Tafsir Al Qur'an

Faedah dari Dua Ayat Terakhir Surat Al Baqarah (2)

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.

Sebelumnya telah dibahas faedah dari dua ayat terakhir surat Al Baqarah. Namun yang baru dikaji adalah ayat 285. Sekarang kita bahas ayat 286.

Allah Ta’ala berfirman,

آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285) لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286)

Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 285-286)

Maksud Ayat Secara Global

Ayat di atas maksudnya adalah manusia tidak akan diberi beban kecuali sesuai kemampuannya. Inilah bentuk kelemahlembutan dan bentuk berbuat baik Allah pada hamba-Nya.

Ketika turut ayat sebelumnya,

وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ

Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.” (QS. Al-Baqarah: 284). Ketika para sahabat mendengar ayat ini, mereka merasa berat dan susah karena segala yang terbetik dalam hati akan dihisab atau diperhitungkan. Namun ayat 286 ini menjawabnya. Allah tidaklah membebankan sesuatu kecuali sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Sedangkan sesuatu yang tidak mungkin manusia cegah seperti sesuatu yang terbetik dalam hati tentu tidak jadi beban baginya.

Allah akan membalas orang yang berbuat baik dan membalas yang berbuat jelek.

Kemudian Allah akan memberi petunjuk pada manusia untuk meminta pada-Nya dalam do’a,

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”

Do’a di atas kita rinci satu per satu.

Doa pertama:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.

Maksudnya: Kita meminta pada Allah supaya tidak disiksa karena lupa atau keliru. Lupa (nisyan) adalah setelah adanya ilmu. Sedangkan keliru (khotho’) adalah ketika belum mengetahui ilmu. Khotho’ yang dimaksud dalam doa pertama adalah tidak tahu.

Disebutkan dalam hadits,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku ketika ia keliru, lupa atau dipaksa.” (HR. Ibnu Majah no. 2045. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Doa kedua:

رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا

Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.

Maksudnya: Kita meminta pada Allah supaya tidak dibebani dengan beban yang berat seperti yang dialami oleh orang Yahudi dan Nashrani yang ada sebelum umat Islam.

Contohnya: Umat sebelum Islam ketika tidak ada air, mereka tidaklah shalat. Mereka tidak diperintahkan mengganti dengan tayamum. Yang ada, mereka masih punya kewajiban untuk menanggung shalat tersebut. Jika sebulan penuh tidak dapat air, lalu mendapatinya setelah itu, maka shalat-shalat yang ada tadi harus diqadha’. Ini sungguh berat. Sedangkan pada umat Muhammad, ketika tidak mendapati air seperti itu, maka diganti dengan tayamum sebagaimana disebutkan dalam ayat,

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدَاً طَيِّبَاً فَامْسَحُوا بِوجُوهِكمْ وَأيديكمْ منه

Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al Maidah: 6)

Begitu pula umat sebelum Islam tidaklah boleh mengerjakan shalat di sembarang tempat. Mereka harus shalat di tempat yang khusus seperti gereja, atau di tempat yang disebut bai’, atau shawami’. Ini sungguh berat. Sedangkan pada umat Islam, tempat mana pun bisa dijadikan tempat untuk shalat selain kamar mandi dan daerah pekuburan. Disebutkan dalam hadits,

وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا

Dianugerahkan untukku tanah sebagai masjid (tempat shalat) dan untuk bersuci.” (HR. Bukhari no. 438)

Tentang tata cara tayamum disebutkan dalam riwayat berikut dari hadits ‘Ammar bin Yasir berikut ini,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّى أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ الْمَاءَ . فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِى سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ ، وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ ، وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ

Ada seseorang mendatangi ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata, “Aku junub dan tidak bisa menggunakan air.” ‘Ammar bin Yasir lalu berkata pada ‘Umar bin Khattab mengenai kejadian ia dahulu, “Aku dahulu berada dalam safar. Aku dan engkau sama-sama tidak boleh shalat. Adapun aku kala itu mengguling-gulingkan badanku ke tanah, lalu aku shalat. Aku pun menyebutkan kelakuanku tadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Cukup bagimu melakukan seperti ini.” Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dengan menepuk kedua telapak tangannya ke tanah, lalu beliau tiup kedua telapak tangan tersebut, kemudian beliau mengusap wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ عَلَى الْيَمِينِ وَظَاهِرَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ

“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk kedua telapak tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, kemudian beliau usap tangan kiri atas tangan kanan, lalu beliau usap punggung kedua telapak tangannya, dan mengusap wajahnya.”

