Faedah Sirah Nabi: Perang Khaibar dan Pelajaran di Dalamnya
Khaibar, sebuah wilayah subur di utara Madinah, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan militer komunitas Yahudi dengan benteng-benteng kokohnya. Namun, mereka berulang kali melanggar perjanjian dengan umat Islam, bahkan bersekongkol dalam Perang Ahzab untuk menghancurkan Madinah. Ancaman yang terus-menerus ini mendorong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil langkah tegas untuk menundukkan Khaibar demi keamanan umat Islam. Perang ini bukan sekadar ekspansi, tetapi bagian dari strategi mempertahankan stabilitas Madinah dari ancaman yang tak kunjung usai. Dengan demikian, penaklukan Khaibar menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Islam di jazirah Arab.
–
Perang Khaibar adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah (sekitar tahun 628 Masehi). Perang ini berlangsung setelah Perjanjian Hudaibiyah, ketika umat Islam memusatkan perhatian pada ancaman strategis dari kaum Yahudi Khaibar. Pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keamanan bagi kaum Muslimin di Madinah.
Khaibar terletak sekitar 150 km di utara Madinah, sebuah wilayah yang terkenal dengan benteng-benteng kokohnya. Kaum Yahudi Khaibar tinggal di daerah ini dan memiliki pertahanan yang kuat, yang menjadikan wilayah tersebut sulit ditaklukkan. Wilayah Khaibar juga merupakan pusat aktivitas ekonomi karena lahan pertaniannya yang subur, sehingga menjadi target strategis dalam upaya stabilisasi wilayah Muslim.
Perang Khaibar dipicu oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian dengan umat Islam, termasuk keterlibatan mereka dalam Perang Ahzab serta upaya memprovokasi suku-suku Arab untuk memerangi kaum Muslimin. Untuk mengakhiri ancaman ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin pasukan Muslim menuju Khaibar dengan tujuan untuk menundukkan kaum Yahudi dan mengamankan wilayah Madinah dari serangan musuh.
Pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar terdiri dari sekitar 1.600 prajurit, sementara pasukan Yahudi lebih sedikit, tetapi mereka memiliki keuntungan berupa benteng-benteng kuat yang sulit ditembus. Salah satu momen penting adalah ketika Ali bin Abi Thalib memimpin serangan terhadap salah satu benteng utama dan berhasil menaklukkannya. Keberhasilan ini menjadi titik balik yang memastikan kemenangan kaum Muslimin.
Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin, dan kaum Yahudi Khaibar menyerah setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Mereka kemudian membuat perjanjian damai, di mana mereka diizinkan tetap tinggal di Khaibar dengan syarat membayar jizyah dan menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada kaum Muslimin. Kemenangan ini meneguhkan kekuatan Islam di Jazirah Arab dan memastikan stabilitas wilayah Madinah.
Awal Cerita
Kira-kira dua puluh hari setelah kembalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudaibiyah, kemudian beliau keluar menuju Khaibar yang dijanjikan Allah.
Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah kembali dari Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Madinah selama bulan Dzulhijjah hingga sebagian bulan Muharram. Kemudian, di penghujung Muharram, beliau memimpin pasukan menuju Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hanya orang-orang yang turut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut dalam ekspedisi ini. Beberapa orang Arab yang tidak ikut Hudaibiyah ingin bergabung, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Jangan kalian ikut bersama kami, kecuali jika kalian benar-benar berniat berjihad. Mengenai ghanimah (harta rampasan perang), kami tidak akan memberikan sedikit pun kepada kalian.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau hanya ingin membawa pasukan yang memiliki semangat membela Islam, bukan mereka yang sekadar mengincar harta rampasan.
