Teladan

Fathu Makkah: Kemenangan Tanpa Pertumpahan Darah dan Pelajaran Abadi dari Sirah Nabawiyah

Peristiwa Fathu Makkah—penaklukan Kota Suci Makkah—merupakan salah satu kemenangan terbesar dalam sejarah Islam. Kemenangan ini bukan hanya menjadi momen penting dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, tetapi juga diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an di beberapa tempat.

 

Daftar Isi tutup
18. Pelajaran dari Kisah Fathu Makkah

Salah satunya adalah dalam surah An-Naṣr, yang merupakan pertanda dekatnya kemenangan:

﴿إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ۝ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا ۝ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا﴾

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.” (QS. An-Naṣr: 1–3)

Di tempat lain, Allah menunjukkan betapa besarnya keutamaan orang-orang yang berjuang di masa-masa awal Islam, sebelum kemenangan itu datang:

﴿لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ﴾

Tidak sama antara orang-orang di antara kamu yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum kemenangan (Fathu Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan dan berperang setelah itu. Tetapi kepada masing-masing, Allah menjanjikan balasan yang terbaik.” (QS. Al-Ḥadīd: 10)

Ibnu Qayyim rahimahullāh berkata, “Fathu Makkah adalah kemenangan terbesar yang Allah karuniakan untuk memuliakan agama-Nya, Rasul-Nya, dan pasukan-Nya. Dalam kemenangan ini pula Allah menghinakan musuh-musuh-Nya. Ia menjadi titik balik bagi kota suci Makkah—kembali ke pangkuan Islam setelah sekian lama berada di tangan kaum kafir dan musyrik. Kemenangan itu disambut gembira oleh penduduk langit, dan bumi pun bersinar terang dengan cahaya iman dan petunjuk. Manusia masuk Islam secara berbondong-bondong. Allah menolong Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Al-Qur’an dan barisan pasukan-Nya, dan semua itu terjadi pada bulan Ramadhan tahun kedelapan Hijriah.” (Zaad Al-Ma’ad, 3:394)

 

Sebab Terjadinya Fathu Makkah

Sebab terjadinya Fathu Makkah adalah pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh Quraisy dalam kesepakatan Hudaibiyah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai perjanjian itu dan tidak menghendaki perang. Namun ketika Quraisy dan sekutunya melanggarnya, sementara Bani Khuza‘ah yang merupakan sekutu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memegang teguh isi perjanjian, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memutuskan untuk menaklukkan Makkah.

Antara Bani Bakr dan Khuza‘ah terdapat permusuhan dan dendam lama. Saat perjanjian Hudaibiyah masih berlaku, Naufal bin Mu‘āwiyah ad-Daili dari Bani Bakr keluar bersama sejumlah orang dari kaumnya, lalu menyerang Khuza‘ah saat mereka sedang berada di sumber air bernama al-Watīr. Terjadilah pertempuran. Bani Bakr kemudian meminta bantuan Quraisy. Mereka pun mengirimkan senjata dan turut berperang bersama mereka, sebagian bahkan secara diam-diam di malam hari.

 

Upaya Quraisy Melanggengkan Perjanjian

Setelah kejadian itu, ‘Amr bin Sālim al-Khuza‘ī keluar bersama empat puluh orang dari kaumnya dalam keadaan berkendara menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengadukan pengkhianatan yang menimpa mereka, sambil menyampaikan syair ratapan yang menyayat hati. Mendengar hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«نُصِرْتَ يَا عَمْرَو بْنَ سَالِمٍ»

“Engkau telah mendapat pertolongan, wahai ‘Amr bin Sālim.” (Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 4:278)

Setelah kejadian itu, Abū Sufyān pergi ke Madinah untuk mencoba memperbarui dan memperkuat kembali perjanjian. Ia mendatangi putrinya, Ummul Mukminīn Ummu Ḥabībah binti Abī Sufyān raḍiyallāhu ‘anhā. Ketika ia hendak duduk di atas tikar milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Ḥabībah segera melipat tikar tersebut dan tidak mengizinkannya duduk di atasnya. Abū Sufyān berkata, “Wahai putriku, apakah engkau tidak rela aku duduk di atas tikar ini? Apakah tikar ini lebih engkau sukai daripadaku?” Ia menjawab, “Ini adalah tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk di atas tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Setelah itu, Abū Sufyān menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencoba berbicara kepadanya, tetapi beliau tidak memberikan respons sedikit pun. Ia pun pergi menemui Abū Bakr, namun tidak mendapat jawaban. Ia datangi ‘Umar, tapi ‘Umar menolaknya. Ia lalu pergi ke ‘Uthmān, kemudian ke ‘Alī dan beberapa Sahabat dari kalangan Anṣār, namun tidak satu pun yang membantunya. Akhirnya, Abū Sufyān kembali ke Makkah dengan tangan hampa, tidak mendapatkan apa yang ia harapkan. (Ibnu Hisyam dalam As-Sirah 2:396)

 

Persiapan Rasulullah ﷺ Menuju Makkah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mulai mempersiapkan penaklukan Makkah. Beliau memerintahkan untuk bersiap-siap menghadapi perang, namun tidak mengumumkan arah tujuan sebenarnya. Dalam kitab as-Sīrah, Ibnu Hisyām rahimahullāh meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:

«اللَّهُمَّ خُذِ الْعُيُونَ وَالْأَخْبَارَ عَنْ قُرَيْشٍ حَتَّى نَبْغَتَهَا فِي بِلَادِهَا»

“Ya Allah, tutuplah mata-mata dan berita dari Quraisy agar kami bisa mengejutkan mereka di negeri mereka sendiri.” (Ibnu Hisyam dalam As-Sirah, 2:397)

 

Kisah Surat Hatib bin Abi Balta‘ah

Menjelang penaklukan Makkah, Hatib bin Abī Balta‘ah sempat mengirim surat secara diam-diam kepada penduduk Makkah, memberitahu mereka bahwa Rasulullah ﷺ akan bergerak menuju kota tersebut. Surat itu ia titipkan melalui seorang wanita.

‘Alī bin Abī Ṭālib berkata: “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda, ‘Pergilah kalian ke Rawḍah Khākh, di sana ada seorang wanita yang membawa surat. Ambillah surat itu darinya.’” Maka kami pun berangkat bersama az-Zubair dan al-Miqdād. Setelah tiba di tempat yang dimaksud, kami menemukan wanita itu.

Kami berkata kepadanya, “Keluarkan surat itu.” Ia membantah, “Aku tidak membawa surat.” Kami menegaskan, “Kamu harus mengeluarkannya, atau kami akan menelanjangimu.” Akhirnya, ia pun mengeluarkan surat itu dari sanggul rambutnya. Lalu kami bawa surat itu kepada Rasulullah ﷺ.

Setelah membacanya, Rasulullah ﷺ berkata kepada Hatib:

«يَا حَاطِبُ، مَا هَذَا؟»

“Wahai Ḥāṭib, apa maksud semua ini?”

Ḥāṭib menjawab dengan jujur, “Wahai Rasulullah, jangan tergesa menghukumku. Aku bukan orang Quraisy. Keluargaku di Makkah tidak memiliki pelindung, berbeda dengan para sahabatmu. Aku hanya ingin menjaga hubungan dengan mereka agar keluargaku tidak ditindas. Bukan karena aku murtad dari Islam atau rela dengan kekufuran setelah mendapat petunjuk.”

Rasulullah ﷺ bersabda:

«أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكُمْ»

“Sungguh, ia telah berkata jujur kepada kalian.”

Namun ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkan aku memenggal leher si munafik ini!”
Nabi ﷺ menanggapi:

«إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ اطَّلَعَ إِلَى أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ»

“Ia adalah peserta Perang Badar. Dan tahukah kamu? Boleh jadi Allah telah memandang para pejuang Badar lalu berfirman: ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sungguh Aku telah mengampuni kalian.’” (HR. Bukhārī dan Muslim)

Tak lama setelah kejadian itu, Allah ﷻ menurunkan ayat:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُم مِّنَ الْحَقِّ…﴾

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang, padahal sungguh mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu…” (QS. Al-Mumtaḥanah: 1)

Disebutkan dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī –rahimahullāh– bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ia telah berkata jujur. Janganlah kalian mengatakan tentang dia kecuali yang baik.”

Namun ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu berkata, “Sungguh ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin! Izinkan aku untuk memenggal lehernya!”

Rasulullah ﷺ menjawab: “Bukankah dia termasuk ahli Badar?”

Beliau kemudian menambahkan:

فَقَالَ: «لَعَلَّ ٱللّٰهَ ٱطَّلَعَ إِلَىٰ أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: ٱعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ، فَقَدْ وَجَبَتْ لَكُمُ ٱلْجَنَّةُ» أَوْ: «فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ»

“Bisa jadi Allah telah melihat para pejuang Badar lalu bersabda: ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki karena kalian sudah dijamin surga, sungguh Aku telah mengampuni kalian.’”

Maka berlinanglah air mata ‘Umar, lalu ia berkata: “Allāh dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” (HR. Bukhari, no. 3983)

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menziarahi Kubur Ibundanya

Setelah Rasulullah ﷺ menyelesaikan persiapannya, beliau berangkat dari Madinah dengan membawa sepuluh ribu pasukan. Dalam perjalanan, beliau singgah untuk menziarahi makam ibundanya, Āminah binti Wahb.

ففي صحيح مسلم – رحمه الله تعالى – عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه: قال: زارَ النبيُّ ﷺ قبرَ أمِّه، فبكى وأبكى من حولَه، فقال: «استأذنتُ ربِّي في أن أستغفرَ لها فلم يُؤذَنْ لي، واستأذنتُه في أن أزورَ قبرَها فأذِنَ لي، فزوروا القبورَ فإنها تُذَكِّرُ الموت».

Dalam riwayat Shahih Muslim, Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu berkata: Nabi ﷺ menziarahi makam ibunya, lalu beliau menangis dan membuat orang-orang di sekitarnya ikut menangis. Beliau bersabda:

“Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi tidak diizinkan. Aku juga meminta izin untuk menziarahi kuburnya, maka aku pun diizinkan. Karena itu, ziarahilah kubur, sebab ia dapat mengingatkan kalian kepada kematian.”

