Pandangan Laki-Laki kepada Perempuan: Hukum dan Batasannya
Dalam Islam, menjaga pandangan bukan hanya perkara adab, tetapi bagian dari ketakwaan. Namun ada kondisi tertentu yang membolehkan laki-laki melihat perempuan dengan batasan dan syarat. Berikut penjelasan tujuh jenis pandangan laki-laki kepada perempuan menurut para ulama.
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,
وَنَظَرَ الرَّجُلِ إِلَى الْمَرْأَةِ عَلَى سَبْعَةِ أَضْرُبٍ:
أَحَدُهَا نَظْرَةٌ إِلَى أَجْنَبِيَّةٍ لِغَيْرِ حَاجَةٍ فَغَيْرُ جَائِزٍ،
وَالثَّانِي نَظْرَتُهُ إِلَى زَوْجَتِهِ أَوْ أَمَتِهِ فَيَجُوزُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا عَدَا الْفَرْجِ مِنْهُمَا،
وَالثَّالِثُ نَظْرَتُهُ إِلَى ذَوَاتِ مَحَارِمِهِ أَوْ أَمَتِهِ الْمُزَوَّجَةِ فَيَجُوزُ فِيمَا عَدَا مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ،
وَالرَّابِعُ النَّظَرُ لِأَجْلِ النِّكَاحِ فَيَجُوزُ إِلَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ،
وَالْخَامِسُ النَّظَرُ لِلْمُدَاوَاةِ فَيَجُوزُ إِلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُحْتَاجُ إِلَيْهَا،
وَالسَّادِسُ النَّظَرُ لِلشَّهَادَةِ أَوْ لِلْمُعَامَلَةِ فَيَجُوزُ إِلَى الْوَجْهِ خَاصَّةً،
وَالسَّابِعُ النَّظَرُ إِلَى الْأَمَةِ عِنْدَ ابْتِيَاعِهَا فَيَجُوزُ إِلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُحْتَاجُ إِلَى تَقْلِيبِهَا.
Pandangan Seorang Laki-laki kepada Perempuan Terbagi Menjadi Tujuh Keadaan:
1. Pandangan kepada perempuan asing (ajnabiyyah) tanpa adanya kebutuhan: Ini tidak diperbolehkan.
2. Pandangan kepada istri atau budaknya (amat) sendiri: Maka boleh memandang seluruh bagian tubuh selain kemaluan dari keduanya.
3. Pandangan kepada perempuan mahramnya atau budak perempuan yang telah menikah: Maka boleh memandang selain bagian antara pusar dan lutut.
4. Pandangan dengan tujuan melamar (untuk pernikahan): Maka boleh memandang wajah dan telapak tangan saja.
5. Pandangan untuk keperluan pengobatan: Maka boleh memandang bagian tubuh yang dibutuhkan untuk proses pengobatan tersebut.
6. Pandangan untuk keperluan menjadi saksi atau dalam muamalah: Maka boleh memandang wajah saja.
7. Pandangan kepada budak perempuan saat hendak membelinya: Maka boleh memandang bagian tubuh yang diperlukan untuk diperiksa (dalam proses jual beli budak).
Penjelasan Para Ulama Syafiiyyah
Pandangan laki-laki kepada perempuan terbagi menjadi tujuh macam:
Pertama, seorang laki-laki, walaupun sudah tua renta dan tidak mampu berhubungan intim, tidak boleh memandang wanita asing (yang bukan mahram) tanpa adanya kebutuhan. Jika ada kebutuhan seperti menjadi saksi dalam suatu perkara, maka dibolehkan.
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ
“Katakanlah kepada orang-orang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka.” Yang demikian itu lebih suci bagi mereka.” (QS. An-Nūr: 30)
Kedua, pandangan laki-laki kepada istri atau budaknya: boleh baginya memandang seluruh tubuh mereka selain kemaluan. Namun, menurut pendapat yang lemah, melihat kemaluan itu haram. Sedangkan menurut pendapat yang lebih kuat, boleh melihatnya tetapi makruh.
Menurut Syaikh Musthafa Al-Bugha, ia berkata, “Adapun melihat kemaluan wanita tanpa kebutuhan hukumnya makruh, karena bertentangan dengan adab.” Diriwayatkan dari ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā, ia berkata, “Aku tidak pernah melihat (kemaluan) Rasulullah ﷺ dan beliau pun tidak pernah melihat milikku.” (Faidh Al-Qadir, 2:224, no. 1716)
Ketiga, pandangan kepada perempuan mahram (karena nasab, sepersusuan, atau karena hubungan pernikahan), termasuk juga kepada budak perempuan yang telah menikah: boleh melihat seluruh tubuh mereka selain bagian antara pusar dan lutut, karena bagian itu termasuk aurat dan haram dilihat.
