Shalat

Perbedaan Cara Shalat Wanita dan Pria: Penjelasan Lengkap Menurut Fikih

Shalat merupakan ibadah yang memiliki aturan khusus bagi pria dan wanita, sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Artikel ini akan membahas perbedaan cara shalat antara pria dan wanita berdasarkan pandangan fiqih yang terpercaya.

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata,

الأُمُورُ الَّتِي تُخَالِفُ فِيهَا الْمَرْأَةُ الرَّجُلَ فِي الصَّلَاةِ:

وَالْمَرْأَةُ تُخَالِفُ الرَّجُلَ فِي خَمْسَةِ أَشْيَاءَ: فَالرَّجُلُ يُجَافِي مِرْفَقَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ وَيُقِلُّ بَطْنَهُ عَنْ فَخِذَيْهِ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ، وَيَجْهَرُ فِي مَوْضِعِ الْجَهْرِ، وَإِذَا نَابَهُ شَيْءٌ فِي الصَّلَاةِ سَبَّحَ، وَعَوْرَةُ الرَّجُلِ مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ.

وَالْمَرْأَةُ تَضُمُّ بَعْضَهَا إِلَى بَعْضٍ، وَتُخْفِضُ صَوْتَهَا بِحَضْرَةِ الرِّجَالِ الْأَجَانِبِ، وَإِذَا نَابَهَا شَيْءٌ فِي الصَّلَاةِ صَفَّقَتْ، وَجَمِيعُ بَدَنِ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ إِلَّا وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا، وَالْأَمَةُ كَالرَّجُلِ.

Terdapat lima hal yang membedakan cara shalat wanita dengan pria. Pertama, pria menjauhkan kedua sikunya dari sisi tubuhnya dan menjaga perutnya agar tidak menempel pada pahanya saat rukuk dan sujud. Kedua, pria mengeraskan bacaan di tempat-tempat yang disunnahkan untuk dikeraskan. Ketiga, jika terjadi sesuatu dalam shalat, pria memberi tanda dengan mengucapkan subhanallah. Keempat, aurat pria adalah bagian tubuh antara pusar hingga lutut.

Sebaliknya, wanita merapatkan anggota tubuhnya satu sama lain saat rukuk dan sujud. Selain itu, wanita merendahkan suaranya apabila ada laki-laki asing (bukan mahram) di sekitarnya. Jika terjadi sesuatu dalam shalat, wanita memberi tanda dengan menepukkan tangan. Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, sedangkan wanita budak dalam hal ini sama seperti pria.

Catatan:

  • Laki-laki boleh merapatkan anggota tubuhnya satu sama lain jika bertujuan untuk menutup aurat.
  • Seorang laki-laki disunnahkan mengeraskan bacaan (jahr) dalam shalat Subuh, Maghrib, Isyak, dan seluruh shalat yang dikerjakan di waktu malam, baik dilakukan secara berjamaah maupun sendirian. Mengeraskan bacaan dalam shalat-shalat tersebut termasuk amalan yang dianjurkan. Adapun bagi perempuan, ia dianjurkan untuk memelankan suara ketika shalat, khususnya jika di sekitarnya terdapat laki-laki non-mahram.
  • Suara wanita yang tidak mendayu-dayu atau menggoda tidak termasuk aurat.
  • Wanita tetap menjaharkan bacaannya ketika yang mendengar suaranya adalah mahram. Namun, jika yang mendengar adalah yang bukan mahram dan wanita tersebut sedang shalat, maka menjaharkan bacaan dihukumi makruh.
  • Jika ucapan “Subhanallah” diucapkan bukan untuk mengingatkan imam, bukan untuk memberi tahu imam, dan bukan sebagai dzikir, maka shalat menjadi batal.
  • Jika makmum mengatakan kepada imam, “Engkau sekarang berada di rakaat kelima” atau mengucapkan kalimat yang bukan bagian dari Al-Qur’an, dzikir, atau doa, maka shalat makmum tersebut batal.
  • Tidak ada pensyariatan azan maupun iqamah untuk wanita.
  • Laki-laki boleh menjadi imam bagi wanita, tetapi wanita tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki.