ورُفِع في مسند الإمام أحمد – رحمه الله تعالى – ما يُغلَب على الظن أن ذلك كان في غزوة الفتح. فمن بُرَيْدَةَ بنُ الحُصَيْب رضي الله تعالى عنه: أن رسولَ الله ﷺ غزا غزوةَ الفتح، فخرج يمشي إلى القبور حتى إذا أتى أدناها جلس إليها كأنه يُكَلِّمُ إنسانًا جالسًا يبكي. قال: فجلس إليه عمرُ بنُ الخطاب رضي الله تعالى عنه، فقال: يا رسولَ الله ما يُبْكِيك؟ جعلني الله فداك. قال: «سألتُ ربِّي أن يأذنَ لي في زيارةِ قبرِ أمِّي محمَّدَةَ فأذِنَ لي، وسألتُه أن أستغفرَ لها فلم يأذنْ لي».

Dalam Musnad Ahmad, diriwayatkan bahwa hal itu terjadi pada Perang Fathu Makkah. Dari Buraidah bin al-Hushaib radhiyallāhu ‘anhu disebutkan: Rasulullah ﷺ dalam Perang Fath keluar berjalan menuju kuburan. Ketika sampai di dekatnya, beliau duduk seakan-akan sedang berbicara dengan seseorang sambil menangis. Umar bin al-Khaththab radhiyallāhu ‘anhu pun mendekat dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu menangis? Semoga aku menjadi tebusanmu.” Rasulullah ﷺ menjawab:

“Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk menziarahi kubur ibuku, maka Dia izinkan. Dan aku meminta izin untuk memohonkan ampun baginya, tetapi Dia tidak izinkan.”

وجاء في لفظٍ آخر عن بُرَيْدةَ رضي الله تعالى عنه: قال رسولُ الله ﷺ: «إنِّي استأذنتُ ربِّي في استغفارِ أمِّي فلم يأذَنْ لي، فأنزلني عند قبرِها رحمةً عَيْنَيَّ».

Dalam riwayat lain dari Buraidah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi Dia tidak izinkan. Lalu aku berada di sisi kuburnya hingga kedua mataku basah penuh air mata.”

 

Bertemu dengan Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib

Di tengah perjalanan itu, beliau bertemu dengan Al-‘Abbās bin ‘Abdil Muththalib, yang keluar dari Makkah untuk berhijrah bersama keluarga dan anak-anaknya. Sebelumnya, ia masih tinggal di Makkah mengurus pekerjaan memberi minum jamaah haji. Rasulullah ﷺ pun merestui keputusannya.

Ketika Rasulullah ﷺ sampai di daerah Marruzh-Zhahrān, beliau singgah di sana. Beliau memerintahkan para sahabat – semoga Allah meridhai mereka – untuk menyalakan sepuluh ribu api unggun. Saat itu, Quraisy sama sekali belum mengetahui perjalanan pasukan Muslim, sementara mereka diliputi kegelisahan karena khawatir akan diserang.

 

Abu Sufyan Masuk Islam

Abu Sufyan, Hakim bin Hizam, dan Budail bin Warqā’ keluar mencari informasi. Mereka terus menyusuri berita hingga akhirnya tiba di Marruzh-Zhahrān. Ketika melihat pasukan besar kaum Muslimin, mereka pun ketakutan. Beberapa orang dari pasukan penjaga Rasulullah ﷺ menangkap mereka lalu membawa mereka kepada beliau. Saat itu, Abu Sufyan akhirnya masuk Islam.

Rasulullah ﷺ kemudian berkata kepada Al-‘Abbās radhiyallāhu ‘anhu:

احبِسْ أبا سفيان عند خَطْمِ الجبل حتّى ينظرَ إلى المسلمين

“Tahan Abu Sufyan di dekat celah gunung, agar ia bisa melihat sendiri pasukan kaum Muslimin.”

Al-‘Abbās pun menahan Abu Sufyan di sana. Lalu, kabilah-kabilah lewat satu per satu bersama Nabi ﷺ sehingga Abu Sufyan menyaksikan kekuatan besar Islam.

Sebelumnya, Al-‘Abbās berkata kepada Rasulullah ﷺ: “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang suka dengan kehormatan dan kebanggaan. Berikanlah sesuatu untuknya.” Maka Rasulullah ﷺ menjawab:

نَعَم، من دخل دارَ أبي سفيان فهو آمن، ومن أغلق عليه بابَه فهو آمن، ومن دخل المسجد فهو آمن».

“Baiklah. Barang siapa masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman. Barang siapa menutup pintu rumahnya, maka ia aman. Dan barang siapa masuk ke masjid, maka ia aman.”

 

Masuknya Nabi ﷺ ke Makkah dengan Kerendahan Hati

Kemudian Rasulullah ﷺ melanjutkan perjalanan hingga sampai di Dzu Ṭuwā. Beliau masuk ke Mekah dengan penuh kerendahan diri kepada Allah Ta‘ālā. Saat itu, kepala beliau menunduk di atas untanya dengan penuh kekhusyukan, hingga janggut beliau hampir menyentuh pelana. Beliau membaca Surah Al-Fatḥ.

Rasulullah ﷺ mengutus Az-Zubair bin Al-‘Awwām – raḍiyallāhu ‘anhu – kepada kaum Muhājirin dan kabilah tertentu. Beliau memerintahkannya agar masuk dari arah Kaddā (jalur atas Mekah) dan menancapkan benderanya di Al-Ḥujūn, tanpa berperang kecuali bila diserang.

Beliau juga mengutus Khālid bin Al-Walīd – raḍiyallāhu ‘anhu – bersama kabilah Qudhā‘ah, Sulaim, dan lainnya, serta memerintahkannya agar masuk Mekah dari arah bawah (Kudā), dan menancapkan benderanya di dekat rumah-rumah Mekah.

Beliau juga mengutus Sa‘d bin ‘Ubādah – raḍiyallāhu ‘anhu – dengan panji kaum Anṣār, dan memerintahkannya agar tidak memerangi kecuali bila diserang.

Maka berangkatlah Khālid bin Al-Walīd, beliau masuk dari arah bawah Mekah. Namun, beberapa kabilah Quraisy berkumpul untuk melawannya, yaitu Banu Bakr, Banu Ḥārith bin ‘Abdi Manāf, sebagian dari Hudzayl, serta orang-orang dari daerah pinggiran Mekah. Mereka menyerang pasukan Khālid, tetapi akhirnya kalah dan terpukul mundur.

Rasulullah ﷺ memberi keamanan umum pada hari itu kepada semua orang, kecuali empat laki-laki dan dua perempuan. Beliau memerintahkan agar mereka dibunuh meskipun berlindung di bawah kain Ka‘bah. Mereka adalah:

  • ‘Ikrimah bin Abī Jahl,
  • ‘Abdullāh bin Khathal,
  • Miqyas bin Shubābah,
  • ‘Abdullāh bin Abī Sarḥ.

‘Abdullāh bin Khathal dibunuh saat itu juga, meskipun ia bergantung pada kain Ka‘bah. Miqyas juga terbunuh di Mekah. Adapun ‘Ikrimah, ia sempat melarikan diri, lalu akhirnya kembali masuk Islam dengan tulus. Sedangkan ‘Abdullāh bin Abī Sarḥ bersembunyi hingga kemudian mendapat jaminan keamanan, lalu datang kepada Rasulullah ﷺ dan masuk Islam.

Dua perempuan yang diperintahkan untuk dibunuh adalah Fartanā dan Sārah, keduanya bekas budak penyanyi milik ‘Abdullāh bin Khathal.

Panji Rasulullah ﷺ ditancapkan di Al-Ḥujūn dekat Masjid al-Fatḥ. Beliau memerintahkan para sahabat agar berkumpul di sana. Abu Hurairah – raḍiyallāhu ‘anhu – meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْزِلُنَا إِذَا فَتَحَ اللَّهُ الْخَيْفُ

“Tempat tinggal kita nanti – insyaAllah – bila Allah memberi kemenangan adalah di Al-Khaif.”

Ketika siang mulai meninggi, Rasulullah ﷺ masuk ke Mekah. Beliau menuju rumah Ummu Hāni’ binti Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhā – lalu mandi di sana. Setelah itu beliau shalat delapan rakaat. Ummu Hāni’ berkata:

“Aku tidak pernah melihat beliau shalat dengan lebih ringan daripada shalat ini, meskipun tetap sempurna rukuk dan sujudnya.”

 

Pembersihan Ka‘bah dari Berhala

Kemudian beliau kembali ke pasukan. Tenda beliau dipasang di Syib ‘Abī Ṭālib, sementara kaum Quraisy berkumpul di sekitar beliau. Saat itu, Rasulullah ﷺ masuk ke Masjidil Haram. Beliau menghadap Ka‘bah, di sekelilingnya ada kaum Muhājirin dan Anṣār. Beliau membawa tongkat di tangannya. Ketika itu Ka‘bah dikelilingi oleh 360 berhala. Rasulullah ﷺ mulai menghancurkan berhala-berhala itu dengan tongkatnya sambil membaca firman Allah:

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

Katakanlah: Telah datang kebenaran, dan lenyaplah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” (QS. AL-Isra’: 81)

Dan juga firman Allah Ta‘ālā:

قُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ

Katakanlah: Telah datang kebenaran, dan kebatilan itu tidak akan memulai dan tidak pula akan mengulang kembali.” (QS. Saba’: 49)

Maka berhala-berhala itu berjatuhan satu per satu di hadapan beliau.

Setelah itu, Rasulullah ﷺ thawaf di Ka‘bah dengan menaiki untanya. Beliau lalu memanggil ‘Utsmān bin Ṭalḥah dan meminta kunci Ka‘bah darinya. Ketika kunci itu diserahkan, beliau membuka pintu Ka‘bah. Saat masuk, beliau melihat banyak gambar di dalamnya. Di antaranya adalah gambar Nabi Ibrāhīm dan Nabi Ismā‘īl ‘alaihimas-salām yang sedang mengundi nasib dengan anak panah.

Melihat itu, Rasulullah ﷺ bersabda:

قَاتَلَهُمُ اللهُ، وَاللهِ لَقَدْ عَلِمُوا مَا اسْتَقْسَمَا بِهَا قَطُّ

“Semoga Allah membinasakan mereka! Demi Allah, sungguh mereka tahu bahwa keduanya tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah sama sekali.”

Beliau juga melihat ada gambar seekor merpati dari kayu di dalam Ka‘bah. Maka beliau menghancurkannya dengan tangannya dan memerintahkan agar semua gambar dihapus.

Dari Usāmah bin Zayd – raḍiyallāhu ‘anhu – ia berkata: “Aku masuk bersama Rasulullah ﷺ ke dalam Ka‘bah. Beliau melihat ada gambar, lalu beliau meminta diambilkan air. Beliau pun mengusap gambar itu seraya bersabda:

قَاتَلَ اللهُ قَوْمًا يَصُوِّرُونَ مَا لَا يَخْلُقُونَ

“Semoga Allah membinasakan suatu kaum yang membuat gambar sesuatu yang mereka tidak mampu menciptakannya.”