Dalil adalah firman Allah Ta‘ala:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah mertua mereka, anak-anak mereka, anak-anak suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, anak-anak saudara laki-laki mereka, atau anak-anak saudara perempuan mereka.” (QS. An-Nūr: 31). Perhiasan (zīnah) dalam ayat ini ditafsirkan bagian atas pusar dan bawah lutut—selain bagian yang dilarang dilihat.
Diriwayatkan oleh Abu Daud (no. 4113) dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya raḍiyallāhu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا زَوَّجَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَمَتَهُ، فَلَا يَنْظُرْ إِلَى عَوْرَتِهَا
“Apabila salah seorang dari kalian menikahkan budaknya dengan budak perempuan, maka janganlah ia melihat auratnya.”
Dalam riwayat lain:
فَلَا يَنْظُرْ إِلَى مَا دُونَ السُّرَّةِ وَفَوْقَ الرُّكْبَةِ
“Jangan melihat bagian antara pusar dan lutut.”
Antara pusar dan lutut diharamkan dilihat selain suami dan istri karena termasuk aurat.
Keempat, pandangan karena keperluan menikah: laki-laki yang hendak melamar seorang wanita boleh melihat wajah dan kedua telapak tangannya, baik bagian luar maupun dalam, walaupun tanpa izin si wanita. Dan menurut pendapat yang kuat dari Imam Nawawi, hal yang sama berlaku saat hendak melamar budak perempuan.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 4833) dan Muslim (no. 1425), dari Sahal bin Sa‘d raḍiyallāhu ‘anhu: Seorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghadiahkan diriku kepadamu.” Maka Rasulullah ﷺ menatapnya dari atas sampai ke bawah dan menundukkan kepala beliau.
Keterangan:
- “Menghadiahkan diri” maksudnya menawarkan diri untuk dinikahi Rasulullah ﷺ tanpa mahar, atau agar dinikahkan oleh beliau kepada orang yang dianggap layak.
- “Menatap dari atas ke bawah” artinya beliau ﷺ memperhatikan secara keseluruhan.
- “Menundukkan kepala” artinya beliau menolak tawaran tersebut dengan sopan.
Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1424), dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata:
“Aku berada di sisi Nabi ﷺ ketika seorang laki-laki datang dan memberitahu bahwa ia telah menikahi seorang wanita Anshar. Maka Rasulullah ﷺ bertanya: ‘Apakah engkau telah melihatnya?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Belum.’ Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Pergilah dan lihatlah dia, karena pada mata kaum Anshar ada sesuatu (yang bisa jadi tidak cocok denganmu).'”
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 1187) dan beliau menyatakannya hasan, dari Al-Mughīrah bin Syu‘bah raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata:
“Aku pernah melamar seorang wanita, lalu Nabi ﷺ bersabda: ‘Lihatlah dia, karena itu lebih layak untuk menumbuhkan kecocokan di antara kalian.'”
Keterangan:
- “Lebih layak” maksudnya lebih besar kemungkinan untuk terjalin kasih sayang dan kesepakatan.
- “Kecocokan” berasal dari kata ‘al-idām’, yang berarti lauk atau sesuatu yang dimakan bersama roti, yakni sebagai pelengkap agar lebih nikmat.
Hadits-hadits ini dipahami bahwa yang boleh dilihat hanya wajah dan kedua telapak tangan, karena tidak ada keperluan untuk melihat bagian lain.
Kelima, pandangan karena keperluan pengobatan: dokter boleh melihat bagian tubuh wanita bukan mahram yang diperlukan untuk keperluan medis, termasuk area kemaluan, namun harus dengan syarat: di hadiri mahram, suami, atau tuannya, serta tidak ada dokter wanita yang bisa menangani.
Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2206) dari Jabir raḍiyallāhu ‘anhu: Ummu Salamah raḍiyallāhu ‘anhā pernah meminta izin kepada Nabi ﷺ untuk melakukan hijamah (terapi bekam), maka beliau memerintahkan Abu Thayyibah untuk membekamnya.
Catatan penting: Harus disertai dengan kehadiran mahram atau suami, serta tidak ada perempuan lain yang bisa mengobatinya. Jika ada dokter muslim, maka tidak boleh beralih kepada non-muslim.