Doa ketiga:

رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”

Maksudnya: Kita meminta supaya tidak diberi beban yang tidak mampu kita memikulnya. Perkara semacam itu sebenarnya kita punya pilihan. Adapun perkara yang manusia tidak punya pilihan di dalamnya misalnya diberikan sakit dan semacamnya, jika beban tersebut menimpanya, maka ia akan diberi pahala dan akan menghapuskan dosa-dosanya yang telah lalu.

Dalam doa tersebut juga kita minta:

  • Wa’fu ‘anna yaitu maafkanlah atas kekurangan dalam kita menjalankan yang wajib.
  • Waghfirlanaa yaitu ampunilah karena kita telah terjerumus dalam perkara yang haram.
  • Warhamnaa yaitu rahmatilah dengan memberikan taufik untuk terus bisa istiqamah.

Tiga hal yang diminta itu berarti berharap supaya dimaafkan karena lalai dari yang wajib, supaya diampuni karena terjerumus dalam maksiat dan supaya dirahmati dengan terus diberikan keteguhan (keistiqamahan).

Kemudian di akhir doa tersebut disebutkan bahwa Allah itu mawlaa, artinya Allahlah yang mengurus urusan kita, Allahlah tempat kita kembali dan Allahlah penolong kita. Lalu kita meminta tolong pada doa tersebut supaya dijauhkan dari penindasan orang kafir.

Faedah dari Ayat di Atas

1- Rahmat Allah begitu besar karena Allah tidaklah membebani kecuali yang manusia mampu memikulnya.

2- Dari ayat ini, para ulama membuat suatu kaedah fiqhiyyah yang begitu ma’ruf,

لاَ وَاجِبَ مَعَ العَجْزِ

“Tidak ada kewajiban ketika tidak mampu.”

Contoh:

  • Ketika seseorang tidak mampu bersuci dengan air karena sakit atau lumpuh atau tidak mendapati air atau khawatir sakit, bersuci tersebut beralih pada tayamum. Kalau tidak mampu tayamum karena tidak mendapati debu atau tanah untuk bertayamum, maka ketika itu ia shalat dalam keadaan tidak berwudhu dan bertayamum karena tidak ada kewajiban kala tidak mampu.
  • Jika seseorang shalat sedangkan didapati najis pada pakaiannya dan tidak diperoleh pakaian pengganti, najisnya pun tidak dapat dihilangkan pada pakaian, ia tetap shalat dalam keadaan berpakaian najis seperti itu. Shalatnya tidak perlu diulangi. Menjauhi najis ketika shalat adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan. Namun kewajiban tersebut gugur ketika tidak mampu dipenuhi.
  • Ketika seseorang shalat, wajib menghadap kiblat. Ketika sakit, ia tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mampu mengarahkan tubuhnya kea rah kiblat. Keadaan seperti itu mengakibatkan menghadap kiblat menjadi gugur. Orang seperti itu shalat sesuai dengan keadaannya kala itu.
  • Ketika shalat tidak mampu dilakukan dalam keadaan berdiri, maka ketika itu boleh beralih ke posisi duduk. Jika tidak mampu duduk, maka beralih ke posisi berbaring ke sisi kanan atau kiri dengan menghadap kiblat. Ketika ruku’ dan sujud bisa dengan isyarat kepala. Namun saat itu tidak cukup dengan isyarat jari sebagaimana diyakini sebagian orang awam.
  • Ketika seseorang tidak mampu membaca Al-Fatihah dan belum mengenalnya, maka gugur kewajiban membaca Al-Fatihah. Wajib sebagai penggantinya adalah membaca dzikir dengan tahmid, takbir dan tahlil.
  • Jika wajib menunaikan zakat dan ketika itu tidak ada nuqud (uang tunai) dan tidak mampu membeli barang yang nanti dijadikan harta zakat, saat itu zakat tersebut boleh ditunda sampai mampu membeli barang tersebut.
  • Puasa Ramadhan itu wajib, namun saat ini dan seterusnya tidak mampu menunaikannya karena ketidakmampuan, sebagai gantinya adalah dengan menunaikan fidyah. Fidyah yang dikeluarkan adalah memberi makan pada orang miskin dari setiap puasa yang ditinggalkan. Jika tidak mampu menunaikan fidyah, jadilah gugur kewajiban tersebut.
  • Jika seseorang tidak punya kemampuan untuk berhaji, maka gugurlah kewajiban untuk berhaji.