 

Khutbah Rasulullah ﷺ di Masjidil Haram

Kemudian beliau shalat di dalam Ka‘bah. Setelah itu, beliau keluar dan berdiri menghadap kaum Quraisy yang telah memenuhi Masjidil Haram. Beliau berkhutbah di hadapan mereka:

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ نُخْوَةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَظُّمَهَا بِالْآبَاءِ. النَّاسُ مِنْ آدَمَ، وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ

“Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghapus dari kalian kesombongan jahiliah dan kebanggaan terhadap nenek moyang. Manusia semuanya berasal dari Ādam, dan Ādam diciptakan dari tanah.”

Lalu beliau membaca firman Allah Ta‘ālā:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Kemudian Rasulullah ﷺ berkata: “Wahai kaum Quraisy, menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?”

Mereka menjawab: “Engkau adalah saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.”

Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka, sebagaimana ucapan Nabi Yūsuf ‘alaihissalām kepada saudara-saudaranya:

لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ

“Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian.”

Beliau pun berkata:

اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ

“Pergilah kalian, kalian semua bebas.”

Imam Al-Baihaqī – raḥimahullāh – berkata: maksudnya adalah beliau memberikan mereka jaminan keamanan.

 

Pengembalian Kunci Ka‘bah dan Amanah yang Dijaga

Setelah itu, beliau duduk di dalam Masjidil Haram. Lalu berdirilah ‘Alī bin Abī Ṭālib – raḍiyallāhu ‘anhu – seraya meminta kunci Ka‘bah. Rasulullah ﷺ pun bertanya: “Di mana ‘Utsmān bin Ṭalḥah?”

Maka beliau dipanggil, dan Rasulullah ﷺ berkata kepadanya:

هَاكَ مِفْتَاحَكَ يَا عُثْمَانُ، الْيَوْمَ يَوْمُ بِرٍّ وَوَفَاءٍ

“Ini kuncimu wahai ‘Utsmān, hari ini adalah hari kebaikan dan kesetiaan.”

Lalu kunci itu dikembalikan kepadanya dan tetap berada pada keluarganya (Bani Abī Ṭalḥah), sebuah amanah yang tidak akan dicabut dari mereka selamanya.

 

Loyalitas Rasulullah ﷺ kepada Kaum Anshar

Setelah Fathu Makkah, sebagian kaum Anṣār saling berbisik satu sama lain: “Sepertinya Rasulullah ﷺ akan kembali ke kampung halamannya setelah Allah memenangkan beliau atas Mekah.”

Ketika itu datanglah wahyu, yang tidak samar bagi kami. Jika wahyu turun, semua orang tahu dari tanda-tandanya. Maka seseorang bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal itu. Setelah wahyu selesai, Rasulullah ﷺ memanggil kaum Anṣār dan bersabda: “Wahai kaum Anṣār, apa yang kalian bicarakan? Apakah kalian mengira aku akan kembali ke kampung halamanku?”

Mereka menjawab: “Benar, ya Rasulullah.”

Beliau bersabda:

كَلَّا، إِنِّي عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، هَاجَرْتُ إِلَى اللهِ وَإِلَيْكُمْ، وَالْمَحْيَا مَحْيَاكُمْ وَالْمَمَاتُ مَمَاتُكُمْ

“Tidak, demi Allah! Aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Aku hijrah kepada Allah dan kepada kalian. Hidupku bersama kalian, dan matiku juga bersama kalian.”

Maka kaum Anṣār pun menangis terharu hingga jenggot mereka basah, seraya berkata:
“Demi Allah, kami hanya ridha dengan Allah dan Rasul-Nya.”

Rasulullah ﷺ pun menenangkan mereka:

إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ يُصَدِّقَانِكُمْ وَيَعْذِرَانِكُمْ

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya membenarkan kalian dan memaafkan kalian.”

 

Baiat Agung di Shafā

Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu berkata, sebagaimana dalam al-Mustadrak:

“Demi Allah, tidak ada seorang pun dari mereka kecuali menangis hingga membasahi jenggotnya dengan air mata.”

Kemudian Rasulullah ﷺ mengambil baiat dari semua manusia: laki-laki, perempuan, tua, muda, hingga anak kecil. Beliau ﷺ memulainya dengan para lelaki di atas Shafā, lalu mereka membaiat atas Islam, ketaatan, mendengar, dan patuh kepada Rasulullah ﷺ sesuai kemampuan mereka.

Diriwayatkan dari Abū Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang berbicara kepada Nabi ﷺ pada hari Fathu Makkah, lalu tubuhnya gemetar karena takut. Maka Nabi ﷺ bersabda:

هَوِّنْ عَلَيْكَ فَإِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ، كَانَتْ تَأْكُلُ الْقَدِيدَ

“Tenanglah, aku hanyalah anak dari seorang wanita Quraisy yang biasa memakan daging kering.”

Adapun ketika membaiat kaum wanita, Rasulullah ﷺ tidak pernah berjabat tangan dengan mereka. Beliau hanya menerima baiat dengan lisan, tanpa menyentuh tangan wanita mana pun, kecuali wanita yang dihalalkan Allah baginya (yakni para istri atau mahram beliau).

‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā berkata: “Demi Allah, tangan Rasulullah ﷺ sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita, kecuali wanita yang menjadi mahram beliau.”

 

Keislaman Abū Quḥāfah

Ketika Rasulullah ﷺ memasuki Masjidil Haram, datanglah Abū Bakr radhiyallāhu ‘anhu sambil membawa ayahnya, Abū Quḥāfah, yang ketika itu sudah renta dan matanya buta. Abū Bakr menuntunnya hingga bertemu dengan Rasulullah ﷺ.

Rasulullah ﷺ bersabda:

هَلَّا تَرَكْتَ الشَّيْخَ فِي بَيْتِهِ حَتَّى أَكُونَ أَنَا آتِيهِ فِيهِ

“Mengapa engkau tidak meninggalkan orang tua itu di rumahnya, agar aku yang datang kepadanya?”

Abū Bakr menjawab: “Wahai Rasulullah, dialah yang lebih pantas berjalan menuju engkau daripada engkau yang mendatanginya.”

Maka Rasulullah ﷺ mengusap dadanya, menyerunya kepada Islam, lalu Abū Quḥāfah pun masuk Islam.
Disebutkan pula dari Zayd bin Aslam bahwa Rasulullah ﷺ menyambut Abū Bakr seraya berkata:

هَلُمَّ أَبَا بَكْرٍ بِإِسْلَامِ أَبِيكَ»

“Bergembiralah wahai Abū Bakr dengan keislaman ayahmu.”

 

Taubat ‘Ikrimah bin Abī Jahl

Adapun orang-orang yang Nabi ﷺ perintahkan untuk dibunuh meski berada di bawah perlindungan Ka‘bah, salah satunya adalah ‘Ikrimah bin Abī Jahl. Ia melarikan diri, menunggangi kapal laut. Ketika kapal itu dilanda angin kencang, para penumpang berkata:

“Wahai penumpang kapal, ikhlaskan niat kalian, karena sesungguhnya hanya keikhlasanlah yang dapat menyelamatkan kalian di lautan ini.”

‘Ikrimah berkata: “Demi Allah, jika tidak ada yang menyelamatkanku di lautan ini selain keikhlasan, maka tidak ada yang dapat menyelamatkanku di daratan selain itu juga. Ya Allah, jika Engkau selamatkan aku dari bahaya ini, aku akan mendatangi Muhammad dan meletakkan tanganku di tangannya. Sungguh aku akan mendapati beliau sebagai pribadi yang pemaaf dan mulia.”

Akhirnya ia pun selamat, datang kepada Rasulullah ﷺ, dan masuk Islam.

 

Penghancuran Berhala-Berhala Quraisy

Rasulullah ﷺ tinggal di Makkah selama sembilan belas hari. Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā berkata:

أَقَامَ النَّبِيُّ ﷺ بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ

“Nabi ﷺ tinggal di Makkah selama sembilan belas hari, setiap shalat beliau melaksanakannya dua rakaat.” (HR. Bukhari, no. 3298)

Selama itu beliau meneguhkan akidah tauhid, meruntuhkan simbol-simbol syirik dan jahiliyah, mengajarkan agama kepada manusia, serta mengutus para sahabat ke berbagai penjuru untuk menghapus sisa-sisa berhala.

Dalam masa itu pula, Rasulullah ﷺ mengutus sebagian sahabat untuk menyeru kepada Islam dan menghancurkan berhala-berhala di sekitar Makkah.

Beliau mengutus Khālid bin Walīd untuk menghancurkan berhala al-‘Uzzā, yang dahulu diagungkan oleh seluruh kabilah Quraisy.

Beliau mengutus ‘Amr bin al-‘Āṣ untuk menghancurkan berhala Suwā‘.

Beliau mengutus Sa‘d bin Zayd al-Asyhalī untuk menghancurkan berhala Manāt di Qudayd, yang menjadi sesembahan orang-orang Aus dan Khazraj.

Maka hancurlah pusat-pusat penyembahan berhala itu, dan dengan itu pula tercabutlah akar-akar paganisme di Jazirah Arab.

Disebutkan dalam riwayat al-Wāqidī, bahwa seorang penyeru Rasulullah ﷺ berteriak di Makkah:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَدَعَنَّ فِي بَيْتِهِ صَنَمًا إِلَّا كَسَرَهُ»

“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah ia biarkan satu pun berhala di rumahnya melainkan dihancurkan.”

Setelah itu, tidak ada seorang pun dari Quraisy yang masih menyimpan berhala di rumahnya. Jika ada yang memelihara, berhala itu akan dihapus atau dihancurkan, bahkan sekadar disentuh pun ditinggalkan dengan penuh rasa jijik.

Kaum Muslimin pun berbondong-bondong menghancurkan patung-patung tersebut. Ketika itu, ‘Ikrimah bin Abī Jahl radhiyallāhu ‘anhu—yang saat itu belum masuk Islam—pernah berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah mendengar ada satu rumah di antara rumah-rumah Quraisy kecuali berhalanya dihancurkan.”

Setelah itu, Hindun binti ‘Utbah radhiyallāhu ‘anhā—istri Abu Sufyān—masuk Islam dan berkata, “Dulu kami menyembah berhala-berhala itu. Ketika tamimah (jimat) itu rusak, kami merasa tertipu.”

Maka berhala-berhala pun dihancurkan oleh kaum Muslimin.

