Aqidah

Peristiwa Hari Kiamat Lengkap: Kebangkitan, Hisab, Shirath, hingga Surga

Hari Kiamat adalah peristiwa agung yang pasti terjadi dan menjadi puncak dari perjalanan panjang kehidupan manusia. Pada hari itu, seluruh amal perbuatan akan ditampakkan, hisab ditegakkan, dan setiap jiwa menerima balasan yang adil dari Allah Ta‘ala. Para ulama menjelaskan bahwa kejadian-kejadian besar di Hari Kiamat berlangsung dalam urutan yang sangat teratur, dimulai dari kebangkitan manusia hingga berakhir di surga atau neraka. Tulisan ini menguraikan secara lengkap tahapan-tahapan Hari Kiamat sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dalam kitab Syarh Ath-Thahawiyyah.

 

Yang telah disepakati oleh para ulama yang teliti adalah bahwa urutan peristiwa pada Hari Kiamat berlangsung sebagai berikut:

  1. Ketika manusia dibangkitkan dan bangun dari kubur mereka, mereka akan menuju ke Padang Mahsyar. Di sana mereka berdiri sangat lama; keadaan mereka menjadi amat berat dan dahaga pun sangat mencekik. Ketakutan luar biasa meliputi mereka karena lamanya waktu berdiri itu, serta keyakinan mereka bahwa perhitungan amal akan segera dimulai, dan karena apa yang akan Allah `ʿazza wa jalla` lakukan terhadap mereka.
  2. Ketika masa berdiri itu sudah berlangsung lama, Allah `ʿazza wa jalla` akan menampakkan terlebih dahulu telaga Nabi-Nya ﷺ, yaitu Haudh al-Maurūd. Telaga Nabi ﷺ itu berada di tengah padang Mahsyar, ketika manusia sedang berdiri lama menanti keputusan Rabb semesta alam, pada hari yang kadarnya seperti lima puluh ribu tahun lamanya. Maka, siapa pun yang meninggal dunia di atas sunnah beliau — tanpa mengubah, tanpa membuat bid‘ah, dan tanpa mengganti ajaran — akan mendatangi telaga itu dan minum darinya. Dengan demikian, tanda pertama keselamatan baginya adalah bahwa ia diberi minum dari telaga Nabi ﷺ. Setelah itu, setiap nabi akan ditampakkan pula telaganya masing-masing, dan orang-orang saleh dari umat mereka akan diberi minum dari telaga tersebut.
  3. Kemudian manusia berdiri kembali dalam waktu yang sangat lama, hingga tibalah syafaat kubra (syafaat agung, syafaatul ‘uzhma), yaitu syafaat Nabi ﷺ, agar Allah `ʿazza wa jalla` mempercepat dimulainya hisab seluruh makhluk. Dalam hadits panjang yang masyhur disebutkan bahwa manusia mendatangi Nabi Adam, kemudian Nabi Nuh, lalu Nabi Ibrahim, dan seterusnya, hingga akhirnya mereka datang kepada Nabi Muhammad ﷺ. Mereka berkata kepadanya, “Wahai Muhammad,” sambil menjelaskan keadaan mereka yang sangat berat, dan mereka memintanya untuk memohon kepada Allah agar segera memulai hisab sehingga manusia terhindar dari kesulitan yang panjang itu. Maka Rasulullah ﷺ bersabda setelah mendengar permintaan mereka, “Aku-lah orangnya, aku-lah orangnya (yang mampu melakukannya).”* Beliau kemudian datang ke hadapan ‘Arsy, lalu sujud dan memuji Allah `ʿazza wa jalla` dengan pujian-pujian yang Allah bukakan bagi beliau. Setelah itu, dikatakan kepadanya: “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, mintalah niscaya engkau akan diberi, dan berilah syafaat niscaya syafaatmu akan diterima.” Maka inilah syafaat agung Nabi ﷺ, yaitu syafaat beliau agar Allah mempercepat hisab bagi seluruh makhluk.
  4. Setelah itu, tibalah tahap al-‘arḍ (عرض الأعمال) — yakni penampakan amal-amal perbuatan.
  5. Kemudian setelah penampakan amal tersebut, terjadilah hisab (perhitungan amal).
  6. Setelah hisab pertama, catatan-catatan amal akan beterbangan. Adapun hisab pertama ini termasuk dalam bagian dari penampakan amal, karena di dalamnya terjadi perdebatan dan alasan-alasan pembelaan diri dari para manusia.
  7. Setelah itu, catatan-catatan amal tersebut diterbangkan, lalu orang-orang yang beriman (Ahlul Yamin) menerima kitab mereka dengan tangan kanan, sedangkan orang-orang kafir dan durhaka (Ahlus Syimal) menerimanya dengan tangan kiri mereka. Maka tibalah saat mereka membaca kitab catatan amal masing-masing.
  8. Kemudian setelah pembacaan kitab amal itu, terjadi lagi perhitungan, untuk memutus segala alasan dan menegakkan hujjah (bukti) atas manusia melalui pembacaan apa yang tertulis dalam kitab amal mereka.Setelah itu datanglah tahap mīzān (timbangan), di mana amal-amal perbuatan manusia akan ditimbang — sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
