Jalan Kebenaran

Alasan Sebagian Orang dalam Membela Maulid

Posting kali ini masih merupakan kelanjutan dari posting sebelumnya. Yang kami angkat adalah beberapa kerancuan dari orang yang membela acara maulid Nabi dan jawaban dari kerancuan tersebut. Semoga bermanfaat.

[Pertama] Maulid adalah Bentuk Rasa Syukur, Pengagungan dan Penghormatan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Cukup kami jawab, kalau memang maulid adalah bentuk syukur, mengapa sejak generasi sahabat hingga imam mazhab yang empat tidak ada yang melakukan perayaan ini[?] Apakah keimanan mereka lebih rendah dibanding orang-orang sekarang yang merayakannya[?] Apakah orang ini menyangka lebih mendapat petunjuk daripada generasi awal tersebut[?]

Semoga kita dapat merenungkan perkataan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah berikut.

لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ

Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.

Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)

Juga kami katakan, “Mengapa ucapan syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya sekali dalam setahun, hanya pada 12 Rabi’ul Awwal? Mengagungkan, mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersyukur bukan hanya sekali setahun, namun setiap saat dengan mentaati dan selalu ittiba’ pada beliau.”

[Kedua] Maulid Nabi adalah Bid’ah Hasanah (Bid’ah yang baik)

Perkataan ini muncul karena mereka melihat para ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah atau dholalah (sesat/jelek). Jadi menurut mereka tidak semua bid’ah itu sesat.

Ingatlah saudaraku, bid’ah dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikenal sama sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diyakini oleh sahabat, setiap bid’ah adalah sesat.

Perhatikanlah sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berikut.

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)

Lihatlah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Kita akan melihat bahwa mereka mengatakan semua bid’ah itu sesat, tanpa ada pengecualian.

Bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa ‘Umar bin Al Khaththab pernah menyatakan bahwa shalat tarawih yang dia hidupkan adalah “sebaik-baik bid’ah”? Dari perkataan beliau ini menurut mereka, ada bid’ah hasanah (yang baik).

Sanggahan: Ingatlah para sahabat tidak mungkin melakukan bid’ah. Yang dimaksud dengan bid’ah dalam perkataan ‘Umar adalah bid’ah secara bahasa Arab yang berarti sesuatu yang baru.

Jika ada yang masih ngotot bahwa tidak semua bid’ah sesat, ada di sana bid’ah yang baik (hasanah), maka cukup kami katakan: Kalau ‘Umar menghidupkan shalat tarawih dan beliau katakan sebagai bid’ah, hal ini ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melaksanakan shalat tarawih di awal-awal Ramadhan. Namun karena takut amalan tersebut dianggap wajib, maka beliau tidak menunaikannya lagi. Jadi, intinya ‘Umar memiliki dasar dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sekarang, apa maulid Nabi memiliki dasar dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana shalat tarawih yang dihidupkan oleh ‘Umar[?] Jawabannya tidak sama sekali. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merayakan hari kelahirannya, begitu pula para sahabat, tabi’in, dan para imam madzhab tidak ada yang merayakannya. Sehingga maulid tidak bisa kita sebut bid’ah hasanah. Yang lebih tepat maulid adalah bid’ah madzmumah (tercela) sebagaimana yang dikatakan oleh Asy Syuqairiy dan Al Fakihaniy yang telah kami sebutkan dalam tulisan sebelumnya.

[Ketiga] Niatannya Supaya Lebih Mengenal Sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Mungkin ada yang berseloroh, kalau melakukannya dengan niatan ibadah maka bid’ah, tapi kalau sekedar memperingati agar lebih mengenal sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mubah, bahkan bisa jadi sunnah atau wajib, karena setiap muslim wajib mengenal Nabinya.

Kita katakan kepadanya bahwa itu tidak benar! Sungguh ironis, seorang yang mengaku cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengenalinya kok hanya setahun sekali?! Mengenal sosok beliau tidaklah dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, sangat mustahil atau kecil kemungkinannya bila tidak disertai niat merayakan hari kelahiran beliau, yang ini pun sesungguhnya sudah masuk ke dalam lingkup tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang dibenci oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Mereka (orang Nashrani) merayakan kelahiran Nabi Isa melalui natalan, sedangkan mereka merayakan kelahiran Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui natalan. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)

Sudikah kita mengenal dan mengenang Nabi, namun beliau sendiri tidak suka dengan cara yang kita lakukan?! Dan siapa bilang harus mengenal sosok Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam cuma melalui acara maulid yang hanya diadakan sekali setahun[?] Bukankah masih ada cara lain yang sesuai tuntutan dan tidak tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir.