 

Kasus Pencurian Wanita dari Bani Makhzūm

Ketika Rasulullah ﷺ tinggal di Makkah setelah penaklukan (Fathu Makkah), terjadi sebuah peristiwa penting. Seorang wanita terpandang dari kalangan Bani Makhzūm melakukan pencurian. Kaum Quraisy sangat gelisah karena mengetahui bahwa hukum syariat akan menuntut agar tangannya dipotong. Mereka pun berembuk dan berkata, “Siapa yang berani berbicara kepada Rasulullah ﷺ mengenai perkara ini?”

Akhirnya mereka memilih Usāmah bin Zaid radhiyallāhu ‘anhu, kesayangan Rasulullah ﷺ, untuk menyampaikan permohonan.

Usāmah radhiyallāhu ‘anhu pun berbicara kepada Nabi ﷺ tentang wanita itu, meminta agar hukuman diringankan. Wajah Rasulullah ﷺ pun berubah, lalu beliau bersabda:

أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللّٰهِ؟

“Apakah engkau hendak memberi syafaat dalam perkara hukum hudud Allah?”

Pada malam harinya, Rasulullah ﷺ berdiri menyampaikan khutbah kepada manusia. Beliau ﷺ bersabda:

إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ، أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللّٰهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ، لَقَطَعْتُ يَدَهَا

“Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah, apabila orang terpandang di antara mereka mencuri, mereka biarkan. Tetapi bila orang lemah mencuri, mereka tegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, seandainya Fāṭimah putri Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.”

Kemudian Rasulullah ﷺ memerintahkan agar wanita itu dihukum sesuai syariat, maka dipotonglah tangannya.

Diriwayatkan dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā, ia berkata: “Wanita dari Bani Makhzūm itu bertaubat dengan sungguh-sungguh setelah menjalani hukumannya. Ia menikah kemudian hidup terhormat. Pernah suatu ketika ia datang kepadaku untuk suatu keperluan, lalu aku sampaikan permintaannya kepada Rasulullah ﷺ.” (HR. Bukhari, no. 3475 dan Muslim, no. 1315)

 

Pelajaran dari Kisah Fathu Makkah

Dari peristiwa penaklukan Makkah, kita dapat mengambil sejumlah faedah penting berikut:

1. Perbedaan Kedudukan Antara Dua Tahapan Islam

Fathu Makkah menjadi batas tegas antara dua tahap dalam perjalanan Islam. Allah Ta‘ālā berfirman:

لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُو۟لَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا۟ مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا۟ ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ﴾

Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ḥadīd [57]: 10)

Ibnu Juzay rahimahullāh berkata: “Sebelum fathu Makkah, kaum Muslimin dalam keadaan lemah, sangat membutuhkan infak dan jihad, sehingga pahala orang yang berinfak dan berperang sebelum fathu Makkah lebih besar daripada setelahnya.”

Sebelum fathu Makkah, kaum Muslimin menghadapi musuh besar di Makkah, Ṭāif, serta berbagai kabilah Arab yang masih menunggu waktu untuk menyerang. Namun setelah Makkah ditaklukkan, Allah memuliakan agama ini, pusat kesyirikan dihancurkan, panji tauhid berkibar, dan kemenangan datang dari Allah. Islam pun semakin jelas jalannya, dan masa depan umat ini menjadi lebih terang. Karena itu, Allah tidak menyamakan antara orang yang berinfak dan berjuang sebelum fathu Makkah dengan yang melakukannya setelahnya, meskipun Allah tetap menjanjikan kebaikan bagi keduanya.

2. Pentingnya Menepati Janji

Kemenangan kaum Muslimin menunjukkan betapa pentingnya menepati janji. Orang-orang kafir Quraisy ketika itu sebenarnya masih terikat dengan perjanjian damai bersama Rasulullah ﷺ. Namun, ketika mereka melanggarnya, Allah menurunkan akibatnya, hingga Rasulullah ﷺ menaklukkan Makkah, menghancurkan berhala, dan menghapus sisa-sisa jahiliyah yang ada di dalamnya.

3. Haramnya Mengkhianati Perjanjian

Peristiwa ini juga menegaskan bahwa mengkhianati perjanjian adalah perbuatan tercela. Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada ‘Amr bin Sālim:

نُصِرْتَ يَا عَمْرُو بْنَ سَالِمٍ»

“Engkau akan ditolong, wahai ‘Amr bin Sālim.”

Sabda ini muncul karena pengkhianatan Quraisy terhadap perjanjian dengan Rasulullah ﷺ. Maka, setiap bentuk pengkhianatan terhadap perjanjian damai dianggap sebagai pelanggaran besar yang mengundang hukuman dari Allah.

4. Pertolongan Allah dan Wibawa Islam di Mata Musuh

Sabda Rasulullah ﷺ kepada ‘Amr bin Sālim:

«نُصِرْتَ يا عَمْرُو بنَ سَالِمٍ»

(“Engkau telah diberi pertolongan, wahai ‘Amr bin Sālim!”)

Ungkapan ini menunjukkan sejauh mana wibawa negara Islam saat itu. Islam telah menjadi kekuatan besar di kawasan, membela yang terzalimi dan menentang kezhaliman. Kabilah-kabilah di sekitar Madinah pun menghitung kekuatan Islam sebagai sesuatu yang diperhitungkan.

Maka, ketika Rasulullah ﷺ mengucapkan kalimat ini, ‘Amr bin Sālim pun yakin benar bahwa beliau pasti akan menolongnya. Buktinya, kaum Muslimin berangkat cepat hingga tiba di Makkah, lalu mereka menyerang Bani Bakr yang menjadi sekutu Quraisy dan membunuh mereka di peristiwa Hudaibiyah.

‘Amr bin Sālim pun kembali kepada kaumnya dengan membawa kabar gembira bahwa mereka akan mendapat kemenangan, sedangkan musuh-musuh mereka akan kalah. Hal ini semakin diperkuat dengan berangkatnya Abu Sufyān ke Madinah untuk memperbarui perjanjian damai, karena ia takut akan akibat yang timbul dari pelanggaran tersebut. Quraisy benar-benar ketakutan menghadapi konfrontasi besar itu.

Peristiwa ini memperlihatkan perubahan besar dalam neraca kekuatan, yang jelas menguntungkan umat Islam. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.

 

5. Keteguhan Ummu Habibah: Iman di Atas Hubungan Darah

Kisah kedatangan Abu Sufyān ke Madinah dan masuknya ia menemui Ummul Mu’minīn, Ummu Habībah radhiyallahu ‘anha, putrinya sendiri. Ketika Abu Sufyān ingin duduk di atas tikar Rasulullah ﷺ, Ummu Habībah segera melipatnya agar ayahnya tidak bisa duduk di atasnya. Ia berkata:

“Ini adalah tikar Rasulullah ﷺ, dan engkau adalah seorang lelaki musyrik yang najis.”

Sikap ini memperlihatkan betapa jelasnya kebencian para sahabat terhadap syirik dan kaum musyrikin, meskipun mereka adalah kerabat dekat. Abu Sufyān adalah ayah kandungnya, tetapi itu tidak mengubah sikapnya sedikit pun.

 

6. Urutan Abu Sufyān dan Isyarat Khilāfah Rāsyidah

Abu Sufyān lalu datang kepada Rasulullah ﷺ untuk berbicara, agar beliau memperpanjang dan memperkuat perjanjian damai. Namun, Rasulullah ﷺ tidak menanggapi sedikit pun. Maka Abu Sufyān pergi kepada Abū Bakr, kemudian kepada ‘Umar, lalu kepada ‘Uthmān, dan terakhir kepada ‘Alī radhiyallahu ‘anhum ajm’ain.

Perhatikanlah urutan yang dilakukan Abu Sufyān! Ia datang pertama kepada Abū Bakr, lalu kepada ‘Umar, kemudian kepada ‘Uthmān, lalu kepada ‘Alī radhiyallahu ‘anhum ajm’ain.

Persis sebagaimana yang kemudian terjadi dalam penetapan Khilāfah Rāsyidah. Ini pula yang terkenal di kalangan sahabat tentang urutan keutamaan mereka.

 

7. Rahasia sebagai Strategi, Hikmah Kitmān dalam Islam

Disyariatkan untuk menyembunyikan (merahasiakan) sesuatu apabila dikhawatirkan menimbulkan mudarat bila diumumkan. Rasulullah ﷺ pun tidak selalu memberitahukan arah tujuan perjalanannya kepada manusia, agar tetap terjaga maslahatnya, dan supaya Quraisy tidak bersiap lebih awal untuk menghadang.

Allah Ta‘ālā berfirman tentang kisah Ashḥābul Kahfi:

﴿ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا ﴾ [الكهف: 19]

“Dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali memberitahukan keadaanmu kepada siapa pun.” (QS. Al-Kahf: 19)

Maknanya adalah hendaknya mereka bersikap hati-hati, merahasiakan urusan mereka, termasuk ketika masuk kota dan membeli makanan, jangan sampai ada yang mengetahui keberadaan mereka. Demikian pula kaum Muslimin dahulu: “Ista‘īnū ‘alā injāḥi ḥawā’ijikum bil-kitmān” (Mintalah pertolongan untuk menyelesaikan kebutuhan kalian dengan cara merahasiakannya).

 

8. Tanda Kenabian: Rasulullah ﷺ Menyingkap Surat Ḥāṭib

Di antara tanda kenabian Rasulullah ﷺ adalah ketika beliau mengutus seorang sahabat untuk membuntuti seorang wanita yang membawa surat dari Ḥāṭib bin Abī Balta‘ah. Surat itu berisi informasi tentang rencana Rasulullah ﷺ. Allah memberi tahu Nabi-Nya melalui wahyu tentang isi surat itu, siapa pengirimnya, dan lokasi wanita tersebut.

Maka Rasulullah ﷺ segera mengutus sahabat untuk menghadang wanita itu. Benar saja, mereka mendapati surat tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi ﷺ.

Ibnu Ḥajar rahimahullah berkata: “Peristiwa ini termasuk bukti jelas dari tanda-tanda kenabian, yaitu berita gaib yang Allah kabarkan kepada Nabi-Nya terkait kisah Ḥāṭib dengan wanita itu.”

 

9. Ḥāṭib dan Lemahnya Manusia: Mukmin Pun Bisa Tergelincir

Kisah Ḥāṭib radhiyallahu ‘anhu salah seorang sahabat dari kalangan Muhājirīn—menunjukkan bahwa manusia tidak lepas dari kelemahan. Bisa jadi seorang mukmin yang tulus iman dan amalnya, tetap saja terjerumus dalam tindakan yang keliru karena dorongan hawa nafsu atau tuntutan kebutuhan hidup. Itulah yang dilakukan Ḥāṭib ketika ia menyembunyikan surat kepada Quraisy mengenai perjalanan Rasulullah ﷺ.