Keenam, pandangan karena keperluan persaksian: seorang saksi boleh melihat kemaluan wanita dalam kasus seperti persaksian atas perzinaan atau persalinan. Namun, jika ia melihat tanpa keperluan tersebut, maka ia berdosa dan kesaksiannya ditolak. Termasuk juga pandangan dalam urusan muamalah seperti jual beli: dibolehkan hanya melihat wajah saja, baik dalam konteks kesaksian maupun transaksi.
Ketujuh, pandangan kepada budak perempuan saat hendak membeli: diperbolehkan melihat bagian tubuh yang biasanya diperiksa saat pembelian, seperti tangan dan rambutnya, tetapi tidak termasuk aurat.
Pandangan Laki-Laki kepada Perempuan: Kapan Diharamkan?
Dalam Islam, pandangan seorang laki-laki kepada perempuan terbagi dalam beberapa kondisi. Di antara yang paling penting adalah larangan melihat perempuan asing (bukan mahram) tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syariat. Ini termasuk hukum yang ditegaskan para ulama.
Yang dimaksud “laki-laki” di sini adalah laki-laki baligh, begitu pula “perempuan” adalah perempuan yang sudah baligh, kecuali jika dalam konteks tertentu kata “laki-laki” atau “perempuan” mencakup semua jenis kelamin tanpa memandang usia (karena penggunaan kata dengan alif lam pengenal).
Nah, pandangan itu sendiri kadang tidak dibutuhkan, dan kadang memang ada kondisi yang membolehkannya karena kebutuhan, seperti pengobatan atau persaksian.
Jenis yang pertama: jika tidak ada kebutuhan (yang dibenarkan), maka saat itu haram hukumnya laki-laki memandang aurat perempuan asing secara mutlak. Begitu pula haram hukumnya memandang wajah dan telapak tangan perempuan apabila dikhawatirkan menimbulkan fitnah (godaan syahwat).
Namun jika tidak ada rasa takut akan muncul fitnah, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang paling kuat menyatakan tetap haram, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Ishṭikhrī, Abu ‘Alī Aṭ-Ṭabarī, dan dikuatkan oleh Asy-Syaikh Abū Muḥammad, serta ditegaskan pula oleh Abū Isḥāq Asy-Syīrāzī dan Ar-Ruyānī. Imam Al-Ḥaramain juga menyetujuinya.
Alasan mereka kuat: umat Islam telah sepakat bahwa perempuan dilarang keluar rumah dalam keadaan terbuka aurat dan tanpa penutup, karena pandangan itu bisa menjadi sebab munculnya fitnah, membangkitkan syahwat, dan menimbulkan kerusakan. Maka, jalan terbaik menurut syariat adalah menutup semua pintu menuju fitnah, sebagaimana larangan berduaan dengan perempuan asing, tanpa perlu merinci setiap kondisi.
Dalil umum yang dijadikan dasar adalah firman Allah Ta‘ala,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman: “Tundukkanlah pandanganmu dan jagalah kemaluanmu.” (QS. An-Nūr: 30)
Adapun hukum bagi remaja laki-laki yang belum baligh (muraahiq), terdapat dua pendapat. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa pandangannya dihukumi sebagaimana pandangan orang dewasa (baligh), karena pada umumnya mereka telah bisa melihat aurat perempuan. Oleh karena itu, perempuan tetap wajib menutup aurat dari mereka, sebagaimana juga wajib menutup aurat dari orang gila, tanpa ragu. Dan wali (orang tua) wajib mencegahnya dari memandang (yang haram), sebagaimana ia juga wajib mencegah anak dari perzinaan dan seluruh perkara haram lainnya.
Hukum orang yang tidak punya hasrat seksual memandang perempuan
Adapun mengenai hukum al-mamsūḥ (orang yang tidak memiliki hasrat seksual, seperti kasim, laki-laki yang telah dikebiri), maka mayoritas ulama berpendapat: hukum pandangannya kepada perempuan bukan mahram seperti pandangan laki-laki kepada mahramnya. Dalam hal ini, firman Allah Ta‘ala dapat dipahami sebagai berikut:
أَوِ ٱلتَّـٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ
…atau para pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan)… (QS. An-Nūr: 31)
Jenis yang kedua, yaitu bahwa lelaki tersebut (yang disebut ghayru ʾulī al-irbah) dihukumi seperti lelaki normal (fahl, yaitu laki-laki yang punya hasrat seksual) terhadap perempuan asing. Karena pada dasarnya ia tetap halal menikah dengannya.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa pendapat yang kuat dalam tafsir ayat ghayru ʾulī al-irbah adalah: yang dimaksud adalah orang yang lemah akalnya, sehingga tidak peduli terhadap perempuan, atau ia tidak memiliki syahwat kepada mereka. Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan selain beliau radhiyallāhu ‘anhum. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Perlu diketahui, bahwa:
- Orang yang hanya terpotong zakarnya saja,
- atau yang hanya diangkat dua buah zakarnya saja,
- atau yang disebut ‘anin (lelaki yang impoten sejak awal pernikahan),
- atau orang tua yang sangat renta,
— semua ini hukumnya tetap seperti laki-laki normal (fahl) dalam hal interaksi dengan perempuan bukan mahram. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Apa hukum memandang anak perempuan kecil?
