkan ungkapan yang salah sekalipun dalam kondisi yang sangat genting. Selain itu, sikap loyalitas hakiki seorang muslim adalah harus ditujukan kepada Islam dan tidak boleh fanatik pada golongan, suku, ras, dan kebangsaan. Untuk itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka dengan ungkapan orang tersebut yang menisbatkan dirinya kepada bangsa Persia karena mereka adalah orang kafir kemudian mengarahkannya untuk menisbatkannya kepada Anshar dan meninggalkan segala bentuk penisbatan kepada nama Jahiliyah.

Ketiga belas: Isu terbunuhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan dampak negatif bagi sebagian kaum muslimin. Sebagian dari mereka membuang senjatanya sambil berkata, “Tidak ada lagi gunanya berperang.” Sebagian yang lain pulang ke Madinah, sebagian yang lain mencari ‘Abdullah bin Ubay bin Salul untuk meminta perlindungan dari kemenangan Abu Sufyan.

Dari sini dapat kita ambil pelajaran pentingnya kehati-hatian dalam membenarkan sebuah isu. Karena, para musuh menggunakan berbagai isu, terutama di masa sekarang ini denagn berbagai media informasi dari luar.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6). Orang yang tergesa-gesa menerima suatu berita, maka akan menimbulkan penyesalan karena banyak mengandung kekeliruan.

Baca juga: Jangan Mudah Menerima Berita Media

Keempat belas: Kita juga mendapat pelajaran lain dari sikap sahabat yang menyikapi isu dengan positif. Mereka tidak membenarkan dan tidak terpengaruh. Bahkan isu tersebut sebaliknya menambah semangat juang dan pengorbanan mereka seperti yang dilakukan Anas bin Nadhar. Padahal, musuh menginginkan dengan isu tersebut agar bisa melemahkan semangat juang kaum muslimin, tetapi justru sebaliknya. Anas memahaminya sebagai penyemangat jihadnya dan pembelaannya terhadap agama ini serta semangatnya untuk membunuh musuh, bukan meletakkan senjata dan menyerah.

Ini sama seperti isu terbunuhnya ‘Utsman dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyah justru menimbulkan solidaritas dengan adanya Bai’atur Ridhwan tidak seperti yang diinginkan kaum musyrikin.

Kelima belas: Pertanyaan Abu Sufyan setelah berkahirnya perang “Apakah Ibnu Abu Quhafah (Abu Bakar) masih hidup? Apakah Umar masih hidup?” Ia tidak menanyakan sahabat yang lain, kecuali keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa kedua sahabat itu sangat terkenal dan memiliki kedudukan istimewa sekalipun di kalangan musuh. Keduanya adalah sahabat dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus penolong dan teman diskusinya. Keduanya adalah manusia yang layak menempati posisi khilafah sepeninggalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Keenam belas: Ketika Abu Sufyan berkata, “Hidup Hubal”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jawablah!” lalu sahabat bertanya, “Apa yang harus kami katakan”, maka dalam hal ini terdapat pelajaran yang dapat kita ambil yaitu merujuk atau bertanya kepada ahli ilmu (ulama) dalam hal-hal yang tidak diketahui. Begitulah seharusnya manusia dibiasakan untuk merujuk kepada ulama dan bertanya kepada mereka dalam berbagai persoalan yang dihadapinya. Tidak mengandalkan hanya pada pandangannya dan dirinya saja. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ahludz dzikri dalam ayat ini adalah orang yang berilmu yang memahami wahyu yang diturunkan pada para nabi.” (Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:220)

Ingatlah, obat dari kebodohan adalah dengan bertanya pada ahli ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ

Obat dari kebodohan adalah dengan bertanya.” (HR. Abu Daud, no. 336; Ibnu Majah, no. 572 dan Ahmad, 1:330. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat Shahih Al-Jaami’, no. 4363)

Ketika membawakan hadits ini, Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kebodohan dengan penyakit dan obatnya adalah dengan bertanya pada para ulama (yang berilmu).” (Ighotsah Al-Lahfaan min Mashoid Asy-Syaithon, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, 1:19, Dar Al-Ma’rifah, cetakan kedua, tahun 1395 H)

Baca juga: Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftaah Daar As-Sa’adah

Ketujuh belas: Islam itu tidak mengenal fanatik kepada individu, Islam itu mengikuti wahyu. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ ٱلرُّسُلُ ۚ أَفَإِي۟ن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ ٱنقَلَبْتُمْ عَلَىٰٓ أَعْقَٰبِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيْـًٔا ۗ وَسَيَجْزِى ٱللَّهُ ٱلشَّٰكِرِينَ