Perbuatan ini tidaklah mengurangi keimanannya, melainkan bagian dari kelemahan manusiawi. Ibnu Ḥajar rahimahullah berkata: “Seorang mukmin, sekalipun sudah sampai pada tingkatan saleh, tetap saja bisa tergelincir dalam dosa. Karena itu ia harus senantiasa berlindung kepada Allah, selalu bergantung pada-Nya, dan terus istiqamah dalam berpegang teguh kepada-Nya.”

Kita berdoa sebagaimana doa orang-orang yang mantap imannya:

﴿ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا ﴾ [آل عمران: 8]

Wahai Rabb kami, janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau memberi kami petunjuk.” (QS. Āli ‘Imrān: 8)

 

10. Niat Lebih Utama: Dialog Lembut Rasulullah ﷺ dengan Ḥāṭib

Dalam kisah Ḥāṭib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya:

«ما حَمَلَكَ يا حاطِبُ على ما صَنَعْتَ؟»

(“Apa yang mendorongmu melakukan hal itu, wahai Ḥāṭib?”)

Pertanyaan Nabi ﷺ yang penuh kelembutan ini menunjukkan bahwa niat sangatlah penting dalam menilai sebuah perbuatan. Ḥāṭib melakukan tindakan tersebut bukan karena ingin murtad dari agama Islam, tetapi semata karena ingin melindungi keluarga dan harta yang ia tinggalkan di Makkah.

Hal ini menjadi bukti bahwa menjaga harta dan keselamatan keluarga bukanlah bentuk kufur, melainkan bentuk kelemahan iman yang bersifat insaniyah. Maka, membedakan antara maksud melindungi agama dengan maksud melindungi harta adalah hal penting; yang pertama urusan agama, yang kedua urusan duniawi.

Allah ﷻ berfirman:

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ … ﴾ [الممتحنة: 1]

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia, yang kalian sampaikan kepada mereka (rahasia kaum Muslimin) karena rasa kasih sayang, padahal mereka telah ingkar terhadap kebenaran yang datang kepada kalian...” (QS. Al-Mumtaḥanah: 1)

Para ulama berkata: ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa Ḥāṭib, dan penutup ayat ini:

﴿ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ ﴾ [الممتحنة: 1]

Barang siapa melakukannya di antara kalian, maka sungguh ia telah tersesat dari jalan yang lurus.

Ini menunjukkan bahwa tindakannya keliru, tetapi tidak mengeluarkannya dari iman, karena didasari kelemahan manusia, bukan karena membela kekufuran.

 

11. Kesalahan Tidak Menghapus Keutamaan: Derajat Ahli Badar

Perbuatan al-muwālāt (berloyalitas) kepada orang kafir dengan makna seperti kasus Ḥāṭib memang merupakan dosa besar dan penyimpangan dari jalan yang lurus. Namun, itu tidaklah mengeluarkannya dari Islam. Ini merupakan kaidah penting: kesalahan seperti ini tidak boleh membuat seseorang dicabut dari nama iman, selama masih ada dasar keimanan dalam dirinya.

Kesalahan tersebut juga tidak mengurangi kedudukan seorang sahabat besar seperti Ḥāṭib al-Badrī radhiyallahu ‘anhu. Bukankah Rasulullah ﷺ telah mengabarkan kepada kita tentang kedudukan istimewa orang-orang yang ikut Perang Badar? Beliau ﷺ bersabda:

«لَعَلَّ اللهَ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ»

“Barangkali Allah telah melihat (mengetahui keadaan) para pejuang Badar, lalu berfirman: ‘Lakukanlah apa saja yang kalian mau, sungguh Aku telah mengampuni kalian’.”

Maka Rasulullah ﷺ memandang perbuatan Ḥāṭib dalam konteks ini. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu sempat ingin menghukumnya, tetapi Rasulullah ﷺ menegur:

«صَدَقَ وَلا تَقُولُوا لَهُ إِلَّا خَيْرًا»

“Dia berkata benar. Janganlah kalian katakan tentangnya kecuali yang baik-baik.”

Maka para sahabat pun menerima penjelasan Nabi ﷺ, mengakui kebenaran Ḥāṭib, dan hanya berkata yang baik tentang dirinya.

 

12. Teladan Akhlak Nabi ﷺ: Memberi Uzur dan Berbaik Sangka

Cara Rasulullah ﷺ menghadapi peristiwa ini sungguh penuh kelembutan. Beliau ﷺ tidak tergesa-gesa menghukum, tetapi terlebih dahulu bertanya: “Apa yang mendorongmu melakukan itu, wahai Ḥāṭib?” Kemudian beliau mendengarkan alasan dengan lapang dada.

Inilah teladan Nabi ﷺ: mengajarkan kita untuk memberi uzur kepada orang lain, berbaik sangka, lembut dalam berinteraksi, serta tidak mengeluarkan ucapan kecuali yang baik dan penuh kasih sayang.

Maha benar Allah yang telah menjadikan beliau sebagai manusia paling penuh rahmat, paling pemaaf, paling bijak, dan sebaik-baik teladan.

 

13. Berbaik Sangka dan Memaafkan Saudara Seiman

Dalam cara Rasulullah ﷺ berinteraksi, terdapat pedoman bagi kita dalam memperlakukan saudara-saudara kita. Hendaknya kita berbaik sangka, mencari alasan yang memaafkan, menerima kekhilafan, mengingat kebaikan yang pernah ia lakukan, dan menghadirkan dalam hati bahwa setiap manusia pasti memiliki kelemahan.

Bila seseorang berbuat salah, jangan langsung menilai bahwa itu karena keraguan atau kurangnya iman. Bisa jadi itu hanyalah kondisi sesaat akibat faktor duniawi. Namun, ia segera bertaubat kepada Tuhannya. Allah Ta‘ala berfirman:

إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ إِذَا مَسَّهُمْ طَٰٓئِفٌ مِّنَ ٱلشَّيْطَٰنِ تَذَكَّرُوا۟ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka digoda oleh setan, mereka teringat (akan Allah), maka ketika itu juga mereka melihat dengan jelas (kebenaran).” (QS. Al-A‘rāf: 201)

Mereka adalah orang-orang bertakwa, tetapi tetap bisa tersentuh oleh godaan setan. Hanya saja, mereka cepat sadar, segera melihat kebenaran, lalu kembali kepada Rabb mereka. Jalan hidup mereka tidak ternoda oleh dosa itu, bahkan bisa jadi, setelah mereka bertaubat dan kembali kepada Allah, keadaan mereka menjadi lebih baik daripada sebelum terjatuh dalam dosa.

 

14. Segera Mengakui Kesalahan dan Bertaubat

Dalam kisah Hatib radhiyallāhu ‘anhu terdapat pelajaran penting bagi siapa pun yang pernah tergelincir dalam kesalahan—dan siapakah yang tak pernah tergelincir?—bahwa seseorang tidak boleh mengingkari kesalahan yang telah dilakukannya. Hendaknya ia segera bertaubat kepada Allah, meminta maaf, dan jujur dalam pengakuannya. Tiada keselamatan bagi seorang hamba kecuali dengan taubat yang tulus, pengakuan yang jujur, dan keikhlasan dalam memperbaiki diri.

Ibnu Hajar rahimahullāh berkata: “Barang siapa melakukan kesalahan, hendaklah ia tidak mengingkarinya, melainkan mengakuinya dan meminta maaf, agar tidak menumpuk dua dosa sekaligus.”

 

15. Menghormati Kedudukan Orang-Orang yang Utama

Kisah Hatib juga menunjukkan kedudukan tinggi orang-orang yang berilmu dan beramal saleh. Kesalahan mereka tidak sama dengan kesalahan orang kebanyakan, sebab lautan kebaikan mereka menenggelamkan kekeliruan yang mungkin terjadi. Maka, hendaknya kesalahan mereka ditimbang dengan kebaikan yang telah mereka lakukan, dan kita memperhatikan sikap lapang dada serta penghargaan terhadap jasa mereka.

 

16. Kewajiban Kembali kepada Ulama Saat Ragu

Kisah Hatib juga mengajarkan pentingnya merujuk kepada ulama ketika menghadapi perkara yang sulit. Ketika Umar berkata kepada Nabi ﷺ, “Izinkan aku memenggal leher orang munafik ini,” beliau tidak melakukannya atas dorongan pribadi, tetapi setelah meminta izin kepada Rasulullah ﷺ. Maka, Rasulullah pun menjelaskan posisi hukum yang benar dalam perkara itu.

Dari sini kita belajar: jangan tergesa-gesa dalam menghukumi, tetapi kembalikan semuanya kepada ilmu dan bimbingan syariat.

 

17. Keutamaan Ahli Badar

Kisah Hatib juga menegaskan kemuliaan para pejuang Badar radhiyallāhu ‘anhum. Mereka memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah karena jasa besar mereka dalam membela Islam dan kaum muslimin. Keutamaan ini menjadi alasan mengapa Rasulullah ﷺ memaafkan Hatib dan menegaskan kedudukannya sebagai bagian dari ahli Badar.

Baca juga: Faedah Sirah Nabi: Perang Badar Kubra dan Pelajaran di Dalamnya

 

18. Keseimbangan dalam Aqidah al-Walā’ wal-Barā’

Sebagai penutup kisah Hatib, terdapat pelajaran penting dalam memahami akidah al-walā’ wal-barā’ (loyalitas dan berlepas diri karena Allah). Banyak orang terjatuh dalam sikap berlebihan di dua sisi: sebagian terlalu ekstrem dalam permusuhan, sementara sebagian lain berlebihan dalam toleransi. Kedua sisi ini sama-sama menyimpang dari keseimbangan yang diajarkan oleh syariat.

Sikap berlebihan (ghuluw ifrāṭ) dalam masalah al-walā’ wal-barā’ (loyalitas dan berlepas diri karena Allah) biasanya tampak dalam dua bentuk:

Pertama, mudah mengkafirkan orang lain hanya karena perbuatan lahiriah. Ini terjadi karena tidak memahami dengan jelas batasan kekufuran dalam masalah walā’ wal-barā’. Padahal, walā’ wal-barā’ adalah urusan hati.

Kekufuran dalam hal ini terjadi bila seseorang mencintai orang kafir karena kekafirannya, mendukung mereka agar agama mereka menang atas Islam, atau menginginkan kejayaan agama mereka di atas agama kaum muslimin. Inilah bentuk kufur dalam masalah walā’ wal-barā’.