____

Perbedaan Gerakan Shalat antara Laki-laki dan Perempuan

Perempuan berbeda dengan laki-laki dalam empat hal dalam shalat:

  1. Laki-laki merenggangkan (menjauhkan) kedua siku dari sisi tubuhnya saat rukuk dan sujud.
  2. Ia mengangkat perutnya dari pahanya dalam rukuk dan sujud.
  3. Ia mengeraskan suara dalam bacaan yang disyariatkan berjahar.
  4. Jika terjadi sesuatu dalam shalatnya, maka laki-laki bertasbih, sementara perempuan menepuk tangan.

 

Anjuran dalam Gerakan Shalat Laki-laki

Disunnahkan bagi yang rukuk untuk meluruskan punggung dan lehernya, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meluruskan punggung dan lehernya sampai-sampai jika dituang air di atas punggung beliau, air itu tidak akan mengalir ke mana-mana. Imam Asy-Syafi‘i menyebutkan bahwa kepala dan leher harus sejajar dengan punggung, dalam posisi membungkuk. Disunnahkan juga menegakkan kedua kakinya dalam rukuk. Dimakruhkan menundukkan kepala secara berlebihan, karena menyerupai tunduknya keledai, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang melarang hal itu.

Disunnahkan pula merenggangkan kedua siku dari sisi tubuh, sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallāhu ‘anhā bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya.

Adapun perempuan, maka disunnahkan merapatkan anggota tubuhnya satu sama lain, karena hal itu lebih menutupi aurat dan menjaga kehormatan dirinya.

 

Sujud: Posisi Laki-laki dan Perempuan

Disunnahkan bagi laki-laki dalam sujud untuk merenggangkan kedua sikunya dari sisi tubuhnya. Dalam Shahihain disebutkan: “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud, beliau merenggangkan kedua tangannya sampai terlihat putih ketiaknya.”

Juga disunnahkan mengangkat perut dari paha, sebagaimana diriwayatkan: “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud, beliau merenggangkan tubuhnya.”

Dan dalam riwayat lain: “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud, seandainya ada kambing kecil yang lewat, niscaya bisa lewat di bawah tubuh beliau.”

Adapun perempuan, maka ia tetap merapatkan tubuhnya saat sujud, karena itu lebih menjaga kehormatan dan lebih tertutup.

 

Hukum Mengeraskan Suara Bacaan

Telah dibahas bahwa laki-laki mengeraskan suara pada tempat-tempat yang disyariatkan berjahar.

Adapun perempuan yang menjadi imam untuk sesama perempuan atau shalat sendiri, boleh berjahar jika tidak ada laki-laki bukan mahram di sekitarnya. Namun tingkatan jahar-nya lebih pelan dari laki-laki. Jika di dekatnya ada laki-laki bukan mahram, maka ia memelankan suara.

Qadhi Husain berkata: Sunnahnya, perempuan memelankan suara, baik kita katakan bahwa suaranya adalah aurat ataupun tidak. Namun, jika ia mengeraskan suara dan kita mengatakan suaranya adalah aurat, maka shalatnya menjadi batal.

 

Jika Terjadi Gangguan dalam Shalat

Jika ada sesuatu yang perlu disampaikan atau peringatan kepada imam, atau ada bahaya datang (seperti orang buta yang hampir menabrak, orang lalai, orang zalim yang datang, atau binatang buas yang menyerang), maka: Laki-laki disunnahkan bertasbih, yaitu dengan mengucap “Subḥānallāh”. Perempuan menepuk tangan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa yang terjadi sesuatu dalam shalatnya, maka hendaklah ia bertasbih. Karena jika ia bertasbih, orang lain akan menoleh. Adapun menepuk tangan adalah untuk perempuan.” Dalam riwayat lain: “Barang siapa yang mengalami gangguan dalam shalatnya, maka ucapkanlah: Subḥānallāh.” Jika seseorang bertasbih, maka hendaknya ia berniat berdzikir dan memberi isyarat atau pemberitahuan kepada orang lain.

 

Faedah: Hukum Tasbih dan Tepukan dalam Shalat

Tasbih dan tepukan mengikuti hukum dari hal yang ingin diberi peringatan. Jika peringatannya adalah suatu ibadah, maka tasbih dan tepukan pun menjadi ibadah. Jika peringatannya mubah (dibolehkan), maka tasbih dan tepukannya juga menjadi mubah.