  9. Kemudian setelah proses penimbangan itu, manusia akan terbagi menjadi kelompok-kelompok dan golongan-golongan (azwāj), yaitu setiap jenis akan dikumpulkan bersama dengan yang sejenis. Pada saat itu akan ditegakkan panji-panji para nabiLiwa’ Muhammad ﷺ, Liwa’ Ibrahim, Liwa’ Musa, dan lainnya. Manusia akan bernaung di bawah panji-panji tersebut sesuai dengan jenis dan kedudukan mereka. Setiap kelompok akan dikumpulkan dengan kelompoknya yang serupa. Demikian pula orang-orang zalim dan kafir, mereka juga akan dihimpun bersama dengan yang serupa, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman-teman mereka dan apa yang dahulu mereka sembah selain Allah.” (QS. As-Saffat: 22–23). Maksudnya dengan azwājahum (pasangan-pasangan mereka) adalah orang-orang yang sejenis dan serupa dengan mereka, baik dalam keyakinan maupun perbuatan. Maka ulama-ulama kaum musyrik akan dihimpun bersama ulama musyrik lainnya, para penguasa zalim akan dihimpun bersama para zalim lainnya, orang-orang yang mengingkari kebangkitan akan dihimpun bersama sesama pengingkar kebangkitan, dan demikian seterusnya.
  10. Setelah itu, Allah ‘Azza wa Jalla menebarkan kegelapan sebelum Jahanam (neraka) — kita berlindung kepada Allah darinya — dan manusia akan berjalan dengan cahaya (nūr) yang diberikan kepada mereka. Umat ini (umat Muhammad ﷺ) akan berjalan di antara mereka terdapat kaum munafik. Ketika mereka berjalan dengan cahaya masing-masing, maka didirikanlah tembok pemisah (as-sūr) yang telah Allah sebutkan, “Lalu dipasanglah dinding di antara mereka yang mempunyai pintu; di sebelah dalamnya ada rahmat, sedangkan di sebelah luarnya dari arah mereka ada azab. Mereka (orang-orang munafik) memanggil orang-orang beriman: ‘Bukankah kami dahulu bersama kalian?’ Mereka menjawab: ‘Benar, tetapi kalian mencelakakan diri kalian sendiri…’” (QS. Al-Hadid: 13–14). Maka Allah memberikan cahaya kepada orang-orang beriman, sehingga mereka dapat melihat dan menapaki jalan menuju Ash-Shirāṭ (titian di atas neraka). Adapun orang-orang munafik tidak diberi cahaya, dan mereka akhirnya bersama orang-orang kafir, terjatuh dan terhempas ke dalam neraka, berjalan dalam kegelapan, sedangkan di depan mereka terbentang Jahanam — na‘ūdzu billāh.
  11. Setelah itu, Nabi ﷺ datang pertama kali dan berdiri di atas Shirāṭ, beliau berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla untuk dirinya dan untuk umatnya seraya berkata: “Allāhumma sallim, sallim. Allāhumma sallim, sallim.” (“Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah!”). Maka beliau ﷺ pun meniti Shirāṭ, dan umatnya pun meniti Shirāṭ. Setiap orang akan melaluinya sesuai dengan kadar amalnya, dan cahaya yang menyertai mereka juga sesuai kadar amalnya. Maka berjalanlah mereka yang telah diampuni oleh Allah ‘Azza wa Jalla, sedangkan sebagian lain terjatuh ke dalam neraka, di lapisan para ahli tauhid yang Allah kehendaki untuk disiksa terlebih dahulu. Setelah mereka selesai melewati neraka, mereka berkumpul di lapangan surga (ʿarashāt al-jannah) — yakni di tempat yang telah Allah siapkan bagi orang-orang beriman untuk saling menuntut keadilan di antara mereka, agar setiap hak dikembalikan kepada pemiliknya. Lalu Allah menghapus segala rasa dengki dan dendam dari hati mereka, sehingga mereka memasuki surga dalam keadaan hati yang bersih, tanpa kebencian sedikit pun.
  12. Kemudian yang pertama kali memasuki surga setelah Nabi ﷺ adalah para fakir dari kalangan Muhajirin, disusul para fakir dari kalangan Anshar, lalu para fakir dari umat beliau secara umum. Adapun orang-orang kaya akan tertunda masuk surga, karena mereka harus menyelesaikan perhitungan terkait tanggung jawab terhadap sesama makhluk, serta pertanggungjawaban atas harta mereka di hadapan Allah.

(Sumber: “Syarh Ath-Thahawiyyah”, hlm. 542, dengan penomoran Maktabah Syamilah, karya Syaikh Shalih Alu Syaikh, dengan sedikit penyesuaian redaksi)

Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang selamat di hari yang penuh dahsyat itu, diberi cahaya untuk meniti shirath, dan dikumpulkan bersama Nabi Muhammad ﷺ di surga-Nya yang abadi. Aamiin.

 

Referensi: Islamqa.Com | Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid

 

Ditulis saat hujan turun di Wonosari Gunungkidul, 30 Rabiul Akhir 1447 H, 21 Oktober 2025

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button