Dalam perjalanan menuju Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melintasi Gunung Ishir, yang terletak antara Madinah dan Khaibar, dan di sana beliau membangun sebuah masjid. Setelah itu, beliau melewati Gunung Shahba’, menuruni Lembah Raji’, dan berhenti sejenak dekat perkampungan Bani Ghathafan. Beliau memilih lokasi ini untuk mencegah Bani Ghathafan membantu kaum Yahudi Khaibar, karena mereka pernah menunjukkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat mengetahui kedatangan beliau, Bani Ghathafan berkumpul dan berniat membantu Khaibar, tetapi di tengah perjalanan, mereka merasa khawatir terhadap keamanan keluarga dan harta benda mereka. Akhirnya, mereka kembali ke wilayah mereka sendiri dan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi penduduk Khaibar tanpa bantuan dari mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki strategi unik ketika menyerang suatu wilayah. Beliau menunggu hingga waktu pagi tiba untuk memastikan situasi. Jika terdengar suara adzan, beliau menahan serangan, karena itu menandakan bahwa wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Muslim. Namun, jika tidak ada adzan, beliau melancarkan serangan mendadak sebagai bentuk strategi kejutan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya tiba di kawasan Khaibar pada malam hari. Mereka bermalam hingga pagi tiba, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengar suara adzan. Setelah itu, beliau bersiap dengan kendaraannya, begitu pula para sahabat yang bersiap siaga untuk menghadapi pertempuran. Penduduk Yahudi Khaibar menyambut mereka dengan membawa cangkul dan palu, alat-alat yang biasa mereka gunakan untuk bertani. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya, mereka terkejut dan berseru, “Muhammad datang dengan tentaranya!” Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami, jika telah menginjakkan kaki di halaman suatu kaum, maka pagi yang buruk akan menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan.”
Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ikut dalam Perang Khaibar berjumlah sekitar 1.600 prajurit, dengan 200 pasukan kavaleri — ada pula yang menyebut hingga 300. Mereka menghadapi kekuatan besar Yahudi Khaibar, yang dikenal sebagai komunitas Yahudi paling kuat, baik dari segi kekayaan maupun persenjataan. Sementara itu, suku Quraisy dan bangsa Arab di Jazirah Arab memantau jalannya peperangan ini, karena hasilnya dianggap sangat menentukan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh untuk memprediksi pihak mana yang akan memenangkan pertempuran.
Quraisy dan bangsa Arab di jazirah Arab menantikan hasil dari pertempuran besar ini dengan penuh ketegangan. Mereka bahkan saling bertaruh untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Perang Khaibar menjadi ujian besar bagi kaum Muslimin dalam menundukkan kekuatan Yahudi yang bersembunyi di balik benteng-benteng kokoh mereka.
Mengepung Khaibar
Kaum Muslimin pun mengepung Khaibar, menghadapi perlawanan sengit dari pasukan musuh yang berlindung di benteng-benteng mereka. Namun, satu per satu benteng itu berhasil direbut. Benteng pertama yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah Benteng Na’im dan Qumuush, yang dimiliki oleh dua putra Abi Al-Haqiq. Kemudian, mereka menaklukkan Benteng Sha’ab bin ‘Az, yang berfungsi sebagai pusat logistik musuh. Pengepungan ini berakhir dengan jatuhnya Benteng Al-Wathih dan Salalim, yang menandai kemenangan penuh kaum Muslimin atas Khaibar.
Di tengah pengepungan ini, datanglah seorang penggembala kambing bernama Aswad kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia hanyalah seorang pekerja yang menggembalakan kambing milik majikannya, seorang Yahudi. Dengan penuh keingintahuan, ia berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan Islam kepadaku.” Rasulullah pun mengajarkan Islam kepadanya, dan saat itu juga Aswad mengucapkan syahadat. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku hanya seorang penggembala, dan kambing-kambing ini adalah amanah bagiku. Apa yang seharusnya aku lakukan?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pukullah wajahnya, niscaya kambing-kambing ini akan kembali kepada pemiliknya.” Maka Aswad pun berdiri, mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke wajah kambing-kambing tersebut sambil berkata, “Kembalilah kalian kepada pemilik kalian! Demi Allah, aku tidak lagi menjadi penggembala kalian.”
Tugas Ali dalam Perang Khaibar
Kaum Muslimin menghadapi perlawanan sengit ketika berusaha meruntuhkan benteng-benteng Khaibar. Kaum Yahudi menyadari sepenuhnya bahwa kekalahan mereka berarti kehancuran dominasi mereka di jazirah Arab. Dalam kondisi perang yang berkecamuk dan perlawanan mati-matian dari pihak Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Malam itu, setiap sahabat berharap menjadi orang yang terpilih untuk menerima panji tersebut.
