Muamalah

Hukum Penukaran Uang Baru Menjelang Lebaran: Apakah Ada Unsur Riba?

Menjelang Hari Raya Idulfitri, tradisi memberikan uang baru sebagai bentuk hadiah atau sedekah kepada sanak saudara dan anak-anak telah menjadi kebiasaan yang melekat di masyarakat Indonesia. Hal ini mendorong tingginya permintaan akan uang kertas baru, yang kemudian memunculkan praktik penukaran uang baru, baik melalui layanan resmi perbankan maupun jasa penukaran di pinggir jalan. Namun, penting bagi kita untuk memahami perspektif hukum Islam terkait praktik ini, terutama jika melibatkan tambahan biaya atau imbalan tertentu.

 

Kaidah Memahami Riba

Dalam Islam, uang termasuk dalam kategori barang ribawi, yang pertukarannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk menghindari riba. Ada kaidah umum dalam memahami apa itu riba. Terdapat hadits yang berbunyi; “Setiap utang piutang yang ditarik manfaat di dalamnya, maka itu adalah riba.” (Diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah. Sanadnya terputus sebagaiaman disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram. Begitu pula hadits ini punya penguat dari Fadholah bin ‘Ubaid dikeluarkan oleh Al-Baihaqi).

Walau hadits di atas dha’if (lemah), tetapi kandungannya benar karena dikuatkan oleh kata sepakat para ulama.

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,

أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ المُسْلِفَ إِذَا شَرَطَ عَشْرَ السَّلَفِ هَدِيَّةً أَوْ زِيَادَةً فَأَسْلَفَهُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ أَخْذَهُ الزِّيَادَةَ رِبًا

“”Para ulama telah sepakat bahwa jika seseorang memberikan pinjaman dengan mensyaratkan tambahan sebesar 10% dari jumlah pinjaman sebagai hadiah atau keuntungan tambahan, lalu ia meminjamkan dengan ketentuan tersebut, maka pengambilan tambahan itu termasuk riba.” (Al-Ijma’, hlm. 99, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 6: 276).

Baca juga: Kaedah Umum dalam Memahami Riba

 

Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba

Dalam kajian ekonomi Islam, kita diperkenalkan dengan istilah komoditi ribawi (ashnaf ribawiyah), dan barang ribawi itu ada 6 (enam) berdasarkan dua hadits berikut:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barang siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584).

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, tetapi harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587).

Para ulama telah menyepakati bahwa keenam komoditi riba (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam) yang disebutkan dalam hadits di atas termasuk komoditi ribawi. Sehingga enam komoditi tersebut boleh diperjualbelikan dengan cara barter asalkan memenuhi syarat. Bila barter dilakukan antara komoditi yang sama,—misalnya kurma dengan kurma, emas dengan emas, gandum dengan gandum—maka akad tersebut harus memenuhi dua persyaratan.

Persyaratan pertama, transaksi harus dilakukan secara kontan (tunai). Sehingga penyerahan barang yang dibarterkan harus dilakukan pada saat terjadi akad transaksi dan tidak boleh ditunda seusai akad atau setelah kedua belah pihak yang mengadakan akad barter berpisah, walaupun hanya sejenak.

Misalnya, kurma kualitas bagus sebanyak 2 kg ingin dibarter dengan kurma lama sebanyak 2 kg pula, maka syarat ini harus terpenuhi. Kurma lama harus ditukar dan tanpa boleh ada satu gram yang tertunda (misal satu jam atau satu hari) ketika akad barter.

Persyaratan kedua, barang yang menjadi objek barter harus sama jumlah dan takarannya, walau terjadi perbedaan mutu antara kedua barang.

Misalnya, Ahmad ingin menukar emas 21 karat sebanyak 5 gram dengan emas 24 karat. Maka ketika terjadi akad barter, tidak boleh emas 24 karat dilebihkan misalnya jadi 7 gram. Jika dilebihkan, maka terjadilah riba fadhl.

Jika dua syarat di atas tidak terpenuhi, maka jual beli di atas tidaklah sah dan jika barangnya dimakan, berarti telah memakan barang yang haram.

