Tafsir Al Qur'an

Makna Mendalam Surah Al-Kahfi Ayat 1-10: Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga.

Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi

 

QS. Al-Kahfi ayat pertama

ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1)

Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’di

Segala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka.

Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan.

Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut.

 

QS. Al-Kahfi ayat kedua

قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا

“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2)

Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’di

Firman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka.

Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya.

Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ.

Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna.

 

QS. Al-Kahfi ayat ketiga

مَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا

“Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3)

Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga:

Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya.

Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan:

Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia.

 

QS. Al-Kahfi ayat keempat

وَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا

“Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4)

Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar.

 

QS. Al-Kahfi ayat kelima

مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا

“Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5)

Syaikh As-Sa’di menerangankan:

Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya.

Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya.

Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya:

  • Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan.
  • Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka).
  • Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran.

 

QS. Al-Kahfi ayat keenam

Allah Ta’ala berfirman,

فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا

Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).” (QS. Al-Kahfi: 6)

Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat dalam memberi hidayah kepada manusia dan sungguh-sungguh dalam hal itu dengan kesungguhan yang luar biasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa bahagia dan gembira ketika ada orang yang mendapat hidayah. Sebaliknya, beliau bersedih dan merasa pilu atas mereka yang mendustakan dan tersesat, sebagai bentuk kasih sayang dan belas kasih beliau terhadap mereka.

Namun, Allah membimbing Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak menyibukkan diri dengan kesedihan terhadap orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an ini. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain:

لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 3)

Dan firman-Nya:

فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ

“Maka janganlah dirimu binasa karena menyesali (nasib) mereka.” (QS. Fāṭir: 8)

Dan dalam ayat ini pula Allah berfirman:

فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا

“Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena bersedih atas jejak mereka, jika mereka tidak beriman kepada berita ini.” (QS. Al-Kahf: 6)

Makna baakhi’un nafsaka adalah membinasakan dirimu sendiri karena kesedihan dan penyesalan terhadap mereka.

Padahal, Allah telah menjamin pahala untukmu. Dan andai Allah mengetahui adanya kebaikan pada mereka, tentu Dia akan memberikan petunjuk. Namun, karena Allah tahu bahwa mereka tidak layak kecuali untuk neraka, maka Allah tidak memberikan hidayah kepada mereka. Oleh sebab itu, menyibukkan dirimu dalam kesedihan atas mereka tidak membawa manfaat bagimu sedikit pun.

Dalam ayat ini dan yang semisalnya terdapat pelajaran penting. Bahwa orang yang diperintahkan untuk berdakwah kepada manusia hendaknya fokus pada menyampaikan dan berikhtiar maksimal dalam segala sebab yang dapat mengantarkan pada hidayah, serta menutup jalan-jalan kesesatan semampunya. Semua itu disertai dengan bertawakal kepada Allah.

Jika orang-orang tersebut mendapat hidayah, maka itu adalah nikmat besar. Jika tidak, maka tidak perlu bersedih dan menyesal. Sebab, kesedihan yang berlebihan akan melemahkan jiwa dan meruntuhkan semangat, padahal tidak membawa manfaat.

Tugasnya adalah terus melanjutkan misi dakwah yang telah Allah perintahkan kepadanya. Selebihnya, itu di luar batas kemampuannya. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja diberi peringatan oleh Allah dengan firman-Nya:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ

Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 56)

Dan Nabi Musa ‘alaihis salam berkata:

رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي

Wahai Rabbku, sesungguhnya aku tidak menguasai (apa-apa) selain diriku sendiri dan saudaraku.” (QS. Al-Mā’idah: 25)

Maka orang lain tentu lebih-lebih lagi tidak mampu. Karena itu, Allah pun menegaskan:

فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ ۝ لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ

Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 21–22)

 

QS. Al-Kahfi ayat ketujuh dan kedelapan

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7)

وَإِنَّا لَجَٰعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (QS. Al-Kahfi: 8)

Allah Ta’ala mengabarkan bahwa seluruh yang ada di muka bumi ini—baik makanan lezat, minuman segar, tempat tinggal yang nyaman, pepohonan rindang, sungai yang mengalir, ladang yang subur, buah-buahan yang ranum, pemandangan yang memanjakan mata, taman yang menawan, suara-suara merdu, rupa-rupa yang elok, emas, perak, kuda, unta, dan sejenisnya—semuanya dijadikan Allah sebagai perhiasan dunia ini. Semua itu adalah bentuk ujian dan cobaan dari-Nya.

Allah berfirman:

لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Agar Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.”

Yang dimaksud adalah siapa yang paling ikhlas dan paling benar amalnya.