3- Manusia berbeda-beda dalam memenuhi kewajiban. Ada yang mampu menunaikannya dan ada yang tidak mampu. Orang yang pertama menjadi wajib untuknya, berbeda dengan orang kedua.

4- Setiap orang yang beramal shalih, ia akan memperoleh balasannya. Termasuk pula seseorang mendapatkan balasan karena mengajak orang lain melakukan kebaikan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

Siapa yang memberi petunjuk dalam kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala dari orang yang melakukan kebaikan tersebut.” (HR. Muslim no. 1893)

5- Setiap orang yang melakukan maksiat, maka ia akan memperoleh balasannya. Sebagaimana disebutkan dalam ayat yang lain,

لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ

Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya.” (QS. An-Nur: 11). Baik dosa tersebut dilakukan langsung atau menjadi petunjuk pada sesuatu yang haram. Jika menjadi petunjuk pada sesuatu yang haram, maka berarti ia mendapat bagian dari yang haram tersebut. Namun ini berbeda dengan orang yang menunjukkan pada kebaikan. Kalau orang yang menunjukkan pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan kebaikan yang semisal. Sedangkan orang yang mencontohkan pada kejelekan akan mendapatkan bagian dari dosa.

6- Karena dalam do’a disebut ‘rabbanaa’, ini menunjukkan adanya penetapan sifat Rabb atau sifat rububiyyah bagi Allah. Yang dimaksud meyakini sifat rububiyyah Allah adalah meyakini Allah sebagai pencipta, pemberi rezeki dan pengatur alam semesta.

7- Di antara adab do’a adalah memanggil Allah dengan nama Allah yang mulia yaitu Rabb. Oleh karena itu, mayoritas do’a dalam Al-Qur’an dimulai dengan panggilan Rabb.

8- Orang yang lupa dan keliru (tidak punya ilmu), maka diangkat dosa dari dirinya. Namun ada beberapa kewajiban yang ketika lupa atau keliru harus diqadha’ namun tidak disematkan dosa padanya ketika melakukannya.

Contoh:

  • Orang yang berwudhu, lantas ia lupa mengusap kepala, lalu tetap shalat dalam keadaan seperti itu. Saat lupa semacam itu, ia tidak berdosa walau ia berwudhu dengan wudhu yang tidak sah. Akan tetapi, ia harus mengulangi wudhunya, juga harus mengulangi shalatnya. Jadi yang terangkat hanyalah dosanya. Namun kewajibannya tidaklah gugur.
  • Ada orang yang tidak ingat shalat sama sekali karena kesibukan. Ia tidak mendapatkan dosa. Namun shalat tersebut tidaklah gugur, tetap harus dikerjakan.
  • Jika seseorang salam sebelum sempurnanya shalat dalam keadaan lupa, maka ia tidaklah berdosa. Namun ia punya tugas untuk menyempurnakan shalat tersebut.
  • Jika seseorang berpuasa lalu makan dalam keadaan lupa, maka dimaafkan. Ia boleh tetap melanjutkan puasanya.

Pembahasan ini insya Allah akan bersambung pada serial ketiga. Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

Ahkam Al-Qur’an Al Karim. Cetakan pertama tahun 1428 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Madarul Wathan.

Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Tafsir As-Sa’di. Cetakan ketiga tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar Risalah.

Menjelang Shubuh, 25 Rajab 1436 H @ Darush Sholihin Panggang GK

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Ikuti update artikel Rumaysho.Com di Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat (sudah 3,6 juta fans), Facebook Muhammad Abduh Tuasikal, Twitter @RumayshoCom, Instagram RumayshoCom

Untuk bertanya pada Ustadz, cukup tulis pertanyaan di kolom komentar. Jika ada kesempatan, beliau akan jawab.

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button