Tafsir Al Qur'an

Tafsir Surah Al-A’la: Keagungan Penciptaan, Hidayah, dan Kemudahan dalam Islam

Surah Al-A’la mengandung pesan-pesan mendalam tentang keagungan penciptaan Allah, kepastian takdir, dan kemudahan dalam beragama. Dalam surah ini, Allah mengingatkan manusia untuk menyucikan-Nya, memahami hikmah kehidupan, serta mengutamakan akhirat dibanding dunia. Ayat-ayatnya juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan membawa kebahagiaan sejati bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya.

 

Tafsir Ayat 1-5: Keagungan Allah dalam Penciptaan

Allah Ta’ala berfirman,

سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَىٰ

“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,”

ٱلَّذِى خَلَقَ فَسَوَّىٰ

“Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya),”

وَٱلَّذِى قَدَّرَ فَهَدَىٰ

“Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,”

وَٱلَّذِىٓ أَخْرَجَ ٱلْمَرْعَىٰ

“Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan,”

فَجَعَلَهُۥ غُثَآءً أَحْوَىٰ

Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.” (QS. Al-A’la: 1-5)

 

Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,

Allah memerintahkan untuk bertasbih kepada-Nya, yang mencakup mengingat-Nya, beribadah kepada-Nya, tunduk pada keagungan-Nya, dan merendahkan diri di hadapan kebesaran-Nya. Tasbih ini harus sesuai dengan keagungan Allah, yaitu dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah, yang lebih tinggi daripada segala nama karena memiliki makna yang sempurna dan mulia. Juga dengan mengingat perbuatan-Nya, seperti menciptakan makhluk dan menyempurnakan mereka, yakni menciptakan mereka dengan penuh ketelitian dan keindahan.

Allah juga yang menentukan segala sesuatu dengan takdir-Nya, dan membimbing seluruh makhluk sesuai dengan ketetapan tersebut. Ini adalah bentuk hidayah umum dari Allah, di mana Dia membimbing setiap makhluk kepada kemaslahatan mereka masing-masing.

Sebagai salah satu bentuk nikmat duniawi-Nya, Allah berfirman: “Dan Dia-lah yang mengeluarkan rerumputan.” Artinya, Allah menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu Dia menumbuhkan berbagai jenis tanaman dan rerumputan yang melimpah, yang menjadi tempat makan bagi manusia, hewan ternak, dan seluruh makhluk hidup.

Namun, setelah tanaman itu mencapai puncak pertumbuhannya, ia mulai layu dan kering. Allah menjadikannya “ghutsā’an ahwā”, yaitu dedaunan yang hitam, hancur, dan lapuk, yang menandakan kefanaan dan perubahan dalam kehidupan dunia.

Kesimpulan dari penjelasan Syaikh As-Sa’di:

  1. Perintah untuk Bertasbih – Allah memerintahkan manusia untuk menyucikan-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah dan mengingat kebesaran serta perbuatan-Nya.
  2. Kesempurnaan Penciptaan Allah – Allah menciptakan makhluk dengan penuh ketelitian dan kesempurnaan.
  3. Takdir dan Hidayah Allah – Setiap makhluk diberikan takdir dan petunjuk sesuai dengan maslahatnya masing-masing.
  4. Nikmat Duniawi Allah – Allah menumbuhkan tanaman sebagai rezeki bagi manusia dan hewan.
  5. Fana-nya Dunia – Segala sesuatu di dunia mengalami perubahan dan kehancuran, mengingatkan manusia akan kefanaan dunia dan kekekalan akhirat.

 

Tafsir Ayat 6-8: Diberi Taufik ke Jalan yang Mudah

Allah Ta’ala berfirman,

سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنسَىٰٓ

“Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa.”

إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ ۚ إِنَّهُۥ يَعْلَمُ ٱلْجَهْرَ وَمَا يَخْفَىٰ

“kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.”

وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَىٰ

dan Kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah.” (QS. Al-A’laa: 6-8)

 

Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,

Dan di dalamnya disebutkan nikmat-nikmat-Nya yang bersifat agama. Oleh karena itu, Allah menyebut nikmat paling utama dan sumber segala nikmat, yaitu Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:

“Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (wahai Muhammad), maka engkau tidak akan lupa.”

Artinya, Kami akan menjaga wahyu yang Kami berikan kepadamu, menanamkannya dalam hatimu, sehingga engkau tidak akan melupakannya. Ini adalah kabar gembira besar dari Allah kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Allah akan mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak akan ia lupakan.

“Kecuali apa yang Allah kehendaki,”

yakni, jika dalam kebijaksanaan-Nya, Allah berkehendak membuatnya lupa demi suatu hikmah besar yang bermanfaat.

“Sesungguhnya Dia mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi.”

Termasuk dalam hal ini, Allah mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Dia menetapkan syariat sesuai dengan kehendak-Nya dan mengatur segala sesuatu dengan kebijaksanaan-Nya.

“Dan Kami akan memudahkanmu menuju kemudahan.”