Imam Ar-Rafi‘i menyebutkan dalam pembahasan hukum melihat anak kecil perempuan bahwa terdapat dua pendapat. Dan menurutnya, pendapat yang lebih kuat (al-aṣaḥ) adalah boleh melihatnya, tanpa ada perbedaan antara aurat dan selain auratnya, selama tidak melihat kemaluannya (farj).
Imam An-Nawawi menegaskan bahwa Ar-Rafi‘i memutuskan haram melihat kemaluan anak perempuan kecil. Bahkan, penulis kitab Al-‘Uddah menyebutkan bahwa hal ini disepakati oleh para ulama.
Namun, kenyataannya tidak demikian. Karena Qadhi Husain justru secara tegas membolehkan melihat kemaluan anak perempuan kecil yang belum memiliki syahwat, demikian juga anak laki-laki kecil. Pendapat ini juga dipastikan oleh Al-Marwazi terkait anak laki-laki kecil.
Imam Al-Mutawalli menyebutkan ada dua pendapat dalam masalah ini, dan pendapat yang lebih benar adalah boleh melihatnya, karena manusia pada zaman dahulu maupun sekarang bersikap toleran terhadap hal ini, dan tidak menganggapnya sebagai pelanggaran.
Kebolehan ini tetap berlaku sampai anak tersebut mencapai usia tamyiz (dapat membedakan dan mulai sadar akan aurat), yaitu ketika ia sudah mampu menutupi auratnya dari pandangan orang lain.
Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui.
Apa hukum perempuan memandang laki-laki asing (bukan mahram)?
Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat (awjuh). Pendapat yang paling kuat menurut Ar-Rafi‘i adalah: Perempuan boleh memandang seluruh tubuh laki-laki asing kecuali antara pusar dan lutut, karena bagian itu adalah aurat laki-laki secara syar‘i.
Pendapat kedua: Perempuan tidak boleh melihat dari laki-laki kecuali bagian yang boleh dilihat darinya juga, yakni wajah dan telapak tangan.
Imam An-Nawawi menyatakan bahwa pendapat kedua inilah yang lebih kuat menurut sekelompok ulama. Pendapat ini juga ditegaskan (dipastikan) oleh penulis Al-Muhadzdzab dan yang lainnya. Alasannya adalah berdasarkan firman Allah Ta‘ala:
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـٰرِهِنَّ
“Katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menahan pandangan mereka.” (QS. An-Nūr: 31)
Juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا؟ أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ؟
“Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian melihat dia?”
(Dikatakan Nabi kepada dua perempuan yang duduk bersama laki-laki buta, yang semestinya tetap menjaga pandangan meski laki-laki itu tak bisa melihat mereka.)
Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Hukum Pandangan kepada Istri dan Budak Perempuan
Seorang laki-laki boleh memandang seluruh tubuh istrinya, karena ia diizinkan menikmati seluruh bagian tubuhnya. Namun, terdapat perbedaan pendapat tentang memandang kemaluan istri.
Sebagian ulama berpendapat, haram memandang kemaluan istri berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
النَّظَرُ إِلَى الْفَرْجِ يُورِثُ الطَّمْسَ
“Memandang kemaluan dapat menyebabkan kebutaan.”
Dalam penjelasan Al-‘Uddah disebutkan: hal itu bisa menyebabkan anak yang dilahirkan terlahir buta. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa maksudnya adalah kebutaan bisa menimpa orang yang memandang.
Tentang status hadis ini, Ibnu Shalah menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dan Al-Baihaqi dengan sanad yang baik. Namun, pendapat yang lebih shahih menyatakan: tidak haram memandang kemaluan istri, karena boleh menikmati bagian itu secara langsung. Bahkan, kemaluan adalah tempat kenikmatan yang paling besar, maka memandangnya pun lebih layak dibolehkan. Jika hadis tersebut sahih, maka dipahami dalam konteks makruh, bukan haram. Dan memandang bagian dalam kemaluan lebih makruh lagi. Oleh sebab itu, dimakruhkan bagi seseorang memandang kemaluannya sendiri tanpa ada keperluan.