Baca juga: Riba dalam Emas dll, Riba Fadhl 

 

Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru

Dari keenam komoditi ribawi tersebut, ulama sepakat bahwa barang ribawi tadi dibagi 2 kelompok:

Kelompok pertama: Emas dan perak. Diqiyaskan dengan kelompok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar, seperti uang kartal di zaman kita.

Kelompok kedua: Gandum, sya’ir, kurma, dan garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras atau jagung.

Penukaran uang baru yang melibatkan kelebihan atau tambahan biaya bisa masuk kategori riba karena adanya ketidakseimbangan dalam pertukaran barang ribawi, yaitu mata uang. Berikut adalah alur penukaran uang baru yang berpotensi menjadi riba:

1. Proses Penukaran di Pinggir Jalan atau Jasa Tidak Resmi

  • Seorang pelanggan ingin menukarkan uang lama dengan uang baru, misalnya Rp1.000.000 dalam pecahan Rp10.000-an.
  • Penyedia jasa memberikan pecahan uang baru tersebut, tetapi meminta tambahan jumlah uang yang ditukar. Misalnya penyedia jasa meminta uang Rp1.010.000.
  • Penyedia jasa mengambil keuntungan berupa selisih antara nominal uang yang ditukarkan dengan yang diberikan sebesar Rp10.000 tadi.

2. Unsur Riba dalam Transaksi Ini

  • Pertukaran barang ribawi yang sejenis: Uang rupiah ditukar dengan uang rupiah, yang berarti harus memenuhi syarat nilai sama dan dilakukan secara tunai (tidak ada yang tertunda).
  • Adanya tambahan atau kelebihan (riba fadhl): Penyedia jasa meminta nominal yang lebih besar dibandingkan uang yang diterima oleh pelanggan.
  • Jasa atau biaya tambahan dianggap riba: Dalam Islam, setiap pertukaran mata uang sejenis dengan nilai yang berbeda dianggap sebagai riba, karena ada tambahan tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh syariat.

 

Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia

Fenomena penukaran uang baru menjelang Idulfitri bukanlah hal baru di Indonesia. Setiap tahun, permintaan akan uang kertas baru meningkat signifikan seiring dengan tradisi memberikan “salam tempel” saat Lebaran. Bank Indonesia (BI) mencatat peningkatan permintaan uang tunai selama periode Ramadan dan Idulfitri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, BI bekerja sama dengan perbankan menyediakan layanan penukaran uang di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 2025 saja, BI menyiapkan uang layak edar sebesar Rp180,9 triliun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama periode tersebut.

Namun, tidak semua masyarakat memanfaatkan layanan resmi tersebut. Banyak yang memilih menukarkan uang melalui jasa penukaran di pinggir jalan karena alasan kepraktisan atau ketidakmampuan mengakses layanan perbankan resmi. Praktik ini umum ditemui di berbagai kota besar, di mana penyedia jasa penukaran uang menawarkan layanan dengan imbalan atau biaya tambahan tertentu.

 

Imbauan untuk Masyarakat

Mengingat potensi terjadinya praktik riba dalam penukaran uang baru yang melibatkan biaya tambahan, masyarakat diimbau untuk memanfaatkan layanan penukaran uang resmi yang disediakan oleh Bank Indonesia dan perbankan.

Dengan memanfaatkan layanan resmi, masyarakat dapat menghindari praktik riba dan memastikan bahwa tradisi memberikan uang baru saat Idulfitri tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Selain itu, langkah ini juga mendukung upaya pemerintah dan otoritas moneter dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan peredaran uang di masyarakat.

Sebagai umat Muslim, penting bagi kita untuk selalu mengedepankan aturan syariat dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam hal tradisi dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, kita dapat merayakan Idulfitri dengan penuh berkah dan sesuai dengan tuntunan agama tanpa harus menerjang syariat.

Semoga pembahasan ini bermanfaat.

Jumat sore, 14 Ramadhan 1446 H, 14 Maret 2025, @ Gunungkidul

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button