Ini juga merupakan kabar gembira besar bahwa Allah akan memudahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala urusannya serta menjadikan syariat dan agama ini sebagai sesuatu yang mudah dan ringan bagi umat manusia.

Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di:

  1. Al-Qur’an sebagai Nikmat Terbesar – Al-Qur’an adalah nikmat utama yang harus disyukuri dengan membacanya, memahami maknanya, dan mengamalkannya dalam kehidupan.
  2. Pemeliharaan Wahyu oleh Allah – Allah menjaga wahyu-Nya dan menjamin bahwa Rasulullah ﷺ tidak akan melupakannya kecuali jika ada hikmah di baliknya.
  3. Ilmu Sejati dari Allah – Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diberikan oleh Allah, sehingga kita harus senantiasa memohon kepada-Nya agar diberi ilmu yang berguna.
  4. Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu – Allah mengetahui segala yang tampak dan tersembunyi, serta menetapkan syariat berdasarkan kebijaksanaan dan kebaikan bagi hamba-Nya.
  5. Kemudahan dalam Islam – Islam adalah agama yang mudah dan penuh kemudahan, di mana segala aturan dibuat untuk kebaikan manusia dan bukan untuk menyulitkan mereka.
  6. Bertawakal kepada Allah – Kita harus berserah diri kepada Allah dalam setiap urusan, karena Dia telah menjanjikan kemudahan bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya.

 

Tafsir Ayat 9-13: Berilah Peringatan

Allah Ta’ala berfirman,

فَذَكِّرْ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكْرَىٰ

oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat,

سَيَذَّكَّرُ مَن يَخْشَىٰ

orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran.”

وَيَتَجَنَّبُهَا ٱلْأَشْقَى

dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya.

ٱلَّذِى يَصْلَى ٱلنَّارَ ٱلْكُبْرَىٰ

(Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka).”

ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ

Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.” (QS. Al-A’laa: 9-13)

 

Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,

“Maka berilah peringatan!” Yaitu, sampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya “jika peringatan itu bermanfaat,” yakni selama peringatan itu diterima dan nasihat masih bisa didengar, baik peringatan itu menghasilkan manfaat sepenuhnya maupun hanya sebagian darinya.

Ayat ini juga memberikan pemahaman bahwa jika peringatan tidak bermanfaat—misalnya jika peringatan justru memperburuk keadaan atau mengurangi kebaikan—maka tidak diperintahkan untuk memberikan peringatan, bahkan bisa menjadi sesuatu yang dilarang. Dengan demikian, manusia terbagi menjadi dua kelompok dalam menerima peringatan: yang mengambil manfaat dan yang tidak mengambil manfaat.

Bagi mereka yang mengambil manfaat, Allah menyebutkan mereka dalam firman-Nya:

“Akan menerima peringatan orang yang takut kepada Allah.”

Yakni, orang yang memiliki rasa takut kepada Allah serta keyakinan bahwa ia akan dibalas atas amal perbuatannya. Rasa takut kepada Allah ini mendorong seseorang untuk menjauhi maksiat dan berusaha melakukan amal kebaikan.

Sedangkan bagi mereka yang tidak mengambil manfaat, Allah menyebutkan dalam firman-Nya:

“Dan akan menjauhinya orang yang paling celaka, yang akan memasuki neraka yang besar.”

Yakni, mereka yang menghindari peringatan ini adalah orang-orang yang paling sengsara, yang akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala, yang apinya membakar hingga menembus hati.

“Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak pula hidup.”

Maksudnya, mereka akan merasakan azab yang sangat pedih tanpa henti, tanpa ada istirahat atau jeda dari siksaan tersebut. Bahkan mereka akan berharap untuk mati agar terbebas dari penderitaan, tetapi keinginan itu tidak akan pernah terwujud. Sebagaimana firman Allah,

وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا۟ وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُم مِّنْ عَذَابِهَا ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِى كُلَّ كَفُورٍ

Tidak akan diputuskan kematian bagi mereka sehingga mereka mati, dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya.” (QS. Fathir: 36).

Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di:

  1. Pentingnya Memberikan Peringatan – Perintah untuk menyampaikan syariat Allah dan ayat-ayat-Nya diberikan selama peringatan tersebut bermanfaat dan masih bisa diterima.
  2. Peringatan Tidak Selalu Wajib – Jika peringatan justru menyebabkan keburukan atau mengurangi kebaikan, maka tidak diperintahkan untuk menyampaikannya, bahkan bisa menjadi sesuatu yang terlarang.
  3. Manusia Terbagi dalam Menerima Peringatan – Ada dua kelompok manusia dalam menerima peringatan: mereka yang mengambil manfaat darinya dan mereka yang menolaknya.
  4. Orang yang Mendapat Manfaat dari Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah dan yakin akan balasan-Nya, sehingga peringatan mendorong mereka untuk menjauhi maksiat dan melakukan kebaikan.
  5. Orang yang Menolak Peringatan – Mereka adalah orang-orang yang paling celaka, yang berpaling dari kebenaran dan akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.
  6. Azab di Neraka Sangat Pedih dan Kekal – Penghuni neraka akan mengalami siksaan tanpa henti, tidak mati sehingga terbebas dari azab, dan tidak hidup dalam keadaan yang layak, melainkan dalam penderitaan abadi.