Adapun memandang budak perempuan yang boleh dinikmati, maka hukumnya seperti suami memandang istrinya—baik ia budak murni (qinnah), budak yang sedang dalam masa mudabbirah (dijanjikan merdeka setelah wafat tuannya), budak mustauladah (yang telah melahirkan anak dari tuannya), atau budak yang tertahan sementara karena suatu hal yang akan segera hilang seperti haid atau karena digadaikan.
Namun, jika budak perempuan tersebut sedang berstatus:
- istri orang lain (muzawwijah),
- dalam perjanjian kemerdekaan (mukatabah),
- dimiliki bersama orang lain (musytarakah),
- beragama Majusi, penyembah berhala, atau murtad,
maka haram bagi tuannya memandang bagian antara pusar dan lutut. Adapun bagian tubuh lainnya, menurut pendapat yang lebih shahih, tidak haram untuk dilihat.
Perlu diketahui:
Pandangan istri kepada suaminya sama hukumnya dengan suami memandang istrinya. Bahkan, sebagian ulama menegaskan bahwa boleh secara mutlak bagi istri memandang kemaluan suaminya.
Begitu juga pandangan budak perempuan kepada tuannya, sama seperti pandangan tuan kepada budaknya.
Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Hukum Pandangan Laki-laki kepada Mahramnya dan Budak Perempuannya yang Sudah Menikah
Laki-laki boleh memandang mahramnya (perempuan yang haram dinikahi karena hubungan nasab, persusuan, atau pernikahan), selama bukan bagian antara pusar dan lutut, karena bagian tersebut merupakan aurat secara mutlak. Adapun bagian tubuh selain itu, menurut mazhab Syafi‘i, boleh dipandang. Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta‘ala:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka…” (QS. An-Nūr: 31)
Juga karena hubungan mahram menciptakan larangan menikah, sehingga keduanya dalam hal ini dianggap seperti dua orang laki-laki (yang tidak berlaku hukum aurat di antara mereka secara penuh). Bukankah kamu lihat, bahwa menyentuh mahram tidak membatalkan wudhu menurut pendapat yang lebih kuat?
Hukum ini berlaku sama, baik mahram karena nasab, pernikahan (mushāharah), maupun persusuan (raḍā‘ah), menurut pendapat yang lebih shahih.
Ada juga pendapat lain yang menyatakan: tidak boleh melihat dari mahram kecuali bagian yang biasa tampak ketika sedang bekerja (seperti membantu di dapur, mencuci, dll).
Kemudian, apakah bagian payudara termasuk yang biasa tampak saat bekerja? Dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan ulama.
Sebagaimana bolehnya memandang mahram, maka boleh pula berkhalwat (berduaan) dan bepergian bersama mahram, tanpa ada larangan.
Adapun hukum budak perempuan telah dijelaskan sebelumnya.
Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Hukum laki-laki memandang laki-laki lain
Laki-laki boleh memandang seluruh tubuh laki-laki lain, kecuali bagian antara pusar dan lutut, selama aman dari fitnah (godaan syahwat). Jika khawatir terjadi fitnah, maka haram hukumnya.
Demikian pula, haram memandang mahram (perempuan yang haram dinikahi) dengan syahwat — tanpa ada perbedaan pendapat.
Hukum memandang laki-laki amrad (berwajah tampan dan belum tumbuh janggut)
Juga haram memandang laki-laki amrad (berwajah tampan dan belum tumbuh janggut) dengan syahwat — tanpa khilaf, bahkan lebih utama untuk diharamkan daripada memandang wanita. Jika tidak ada syahwat dan tidak pula dikhawatirkan fitnah, maka menurut Ar-Rafi‘i tidak haram. Namun, jika tidak ada syahwat namun tetap dikhawatirkan timbul fitnah, maka haram menurut pendapat yang lebih shahih dan ini juga pendapat mayoritas ulama.
Imam Nawawi menegaskan dalam banyak tempat di Syarh al-Muhadzdzab bahwa: yang shahih adalah haram memandang laki-laki amrad secara mutlak, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat. Imam Asy-Syafi‘i juga menegaskan hal ini.
Ya, dalam kitab Ar-Riyadh, disebutkan syarat bahwa laki-laki itu harus tampan.
Saya katakan: Ketampanan itu bersifat relatif, berbeda-beda sesuai selera manusia. Namun, tidak diragukan bahwa laki-laki amrad memang merupakan sumber fitnah, sebagaimana halnya perempuan.
Dan karena hikmah larangan ini tidak bisa dibatasi secara pasti, maka kaidahnya: hikmah semacam ini tidak bisa dijadikan patokan hukum, dan hukum harus dikaitkan dengan perkara yang jelas dan terukur.