Apabila laki-laki menepuk tangan dan perempuan bertasbih, maka hal tersebut tidak membatalkan shalat, meskipun itu menyelisihi sunnah. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa tepukan tangan oleh laki-laki bisa membatalkan shalat. Jika perempuan menepuk tangan berkali-kali, maka tidak membatalkan shalatnya, dan hal ini disepakati oleh para ulama, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Ar-Rif‘ah.

 

Cara Menepuk Tangan bagi Perempuan

Terdapat beberapa pendapat tentang cara menepuk tangan bagi perempuan. Pendapat yang paling kuat (ash-shahih): Perempuan menepukkan telapak tangan kanan pada punggung tangan kiri. Jika ia menepukkan telapak tangan kanan ke telapak tangan kiri dengan cara yang menyerupai permainan, dan ia tahu bahwa hal itu dilarang, maka shalatnya batal, meskipun hanya sedikit tepukan. Ini dinyatakan oleh Ar-Rafi‘i, dan diikuti oleh An-Nawawi dalam Syarḥ al-Muhadzdzab, serta Ibnu Ar-Rif‘ah dalam Al-Maṭlab. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

 

Aurat Laki-laki dan Perempuan dalam Shalat

Aurat laki-laki (baik merdeka maupun budak, Muslim maupun non-Muslim dzimmi) adalah: antara pusar dan lutut, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jarhad:

غَطِّ فَخِذَكَ، فَإِنَّ الفَخِذَ عَوْرَةٌ

“Tutupilah pahamu, karena paha itu aurat.”

Dari pernyataan “antara pusar dan lutut”, dipahami bahwa pusar dan lutut bukan bagian dari aurat, dan itu adalah pendapat ash-shahih, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Asy-Syafi‘i.

Adapun perempuan merdeka, maka auratnya dalam shalat adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan, baik bagian atas maupun bawah sampai pergelangan tangan.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ala,

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak darinya.” (QS. An-Nūr: 31). Para ahli tafsir, termasuk Ibnu ‘Abbas dan Aisyah radhiyallāhu ‘anhumā menjelaskan: Yang dimaksud “yang tampak” adalah wajah dan kedua telapak tangan. Karena jika wajah dan tangan adalah aurat, tentu tidak akan dibiarkan terbuka dalam keadaan ihram. Menurut Imam Al-Muzani: Kedua kaki bukan termasuk aurat secara mutlak.

 

Aurat Budak Perempuan

Adapun budak perempuan, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat paling kuat (aṣ-ṣaḥīḥ): Auratnya seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan lutut, baik ia:

  • budak murni (qinnah),
  • budak mustauladah (yang melahirkan anak dari tuannya),
  • budak mukatabah (yang menebus dirinya),
  • atau budak mudabbirah (yang dijanjikan bebas setelah wafat tuannya).

Karena kepala budak perempuan bukan aurat menurut ijmak, sebagaimana disebutkan dalam kisah Umar radhiyallāhu ‘anhu yang memukul budak perempuan dari keluarga Anas karena menutupi kepalanya. Lalu beliau berkata: “Apakah kamu ingin menyerupai perempuan merdeka?” Maka, siapa yang kepalanya bukan aurat, maka auratnya adalah antara pusar dan lutut, sebagaimana laki-laki.

Pendapat lain menyatakan: Yang boleh tampak dari budak perempuan saat bekerja (seperti melayani) bukan aurat, yaitu:

  • kepala,
  • leher,
  • lengan bawah,
  • dan sebagian betis,

karena ia membutuhkan kelonggaran itu dan sulit bagi mereka untuk menutup semuanya secara sempurna.
Adapun selain bagian-bagian itu, tetap dihukumi sebagai aurat.

Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

 

Referensi:

  • Al-Ḥiṣnī, M. b. ‘A. M. (2007). Kifāyah al-Akhyār fī Ḥall Ghāyah al-Ikhtiṣār. Jeddah: Dār al-Minhāj.
  • Al-Kāmil Ḥāmid, H. (2011). Al-Imtā‘ bi Syarḥ Matn Abī Syuja‘ fī al-Fiqh asy-Syāfi‘ī. Cairo: Dār al-Manār.

________

Ditulis pada Kamis siang, 18 Syawal 1446 H, 17 April 2025 di Darush Sholihin

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Prove your humanity: 7   +   7   =  

Back to top button