Matan Taqrib: Rukun, Syarat, dan Ketentuan Hibah, Termasuk Hibah untuk Anak
Kali ini kita masuk bahasan pengertian, hukum, rukun, syarat, dan ketentuan hibah, serta aturan hibah untuk anak.
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata:
وَكُلُّ مَا جَازَ بَيْعُهُ جَازَ هِبَتُهُ وَلاَ تَلْزَمُ الهِبَةُ إِلاَّ بِالقَبْضِ وَإِذَا قَبَضَهَا المَوْهُوْبُ لَهُ لَمْ يَكُنْ لِلْوَاهِبِ أَنْ يَرْجِعَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ وَالِداً وَإِذَا أَعْمَرَ شَيْئاً أَوْ أَرْقَبَهُ كَانَ لِلْمُعْمَرِ أَوْ لِلْمُرْقَبِ وَ لِوَرَثَتِهِ مِنْ بَعْدِهِ.
“Adapun setiap barang yang boleh diperjualbelikan, maka boleh dijadikan hibah. Hibah barulah dianggap pasti jika ada qabdh (serah terima). Jika sudah terjadi qabdh (serah terima), maka yang sudah diberikan tidaklah boleh ditarik kembali oleh pihak yang memberi kecuali orang tua menarik hibah dari anaknya. Jika hibah diberi dengan batasan umur atau selama dijaga, maka hibah diterima oleh yang diberi. Setelah meninggalnya yang diberi, harta tersebut akan menjadi milik ahli waris.”
Penjelasan:
Hibah adalah memiliki suatu barang dengan akad tertentu tanpa ada kompensasi dan terjadi ketika hidup.
Dalil mengenai hibah adalah firman Allah Ta’ala,
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Maidah: 2)
Dalam hadits disebutkan, dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
يا نِساءَ المُسْلِماتِ، لا تَحْقِرَنَّ جارَةٌ لِجارَتِها، ولو فِرْسِنَ شاةٍ.
“Wahai para wanita muslimah! Janganlah salah seorang di antara kalian meremehkan tetangganya meskipun [pemberiannya] hanya berupa kaki domba.” (HR. Bukhari, 2566 dan Muslim, no. 1030). Yang dimaksud “firsina saah” adalah tulang yang memiliki sedikit daging pada kaki kuda. Namun, disebut hal ini pada kambing sebagai bentuk permisalan. Namun, maksud hadits ini adalah hendaklah kita bisa menghibahkan atau menghadiahkan meskipun hanya mampu sedikit, sehingga bukan berarti harus memberi dengan ukuran tulang dengan daging yang sedikit. Karena biasanya tulang dengan daging yang sedikit malah jarang diberi kepada orang lain sebagai hadiah. Maksud hadits adalah lebih baik memberi sedikit pada tetangga daripada tidak memberi sama sekali.
Hikmah adanya hibah adalah wujud tolong menolong dalam kebaikan, saling memberi hadiah, dan saling menyenangkan orang lain.
Rukun hibah
- Waahib, orang yang memberi hibah.
- Mawhub lahu, yang diberi hibah.
- Mawhub, barang yang dihibahkan.
- Shighah (ijab dan qabul).
Syarat orang yang memberi hibah (waahib)
- Barang yang diberi telah dimiliki.
- Yang memberi hibah diizinkan oleh syariat untuk melakukan transaksi. Hibah yang tidak sah adalah dari anak kecil, orang gila, dan orang yang sedang diboikot karena utang.
Syarat orang yang diberi hibah (mawhub lahu)
adalah yang bisa memiliki barang. Hibah tidak sah diberikan kepada bayi yang masih berada dalam kandungan atau kepada hewan karena kepemilikan tidak bisa berpindah kepada mereka.
Catatan: Hadiah untuk anak kecil dan orang gila bisa diterima oleh walinya.
Syarat barang yang dihibahkan (mawhub)
- Barangnya ma’lum (diketahui). Hibah dari sesuatu yang tidak jelas tidaklah sah.
- Barangnya suci. Hibah berupa anjing dan babi tidaklah sah.
- Barangnya bisa diserahterimakan.
Catatan:
- Barang yang bisa diperjualbelikan, sah untuk dijadikan hibah. Sedangkan, barang yang tidak boleh diperjualbelikan, tidak sah untuk dijadikan hibah.
- Lafaz ijab qabul sama seperti dalam jual beli.
Beberapa catatan mengenai hibah
- Jika barang yang diberi pada orang yang mendapatkan hibah telah diserahterimakan (ada qabdh), maka sudah dianggap sebagai miliknya. Adapun jika orang yang memberi hibah atau yang menerima telah meninggal dunia sebelum ada qabdh, maka ahli waris boleh menggantikannya.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَائِدُ فِى هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِىءُ ، ثُمَّ يَعُودُ فِى قَيْئِهِ
“Orang yang meminta kembali hadiahnya seperti anjing muntah lalu menelan muntahannya sendiri.” (HR. Bukhari, no. 2589 dan Muslim, no. 1622)
Namun, seorang ayah masih boleh mengambil kembali apa yang ia beri pada anaknya.
Dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِىَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيهَا إِلاَّ الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِى وَلَدَهُ وَمَثَلُ الَّذِى يُعْطِى الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَأْكُلُ فَإِذَا شَبِعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِى قَيْئِهِ
“Tidak halal bagi seseorang memberikan suatu pemberian kemudian ia memintanya kembali kecuali ayah pada apa yang ia berikan kepada anaknya (maka boleh diminta kembali). Permisalan orang yang memberi hadiah lantas ia memintanya kembali seperti anjing yang makan, lalu ketika ia kenyang, ia muntahkan, kemudian ia menelan muntahannya.” (HR. Abu Daud, no. 3539; Tirmidzi, no. 1299; An-Nasa’i, no. 3720; Ibnu Majah, no. 2377. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnul Jarud, 994; juga oleh Imam Al-Hakim, 2: 46, begitu pula disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi)
- Hibah tidak boleh ditarik kembali jika sudah ada qabdh. Namun, jika belum ada qabdh, hibah masih boleh ditarik.
- Hibah bisa ditarik kembali setelah adanya qadbh (serah terima) jika yang menarik adalah al-ushul yaitu ayah, kakek, ibu, atau nenek.
- Pembagian hibah pada anak-anak disunnahkan rata, anak laki-laki sama dengan anak perempuan. Pembagian hibah pada anak-anak yang berbeda dimakruhkan. Namun, pembagian hibah bisa tidak sama antara anak jika ada kebutuhan. Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah melebihkan hibah pada Aisyah dari anak-anaknya yang lain. Begitu pula ‘Umar bin Al-Khaththab pernah melebihkan hibah pada ‘Ashim dari anak-anaknya yang lain.
- Pembagian hibah pada anak laki-laki dan anak perempuan disunnahkan sama di masa hidup si pemberi hibah.
- Pemberian hibah dengan tulisan dan mu’athah (tanpa ucapan ijab qabul) dihukumi sah.
- Menerima sebagian hibah, belum yang lainnya, tetap sah.
- Hibah yang belum diterima oleh orang yang diberi hibah tetap sah dan hibah tersebut bisa dikirim padanya.
- Jika ada hadiah yang diberikan kepada seseorang karena terkait acara khitan dari anaknya, maka hadiah itu menjadi milik si ayah.
Lihat Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’, hlm. 272-274.
Hendaklah adil dalam hibah pada anak-anak
‘Amir berkata bahwa beliau mendengar An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma yang ketika itu berada di atas mimbar, ia berkata, “Ayahku memberikan hadiah padaku.” Lantas ibunya Nu’man, ‘Amroh bintu Rowahah berkata, “Aku tidak rida sampai engkau mempersaksikan hal itu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, lantas Basyir (ayahnya Nu’man) berkata, “Aku telah memberikan hadiah pada anak laki-lakiku dari istriku, ‘Amroh bin Rowahah. Lalu istriku memerintahkan padaku untuk mempersaksikan masalah hadiah ini padamu, wahai Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya pada Basyir, “Apakah engkau memberi anak-anakmu yang lain seperti anakmu itu?” “Tidak”, begitu jawaban Basyir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَاتَّقُوا اللَّهَ ، وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ
“Bertakwalah kepada Allah. Bersikap adillah terhadap anak-anakmu.” An-Nu’man berkata bahwa ayahnya kembali dan menarik hadiah tersebut (Muttafaqun ‘alaih).
Hadits di atas dibawakan oleh Imam Bukhari dalam persaksian dalam hal hadiah. Imam Nawawi memberi judul Bab dalam Shahih Muslim “Tidak disukai mengutamakan hadiah pada satu anak dan tidak diberi pada anak yang lain.”
Ada beberapa pelajaran dari hadits di atas:
Pertama: Bersikap adil yaitu sama dalam pemberian hadiah di antara anak-anak adalah suatu hal yang diperintahkan. Sedangkan bersikap tidak adil dalam hal ini tanpa adanya alasan adalah suatu yang haram atau tidak dibolehkan. Namun, jika ternyata ditemukan adanya sebab untuk mengutamakan satu anak dari yang lainnya dalam pemberian hadiah, maka harus dengan rida seluruh anak. Hal ini pun diberlakukan sama jika memiliki istri lebih dari satu.
Kedua: Hadiah mesti dikembalikan jika ada pembagian di antara anak-anak yang tidak sama atau tidak adil. Alasannya sebagaimana dalam hadits An-Nu’man bin Basyir di atas. Sedangkan dalil yang menyatakan tidak boleh mengambil sesuatu yang sudah disedekahkan,
لاَ تَشْتَرِ وَلاَ تَعُدْ فِى صَدَقَتِكَ ، وَإِنْ أَعْطَاكَهُ بِدِرْهَمٍ ، فَإِنَّ الْعَائِدَ فِى صَدَقَتِهِ كَالْعَائِدِ فِى قَيْئِهِ
“Janganlah engkau membeli dan meminta kembali sedekahmu, walaupun engkau ingin menggantinya dengan satu dirham. Karena orang yang meminta kembali sedekahnya seperti orang yang menjilat kembali muntahannya.” (HR. Bukhari no. 1490 dan Muslim no. 1620), ini adalah dalil umum. Sedangkan hadits Nu’man di atas yang berisi perintah mengembalikan hadiah, itu adalah dalil khusus yang menjadi pengkhusus yang umum.
Ketiga: Boleh memberikan suatu pemberian pada anak laki-laki atau perempuan lebih dari yang lainnya jika ada alasan khusus seperti karena anak tersebut lebih butuh. Hal ini pernah dicontohkan oleh Abu Bakar dan Umar terhadap anak-anak mereka. Boleh pula melebihkan salah satu anak karena alasan mendidik sebagaimana pendapat Anas bin Malik.
Referensi:
- Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.
–
Diselesaikan 28 Jumadal Akhirah 1445 H, 9 Januari 2024
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com