Shalat

Berapa Jarak Safar yang Membolehkan Qashar Shalat Menurut Hadits?

Ketika seseorang bepergian, Islam memberikan keringanan dalam melaksanakan ibadah, salah satunya adalah qashar shalat. Dalam artikel ini, akan dibahas lebih lanjut tentang jarak safar yang memperbolehkan qashar shalat, serta ketentuan lain yang berhubungan dengan pelaksanaannya.

 

Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

Kitab Shalat

بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ

Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit

 

Hadits #433

 عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ، أَوْ فَرَاسِخَ، صَلّى رَكْعَتَيْنِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila keluar untuk bepergian sejauh tiga mil atau farsakh, beliau melaksanakan shalat dua rakaat.” (Diriwayatkan oleh Muslim) [HR. Muslim, no. 691]

 

Hadits #440

  عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم: «لَا تَقْصُرُوا الصَّلَاةَ فِي أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ؛ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفانَ». رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ، وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ، كَذَا أَخْرَجَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ. 

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah mengqashar shalat kurang dari empat burud, yaitu dari Mekkah ke Usfan.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dengan sanad yang lemah. Menurut pendapat yang benar, hadits ini mauquf sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Ad-Daruquthni, 1:387 dan Al-Baihaqi, 3:137-138. Syaikh ‘Abullah Al-Fauzan mengatakan bahwa hadits ini dhaif jiddan].

 

Faedah hadits

Pertama: Boleh mengqashar shalat saat safar. Allah Ta’ala berfirman,

﴿وَإِذا ضَرَبتُم فِي الأَرضِ فَلَيسَ عَلَيكُم جُناحٌ أَن تَقصُروا مِنَ الصَّلاةِ إِن خِفتُم أَن يَفتِنَكُمُ الَّذينَ كَفَروا إِنَّ الكافِرينَ كانوا لَكُم عَدُوًّا مُبينًا﴾ [النساء: ١٠١]

Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qaṣar salat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisaa: 101). Berdasarkan ijmak para ulama, qashar shalat ini berlaku pada shalat Zhuhur, Ashar, dan Isyak. Safar yang dibolehkan qashar shalat adalah untuk perjalanan darat, air, dan udara.

Kedua: Hadis yang menyebutkan jarak tiga mil tidaklah dimaksudkan sebagai batasan pasti untuk melakukan qashar shalat. Sebaliknya, penerapan qashar shalat bergantung pada kebutuhan (hajat) individu. Jika memang bersafar menempuh jarak yang dibolehkan qashar pada jarak tiga mil, maka silakan melakukannya dengan qashar. Jarak minimal yang umumnya disebutkan oleh para ulama untuk melakukan qashar shalat adalah 85 kilometer, baik dalam perjalanan darat, laut, maupun udara. Jarak ini diukur dari tempat bermukim seseorang hingga ke tempat tujuan perjalanannya. Pelaksanaan qashar shalat dapat dimulai setelah melewati batas wilayah tempat tinggal.

Surah An-Nisaa’ ayat 101 menyebutkan, “dhorobtum fil ardh,” yang mengindikasikan bahwa qashar shalat dilakukan setelah seseorang meninggalkan batas kota atau perkampungannya. Dalam konteks masa kini, mencapai bandara umumnya dianggap sebagai telah berada di luar batas kota. Bandara modern seringkali terletak di pinggiran kota dan dianggap sebagai wilayah yang terpisah, di mana keberadaan seseorang di sana umumnya memerlukan izin tertentu seperti visa. Oleh karena itu, saat seseorang sudah berada di bandara (walaupun bandara tersebut berada di tengah kota), ia dianggap telah memenuhi syarat untuk melakukan qashar shalat. Lihat penjelasan dari Syaikh Prof. Muhammad Az-Zuhaily dalam Fiqh Bulugh Al-Maram, 2:67.

Ketiga: Dalil yang mendasari penentuan jarak safar yang memperbolehkan qashar shalat, yaitu sekitar 84 atau 85 kilometer, berasal dari hadis berikut:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا

“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Diwasholkan oleh Al-Baihaqi 3: 137. Lihat Al-Irwa’ 565)

Yang dimaksud empat burud di sini adalah sama dengan marhalatain (dua marhalah). Maksud marhalatain adalah perjalanan dua hari pergi saja dan disertai hewan yang membawa tunggangan berat, dengan diperhitungkan pula waktu menurunkan beban dan mengangkat beban, turun untuk shalat, makan, minum, istirahat seperti biasa.