Contohnya: Masyaqqah (kesulitan) dalam safar adalah hikmah kebolehan qashar salat. Namun, karena kesulitan itu tidak bisa ditentukan secara pasti, maka yang dijadikan patokan hukum adalah safarnya itu sendiri, bukan masyaqqah-nya. Maka, dalam hal ini pun demikian — hukum memandang amrad tetap harus dilarang secara mutlak.
Dan ini juga ditegaskan oleh banyak ulama Syafi‘iyyah, bahkan Imam Asy-Syafi‘i secara tegas menyatakan larangan mutlaknya. Dan Allah Maha Mengetahui.
Hukum perempuan memandang perempuan muslim dan non-muslim
Hukum perempuan memandang perempuan lain seperti halnya laki-laki memandang laki-laki lain. Ini berlaku untuk sesama muslimah.
Adapun perempuan non-muslim (dzimmiyah) yang memandang muslimah, terdapat perbedaan pendapat:
- Al-Ghazali: yang lebih kuat (aṣaḥ) adalah, dzimmiyah sama hukumnya seperti muslimah.
- Al-Baghawi: yang shahih adalah tidak boleh. Berdasarkan ini, dzimmiyah tidak boleh mandi bersama muslimah di pemandian umum.
Apa saja yang boleh dilihat dari tubuh muslimah oleh sesama perempuan?
- Ada yang mengatakan: seperti pandangan laki-laki kepada laki-laki (yakni, boleh selain pusar sampai lutut).
- Ada yang mengatakan: hanya bagian yang terbuka ketika bekerja.
- Ar-Rafi‘i berkata: Pendapat kedua lebih mendekati kebenaran.
- An-Nawawi menyatakan: Yang shahih adalah pendapat Al-Baghawi.
Perempuan kafir selain dzimmiyah (seperti penyembah berhala, murtad, dll), hukum pandangannya terhadap muslimah juga seperti dzimmiyah, sebagaimana disebutkan oleh Al-‘Imrani.
Saya katakan: Al-Baghawi berdalil dengan firman Allah:
أَوْ نِسَائِهِنَّ
(“…atau kepada sesama perempuan mereka.”)
Yang dimaksud dengan “nisā’ihinna” adalah perempuan-perempuan beriman, bukan perempuan kafir.
Bahkan, Al-‘Izz bin Abdus Salam berkata: perempuan fasik pun hukumnya seperti dzimmiyah. Maka, pemerintah wajib melarang perempuan kafir dan perempuan fasik masuk ke pemandian bersama perempuan-perempuan muslimah yang terjaga.
Jika pemerintah abai terhadap hal ini, maka perempuan muslimah yang merdeka wajib menjaga diri dari perempuan kafir dan fasik.
Hukum melihat bagian tubuh setelah terpisah
Segala sesuatu yang haram dilihat saat masih menempel pada tubuh — seperti kemaluan, lengan bawah perempuan, rambut kepala, potongan kuku, rambut kemaluan laki-laki, dan semisalnya — maka haram juga dilihat setelah terpisah dari tubuh, menurut pendapat yang shahih.
Maka, sebaiknya laki-laki yang mencukur bulu kemaluannya, atau perempuan yang menyisir rambutnya, menyembunyikan bagian tubuh yang terlepas itu dari pandangan orang lain.
Hukum menyentuh vs memandang
Ketahuilah, bahwa jika memandang itu haram, maka menyentuh lebih utama untuk diharamkan, karena menyentuh itu lebih kuat membangkitkan syahwat.
- Maka, haram bagi laki-laki menyentuh paha laki-laki lain tanpa penghalang.
- Jika menyentuh dari atas kain dan dikhawatirkan timbul fitnah, maka tetap haram.
Bahkan, menyentuh bisa haram meskipun memandang tidak haram.
Termasuk: haram bagi seseorang menyentuh perut ibunya, punggungnya, kakinya, atau betisnya, walaupun ia anaknya sendiri.
Juga haram menciumnya — sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qaffal.
Tidak boleh juga seorang ayah menyuruh anak perempuannya atau saudarinya untuk memijat kakinya.
Karena itu, Qadhi Husain menyatakan: perempuan-perempuan tua yang menghias laki-laki dengan celak pada Hari ‘Asyura termasuk pelaku maksiat.
Hukum tidur satu kasur
Haram bagi laki-laki tidur bersebelahan dengan laki-laki lain dalam satu kasur.
Demikian pula, haram bagi perempuan tidur bersama perempuan lain dalam satu ranjang — walaupun mereka tidur di sisi yang berbeda dari kasur tersebut.