Keesokan paginya, mereka bergegas menemui Rasulullah dengan penuh harapan. Beliau lalu bertanya, “Di mana Ali?”Salah seorang sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” Rasulullah pun bersabda, “Bawalah dia kemari.” Ali kemudian dibawa menghadap, dan Rasulullah meludahi matanya serta mendoakan kesembuhan. Seketika itu juga matanya sembuh, seakan-akan ia tidak pernah mengalami sakit. Rasulullah lalu menyerahkan panji kemenangan kepadanya.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jalanilah tugasmu! Ketika engkau sampai di hadapan mereka, serulah mereka untuk masuk Islam dan sampaikan kepada mereka kewajiban dalam menunaikan hak Allah. Demi Allah, jika satu orang mendapatkan petunjuk melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah.”
Baca juga: Mengajak Orang Lain pada Islam Lebih Baik daripada Unta Merah
Saat Ali berangkat menuju benteng musuh, seorang Yahudi bernama Marhab muncul dengan pedangnya terhunus, menantang perang tanding. Tantangan itu diterima oleh salah seorang sahabat, Muhammad bin Maslamah, yang kemudian berhasil membunuhnya. Setelah itu, saudara Marhab yang bernama Yasir maju menantang, dan ia pun tewas di tangan Zubair bin Awwam.
Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin melalui tangan Ali bin Abi Thalib, membuat kaum Yahudi putus asa. Mereka pun mengajukan permintaan damai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar nyawa mereka selamat. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan penduduk Khaibar, beliau memerintahkan agar mereka tidak mengambil sedikit pun harta yang bukan hak mereka. Jika mereka melanggarnya, maka tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.”
Namun, kaum Yahudi menyembunyikan sebuah peti berisi harta dan perhiasan milik Huyay bin Akhtab yang sebelumnya dibawa ke Khaibar. Ketika Nabi menemukan peti tersebut, mereka berdalih, “Harta itu telah habis dibelanjakan dan tidak lagi ada pada kami.” Namun, akhirnya harta itu ditemukan tersembunyi di reruntuhan bangunan. Sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan eksekusi terhadap anak-anak Abi Al-Haqiq, salah satunya adalah suami Shafiyyah.
Dua Peristiwa
Dalam perang Khaibar ini, terjadi dua peristiwa yang bertolak belakang:
Pertama: datang seorang lelaki dari pedalaman Arab menemui Rasulullah dan menyatakan sumpah setia, “Aku hijrah bersamamu.” Nabi pun berpesan kepada beberapa sahabat agar memperhatikannya. Saat kemenangan diraih, Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para sahabat, termasuk lelaki tersebut, yang bagiannya dititipkan kepada teman-temannya. Ketika ia menerima jatah ghanimah, ia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagianmu dari harta rampasan perang.”
Lelaki itu pun membawa ghanimah tersebut menghadap Rasulullah dan bertanya, “Apa ini, wahai Muhammad?”Rasulullah menjawab, “Itu adalah bagianmu dari ghanimah.” Namun, lelaki itu berkata, “Bukan untuk ini aku mengikutimu. Aku mengikutimu agar tubuhku ini terpanah (sambil menunjukkan ke bagian lehernya) sehingga aku mati dan masuk surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah akan membenarkannya.” Kemudian para sahabat berangkat ke medan perang Lalu mereka membawa jasadnya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lehernya terpanah persis pada bagian yang diisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Betulkah itu dia?” Mereka menjawab, “Benar!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia telah membenarkan Allah dan Allah pun membenarkannya.”
Kedua: Dalam perang Khaibar, ada seseorang yang tampak sangat bersemangat dalam pertempuran. Rasulullah memperingatkan bahwa meskipun tampaknya ia berjuang, ada tanda-tanda bahwa niatnya tidak sepenuhnya benar. Akhirnya, orang tersebut tidak dapat menahan rasa sakit dari lukanya, dan ia melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Rasulullah menjelaskan bahwa hanya mereka yang benar-benar beriman yang akan mencapai keberhasilan sejati, dan terkadang kebenaran agama dapat diteguhkan melalui kejadian-kejadian yang tidak terduga.
Baca juga: Orang yang Mati Bunuh Diri, Amal Dilihat dari Akhirnya
Setelah peperangan usai, terdapat upaya untuk mencelakai Rasulullah dengan memberikan makanan yang telah diracuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui petunjuk ilahi, mengetahui adanya bahaya dalam makanan tersebut sebelum memakannya. Orang yang bertanggung jawab mengakui perbuatannya, tetapi Rasulullah tidak mengambil tindakan balasan pada saat itu. Namun, orang tersebut akhirnya dihukum ketika tindakan itu menyebabkan korban lain.