Namun demikian, semua perhiasan dunia itu akan sirna, lenyap, dan musnah. Bumi akan kembali menjadi tanah gersang, penuh debu, tak ada lagi kenikmatan, sungai-sungainya mengering, peninggalan-peninggalannya pun menghilang, dan segala kenikmatannya lenyap tak bersisa. Itulah hakikat dunia: Allah telah membuka tabirnya bagi kita seakan-akan terlihat jelas di depan mata. Allah juga memperingatkan kita agar tidak tertipu oleh gemerlapnya, serta mengajak kita untuk mencintai negeri akhirat yang kenikmatannya abadi dan penghuninya bahagia selamanya. Semua ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.

Namun siapa yang hanya melihat dunia dari luarnya saja, tanpa memperhatikan hakikat batinnya, dialah yang tertipu oleh hiasan dan gemerlap dunia. Ia hidup bersama dunia layaknya hewan ternak: makan, minum, dan menikmati kesenangan tanpa berpikir tentang hak Rabb-nya, tanpa mengenal siapa Penciptanya. Yang menjadi tujuannya hanyalah mengikuti hawa nafsu, dari jalan mana pun kenikmatan itu datang, dan dalam keadaan apa pun. Orang seperti ini, jika datang ajalnya, ia gelisah karena kehilangan dirinya dan kesenangannya, bukan karena penyesalan atas dosa dan kelalaiannya.

Adapun orang yang menatap hakikat batin dunia dan memahami tujuan dari keberadaannya, maka ia akan mengambil dari dunia hanya secukupnya—sekadar untuk membantunya dalam menggapai tujuan penciptaannya. Ia manfaatkan kesempatan hidup yang berharga untuk mengenal Rabb-nya, melaksanakan perintah-Nya, dan memperbaiki amalnya. Dunia ia jadikan sebagai tempat persinggahan, bukan sebagai tempat bersenang-senang. Ia melihat dunia sebagai perjalanan, bukan sebagai tempat tinggal. Orang seperti ini berada pada kedudukan yang mulia di sisi Allah, pantas mendapatkan kemuliaan, kenikmatan, kebahagiaan, dan penghormatan.

Ia melihat hakikat dunia, ketika orang yang tertipu hanya melihat permukaannya. Ia bekerja untuk akhiratnya, ketika orang yang lalai bekerja hanya untuk dunianya. Maka betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini, dan sungguh sangat besar jurang pemisah antara keduanya.

 

QS. Al-Kahfi ayat ke-9 s.d. ke-12

Allah Ta’ala berfirman,

أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَٰبَ ٱلْكَهْفِ وَٱلرَّقِيمِ كَانُوا۟ مِنْ ءَايَٰتِنَا عَجَبًا

Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9)

إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10)

فَضَرَبْنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمْ فِى ٱلْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا

Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11)

ثُمَّ بَعَثْنَٰهُمْ لِنَعْلَمَ أَىُّ ٱلْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓا۟ أَمَدًا

Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12)

Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa.

  • Al-Kahfi adalah gua di gunung.
  • Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam).
  • Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Versi lain, Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat sebuah gua.
  • Nama anjing mereka adalah Humron.

Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih ‘alaihis salam. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala.

Ashabul Kahfi itu hidup di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para raja (tokoh). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:563.

Para ulama juga berselisih pendapat mengenai letak gua ini. Ada yang berkata di negeri Aylah. Ada yang berpendapat di negeri Niinawa. Ada yang mengatakan di Balqa’. Ada juga yang berpendapat di negeri Ar-Ruum (Romawi). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566.

Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri demi menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka. Agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Husain bin Arthah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,

اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

“ALLOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUNYAA WA ‘ADZAABIL AAKHIROH. (Artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).” (HR. Ahmad, 4:181. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa periwayat hadits ini tsiqqah atau terpercaya kecuali Ayyub bin Maysaroh. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan ia mensahihkannya, begitu pula Imam Adz-Dzahabi. Lihat Al-Mustadrak, 3:591. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10:181, menyatakan bahwa perawinya tsiqqah. Lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:139).

Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Allah tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “Beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama.

Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal di dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu di mana Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh. Dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah.

Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran di Dalamnya

Semoga 12 ayat dari Surah Al-Kahfi ini menjadi cahaya dalam hidup kita. Mari kita hafalkan dengan hati, pahami dengan iman, dan amalkan dengan penuh harap akan rida-Nya.

 

______

 

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 26 Syawal 1446 H, 25 April 2025, Jumat pagi

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Satu Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Prove your humanity: 9   +   1   =  

Back to top button