Adapun jika seseorang menolong orang kafir dalam perkara duniawi atau karena kepentingan tertentu, itu tidak serta merta menjadikannya kafir. Bisa jadi, ia masih mencintai Islam dan membenci kekafiran, tetapi imannya lemah karena pertimbangan duniawi yang ia utamakan daripada akhiratnya.

Kisah Hatib bin Abi Balta‘ah radhiyallāhu ‘anhu menjadi bukti nyata. Ia berkata,

“Aku tidak melakukannya karena kufur, tidak pula murtad dari agamaku, dan tidak ridha terhadap kekafiran setelah Islam.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Ia berkata benar.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh berkata, “Terkadang seseorang menunjukkan rasa kasih atau bantuan kepada orang kafir karena hubungan keluarga atau kebutuhan tertentu. Hal itu termasuk dosa yang mengurangi imannya, tetapi tidak menjadikannya kafir.” Sebagaimana yang terjadi pada Hatib bin Abi Balta‘ah.

Kedua, tanda lain dari sikap berlebihan dalam al-walā’ wal-barā’ adalah kesalahan dalam menerapkan konsep barā’ (berlepas diri dari orang kafir). Kesalahan ini bisa muncul karena terlalu menekankan dalil-dalil tentang barā’ tanpa menyeimbangkannya dengan ayat dan hadits tentang akhlak baik dan keadilan dalam berinteraksi.

Allah Ta‘ala berfirman:

لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Sebagian orang hanya berpegang pada ayat tentang barā’, lalu melupakan ayat tentang akhlak mulia.

Adapun sisi lain dari penyimpangan adalah sikap meremehkan (tafrīṭ), yaitu mengaburkan akidah al-walā’ wal-barā’. Biasanya datang dari kalangan intelektual yang terpengaruh pemikiran Barat—baik karena studi, bacaan, atau cara berpikir—sehingga mereka berusaha menafsirkan ulang akidah ini.

Mereka menganggap al-walā’ wal-barā’ sebagai ajaran yang menumbuhkan kebencian antaragama, lalu menuntut agar konsep itu dihapus demi “toleransi”. Padahal, sikap ini justru menolak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang tegas tentang kewajiban mencintai orang beriman dan berlepas diri dari kekafiran.

Mereka harus disadarkan bahwa Islam tidak boleh disalahkan atas perilaku berlebihan sebagian pemeluknya. Jika ada yang ekstrem dalam walā’ wal-barā’, bukan berarti solusinya adalah menjadi ekstrem di arah sebaliknya. Karena kebenaran terletak di jalan tengah — wasathiyyah — antara ghuluw dan tafrīṭ.

 

19. Ketegasan ‘Umar bin Al-Khaththab dalam Membela Agama Allah

Keutamaan Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallāhu ‘anhu—semoga Allah meridhainya—yakni kecemburuannya terhadap agama, dan ketegasannya dalam menjaga kemurnian masyarakat serta kebersihannya. Di antara keutamaan yang disebutkan untuknya—radhiyallāhu ‘anhu—adalah bahwa ia sangat menginginkan kebaikan pada agamanya, sehingga bila ia melihat sesuatu yang menyentuh rasa cemburu dan kehormatan agama, ia segera kembali kepada Rasulullāh ﷺ. Ini termasuk keutamaannya. Ketika posisi Rasulullāh ﷺ antara Abū Bakr dan ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, dan keduanya termasuk penghuni surga, maka ‘Umar menangis dan matanya berlinang air mata—radhiyallāhu ‘anhu wa arḍāh. Ia lalu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Diriwayatkan dalam Shahīh al-Bukhārī bahwa ia berkata, “Maka berlinanglah air mata ‘Umar.” Ia berkata, “Allāh wa Rasūluh a‘lam (Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui).”

Ibnu Hajar—rahimahullāh—berkata dalam Fath al-Bārī: “Kemungkinan hal itu terjadi karena ia menangis ketika menyadari saat yang menyentuh hatinya dengan khusyuk dan penyesalan atas apa yang telah ia katakan terhadap Ḥāṭhib radhiyallāhu ‘anhu.”

 

20. Marah Demi Agama

Ibnul Qayyim rahimahullāh berkata: “Kadang seorang Muslim menisbatkan kepada dirinya sifat kemunafikan atau kekafiran karena marah dan cemburu terhadap agama Allah, Rasul-Nya, dan syariat-Nya, tanpa bermaksud benar-benar kafir. Ia tidak keluar dari Islam karenanya. Ia tidak dihisab atas hal itu, karena ucapan tersebut tidak berasal dari niat hati, melainkan dari dorongan spontan. Hal ini berbeda dengan keadaan ahli hawa nafsu dan ahli bid‘ah, sebab mereka mengucapkan kekafiran dan kebatilan karena sengaja menentang kebenaran dan menyeru manusia kepadanya.”

Inilah yang membedakan antara orang yang tergelincir sejenak karena marah terhadap dirinya sendiri dengan orang yang benar-benar kafir dan menyimpang. Orang yang tergelincir sesaat seperti ini tetap berada dalam pertolongan Allah dan mendapatkan keutamaannya.

Syaikh ‘Abdullāh Abu Baṭīn—rahimahullāh—berkata: “Barang siapa yang kafir kepada seseorang, atau menuduh seseorang kafir karena marah sesaat, maka semoga Allah memaafkannya,” sebagaimana yang dikatakan pula tentang kisah Ḥāṭhib radhiyallāhu ‘anhu—semoga Allah meridhainya—pada peristiwa surat yang dikirimkannya kepada orang-orang Quraisy sebelum Fath Makkah. ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu berkata, “Izinkan aku memenggal leher orang munafik ini.” Maka Rasulullāh ﷺ bersabda, “Bukankah ia termasuk orang yang ikut serta dalam Perang Badar? Allah telah berfirman tentang mereka, ‘Lakukanlah apa yang kalian mau, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian.’” Maka ‘Umar pun menangis karena marahnya itu hanya dorongan sesaat, bukan niat untuk melampaui batas.

Demikian pula yang terjadi pada sebagian sahabat lainnya dan generasi setelah mereka, bila marah karena membela agama. Namun, bila seseorang benar-benar menuduh orang lain kafir atau mencaci maki dengan kesengajaan, maka itu berbeda; sebab hal itu menunjukkan maksud hati yang salah, bukan karena semangat agama. Karena itu, perlu berhati-hati dalam menafsirkan hal-hal seperti ini.

 

21. Amal Saleh yang Menghapus Dosa Besar

Syaikh ‘Abdullāh Abu Baṭīn—rahimahullāh—juga berkata dalam penjelasannya yang lain: “Kadang dosa besar atau syirik kecil dapat dihapus oleh amal saleh yang besar, sebagaimana terjadi pada kisah Ḥāṭhib. Ia melakukan dosa besar, tetapi amal kebaikan yang besar telah menghapusnya, dan hal itu disaksikan oleh para sahabat secara nyata.”

 

22. Pasukan yang Tidak Tercium Musuh: Rahasia Besar Fathu Makkah

Tentang pasukan besar yang berangkat dari Madinah menuju Makkah. Allah ﷻ menjaga rahasia perjalanan itu dari pengetahuan kaum Quraisy. Rasulullah ﷺ tiba di pinggiran Makkah tanpa diketahui oleh mereka. Abu Sufyān pun keluar bersama beberapa orang untuk mencari kabar, mereka berusaha merasakan tanda-tanda kedatangan pasukan, namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan tentara Rasulullah ﷺ yang mengepung mereka di luar batas kota Makkah. Peristiwa ini merupakan salah satu tanda kebesaran Allah ﷻ, bahwa Dia menghalangi berita besar seperti itu agar tidak sampai ke telinga penduduk Makkah, padahal jumlah pasukan itu sangat besar dan kekuatannya sangat dahsyat.

 

23. Tangisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makam Ibundanya

Dalam perjalanan, Rasulullah ﷺ berhenti di sisi makam ibunya, Āminah bintu Wahb. Beliau menziarahi makam ibunya, menangis, dan membuat orang-orang di sekitarnya ikut menangis. Beliau ﷺ bersabda, “Aku telah meminta izin kepada Rabb-ku agar aku dapat menziarahi makam ibuku, dan Dia mengizinkanku. Namun ketika aku meminta izin untuk memohonkan ampun baginya, Dia tidak mengizinkanku.”

Dalam peristiwa ini terkandung pelajaran besar tentang kedudukan ibu. Seorang ibu memiliki kedudukan yang sangat tinggi di antara manusia, tak ada seorang pun yang mampu menunaikan haknya sepenuhnya. Ia telah memberikan untukmu usia, kehidupan, jiwa, dan seluruh perasaannya, dengan ketulusan yang tak mampu engkau balas, bahkan sekadar menandingi pun tidak mungkin.

Bagi Rasulullah ﷺ, urusan ibunya memiliki tempat yang sangat khusus. Beliau lahir dalam keadaan yatim, kehilangan ayah bahkan sebelum dilahirkan, lalu tak lama setelah itu kehilangan ibu pula. Inilah bentuk yatim yang paling menyedihkan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsīr rahimahullāh: “Nabi ﷺ telah kehilangan semua bentuk kasih sayang manusiawi: ayah, ibu, saudara laki-laki, dan saudara perempuan. Maka beliau tumbuh tanpa mengenal siapa pun dari mereka.”

Dalam dua perjalanan penting—dari Madinah ke Makkah dan sebaliknya—beliau ﷺ melewati daerah tempat ibunya dimakamkan, yakni di suatu padang pasir yang jauh dari kota Makkah. Ketika beliau masih kecil, ibunya wafat di sana, dan beliau yang kecil kala itu ditinggalkan sendirian di tengah padang pasir. Kini, setelah bertahun-tahun, beliau melewati tempat itu lagi untuk pertama kalinya sejak berpisah dengannya.

Rasulullah ﷺ berhenti di situ, menangis, dan mengingat kenangan masa kecilnya. Tidak ada yang dapat memahami perasaan beliau saat itu kecuali mereka yang kehilangan orang yang paling dicintai. Orang-orang yang bersama beliau pun ikut menangis menyaksikan tangisannya. Tangisan beliau lebih dalam daripada siapa pun, karena yang beliau tangisi bukan hanya sosok ibu, melainkan juga kenangan kasih sayang, kehilangan, dan kerinduan masa kecil.

