Tafsir Al Qur'an

Faedah Surat An-Nuur #10: Dosa Mengerikan Karena Lisan

 

Dosa mengerikan karena lisan yaitu biasa menyebar berita dusta.

Tafsir Surah An-Nuur

Ayat 15-16

 

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ (15) وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ (16)

(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.” (QS. An-Nuur: 15-16)

 

Penjelasan Ayat

Berita bohong yang tersebar dari mulut ke mulut padahal berita itu batil dan tidak didasari ilmu, lalu dianggap suatu yang ringan (sepele) padahal di sisi Allah sangatlah besar. Syaikh As-Sa’di mengatakan bahwa ayat ini adalah peringatan keras mengenai sebagian dosa yang dianggap remeh. Padahal dosa itu bisa berlipat-lipat ketika dianggap remeh seperti itu.

Seharusnya jika menghadapi berita tuduhan dusta yang tidak benar, yang dikedepankan adalah husnuzhan. Kita harus berani mengatakan terhadap berita tersebut, “Mahasuci Allah, ini adalah dusta yang besar.”

 

Faedah dari Ayat

1- Hati-hati menganggap remeh dosa.

Disebutkan hadits dalam Shahih Bukhari,

عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قَالَ إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالاً هِىَ أَدَقُّ فِى أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ ، إِنْ كُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الْمُوبِقَاتِ

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya kalian melakukan suatu amalan dan menyangka bahwa itu lebih tipis dari rambut. Namun kami menganggapnya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang membinasakan.” (HR. Bukhari, no. 6492).

Abu Ayyub Al-Anshari berkata,

إِنَّ الرَّجُل لَيَعْمَلُ الْحَسَنَةَ فَيَثِقُ بِهَا وَيَنْسَى الْمُحَقَّرَاتِ فَيَلْقَى اللَّهَ وَقَدْ أَحَاطَتْ بِهِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ السَّيِّئَةَ فَلَا يَزَالُ مِنْهَا مُشْفِقًا حَتَّى يَلْقَى اللَّه آمِنًا

“Sesungguhnya seseorang melakukan kebaikan dan terlalu percaya diri dengannya dan meremehkan dosa-dosa, maka ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan ia penuh dengan dosa. Sesungguhnya seseorang melakukan kejeleken dalam keadaan terus merasa bersalah, maka ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan aman.” (Lihat Fath Al-Bari, 11:330)

Contoh dosa yang dianggap remeh adalah yang kaitannya dengan kencing.

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati salah satu sudut kota Madinah atau Makkah, lalu beliau mendengar suara dua orang yang sedang diazab di kubur. Beliau pun bersabda,

يُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، بَلَى، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ

Mereka berdua disiksa. Mereka menganggap bahwa itu bukan perkara besar, namun sesungguhnya itu perkara besar. Orang yang pertama disiksa karena tidak menutupi diri ketika kencing. Adapun orang yang kedua disiksa karena suka mengadu domba.” (HR. Bukhari, no. 216 dan Muslim, no. 292).

Ada tiga tafsiran untuk sabda Nabi “Mereka tidak disiksa untuk perkara yang berat ditinggalkan, namun itu perkara besar“:

  • Mereka yang disiksa menganggap bahwa hal itu bukan perkara besar (dosa besar).
  • Kedua hal tersebut tidak berat untuk ditinggalkan.
  • Mereka menganggap itu bukan dosa yang lebih besar dari dosa besar. Kata Imam Nawawi, tafsiran ketiga ini menunjukkan bahwa siksa kubur bukan hanya diberi lantaran dosa besar. Dosa selain dosa besar pun bisa dikenakan siksa kubur. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 3:179).

2- Kesalahan yang biasa dilakukan kita menyebar sebuah berita tidak benar kepada yang lain. Ada dua kesalahan yang dilakukan: (a) sudah meyakini itu dusta, (b) menyebar kedustaan pada yang lain.

3- Diharamkan berkata tentang Allah tanpa ilmu.

4- Hati-hati jika menganggap sesuatu yang dianggap besar di sisi Allah sebagai suatu yang remeh (ringan).

5- Tidak pantas keluarga Nabi dituduh berzina.

6- Ucapan “subhanaka” dalam ayat di atas punya maksud untuk menyucikan dari apa yang dituduhkan kepada keluarga Nabi.

7- Hendaklah mengedepankan husnuzhan (prasangka baik) kepada orang lain daripada suuzhan (prasangka jelek).

 

Sebab Dosa Kecil Bisa Menjadi Besar

Pertama: Dosa kecil sudah menjadi kebiasaan dan dilakukan terus menerus.

Sebagaimana kata para ulama,

لاَ كَبِيْرَةَ مَعَ الاِسْتِغْفَارِ وَ لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ الإِصْرَارِ

“Tidak ada dosa besar jika dihapus dengan istighfar (meminta ampun pada Allah) dan tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus.”

Kedua: Dosa bisa dianggap besar di sisi Allah jika seorang hamba menganggap remeh dosa tersebut.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ

“Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosanya seakan-akan ia duduk di sebuah gunung dan khawatir gunung tersebut akan menimpanya. Sedangkan seorang yang fajir (yang gemar maksiat), ia akan melihat dosanya seperti seekor lalat yang lewat begitu saja di hadapan batang hidungnya.” (HR. Bukhari, no. 6308)

Ketiga: Memamerkan suatu dosa.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِى مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ فَيَقُولُ يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya–padahal telah Allah tutupi–, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup.” (HR. Bukhari, no. 6069 dan Muslim, no. 2990)

Keempat: Dosa tersebut dilakukan oleh seorang alim yang dia menjadi panutan bagi yang lain.

Dari Jarir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

Barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim, no. 1017)

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah untuk menjauhi segala macam dosa.

 

Referensi:

  1. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
  2. At-Tashiil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Surat An-Nuur. Cetakan kedua, Tahun 1423 H. Syaikh Musthafa bin Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
  3. Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Thiybah.
  4. Mukhtashar Minhaj Al– Cetakan pertama, Tahun 1426 H. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Penerbit Dar Al-‘Aqidah.
  5. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim – Surah An-Nuur. Cetakan pertama, Tahun 1436 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
  6. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

 

Disusun di Perpus Rumaysho, 24 Jumadal Ula 1439 H, Sabtu pagi

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button