Orang-orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sebagai petani, tetapi mereka diwajibkan menyerahkan separuh dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin dan Rasulullah sebagai bagian dari perjanjian damai. Abdullah bin Rawahah setiap tahun datang untuk menghitung hasil panen yang harus diserahkan. Ketika merasa keberatan dengan besarnya bagian tersebut, mereka mencoba menawarkan hadiah untuk memengaruhi keputusan Ibnu Rawahah. Namun, beliau dengan tegas menolak, seraya berkata, “Wahai kaum yang memusuhi Allah! Kalian ingin memberiku sesuatu yang haram? Demi Allah, aku baru saja bertemu dengan orang yang paling aku cintai, dan meskipun kalian adalah kaum yang tidak aku sukai, kebencianku kepada kalian tidak akan membuatku berlaku tidak adil kepada kalian.” Mendengar hal itu, mereka berkata, “Dengan keadilan seperti inilah langit dan bumi tetap tegak.”
Setelah Allah memberikan kemenangan bagi umat Islam dalam Perang Khaibar, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah dan menyepakati pembagian hasil panen berupa anggur dan kurma untuk dimanfaatkan oleh para sahabat. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Ketika Khaibar ditundukkan, kami berkata, ‘Sekarang kita dapat kenyang dengan kurma.’”Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu juga mengatakan, “Kami belum pernah merasakan kenyang hingga kami menundukkan Khaibar.”
Pelajaran yang bisa diambil dari perang Khaibar
1. Makna Dakwah yang Mulia
Saat Nabi berkata kepada Ali, “Allah memberi petunjuk kepada seseorang lewat perantaramu…”, itu menunjukkan betapa mulianya tugas dakwah. Mengajak orang lain kepada jalan Allah bukanlah hal sepele. Bahkan, jika ada satu orang saja yang menerima ajakan dan beriman karena dakwah kita, itu lebih berharga daripada unta merah—yang pada masa itu adalah simbol kekayaan dan kemewahan. Artinya, pahala dan nilai dari dakwah jauh melebihi harta benda yang paling berharga sekalipun.
2. Dakwah untuk Semua Kalangan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak masuk Islam seorang penggembala kambing bernama Aswad. Menurut Ibnu Hisyam, ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak pernah memandang rendah siapa pun dalam berdakwah. Dakwah beliau menyentuh semua kalangan—baik rakyat biasa maupun orang terpandang. Dari sini kita belajar bahwa siapa pun yang ingin menjadi juru dakwah harus memiliki sikap rendah hati. Tidak boleh ada rasa meremehkan. Sebab, Islam adalah rahmat bagi semua, dan setiap orang berhak mendapat seruan kebaikan.
3. Optimisme di Tengah Medan Perang
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok Yahudi keluar dengan membawa alat-alat pertanian seperti cangkul dan palu, beliau langsung berseru, “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar!” Menurut Suhaili, ini adalah bentuk optimisme Rasulullah. Beliau melihat alat-alat yang menunjukkan bahwa mereka sedang tidak bersiap untuk berperang. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melihat tanda-tanda positif dalam situasi yang menegangkan sekalipun, dan menjadikannya semangat untuk melangkah maju.
4. Keutamaan Ali bin Abi Thalib
Perang Khaibar juga memperlihatkan kedudukan istimewa Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Ali adalah orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Ali pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keistimewaan ini, para sahabat sangat berharap bisa mendapatkan panji kemenangan. Namun, panji itu justru diberikan kepada Ali—tanda bahwa ia adalah pribadi yang Allah ridai. Ini menunjukkan bahwa keikhlasan dan cinta sejati kepada Allah tidak akan pernah tertukar.
5. Hadiah dari Non-Muslim, Bolehkah?
Ada satu momen ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima seekor kambing gulung dari seorang wanita Yahudi. Dari kejadian ini, kita belajar bahwa tidak masalah menerima hadiah dari orang non-Muslim, selama barangnya halal. Bahkan, daging sembelihan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) pun diperbolehkan untuk dimakan, selama tidak melanggar ketentuan syariat.
6. Ketika Damai Dibalas Pengkhianatan
Meski Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk tetap bercocok tanam dan hidup damai, mereka justru membalasnya dengan niat jahat. Mereka berupaya membunuh beliau. Sejarah mencatat bahwa sejak dulu, mereka dikenal sebagai kaum yang licik dan suka mengkhianati perjanjian. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan, namun orang beriman tetap harus bersikap adil dan tidak mengabaikan kewaspadaan.