Ini adalah pelajaran mendalam tentang kedudukan ibu dan besarnya hak seorang ibu atas anaknya. Beliau ﷺ menunjukkan bahwa kasih seorang anak terhadap ibunya harus selalu disertai pengakuan terhadap kedudukan dan kemuliaannya, meskipun ibunya telah tiada. Itulah pelajaran abadi dari peristiwa yang menyentuh hati ini—sebuah pelajaran yang disampaikan langsung oleh Al-Muṣṭafā ﷺ.

Ini adalah pelajaran tentang pentingnya menjaga hubungan baik dengan ibu, berbakti kepadanya, serta menziarahi makamnya bila ia telah wafat—sebagai bentuk kasih sayang kepada orang yang lebih dahulu mendahuluimu menuju negeri akhirat. Maka janganlah engkau meremehkan ziarah ke makam ibu, ucapkanlah salam untuknya, dan doakanlah kebaikan baginya. Cukuplah bagimu meneladani Al-Muṣṭafā ﷺ yang telah menziarahi makam ibunya, meskipun beliau tidak diizinkan untuk memohonkan ampun baginya.

Sungguh disayangkan, banyak orang yang lalai menziarahi kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia. Bahkan sebagian dari mereka sampai lupa di mana makam ibu atau ayahnya, padahal waktu terus berlalu sementara hubungan kasih sayang itu terputus.

Ini juga menjadi pelajaran tentang pentingnya menyambung tali silaturahim dengan kerabat secara umum, dan menziarahi para kerabat yang telah meninggal dunia. Sayangnya, banyak orang yang mengabaikan amalan ini, padahal ziarah ke makam keluarga merupakan salah satu bentuk bakti dan doa untuk mereka yang telah mendahului kita.

 

24. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Nasib Kedua Orang Tua Nabi ﷺ

Dalam peristiwa ziarah tersebut dan sabda Rasulullah ﷺ: “Aku meminta izin kepada Rabbku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, namun Dia tidak mengizinkanku,” telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama sejak dahulu tentang nasib kedua orang tua Nabi ﷺ.

Kesimpulan menurut pendapatku—kata penulis—adalah bahwa sebaiknya kita menahan diri dari memastikan bagaimana keadaan mereka berdua, tidak memastikan mereka di surga ataupun di neraka. Sebab perkara ini sangat berat, penuh tanggung jawab besar, dan tidak ada nash yang secara tegas dan pasti dalam hal ini. Teks-teks yang datang bersifat umum, sedangkan nash yang khusus tidaklah cukup jelas.

Adapun hadits yang menyebut tentang ayah beliau ﷺ, memang ada riwayat yang diperselisihkan maknanya. Karena itu, lebih selamat bila kita menahan diri dan tidak memastikan dengan keyakinan tertentu, sebab tidak ada dalil yang benar-benar tegas dan pasti dalam hal ini.

Adapun mengenai ibunda beliau ﷺ, tidak ada satu hadits sahih pun yang secara jelas menjelaskan keadaan beliau, selain larangan bagi Nabi ﷺ untuk memohonkan ampun baginya. Namun larangan tersebut tidak secara otomatis menunjukkan nasib akhirnya, karena bisa jadi alasan tidak diizinkannya adalah sebab beliau wafat sebelum masa diutusnya kenabian—yakni termasuk golongan ahlul fatrah (orang-orang yang hidup di masa kekosongan risalah). Maka, keadaan mereka sepenuhnya berada di bawah kehendak Allah, dan kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana nasib mereka.

Dan boleh jadi, Allah ﷻ menghendaki agar nasib ibunda Nabi ﷺ tetap menjadi perkara yang tidak diketahui dan tersembunyi dari manusia, sehingga tidak seorang pun berani memastikan hukum tentangnya kecuali Allah semata. Bisa jadi pula, dari ketetapan Allah yang penuh hikmah ini, terdapat isyarat bahwa seandainya Nabi ﷺ diizinkan untuk memohonkan ampun bagi ibunya, maka hal itu bisa menjadi dalil umum atas kebolehan memintakan ampun untuk seluruh *ahlul fatrah* (orang-orang yang hidup di masa kekosongan risalah).

As-Sindi rahimahullāh berkata: “Istighfar (permohonan ampun) adalah cabang dari penyesalan atas dosa. Dan hal itu hanya berlaku bagi orang yang sudah dibebani hukum syariat dan mengerti ajaran agama. Adapun orang yang belum sampai dakwah kepadanya, maka ia tidak membutuhkan istighfar, sebab hukum istighfar hanya disyariatkan untuk orang-orang yang telah menerima dakwah dan menolak kebenaran, meskipun bisa jadi mereka termasuk orang yang selamat.”

Juga dapat dikatakan bahwa penduduk masa jahiliah secara umum diperlakukan sebagaimana orang-orang kafir dalam urusan dunia, sehingga tidak dishalatkan dan tidak dimintakan ampun bagi mereka, sedangkan urusan akhirat mereka dikembalikan kepada Allah ﷻ semata.

Tangisan Nabi ﷺ ketika menziarahi makam ibundanya tidaklah menunjukkan bahwa beliau yakin ibunya diazab. Bisa jadi tangisan itu muncul karena kelembutan hati beliau, kasih sayang, dan kerinduan yang mendalam kepada ibunya, bukan karena keyakinan akan azab.

Imam Nawawi rahimahullāh berkata: “Mungkin sebab Nabi ﷺ menangis adalah karena beliau teringat pada ibunya dan merasa iba padanya. Allah lebih mengetahui alasan sebenarnya.”

Qadhi ‘Iyāḍ juga berkata: “Tangisan Nabi ﷺ adalah bentuk kasih sayang dan kelembutan hati. Maka, jika tangisannya kepada seorang anak kecil atau bayi menunjukkan kasih dan rahmat, bagaimana mungkin tidak demikian terhadap ibunya sendiri?”

Namun, di sisi lain, teks-teks yang bersifat khusus itu dihadapkan dengan dalil-dalil umum yang sangat jelas dalam prinsip-prinsip syariat. Di antaranya adalah firman Allah Ta‘ālā,

أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلَا نَذِيرٍ فَقَدْ جَاءَكُمْ بَشِيرٌ وَنَذِيرٌ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}

“(Agar kalian tidak berkata,) ‘Tidak datang kepada kami seorang pembawa berita gembira dan tidak pula seorang pemberi peringatan.’ Sungguh, telah datang kepada kalian pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Mā’idah: 19)

Dan firman-Nya pula:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا}

“Kami tidak akan mengazab (suatu kaum) sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isrā’: 15)

Serta firman Allah Ta‘ālā lainnya:

وَلَوْ أَنَّا أَهْلَكْنَاهُمْ بِعَذَابٍ مِّن قَبْلِهِ لَقَالُوا رَبَّنَا لَوْلَا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولًا فَنَتَّبِعَ آيَاتِكَ مِن قَبْلِ أَن نَّذِلَّ وَنَخْزَىٰ}

“Sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum (diutusnya rasul itu), niscaya mereka akan berkata, ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus kepada kami seorang rasul, agar kami dapat mengikuti ayat-ayat-Mu sebelum kami menjadi hina dan terhina.’” (QS. Ṭāhā: 134)

Seluruh ayat ini menegaskan bahwa tidak ada azab sebelum datangnya peringatan dari seorang rasul. Hal ini memperkuat pendapat yang memilih untuk tawaqquf (menahan diri tanpa memastikan) dalam permasalahan ini. Allah-lah yang Maha Mengetahui.

 

25. Dalil tentang Bolehnya Ziarah kepada Orang Musyrik

Imam An-Nawawi rahimahullāh berkata, “Dalam peristiwa ini terdapat dalil tentang bolehnya menziarahi orang-orang musyrik, baik ketika mereka masih hidup maupun setelah meninggal dunia, serta menziarahi kuburan mereka. Sebab, jika ziarah kepada mereka diperbolehkan setelah wafat, maka tentu ketika masih hidup lebih utama lagi.” Pendapat ini menunjukkan bahwa An-Nawawi rahimahullāh termasuk di antara ulama yang berpendapat bolehnya ziarah kepada kaum musyrik, sebagaimana dilakukan Rasulullah ﷺ.

 

26. Penghormatan Rasulullah ﷺ terhadap Tokoh Quraisy: Abu Sufyān

Menempatkan seseorang pada kedudukan yang sesuai dengan martabatnya diambil dari sabda Rasulullah ﷺ, “Barang siapa masuk ke rumah Abū Sufyān, maka ia aman.” Dalam kalimat ini terdapat bentuk penghormatan kepada Abū Sufyān dan pembedaan kedudukannya karena ia merupakan salah satu pemuka kaum Quraisy.

 

27. Kebijaksanaan Rasulullah dalam Melembutkan Hati Abu Sufyan

Perhatian Rasulullah ﷺ dalam melembutkan hati manusia. Beliau ﷺ menaklukkan hati Abū Sufyān dengan memberinya kehormatan bahwa siapa saja yang masuk ke rumahnya akan aman. Hal ini menjadi kebanggaan besar bagi Abū Sufyān, yang dikenal sebagai sosok yang mencintai kehormatan dan kebesaran. Dengan cara itu, Rasulullah ﷺ berhasil menundukkan hatinya, menjinakkan perasaannya, serta meneguhkan imannya. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk pendekatan dakwah Nabi ﷺ terhadap orang yang baru masuk Islam, sebagaimana kebiasaan beliau dalam mempererat hati mereka yang masih baru mengenal Islam.

 

28. Belajar Tawadhu dan Tidak Sombong

Sikap rendah hati Rasulullah ﷺ.

Ketika seorang laki-laki datang kepada beliau ﷺ dengan hati yang penuh ketenangan dan kesungguhan untuk berbicara, tiba-tiba ia merasa gemetar dan takut. Rasa gentar itu muncul karena wibawa dan kedudukan Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Tenangkan dirimu. Aku hanyalah anak seorang wanita dari Quraisy yang biasa memakan daging kering.”

Ucapan ini mengandung pelajaran agar seseorang mengingat masa lalunya dan tidak melupakan asalnya — agar tidak sombong terhadap orang yang lemah. Nabi ﷺ mengajarkan kepada setiap pribadi untuk tidak lupa akan masa lalunya dan keadaan dirinya dahulu. Allah Ta‘ālā berfirman:

﴿ هَلْ أَتَىٰ عَلَى الْإِنسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْـًٔا مَّذْكُورًا ﴾

“Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. Al-Insān [76]: 1)

Dalam ayat yang lain disebutkan,

قُتِلَ ٱلْإِنسَٰنُ مَآ أَكْفَرَهُۥ
مِنْ أَىِّ شَىْءٍ خَلَقَهُۥ
مِن نُّطْفَةٍ خَلَقَهُۥ فَقَدَّرَهُۥ

Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya? Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya.” (QS. ‘Abasa: 17-19)

Banyak di antara manusia yang, setelah meraih kedudukan dan kehormatan di dunia, menjadi lupa dengan masa lalunya. Ia tidak lagi mengingat keadaan lemahnya dulu, tidak mau menengok masa ketika ia belum dikenal, tidak ingin kembali mengingat bagaimana awal perjuangannya yang penuh kekurangan. Padahal sifat lupa akan asalnya itu termasuk tanda kesombongan yang hina.