Dua marhalah ini adalah menempuh perjalanan pergi dua hari atau dua malam. Kalau mau dihitung jaraknya adalah 48 mil Hasyimiyyah. Tujuannya adalah jarak tersebut walaupun belum sampai.

1 mil = 3.500 dziro’

48 mil = 168.000 dziro’

1 dziro’ = 50 cm

48 mil = 8.400.000 cm = 84 km

Jarak inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr dan ulama lainnya seperti ulama Hadromaut yang tertulis dalam Bughya Al-Mustarsyidin, 1:538.

Keempat: Menurut ijmak (konsensus para ulama), tidak diperbolehkan mengqashar shalat Shubuh dan Maghrib. Selain itu, shalat nadzar yang jumlah rakaatnya empat juga tidak dapat diqashar. Hal yang sama berlaku untuk shalat sunnah yang empat rakaat tidak bisa diqashar, seperti shalat qabliyah Zhuhur dan qabliyah Ashar. Shalat yang tertinggal saat mukim (misalnya, shalat Zhuhur yang terlewat saat berada di tempat tinggal) tidak boleh diqashar menjadi dua rakaat saat dalam safar, karena shalat tersebut tetap menjadi tanggungan (dzimmah) yang harus dilaksanakan secara sempurna.

Sebaliknya, shalat yang terlewat saat safar dapat tetap diqashar jika shalat tersebut dilaksanakan saat masih dalam perjalanan. Namun, jika shalat tersebut dikerjakan saat mukim, maka tidak boleh diqashar, karena tidak ada alasan untuk qashar ketika shalat dilakukan pada waktunya (ada-an) di tempat tinggal.

Baca juga: Pengertian Safar dan Jarak Safar

Kelima: Hadits #440 dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang tepat adalah hanyalah perkataan sahabat (hadits mawquf). Imam Bukhari memiliki riwayat yang mawquf tetapi tanpa sanad (mu’allaq). Imam Bukhari menyebutkan dalam Bab “Berapa jarak boleh qashar shalat?” Imam Bukhari menyatakan, “Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan ifthar (memutuskan tidak berpuasa) pada jarak safar empat burud yang sama dengan 16 farsakh.” Imam Al-Baihaqi telah menyatakan washal (bersambungnya hadits ini) dalam kitab beliau (3:137) dengan sanad yang sahih. Riwayat ini juga dikeluarkan oleh ‘Abdur Razaq, 2:514; Ibnu Abi Syaibah, 2:445; dari ‘Atha’, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa shalat tidaklah diqashar menuju Arafah, lembah kurma; qashar shalat baru dilakukan jika bersafar ke ‘Usfan, Thaif, dan Jeddah.” Sanad hadits ini sahih kata Al-Hafizh.

Keenam: Hadits #440 adalah hadits yang menunjukkan bahwa minimal jarak safar adalah empat burud, yang sama dengan 85 KM. Karena ‘Usfan adalah daerah dengan jarak 80-an KM dari Makkah ke utara menuju Madinah. Hadits ini dianggap lemah sehingga yang tepat menurut Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan, jarak safar itu kembali kepada urf manusia. Jarak safar yang dianggap sudah boleh mengqashar shalat oleh masyarakat itulah yang dijadikan patokan. Namun, jarak safar yang 85 KM lebih jelas sebagai patokan berdasarkan pendapat jumhur ulama.

Ketujuh: Safar yang dibolehkan mengqashar shalat adalah safar yang bukan maksiat. Qashar shalat barulah dimulai setelah berpisah dari batas mukim (batas kota). Qashar shalat dilakukan selama safar dan sebelum sampai di tempat mukim.

 

Referensi:

  • Bughyah Al-Mustarsyidin. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-Habib ‘Abdurrahman bin Muhammad (Al-Husaini Al-Hadhrami Asy-Syafii). Penerbit Dar Al-Minhaj.
  • Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. Jilid kedua. 2:67-68.
  • Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga.

 

 

Diselesaikan pada Kamis sore @ Makkah Al-Mukarramah, 8 Rabiul Awal 1446 H, 12 September 2024

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Dr. Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button