Muamalah

Matan Taqrib: Panduan Fikih untuk Barang Temuan dan Anak Hilang

Kitab “Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib” oleh Al-Qadhi Abu Syuja’ membahas hukum mengenai barang temuan (luqathah) dan anak hilang (laqith) dalam Islam. Pengambilan luqathah harus dilakukan dengan amanah dan diumumkan selama setahun, sementara perawatan anak hilang merupakan fardhu kifayah dan harus dilakukan oleh orang yang dipercaya. Jika pemilik barang tidak ditemukan, barang tersebut boleh dimiliki dengan syarat mengganti jika pemiliknya muncul. Untuk anak hilang, tanggung jawab perawatannya ditanggung oleh Baitul Mal jika tidak ada harta yang menyertainya.

 

Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib

Kitab Al-Buyu’

 

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata:

أَحْكَامُ اللُّقَطَةِ:

وَ إِذَا وَجَدَ لُقَطَةً فِي مَوَاتٍ أَوْ طَرِيْقٍ ، فَلَهُ أَخْذُهَا وَتَرْكُهَا ، وَأَخْذُهَا أَوْلَى مِنْ تَرْكِهَا إِنْ كَانَ عَلَى ثِقَّةٍ مِنَ القِيَامِ بِهَا. وَإِذَا أَخَذَهَا وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَعْرِفَ سِتَّةَ أَشْيَاءَ: وِعَاءَهَا وَ عِفَاصَهَا وَ وِكَاءَهَا وَجِنْسِهَا وَعَدَدَهَا وَيَحْفَظَهَا فِي حِرْزِ مِثْلِهَا . ثُمَّ إِذَا أَرَادَ تَمَلُّكَهَا عَرَّفَهَا سَنَةً عَلَى أَبْوَابِ المَسَاجِدِ وَفِي المَوَضِعِ الَّذِي وَجَدَهَا فِيْهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ صَاحِبَهَا كَانَ لَهُ أَنْ يَتَمَلَّكَهَا بِشَرْطِ الضَّمَانِ.

Jika seseorang mendapatkan luqathah (barang temuan) di sebuah lapangan atau jalan, maka dia boleh mengambil atau membiarkannya. Mengambilnya lebih utama daripada membiarkannya jika dia adalah orang yang bisa dipercaya untuk menjaganya. Jika barang tersebut diambil, maka dia harus mengumumkan kepada masyarakat dengan menyebutkan enam hal:

  1. Wadahnya
  2. Tutupnya
  3. Tali pengikatnya
  4. Jenisnya
  5. Jumlahnya
  6. Berat timbangannya

Luqathah hendaknya disimpan di tempat yang aman. Jika orang yang menemukannya ingin memilikinya, dia harus mengumumkannya selama setahun (dari waktu pengumuman, bukan pengambilan) di pintu-pintu masjid dan di tempat ditemukannya barang tersebut. Jika pemiliknya tidak ada, dia boleh memilikinya dengan syarat harus mengganti (seandainya si pemilik datang menuntutnya).

Catatan:

Luqathah adalah harta yang hilang yang tidak diketahui siapa yang memilikinya dan ditemukan di tempat umum seperti masjid atau di jalan.

Hukum mengambil barang luqathah adalah BOLEH. Mengambilnya lebih utama daripada membiarkannya saja jika ia adalah orang yang bisa dipercaya untuk menjaganya.

  • Jika seseorang mendapati luqathah di jalan dan ia tidak mengambilnya lantas barang tersebut rusak, maka ia tidak disuruh ganti rugi.

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إلى رَسولِ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَسَأَلَهُ عَنِ اللُّقَطَةِ، فَقَالَ: اعْرِفْ عِفَاصَهَا ووِكَاءَهَا، ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً، فإنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وإلَّا فَشَأْنَكَ بهَا، قَالَ: فَضَالَّةُ الغَنَمِ؟ قَالَ: هي لكَ أوْ لأخِيكَ أوْ لِلذِّئْبِ، قَالَ: فَضَالَّةُ الإبِلِ؟ قَالَ: ما لكَ ولَهَا؟! معهَا سِقَاؤُهَا وحِذَاؤُهَا، تَرِدُ المَاءَ، وتَأْكُلُ الشَّجَرَ حتَّى يَلْقَاهَا رَبُّهَا.

