Teladan

Faedah Sirah Nabi: Bersaudaranya Muhajirin dan Anshar

Sekarang kita masuk cerita bersaudaranya kaum Muhajirin dan Anshar.

Di antara inti hijrah adalah kedatangan kaum Muhajirin dari suku yang berbeda menuju Madinah tanpa ada saudara dan harta. Mereka menuju ke kaum yang belum pernah dikenalnya. Begitu juga halnya dengan kaum Anshar, kaum yang sering melakukan pertumpahan darah di antara mereka, perselisihan, dan pertikaian. Namun, dengan kedatangan kaum Muhajirin, mereka pun menyambutnya dengan baik, seperti yang difirmankan oleh Allah,

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9).

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Kaum Anshar yang telah menempati kota Madinah sebagai kota Rasul dan sebagai tempat tinggal, mereka juga telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya sebelum kaum Muhajirin datang. Kaum Anshar ini mencintai kaum Muhajirin yang telah meninggalkan rumahnya untuk pindah ke tempat mereka. Hal tersebut cukup sebagai bukti kecintaan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin.

Kaum Muhajirin datang ke Madinah dengan meninggalkan keluarga dan harta mereka. Setibanya mereka di Madinah, kaum Anshar pun rela untuk meringankan beban saudara-saudara baru mereka, dengan berlomba-lomba mengeluarkan apa yang mereka miliki. Mereka datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau membagi kurma yang mereka miliki untuk diberikan kepada kaum Muhajirin. Disebutkan dalam sebuah hadits sahih, “Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ‘Orang Anshar berkata kepada Rasulullah: Bagikanlah kurma ini untuk kami dan mereka.’ Beliau menjawab, ‘Tidak. Tetapi berikanlah kami perbekalan dan kalian libatkan kami dalam perkebunan kurma kalian.’ Mereka menjawab, ‘Ya, kami dengar dan patuh (pada apa yang engkau katakan).’”

Kejadian ini merupakan suatu bukti tentang persaudaraan yang sangat agung. Cerita lainnya bisa diperlihatkan dari hadits Anas bin Malik berikut ini.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia menyatakan bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf pernah dipersaudarakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’ Al-Anshari. Ketika itu Sa’ad Al-Anshari memiliki dua orang istri dan memang ia terkenal sangat kaya. Lantas ia menawarkan kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf untuk berbagi dalam istri dan harta. Artinya, istri Sa’ad yang disukai oleh ‘Abdurrahman akan diceraikan lalu diserahkan kepada ‘Abdurrahman setelah ‘iddahnya. ‘Abdurrahman ketika itu menjawab,

بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِى أَهْلِكَ وَمَالِكَ ، دُلُّونِى عَلَى السُّوقِ

“Semoga Allah memberkahimu dalam keluarga dan hartamu. Cukuplah tunjukkan kepadaku di manakah pasar.”

Lantas ditunjukkanlah kepada ‘Abdurrahman pasar lalu ia berdagang hingga ia mendapat untung yang banyak karena berdagang keju dan samin. Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat pada ‘Abdurrahman ada bekas warna kuning pada pakaiannya (bekas wewangian dari wanita yang biasa dipakai ketika pernikahan, pen.). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Apa yang terjadi padamu wahai ‘Abdurrahman?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, saya telah menikahi seorang wanita Anshar.” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Berapa mahar yang engkau berikan kepadanya?” ‘Abdurrahman menjawab, “Aku memberinya mahar emas sebesar sebuah kurma (sekitar lima dirham).” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ketika itu,

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

Lakukanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari, no. 2049, 3937 dan Muslim, no. 1427. Lihat Syarh Shahih Muslim, 7:193)

Baca Juga: Pelajaran dari Walimah Abdurrahman bin Auf

Kaum Anshar memiliki sifat itsaar (lebih mementingkan orang lain dari dirinya sendiri), sehingga mereka menawarkan rumah mereka kepada kaum Muhajirin, bahkan di antara mereka ada yang menawarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sekiranya engkau menghendaki, ambillah salah satu rumah kami untukmu.” Namun, beliau menjawabnya dengan cara yang baik.

 

Itsar itu apa?

Itsar adalah mendahulukan orang lain dalam urusan dunia walau kita pun sebenarnya butuh.

Secara bahasa itsar bermakna mendahulukan, mengutamakan. Sedangkan secara istilah, yang dimaksud itsar adalah mendahulukan yang lain dari diri sendiri dalam urusan duniawiyah berharap pahala akhirat. Itsar ini dilakukan atas dasar yakin, kuatnya mahabbah (cinta) dan sabar dalam kesulitan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara orang Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik. Jumlah mereka ketika itu sembilan puluh orang; sebagian dari Muhajirin dan sebagian dari Anshar. Beliau mempersaudarakan mereka atas prinsip sama rata, mereka akan menerima warisan setelah saudaranya meninggal walaupun tidak ada pertalian darah hingga terjadinya peristiwa Badar, dan Allah menurunkan firman-Nya,

وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَىٰ أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا

Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama).” (QS. Al-Ahzab: 9). Setelah diturunkannya ayat ini, maka hak waris hanya untuk mereka yang memiliki pertalian darah dan bukan dilandasi atas persaudaraan. (Zaad Al-Ma’ad, 3:63)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat–dan pendapat ini disepakati oleh muridnya Ibnul Qayyim dan Ibnu Katsir rahimahullah–, ia berkata, “Yang dipersaudarakan oleh Rasulullah adalah antara kaum Muhajirin dan Anshar, sementara beliau tidak mempersaudarakan antara kaum Muhajirin itu sendiri. Sebab mereka (Muhajirin) lebih membutuhkan persaudaraan keislaman (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan dalam bertetangga, kedekatan nasab dibandingkan dengan atas nama ikatan persaudaraan saja.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 3:227)

Ibnu Hajar rahimahullah berbeda dalam hal ini, beliau berkata, “Hal ini bukan berarti beliau mengabaikan hikmah dari persaudaraan itu. Sebab, orang-orang Muhajirin, sebagian di antara mereka lebih kuat dalam harta, kekuatan kekeluargaan, serta dalam hal kekuatan fisik. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, dengan kata lain antara golongan atas dan bawah agar kondisi kaum Anshar terangkat dan bisa saling membantu.” (Fath Al-Bari, 7:271)

Baca Juga:

Referensi:

Fiqh As-Sirah. Cetakan Tahun 1424 H. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.

 


 

 

Diselesaikan di Darush Sholihin, Jumat sore, 6 Maret 2020, 11 Rajab 1441 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumasyho.Com

 

 

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button