[Keempat] Nabi memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa

Sebagian beralasan dengan puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Senin, karena pada hari tersebut adalah hari kelahirannya. Ini berarti hari kelahiran boleh dirayakan. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanyakan mengenai puasa pada hari Senin, beliau pun menjawab,

« ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ ».

Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim [Muslim: 14-Kitab Ash Shiyam, 36-Bab Anjuran Puasa Tiga Hari Setiap Bulannya])

Sanggahan: Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi dalil untuk merayakan hari kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan Maulid harus setiap pekan bukan setiap tahun.

Semoga Allah senantiasa memberi taufik. Insya Allah berikutnya kami akan sampaikan syubhat (kerancuan lainnya). Semoga Allah beri kemudahan.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel https://rumaysho.com

Rabu, 6 Rabi’ul Awwal 1430 H

Baca Juga:

Artikel yang Terkait

48 Komentar

  1. Jika perhatikan umat Islam telah diserang dengan pelbagai serangan pemikiran. Perayaan yang turut Disambut oleh umat Islam aalah April Fool, Hari Kekasih dan sebagainya. Tidakkah lebih baik digantikan perayaan tersebut dengan sambutan maulidurrasul, nuzul Qur`an an sebagainya. Pada zaman para sahabat, nabi berada pada zaman mereka. Jadi mereka tetap ingat nabi. Pada zaman selepas kewafatan nabi, perayaan yang disambut setahun sekali itu bolehkah kita ibaratkan umpama cas bateri agar kita ingat kepada nabi kerana fitrah manusia yang lalai. Lebih2 lagi tak semua orang pergi ke majlis ilmu.  Hanya pada perayaan tertentu sahaja. Bagaimana untuk menjelaskan perkara ini?

  2. Hadith nabi mengatakan semua bid`ah aalah sesat. Ini bermakna ia hanya berkait dengan akidah sahaja. Kalau tak, sistem pendidikan, sistem pengangkutan dan lain2 sistem dalam kehidupan manusia banyaklah yang sesatnya sebab  zaman nabi takde. Minta penjelasan.