“Ada seseorang yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menanyakan mengenai barang temuan (luqathah).” Lalu beliau bersabda: “Kenalilah wadah dan talinya, setelah itu umumkanlah kepada khalayak ramai, apabila pemiliknya datang maka berikanlah barang tersebut kepadanya.” Kemudian orang itu juga bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika yang ditemukan adalah kambing?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Mungkin ia dapat menjadi milikmu atau milik saudaramu atau bahkan menjadi milik serigala.” Dia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika yang ditemukan adalah unta?” Beliau menjawab: “Apa urusanmu dengan unta yang hilang? Ia telah membawa sepatu (punya kaki) dan wadah airnya sendiri. Ia dapat mendatangi mata air dan makan dedaunan sampai ia bertemu pemiliknya.” Yahya berkata, “Sepertinya aku membaca ‘iffashaha (wadahnya).” (HR. Bukhari, no. 2372 dan Muslim, no. 1722)

Rukun luqathah 

  1. Memungut (iltiqath)
  2. Ada yang memungut (laaqith)
  3. Barang temuan atau barang yang dipungut (malquuth)

Pengambilan luqathah terkena lima hukum

  1. Mubah: jika aman pada waktu sekarang, walaupun tidak aman pada waktu akan datang.
  2. Sunnah: jika aman pada waktu sekarang dan aman pada waktu akan datang.
  3. Wajib: jika aman pada waktu sekarang dan aman pada waktu akan datang, dan bisa jadi barang temuan disia-siakan jika tak diambil.
  4. Makruh: jika yang mengambilnya adalah orang fasik.
  5. Haram: jika ia berniat akan berkhianat.

Pada setiap keadaan di atas, tidak ada dhaman (perintah ganti rugi) jika barang temuan hanya dibiarkan (tak diambil), walaupun masuk dalam hukum wajib karena kalau tidak mengambil, tangan belum memegangnya.

Ringkasnya, luqathah itu jika dipercaya dan bisa amanah, disunnahkan untuk mengambilnya. Jika tidak terpercaya amanah dirinya untuk masa akan datang, tetapi amanah untuk masa saat ini, maka dibolehkan (mubah) untuk mengambilnya selama bukan orang fasik. Jika ia orang fasik, maka makruh untuk mengambilnya. Jika ia tidak amanah pada masa saat ini dan ia dipastikan khianat, maka haram untuk mengambilnya, lalu ia menjadi dhamin (penjamin) jika tetap mengambilnya.

Hendaklah barang temuan diumumkan selama setahun dimulai dari waktu pengumuman pada khalayak ramai, bukan dari waktu pemungutan di jalan atau di tempat umum. Hendaklah ia umumkan pada khalayak ramai. Cara pengumumannya:

  • Setiap hari pada pagi dan sore selama seminggu.
  • Setiap hari pada satu waktu saja selama seminggu atau dua minggu.
  • Sekali untuk setiap pekan hingga tujuh pekan.
  • Sekali setiap bulan.
  • Sampai waktu pengumuman itu setahun.

Jika pemiliknya tidak ada, dia boleh memilikinya dengan syarat harus mengganti (seandainya si pemilik datang menuntutnya).

Catatan:

  • Hendaknya luqathah yang bukan barang berharga (haqiiroh, pemiliknya tidak menjaganya dengan kuat) tidak perlu diumumkan hingga setahun, cukup barang tersebut dicari tahu siapa pemiliknya hingga waktu yang dianggap cukup sampai dianggap pemiliknya dianggap tidak peduli dengan barang tersebut lagi.
  • Barang temuan diumumkan di tempat ditemukan dan di masjid yang manusia sering berkumpul di dalamnya.
  • Barang temuan di Makkah diumumkan selamanya dan harus diumumkan atau menyerahkannya kepada hakim (pihak berwajib).

 

Macam-Macam Luqathah

و اللقطة على أربعة أضرب:

أحدها : ما يبقى على الدوام فهذا حكمه.

والثاني : ما لا يبقى كالطعام الرطب فهو مخير بين أكله وغرمه أو بيعه وحفظ ثمنه.

والثالث : ما يبقى بعلاج كالرطب فيفعل ما فيه المصلحة من بيعه وحفظ ثمنه أو تجفيفه وحفظه.

والرابع : ما يحتاج إلى نفقة كالحيوان ، وهو ضربان: حيوان لا يمتنع بنفسه فهو مخير بين أكله وغرم ثمنه أو تركه والتطوع بالإنفاق عليه أو بيعه وحفظ ثمنه. وحيوان يمتنع بنفسه فإن وجده في الصحراء تركه وإن وجده في الحضر فهو مخير بين الأشياء الثلاثة فيه.