7. Kaki Kambing yang Berbicara
Ada satu kisah menakjubkan dalam perang ini. Seekor kaki kambing yang akan dimakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memberi tanda bahwa daging tersebut mengandung racun. Peristiwa ini menjadi bukti kenabian—bahwa Allah memberitahukan Nabi-Nya tentang sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh akal manusia biasa. Ini adalah bentuk wahyu dan perlindungan dari Allah kepada utusan-Nya.
8. Seorang Arab Dusun yang Tulus Ingin Mati Syahid
Ada seorang lelaki Arab dari pedalaman yang baru masuk Islam. Keislamannya sangat tulus, dan tujuannya jelas: ingin mati syahid di jalan Allah. Ia tidak peduli pada harta rampasan perang, bahkan menolaknya. Yang dia cari hanyalah ridha Allah dan akhirat.
Ini adalah contoh luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa begitu murni niatnya, hanya ingin berjumpa dengan Tuhannya dalam keadaan mulia. Kita pun diajarkan untuk terus memperbaiki niat dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama, bukan dunia. Semoga Allah menjaga kita di jalan yang lurus.
9. Jangan Tertipu oleh Amal Besar
Ada juga kisah yang mengejutkan. Seseorang tampak berjuang keras bersama kaum muslimin dalam perang. Ia berani, seolah-olah sangat tulus membela Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka.” Ternyata, ia bunuh diri karena tak sanggup menahan luka.
Pelajaran besar dari sini adalah: jangan tertipu oleh amal besar yang tampak hebat di mata manusia. Yang Allah nilai adalah niat dan akhir kehidupan. Jangan merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Kita harus terus memohon kepada Allah agar ditutup usia kita dengan husnul khatimah—akhir yang baik.
10. Nubuwat yang Menjadi Nyata
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan sebelumnya bahwa orang ini akan mengalami perubahan. Dan benar saja, akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri. Ini membuktikan bahwa setiap perkataan Nabi bukanlah dugaan, melainkan wahyu dari Allah. Tanda kerasulan beliau terbukti dalam banyak kejadian nyata.
11. Kejujuran Abdullah bin Rawahah yang Tak Tergoyahkan
Suatu ketika, orang-orang Yahudi berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah agar ia mengurangi bagian hasil panen yang wajib mereka serahkan. Namun Abdullah menjawab dengan tegas, “Apakah kalian ingin memberiku harta yang haram? Cintaku kepada Rasulullah dan kebencianku kepada kalian tidak akan membuat aku berbuat tidak adil.”
Inilah sosok muslim sejati: jujur, adil, dan tidak bisa dibeli. Ia tidak membiarkan rasa suka atau benci menghalangi keadilan. Suap adalah racun sosial—merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan kepercayaan.
12. Keadilan: Penyangga Langit dan Bumi
Mendengar jawaban Abdullah bin Rawahah, orang-orang Yahudi berkata, “Dengan sikap seperti ini, langit dan bumi tetap tegak.” Mereka mengakui bahwa sikap adil adalah fondasi kehidupan.
Tanpa keadilan, masyarakat akan hancur. Yang kuat akan menindas yang lemah. Tapi dengan keadilan, muncul pembangunan, ketentraman, dan keberkahan.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meski kafir. Dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski muslim.” Ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan bukan sekadar konsep, tapi syarat utama agar pertolongan Allah turun kepada sebuah bangsa.
13. Bahagia dengan Kurma, Bahagia dengan Rida Allah
Setelah perang Khaibar, Aisyah dan Umar bin Khaththab menyebutkan betapa bahagianya para sahabat bisa makan kurma sampai kenyang. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa lapar dan kekurangan.
Bayangkan, Madinah dikenal sebagai kota dengan banyak kebun kurma. Tapi para sahabat tetap hidup sederhana. Itu menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka bukan karena makanan atau kemewahan, tapi karena mendapatkan ridha Allah.
Mereka tidak tergila-gila pada dunia, bahkan rela lapar demi ketaatan. Maka kalau dunia itu memang sesuatu yang sangat utama, tentu para sahabat sudah lebih dulu mengejarnya.
Alhamdulillah, selesai penulisan Perang Khaibar. Semoga menjadi ilmu yang bisa dijadikan ibrah bagi kita semua.
Referensi:
Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.
–
Selesai ditulis pada 13 Syawal 1446 H, bertepatan dengan 11 April 2025, @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com