  3. Assalamu’alaikum wr wb….maaf ustad sy copas dr link yg lain…..bagaimana menurut ustadz…….
    Kesalahpahaman tentang bid’ah
    Kesalahpahaman yang satu ini telah membawa malapetaka berkelanjutan bagi dunia Islam. Tidak bisa dipungkiri, bahwa sunnah & bid’ah yang selalu dibahas oleh kaum Wahabi atau Salaf(i)  adalah pembahasan lama yang sudah tuntas dijelaskan oleh para ulama sejak masa salaf dan seterusnya di dalam kitab-kitab mereka.  Para ulama itu seolah sudah menghidangkannya untuk umat dalam bentuk “makanan siap saji” yang dapat langsung diikuti atau diamalkan. Bahkan perbedaan pendapat dalam urusan furu’ (cabang) sekalipun sudah selesai dibahas dengan hasil sangat memuaskan diiringi rasa solidaritas serta saling menghormati antara yang satu dengan yang lain.
    Singkatnya, apa yang disampaikan para imam 4 mazhab dalam pembahasan perkara syariat yakni apa yang telah Allah swt tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman, merupakan hasil ijtihad yang sangat maksimal dalam mengkaji seluruh dalil-dalil agama. Itu adalah hadiah yang sangat berharga bagi seluruh umat Islam, terlebih lagi umat belakangan yang bila disuruh mengkaji sendiri dalil-dalil tersebut maka tidak mungkin dapat mencapai hasil yang sama. Mengapa tidak mungkin, apakah pintu ijtihad telah tertutup? Pintu ijtihad memang belum tertutup, tetapi kemampuan dan kriteria berijtihad itulah yang sulit dipenuhi oleh orang belakangan.  Syarat orang  berijtihad atau mujtahid, silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/03/31/imam-mujtahid/
    Apa yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam dakwahnya yang mengajak umat untuk langsung kembali kepada al-Qur’an & Sunnah Rasulullah Saw., apalagi dengan pemahaman secara tekstual, harfiah,  tersurat  terhadap ayat-ayat atau hadis-hadis tersebut, adalah bagaikan mengurai kembali benang yang sudah selesai disulam. Artinya, semua itu sudah dikerjakan oleh para ulama terdahulu, dan kesimpulan-kesimpulan hukum dari proses panjang yang rumit dalam mengkaji dalil dengan menggunakan metodologi yang maksimal sudah dihasilkan. Mengapa justru umat yang seharusnya tidak perlu bersusah payah melakukan hal yang sama (apalagi tanpa kemampuan yang dimiliki para ulama tersebut) dan tinggal memanfaatkan pembahasan para ulama itu malah diajak oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menggali lagi dasar-dasar agama tersebut.
    Sebagai  contoh bagaimana memahami hadits berikut,
    Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Rasulullah menerangkan sbb: “Jauhilah olehmu sesuatu yang diada-adakan karena yang diada-adakan itu bid’ah dan sekalian bid’ah adalah dholalah (sesat)”
    Hadits ini diterangkan oleh hadits yang lain seperti
    “Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak” (H.R Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)
    Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa yang berbuat satu kebid’ahan di dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah azza wajalla telah menyatakan: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian. Dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian. Dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al- Maidah: 3)
    Kedua hadits itu menjelaskan bid’ah dholalah yang dimaksud adalah bid’ah dalam urusan kami atau bid’ah di dalam Islam.
    Hadist Nabi yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat, adalah masih dapat menerima pengecualian, karena lafadz kullu bid’atin adalah isim yang dimudlafkan kepada isim nakirah, sehingga dlalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian. Untuk itulah dijelaskan oleh hadits yang lain dengan istilah “di dalam Islam”  atau “urusan kami”.
    Arti kata-kata “kebid’ahan di dalam Islam” , “dalam urusan kami”  ialah kebid’ahan dalam hal yang telah ditetapkan oleh Allah swt yakni berupa kewajiban, larangan dan pengharaman atau disebut ibadah mahdah (ibadah ketaatan),  Ibadah yang mau tidak mau harus dilaksanakan dan ditaati bagi seluruh muslim, perkara syariat,  Ibadah yang disyaratkan bagi seluruh  umat Islam, ibadah yang wajib mengikuti apa yang telah dijelaskan/disampaikan/dicontohkan oleh Rasulullah saw.
    Sedangkan kebid’ahan dalam hal perbuatan/ibadah yang Allah swt telah diamkan/bolehkan tentu dibolehkan. Logikanya segala sesuatu yang Allah swt telah diamkan/bolehkan tentu juga perkara baru, bid’ah, inovasi, kreatifitas dibolehkan asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan perbuatan/ibadah yang Allah swt telah diamkan/bolehkan, sebagian adalah termasuk perbuatan/ibadah yang Allah swt anjurkan sehingga bagi muslim yang melaksanakaannya akan mendapatkan kebaikan/pahala.
    Perbuatan/ibadah yang Allah swt telah diamkan/bolehkan dinamakan ibadah ghairu mahdah, ibadah kebaikan, amal kebaikan,  amal sholeh,  perbuatan/ibadah yang tidak disyaratkan atau tidak dikerjakan tidaklah berdosa,  perbuatan/ibadah yang dianjurkan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw namun boleh dikerjakan sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan kita sendiri asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kebid’ahan dalam ibadah ghairu mahdah disebut bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah.
    Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
    Rujukan Bid’ah dalam bidang ibadah ghairu mahdah
    Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:
    Maknanya: “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)
    Perhatikan perkataan Rasulullah saw, “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik” maknanya adalah bid’ah dalam ibadah kebaikan atau ibadah ghairu mahdah
    Pendapat Imam Syafi’i –semoga Allah meridlainya-
    “Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i”, Juz I, h. 469)
    Imam as Syafii ra berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dlalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
    Perhatikan perkataan Imam Syafii ra “apa yang baru terjadi dari kebaikan”  maknanya adalah  bid’ah dalam ibadah kebaikan atau ibadah ghairu mahdah.
    Contoh ibadah ghairu mahdah , berdoa dan bersholawat
    Berdoa dan bersholawat bukanlah ibadah mahdah atau  ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah swt sebagai kewajiban atau ibadah yang tidak wajib artinya jika ditinggalkan tidaklah berdosa.
    Berdoa dan bersholawat adalah termasuk ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan atau ibadah ghairu mahdah namun termasuk pula ibadah yang dianjurkan sehingga bagi yang mengerjakan akan mendapatkan kebaikan / pahala.
    Oleh karenanya berdoa dan bersholawat dapat dikerjakan sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan kita sendiri asalkan memperhatikan adab berdoa dan bersholawat.
    Kita boleh berdoa menggunakan bahasa Indonesia namun dianjurkan mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
    Kita boleh bersholawat sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan kita sendiri atau berdasarkan keinginan kita mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah saw namun dianjurkan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw seperti sholawat ibrahimiyah.  Bacaan sholawat dalam bahasa kita yang sering diucapkan adalah “Salam dan Sholawat atas junjungan kita Nabi Muhammad Saw”.  Contoh sholawat lain yang diucapkan oleh Imam Syafi’i  ra yang artinya “Ya Allah, limpakanlah shalawat atas Nabi kami, Muhammad, selama orang-orang yang ingat menyebut-Mu dan orang-orang yang lalai melupakan untuk menyebut-Mu ”
    Dari kesalahpahaman tentang bid’ah kaum wahabi atau salaf(i) secara tidak disadari, mereka dapat keliru menjuluki saudara-saudara muslim lainnya sebagai ahli bid’ah karena mereka tidak dapat dengan baik membedakan perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan)
    Sebagian dari mereka bahkan mensesatkan suadara muslim lainnya berdasarkan kesalahpahaman tentang bid’ah, yang sesungguhnya perbuatan mensesatkan itu lebih mendekati perbuatan pentakfiran.
    Pen-takfir-an secara gegabah tersebut tidak hanya berdampak negatif bagi yang tertuduh, namun juga bagi dirinya sendiri. Maka siapapun dari kalangan Muslim dilarang memvonis kafir kepada siapapun sebelum ada bukti nyata yang mengarah terhadap perbuatan kafir secara konkrit (qoth’iy). Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,
    إِذَا قَالَ الرَّجُلُ ِلأَخِيْهِ يَا كَافِرَ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا“Apabila ada seseorang berkata kepada saudaranya (sesama muslim), “Hai kafir !“, maka sungguh di antara keduanya itu pulang dengan membawa predikat (kafir) tersebut.“ (HR. Bukhari dari Abu Hurairah RA).
    Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW adalah suri tauladan bagi kita dalam menyerukan keimanan yang benar dan lurus. Beliau tidak pernah menggunakan takfir kepada para sahabat beliau. Bahkan disebutkan dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, beliau amat marah terhadap sahabat Usamah RA. lantaran ia bertindak gegabah membunuh seorang kafir yang telah bersyahadat yang dikala itu ia sedang terdesak dalam sebuah peperangan. Sahabat Usamah RA sempat memberikan alasan kepada Rasulullah mengapa ia tetap membunuhnya meski telah mengucapkan kalimah syahadat. Besar kemungkinan orang kafir tersebut bersyahadat karena takut di bunuh. Maka apa jawab Nabi Saw. ?“Halla syaqogta qolbuhu?” Artinya, Apakah engkau telah membelah hatinya, sehingga engkau mengerti kalau ia bersayahadat karana takut kau bunuh?
    Dari hadis ini semakin jelas kiranya bahwa sebaik apapun niat dan tujuan kita dalam melaksanakan kebaikan, harus menghindari cara-cara yang mendeskriditkan (menyudutkan) orang lain dengan takfir atau semisalnya. Karena hal itu sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam, sebelum ada bukti nyata bahwa ia benar-benar telah kafir.
    Wassalam
    Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

  4. bismillah, saya mau bertanya… “Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”Tentang perkataan tsb, saya pernah melihat dari situs lain yang mengatakn jk perkataan tsb bukan firman Allah Azza wa Jalla dan bukan pula perkataan Rasulullah, bukan perkataan para Sahabat atau Salaf yang Sholeh lainnya. Bisa jelaskan lebih rinci ttg perkataan tsb?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button