Ini adalah pendapat yang ditegaskan oleh Ar-Rafi‘i dan diikuti oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudhah.
Namun, An-Nawawi dalam Syarh Muslim membatasi keharaman ini jika keduanya dalam keadaan telanjang.
Batasan ini juga disebutkan oleh Qadhi Husain, Al-Harawi, dan lainnya, dan ada riwayat yang mendukungnya.
Jika anak laki-laki atau perempuan telah berusia sepuluh tahun, maka wajib dipisahkan tempat tidurnya dari ibu, ayah, dan saudara kandungnya, berdasarkan nash-nash syar‘i yang jelas.
Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Hukum Memandang Wanita untuk Tujuan Pernikahan
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa memandang kadang tidak dibutuhkan, dan kadang diperlukan karena kebutuhan. Bagian pertama adalah saat tidak ada kebutuhan. Adapun bagian kedua adalah ketika memandang itu diperlukan, seperti untuk tujuan pernikahan.
Jika seorang laki-laki ingin menikahi seorang perempuan dan tertarik untuk meminangnya, maka tidak diragukan lagi boleh baginya untuk melihat calon istrinya.
Apakah disunnahkan (dianjurkan) untuk melihatnya, agar tidak menyesal kemudian hari? Karena pernikahan adalah ikatan yang dimaksudkan untuk jangka panjang?
Pendapat yang paling kuat (ash-shahih): ya, disunnahkan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Al-Mughīrah bin Syu‘bah:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah ia, karena itu lebih memungkinkan terjalin kecocokan di antara kalian berdua.”
Demikian pula riwayat-riwayat lainnya yang menunjukkan hal yang sama.
Boleh mengulangi pandangan jika masih belum jelas bagi laki-laki tersebut. Baik ia melihat dengan izin perempuan itu maupun tanpa izin—keduanya dibolehkan.
Jika tidak memungkinkan untuk melihat secara langsung, maka ia boleh mengutus perempuan lain untuk mengamati dan menggambarkan calon istri itu kepadanya. Ini berdasar pada kisah ketika Nabi ﷺ mengutus Ummu Sulaim kepada seorang wanita dan beliau berkata:
انْظُرِي إِلَى عُرْقُوبِهَا وَاشُمِّي مَعَاطِفَهَا
“Perhatikan tumitnya dan cium (rambut) bagian lehernya.”
Perempuan pun, jika ia tertarik kepada seorang laki-laki untuk dinikahi, boleh memandangnya, karena biasanya perempuan tertarik kepada hal-hal yang sama sebagaimana laki-laki tertarik kepada perempuan. Hal ini dikatakan oleh Umar radhiyallāhu ‘anhu.
Adapun bagian yang boleh dipandang dalam konteks ini adalah wajah dan kedua telapak tangan, baik bagian luar maupun dalam. Tidak boleh melihat bagian tubuh lainnya.
Ada juga pendapat bahwa pandangan ini diperbolehkan sebagaimana laki-laki memandang laki-laki lain, dan pandangan ini tetap dibolehkan walaupun dikhawatirkan timbul fitnah, selama tujuannya adalah untuk pernikahan.
Waktu yang tepat untuk melihat: setelah muncul niat serius untuk menikah, sebelum melakukan khitbah (melamar secara resmi). Tujuannya, agar tidak menyakiti hati pihak perempuan jika ternyata laki-laki itu memutuskan mundur setelah melihatnya.
Inilah pendapat yang paling shahih.
Ada juga pendapat lain yang mengatakan: baru boleh melihat setelah diizinkan untuk akad nikah.
Ada pula yang mengatakan: boleh melihat saat kedua belah pihak sudah mulai tertarik satu sama lain.
Jika setelah melihat ternyata ia tidak menyukai calon tersebut, maka hendaknya ia diam dan tidak mengungkapkan ketidaktertarikannya. Jangan sampai ia berkata, “Aku tidak menginginkannya,” karena hal itu bisa menyakiti perempuan tersebut.
Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui.
Hukum Memandang untuk Keperluan Pengobatan
Di antara bentuk kebutuhan yang dibenarkan syariat adalah memandang perempuan asing karena keperluan pengobatan, seperti untuk bekam, operasi, atau perawatan penyakit tertentu.
Diriwayatkan bahwa Ummu Salamah radhiyallāhu ‘anhā meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk menjalani bekam, lalu beliau ﷺ memerintahkan Abu Thayyibah untuk membekamnya.
Namun, hal itu harus dilakukan di hadapan mahram atau suami, guna menghindari khalwat (berduaan).