 

Tafsir Ayat 14-19: Berilah Peringatan

Allah Ta’ala berfirman,

قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman).”

وَذَكَرَ ٱسْمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ

“dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.”

بَلْ تُؤْثِرُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا

“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.”

وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰٓ

“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”

إِنَّ هَٰذَا لَفِى ٱلصُّحُفِ ٱلْأُولَىٰ

“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu.”

صُحُفِ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ

(yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” (QS. Al-A’laa: 14-19)

 

Makna Ayat Menurut Syaikh As-Sa’di

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri.”

Artinya, telah berhasil dan meraih kemenangan orang yang membersihkan dirinya dari kesyirikan, kezaliman, serta akhlak yang buruk.

“Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.”

Maksudnya, ia senantiasa mengingat Allah, hatinya dipenuhi dengan dzikir kepada-Nya, sehingga hal itu mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang diridhai Allah, terutama shalat, yang merupakan tolok ukur keimanan seseorang.

Inilah makna utama dari ayat yang mulia ini. Adapun tafsiran yang menyebut bahwa “menyucikan diri” berarti mengeluarkan zakat fitrah, dan “mengingat nama Tuhannya, lalu shalat” maksudnya adalah shalat Idul Fitri, maka meskipun hal ini termasuk dalam cakupan makna ayat dan merupakan salah satu bentuk penerapannya, namun bukanlah satu-satunya makna yang dimaksud.

“Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.”

“Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia,”

yakni, kalian lebih mendahulukan dunia dibandingkan akhirat, serta memilih kenikmatan dunia yang fana, penuh kekurangan, dan bercampur kepahitan, daripada kenikmatan akhirat yang abadi.

“Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”

Akhirat jauh lebih baik dari dunia dalam segala aspek yang diinginkan manusia. Akhirat adalah negeri keabadian, kebahagiaan yang murni, dan tanpa kesulitan, sedangkan dunia hanyalah tempat yang sementara dan penuh kefanaan. Orang beriman yang berakal tidak akan memilih sesuatu yang lebih rendah dibandingkan sesuatu yang lebih mulia, serta tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan abadi. Kecintaan terhadap dunia dan mengutamakannya di atas akhirat adalah akar dari segala dosa dan kesalahan.

“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa.”

Apa yang disebutkan dalam surah yang mulia ini—berupa perintah-perintah yang baik dan berita-berita yang benar—juga telah termaktub dalam kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dalam kitab Ibrahim dan Musa, dua di antara rasul-rasul yang paling mulia setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hukum-hukum ini bersifat universal dan berlaku dalam setiap syariat, karena semuanya mengandung maslahat bagi kehidupan dunia dan akhirat, serta relevan di setiap zaman dan tempat.

Kesimpulan dari Penjelasan Syaikh As-Sa’di:

  1. Keberuntungan bagi Orang yang Menyucikan Diri – Orang yang sukses dan meraih kemenangan adalah mereka yang membersihkan diri dari kesyirikan, kezaliman, dan akhlak yang buruk.
  2. Dzikir dan Shalat sebagai Tolok Ukur Keimanan – Mengingat Allah dengan hati yang dipenuhi dzikir mendorong seseorang untuk beramal saleh, terutama shalat, yang menjadi indikator utama keimanan seseorang.
  3. Makna Luas dari Menyucikan Diri – Menyucikan diri tidak hanya terbatas pada zakat fitrah, dan mengingat Allah tidak hanya merujuk pada shalat Idul Fitri, melainkan memiliki makna yang lebih luas mencakup penyucian hati dan ibadah secara keseluruhan.
  4. Kecenderungan Manusia Mengutamakan Dunia – Banyak manusia lebih memilih kenikmatan dunia yang sementara, meskipun penuh kekurangan, daripada kebahagiaan akhirat yang abadi.
  5. Akhirat Lebih Baik dan Kekal – Kehidupan akhirat jauh lebih baik dalam segala aspek dan lebih kekal, sedangkan dunia bersifat fana dan penuh ujian. Orang beriman tidak akan menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan yang abadi.
  6. Peringatan Ini Sudah Ada dalam Kitab-Kitab Terdahulu – Pesan-pesan ini tidak hanya terdapat dalam Al-Qur’an tetapi juga telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu, seperti kitab Ibrahim dan Musa, karena hukum-hukum ini bersifat universal dan relevan di setiap zaman dan tempat.

 

Penutup

Surah Al-A’la menegaskan bahwa Allah telah menetapkan hidayah bagi setiap makhluk sesuai dengan fitrahnya, baik secara naluriah maupun melalui wahyu, sehingga segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Selain itu, hanya dalam surah ini Allah secara langsung menjanjikan kemudahan dalam menjalankan agama-Nya bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya, menjadikan Islam sebagai jalan hidup yang penuh berkah dan kemudahan.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah segala kebaikan menjadi sempurna.

13 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin

Dr. Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button