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 144)

Kedelapan belas: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguburkan syuhada dan mendahulukan orang yang banyak hafalan Al-Qur’an, ini menunjukkan:

  1. Keagungan Al-Qur’an dan orang yang menghafalnya.
  2. Parameter keutamaan seorang muslim dengan muslim lainnya adalah komitmennya terhadap Islam, bukan suku, harta, dan jabatan. Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.
  3. Bentuk kebijaksanaan Allah dalam melebihkan di antara manusia adalah berdasarkan usahanya dalam hal ketakwaan dan amal saleh bukan karena faktor suku dan bangsa. Sebab, adanya suku dan bangsa adalah untuk saling mengenal.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)

Kesembilan belas: Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa dari peristiwa perang Uhud, mereka mengetahui dampak buruk akibat bermaksiat kepada perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa kegagalan dan pertikaian yang menimpa mereka. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ ٱللَّهُ وَعْدَهُۥٓ إِذْ تَحُسُّونَهُم بِإِذْنِهِۦ ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَٰزَعْتُمْ فِى ٱلْأَمْرِ وَعَصَيْتُم مِّنۢ بَعْدِ مَآ أَرَىٰكُم مَّا تُحِبُّونَ ۚ مِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلْءَاخِرَةَ ۚ ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ ۖ وَلَقَدْ عَفَا عَنكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ

Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 152). Yakni memaafkan mereka setelah melihat dampak dari kemaksiatan kepada beliau, yakni pertikaian dan kegagalan. Setelah itu, mereka sangat berhati-hati dan waspada terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan kalah dan hina. Lihat Zaad Al-Ma’ad, 3:218-219.

Kedua puluh: Berikut adalah beberapa hadits yang menjelaskan keutamaan syuhada Uhud.

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghimpun dua orang syuhada dalam satu kafan, kemudian beliau bertanya, “Siapakah di antara keduanya yang paling banyak hafalan Al-Qur’an?” Ketika ditunjukkan kepada salah satu dari keduanya, maka beliau pun mendahulukannya ke liang lahat dan berkata, “Aku menjadi saksi mereka kelak pada hari kiamat.” Beliau memerintahkan agar mereka dikubur bersama darahnya, tidak dishalatkan dan dimandikan. (HR. Bukhari, no. 4079; Fath Al-Baari, 7:374)

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika ayahku terbunuh, aku pun menangisi dan membuka kain penutup wajahnya. Namun, para sahabat melarangku untuk melakukan itu, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya, seraya berkata, “Janganlah kamu menangisinya selama malaikat menaungi dengan sayap-sayapnya hingga diangkat.” (HR. Bukhari, no. 4080 dan Muslim, no. 2471)

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa ia pernah ditanya tentang firman Allah,

وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمْوَٰتًۢا ۚ بَلْ أَحْيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 169). Ia berkata, “Kami dulu juga pernah menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menjawab, “Sesungguhnya arwah mereka berada dalam perut burung hijau yang memiliki sarang-sarang yang tergantung pada ‘Arsy, terbang dari surga ke arah yang diingikan kemudian kembali lagi ke sarangnya. Lalu Rabb mereka memperhatikan dengan seksama seraya berfirman, “Adakah kalian menginginkan sesuatu?” Mereka menjawab, “Apa lagi yang harus kami inginkan?” Sedangkan kami dapat terbang dalam surga sekehendak kami.” Allah menanyakan hal itu sampai tiga kali. Ketika mereka melihat bahwa mereka tidak dibiarkan tanpa permintaan, mereka berkata, “Duhai Rabbku, kami ingin ruh-ruh kami dikembalikan ke jasad kami, sehingga kami dapat lagi berperang di jalan-Mu. Ketika Allah melihat bahwa mereka tidak ada lagi keinginan, mereka pun dibiarkan.” (HR. Muslim, no. 1887)

Umar bin Syabah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengunjungi kuburan para syuhada lalu ia berkata,

سَلَٰمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى ٱلدَّارِ

Salamun ‘alaikum bima shabartum (salam keselamatan untuk kalian karena kesabaran kalian). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar-Ra’du: 24). Kemudian setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar juga melakukan hal yang sama, begitu pula ‘Umar dan ‘Utsman. (Asy-Syami, Subulul Huda, 4:369).

Selesai, walhamdulillah. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

 

Referensi:

Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.

 

 

Ditulis sejak 30 Desember 2022, selesai disusun pada 12 Mei 2023, 21 Syawal 1444 H

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

53 Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button