Luqathah itu ada empat macam:

  1. Barang-barang yang tahan lama. Hukumnya seperti tersebut di atas.
  2. Barang-barang yang tidak tahan lama, misalnya makanan basah. Terhadap barang-barang seperti ini ada beberapa pilihan. Orang yang menemukannya boleh memakannya dan menggantinya, atau menjualnya dan menjaga uang hasil penjualannya.
  3. Barang-barang yang bisa tahan lama dengan diawetkan, misalnya kurma basah. Terhadap barang-barang seperti ini diperlukan mana yang bisa membawa maslahat. Orang yang menemukannya boleh menjualnya dan menjaga uang hasil penjualannya, atau mengeringkannya dan menjaganya.
  4. Barang-barang yang membutuhkan biaya, misalnya hewan. Hewan luqathah itu ada dua:
  • Hewan yang tidak bisa menjaga dirinya. Orang yang menemukannya boleh memilih antara tiga hal, yaitu:
  • memakannya dan menanggung harganya.
  • Memeliharanya dan berbuat baik dengan membiayainya.
  • Menjualnya dan menjaga uang hasil penjualannya.
  • Hewan yang mampu melindungi dirinya. Jika seseorang menemukannya di gurun, dia harus membiarkannya. Jika menemukannya di pemukiman, maka dia boleh memilih di antara tiga hal sebelumnya.

أحكام اللقيط:
وإذا وجد لقيط بقارعة الطريق فأخذه وتربيته وكفالته واجبة على الكفاية ولا يقرُّ إلا في يد أمين فإن وجد معه مال أنفق عليه الحاكم وإن لم يوجد معه مال فنفقته في بيت المال.

Jika laqith (anak terlantar) ditemukan di jalanan, maka urusan memungut, mendidik, dan menanggung kehidupannya adalah fardhu kifayah. Anak terlantar itu tidak boleh ditinggalkan kecuali di tangan orang yang dapat dipercaya. Jika anak itu ditemukan bersama dengan hartanya, maka harta tersebut dialokasikan untuknya. Jika dia ditemukan tanpa memiliki harta, maka dia dinafkahi dari Baitul Mal.

Catatan:

Secara bahasa, laqith adalah sesuatu yang ditemukan secara umum.

Secara istilah, laqith adalah anak kecil atau majnun (orang gila) yang tidak diketahui siapakah kafilnya (yang bertanggung jawab mengasuh atau menjaganya).

Hukum mengambil laqith adalah fardhu kifayah.

Dalil tentang hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَٱفْعَلُوا۟ ٱلْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj: 77)

 

Rukun laqith

  1. Laqath: mengambil atau memungut.
  2. Laaqith: orang yang memungut.
  3. Malquuth: yang dipungut

 

Catatan:

  • Wajib adanya persaksian atas anak yang hilang dan apa yang menyertainya, untuk menjaga kebebasan dan nasabnya. Jika tidak disaksikan, tidak ditetapkan hak wali dan pengambilan hukum darinya.
  • Hukum laqiith: Wajib bagi siapa saja yang menemukan anak yang hilang “untuk menjaganya dan merawatnya serta menanggungnya”. Pengeluaran untuk anak yang hilang, jika ditemukan bersamanya sejumlah uang, maka digunakan uang itu. Jika tidak ditemukan sejumlah uang, maka pengeluaran diambil dari baitul mal, karena Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan pengeluaran untuk anak yang hilang dari baitul mal, dan mereka sepakat bahwa biayanya ditanggung dari baitul mal.
  • Jika dua orang menemukan anak yang hilang, satu orang kaya dan satu lagi miskin, maka didahulukan yang kaya.
  • Jika tidak dikeluarkan untuknya dari baitul mal, dikeluarkan dari harta orang-orang kaya muslim.
  • Jika pengeluaran untuk anak yang hilang berasal dari harta orang yang menemukannya dengan izin qadhi (hakim), maka dia tidak memiliki hak kepemilikan atas harta tersebut.
  • Diperbolehkan memindahkan anak yang hilang dari satu negara ke negara lain.
  • Anak yang hilang yang berada di negeri Islam dianggap sebagai seorang muslim, begitu juga jika salah satu orang tuanya muslim.

Syarat-syarat penemu anak yang hilang

  1. Islam (karena menemukan anak yang hilang adalah wewenang yang tidak dimiliki oleh non-muslim).
  2. Merdeka.
  3. Akil baligh.
  4. ‘Adl (tidak fasik dalam menemukan barang yang hilang).

 

Referensi:

  • Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.

 

 

Diselesaikan 11 Safar 1446 H, 15 Agustus 2024

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button