- Syaratnya: tidak ada perempuan lain yang bisa melakukan pengobatan tersebut.
- Begitu pula sebaliknya: perempuan boleh mengobati laki-laki, asalkan tidak ada laki-laki lain yang mampu mengobatinya. Ini adalah pendapat Az-Zubayri dan Ar-Ruyani.
Imam An-Nawawi menyatakan bahwa ini adalah pendapat yang paling shahih, dan ditegaskan pula oleh Qadhi Husain dan Imam Al-Mutawalli.
Keduanya juga mengatakan: lebih utama jika yang mengobati adalah seorang Muslim, dan sebaiknya tidak dilakukan oleh non-Muslim (dzimmiy) jika masih ada Muslim yang mampu melakukannya.
Ketahuilah bahwa:
- Kebutuhan umum (asal ada keperluan) sudah mencukupi untuk membolehkan memandang wajah dan tangan.
- Untuk anggota tubuh lainnya, maka harus ada kebutuhan yang lebih mendesak dan meyakinkan.
- Sedangkan untuk melihat aurat besar (kemaluan dan dubur), maka dibutuhkan kebutuhan yang sangat kuat dan lebih mendesak lagi.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ukuran kebutuhan yang sah adalah:
ketika kondisi tersebut tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan diri (muru’ah) dan sudah menjadi hal yang sulit untuk dihindari secara umum dalam kebiasaan manusia.
Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui.
Hukum Memandang untuk Keperluan Persaksian dan Transaksi
Termasuk dalam kategori kebutuhan yang dibenarkan adalah memandang wajah seseorang untuk keperluan persaksian atau urusan transaksi. Maka, boleh bagi seseorang memandang wajah orang lain yang bukan mahram dalam konteks ini, karena kebutuhan itu mengharuskannya.
Di antara contoh kebutuhan lain yang lebih spesifik:
- Boleh memandang payudara perempuan yang menyusui jika itu diperlukan untuk menjadi saksi dalam kasus persusuan.
- Boleh memandang kemaluan seorang perempuan dalam kasus persaksian terhadap kelahiran.
- Boleh memandang kemaluan dua orang pezina, dalam rangka memberikan kesaksian atas tindakan zina yang mereka lakukan.
Semua ini dibolehkan karena kebutuhan syar‘i yang mendesak.
Namun, ada pendapat lain yang menyatakan: semua itu tidak boleh, karena:
Zina disyariatkan untuk ditutupi (dianjurkan untuk tidak diumbar).
Dan untuk kasus kelahiran serta persusuan, kesaksian perempuan saja sudah dianggap sah menurut syariat.
Akan tetapi, pendapat yang lebih shahih adalah pendapat pertama: boleh memandang untuk kepentingan persaksian, karena zina merupakan pelanggaran serius terhadap kehormatan syariat, maka boleh pula kehormatannya dibuka untuk menegakkan hukum.
Adapun untuk persaksian tentang persusuan dan kelahiran, maka jawabannya masih ditangguhkan (ada keraguan dalam memutuskannya), karena ada sisi pertimbangan yang kompleks.
Sebagaimana dibolehkan memandang untuk keperluan tersebut, demikian pula boleh memandang dalam konteks transaksi dan akad, karena terkadang ada kebutuhan untuk itu.
Namun, pembatasan oleh sebagian ulama bahwa yang boleh dilihat hanya wajah saja, didasarkan pada pertimbangan bahwa kebutuhan sudah bisa terpenuhi hanya dengan melihat wajah. Maka, bagian tubuh lainnya tetap dilarang dan kembali pada hukum asal: haram memandang aurat.
Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Hukum Memandang Budak Perempuan Saat Hendak Membelinya
Termasuk dalam kategori kebutuhan yang dibolehkan adalah memandang budak perempuan saat hendak membelinya. Dalam hal ini, boleh bagi pembeli untuk melihat bagian tubuh budak yang memang diperlukan dalam proses pemeriksaan dan penilaian, sebagaimana lazim dilakukan saat membeli barang dagangan.
Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Referensi:
- Al-Bugha, M. (2019). At-Tadzhiib fī Adillah Matn al-Ghāyah wa at-Taqrīb. Damaskus: Dār al-‘Ālamiyyah.
- Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb fī Syarḥ Alfāẓ at-Taqrīb. Kairo: Dār Ḍiyā’.
- Al-Ḥiṣnī, M. b. ‘A. M. (2007). Kifāyah al-Akhyār fī Ḥall Ghāyah al-Ikhtiṣār. Jeddah: Dār al-Minhāj.
________
Ditulis pada Kamis, 18 Syawal 1446 H, 17 April 2025 di Darush Sholihin
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com