 

29. Semakin Berisi, Semakin Merunduk, Inilah Teladan Rasulullah

Pada hari Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah), Rasulullah ﷺ memasuki kota itu dengan penuh tawadhu‘, menundukkan kepalanya sebagai bentuk ketundukan kepada Allah. Padahal hari itu adalah hari kemenangan besar bagi kaum muslimin. Inilah nilai agung dari sikap rendah hati—bahwa justru pada saat kemenangan besar diraih, beliau ﷺ tampil sebagai hamba yang tunduk kepada Rabb-nya, bukan sebagai penguasa yang congkak.

Rasulullah ﷺ memasuki Makkah dengan menunduk hingga janggut beliau hampir menyentuh pelana untanya, dan beliau terus-menerus bertahmid dan memuji Allah. Tidak ada seorang pun dari penduduk Makkah yang berani melawan; semua tunduk dan menyerah.

Semakin besar kemenangan dan semakin besar karunia Allah, justru semakin dalam kerendahan hati beliau ﷺ. Tidak ada sedikit pun rasa bangga atau ujub. Beliau tidak melihat dirinya sebagai pemenang, tetapi sebagai hamba yang diberi pertolongan oleh Allah. Itulah makna sejati dari kalimat “Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh” — tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.

Setiap kali manusia memperoleh kemenangan namun tetap menjaga kerendahan hati, niscaya kemenangan itu akan semakin kuat dan keberkahan akan semakin nyata. Sebaliknya, jika kemenangan diiringi kesombongan dan rasa bangga diri, maka di situlah awal kehancuran.

Allah Ta’ala berfirman,

﴿ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً ۚ وَكَذَٰلِكَ يَفْعَلُونَ ﴾

Sesungguhnya para raja, apabila mereka memasuki suatu negeri, niscaya mereka akan merusaknya, dan menjadikan orang-orang yang mulia di negeri itu menjadi hina. Dan demikianlah kebiasaan mereka.” (QS. An-Naml: 34)

Syaikh As-Sa‘dī rahimahullāh berkata: “Maknanya, para raja itu apabila memasuki sebuah negeri, mereka melakukan kerusakan: membunuh penduduknya, menawan mereka, merampas harta kekayaannya, dan menghancurkan rumah-rumahnya. Mereka menjadikan orang-orang yang sebelumnya mulia menjadi hina. Makna “penduduknya menjadi hina” ialah: mereka menjadikan para pemimpin dan tokoh terhormat dari kalangan masyarakat menjadi orang-orang yang paling rendah kedudukannya.

Rasulullah ﷺ justru memuliakan Abū Sufyān—pemimpin besar Quraisy yang pernah memimpin kaum musyrik dalam peperangan Uhud dan Ahzāb. Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa masuk ke rumah Abū Sufyān, maka ia aman.”

Sesungguhnya kerendahan hati Rasulullah ﷺ merupakan pelajaran praktis bagi setiap pemimpin yang diberi kemenangan. Betapa sulitnya seseorang bisa tampil rendah hati di saat kemenangan tiba.

Ibnu Katsīr rahimahullāh berkata: “Kerendahan hati Rasulullah ﷺ ketika memasuki Mekah dengan pasukan besar dan kuat ini, merupakan kebalikan dari apa yang dilakukan oleh orang-orang dungu dari Bani Israil. Ketika mereka diperintahkan memasuki Baitul Maqdis sambil bersujud (yakni rukuk) dan mengucapkan ‘ḥiṭṭah’ (ampunilah dosa kami), mereka justru masuk dengan merangkak di atas pantat mereka sambil berkata, ‘ḥinṭah fī sya‘īrah’ (gandum dalam jelai).”

Pelajaran ini juga mengajarkan kepada kita tentang akidah dan tauhid: dalam setiap keberhasilan dan kebaikan yang kita raih, hendaknya kita sadari bahwa semua itu merupakan karunia dari Allah Yang Mahatinggi.

﴿ وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ﴾

Dan apa pun nikmat yang ada pada kalian, maka itu berasal dari Allah.” (QS. An-Naḥl: 53)

Kita pun meyakini bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Maka, tidak sepantasnya kita menisbatkan nikmat atau terhindarnya kita dari musibah kepada sebab semata, melainkan semuanya kepada Allah semata.

Allah-lah yang menciptakan sebab-sebab itu, Dia pula yang memberi kemampuan untuk berbuat, dan Dialah yang menaruh hasil dalam setiap usaha. Allah adalah Musabbibul-Asbāb (Penyebab dari segala sebab).

Hati manusia tidak akan baik kecuali dengan tauhid ini. Dengan tauhid, seorang hamba dapat bersyukur kepada Rabb-nya, karena semua bentuk keutamaan dan karunia sejatinya kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā.

Ibnul Qayyim rahimahullāh menjelaskan firman Allah Ta‘ālā: “Adapun menahan diri saat senang (dalam keadaan lapang), itu lebih sulit, karena sering kali mirip dengan sikap lancang dan ceroboh.”

Artinya, mengendalikan diri ketika sedang dalam keadaan senang dan bahagia itu jauh lebih berat dibandingkan bersabar ketika sedang susah. Hanya orang yang kuat imannya dan teguh hatinya yang mampu melakukannya.

Ada sebagian orang, saat mendapatkan kenikmatan, jadi lupa bersyukur; dan ketika ditimpa kesulitan, ia tak lagi sabar. Maka orang yang benar-benar kuat adalah mereka yang tetap bersyukur di waktu senang, dan tetap sabar di waktu susah. Mereka tidak berubah karena keadaan. Nikmat tidak membuat mereka lalai, dan ujian tidak membuat mereka putus asa.

Jiwa manusia sebenarnya sangat dekat dengan godaan setan dan hawa nafsu. Sedangkan karunia Allah turun ke dalam hati dan ruh. Bila hati diterangi cahaya keimanan, maka seluruh jiwa ikut bercahaya.

Namun jika anugerah Allah datang kepada hati yang belum siap, ia bisa kehilangan kendali. Ia menjadi sombong, rakus, atau bahkan melampaui batas. Itulah sebabnya banyak orang rusak justru saat diberi nikmat.

Sebaliknya, orang yang berilmu dan mengenal Allah tahu bagaimana mengelola karunia itu dengan seimbang. Ia tidak terbuai oleh nikmat, juga tidak hancur oleh ujian.

Kadang seseorang tiba-tiba diberi harta atau jabatan, padahal belum siap secara ilmu dan iman. Akibatnya, ia menjadi sombong dan meremehkan orang lain.

Padahal semua itu ujian. Kalau ia tidak berhati-hati, bisa saja nikmat itu menjadi sebab kehancurannya.

Orang seperti itu biasanya baru sadar setelah kehilangan. Ia menyesal dan berkata, “Ke mana semua kebahagiaan itu? Mengapa aku jadi begini?”

Padahal seharusnya, setiap nikmat atau musibah menjadi jalan untuk kembali kepada Allah, bukan untuk menjauh dari-Nya.

Karena itulah para ulama berkata: “Jika kamu tergelincir dari jalan kesabaran dan ketenangan, berarti kamu telah kehilangan kedudukanmu di sisi Allah.”

Mereka juga menasihati, “Jagalah hatimu dari penyakit jiwa, biasakan rendah hati, tunduk, dan jangan sombong. Jadikan rasa takut dan harap kepada Allah sebagai penjaga hatimu.”

Orang yang menjaga hubungannya dengan Allah akan mendapatkan ketenangan luar biasa. Ia memandang Allah dengan cinta dan pengharapan. Allah pun akan mendekatkannya, memuliakannya, dan menjadikannya hamba yang istimewa di sisi-Nya.

Ketika seseorang sudah merasakan kerendahan hati yang tulus, hatinya lembut, penuh penyesalan dan rasa butuh kepada Allah, maka ia akan merasakan kenikmatan yang jauh lebih tinggi dari sekadar kenikmatan dunia.

Orang yang mampu menjaga kehormatannya, menahan syahwatnya, dan tidak mengikuti hawa nafsunya, itulah orang yang mulia di sisi Allah.

Ia menolak kenikmatan yang menjerumuskan, menjauh dari perbuatan yang merusak, dan menjaga dirinya dari hal-hal yang memalukan.

Sungguh, kata ash-shabr, sabar tersusun dari huruf-huruf yang terasa berat di lidah, menunjukkan bahwa sifat sabar itu tidak mudah, tapi sangat berharga.

Perhatikan, bahkan Rasulullah ﷺ sendiri melewati masa sulit ketika diusir dari Makkah. Namun akhirnya Allah menolong beliau, hingga beliau masuk kembali ke Makkah dengan penuh kemenangan, ditemani sahabat setianya, Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu.

Allah berfirman:

﴿إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا﴾

Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir mengusirnya, sedang dia salah seorang dari dua orang (bersama Abu Bakar) ketika keduanya berada di dalam gua. Ketika dia berkata kepada temannya: ‘Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’” (QS. At-Taubah: 40)

Dan Allah juga berfirman:

﴿إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ﴾

Sesungguhnya bumi ini milik Allah; Dia akan mewariskannya kepada siapa saja dari hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki, dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A‘rāf: 128)

﴿وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ﴾

Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83)

Kemenangan Rasulullah ﷺ di Makkah menjadi bukti nyata janji Allah. Beliau dulu diusir dengan hina, namun kembali dengan penuh kemuliaan.

Itulah makna sebenarnya dari ketundukan kepada Allah. Dialah yang memberi kemenangan, mengangkat derajat orang beriman, dan menjanjikan kesudahan yang baik bagi mereka yang bersabar dan bertakwa.

Maka kita semua perlu meneladani sifat mulia itu—sabar dan syukur. Barang siapa ingin akhir hidupnya baik, hendaklah ia memperbaiki amalnya dan bersabar menghadapi ujian hidup.

Setiap kali ia bertambah sabar, Allah akan menaikkan derajatnya, hingga mencapai kedudukan tinggi di sisi-Nya.

 

Masih bersambung insya Allah …

 

Baca Juga:

 

—-

 

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Jumat Sore, 24-10-2025, 2 Jumadilawal 1447 H

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button