Mau Memilih Siapa dalam Pemilu?
Sebagaimana Rumaysho.Com sudah seringkali mengulas mengenai masalah Pemilu dan disimpulkan pula bahwa pendapat yang lebih tepat adalah dibolehkan untuk memberikan suara atau coblos dalam Pemilu. Lalu siapakah dan partai manakah yang mesti dipilih?
Fatwa para ulama sudah kami sertakan yang intinya membolehkan memberikan suara dalam Pemilu dengan menimbang maslahat atau mengambil bahaya yang lebih ringan. Fatwa tersebut adalah dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Syaikhuna ‘Abdurrahman bin Nashir Al Barrok, Syaikh ‘Abdullah bin Abdirrahman Al Jibrin, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby, Syaikh Musthofa Al Adawi, fatwa yang kami pernah dengar langsung dari guru kami Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri, dan juga fatwa para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah. Lihat fatwa tersebut dalam artikel: Hukum Coblos dalam Pemilu (seri ke-3).
Pertimbangan bolehnya memberikan suara dalam Pemilu karena menjalankan kaedah fikih:
ارْتِكَابُ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ
“Mengambil bahaya yang lebih ringan.”
Kaedah ini disimpulkan dari ayat,
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (QS. Al Kahfi: 79).
Lihatlah apa yang dilakukan oleh Khidr adalah untuk mengambil bahaya yang lebih ringan dari dua bahaya yang ada. Khidr sengaja menenggelamkan kapal milik orang miskin, ini adalah suatu mafsadat (bahaya). Namun bahaya ini masih lebih ringan dari hilangnya seluruh kapal yang nanti akan dirampas oleh raja yang zalim.
Begitu pula ayat yang menceritakan bahwa Khidr membunuh seorang anak karena khawatir orang tuanya tersesat dalam kekafiran, itu juga mendukung kaedah yang dimaksud. Dalam ayat disebutkan,
وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا
“Dan adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.” (QS. Al Kahfi: 80). Membunuh anak muda itu adalah suatu mafsadat, sedangkan kesesatan dan kekafiran adalah mafsadat yang lebih besar.
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani membuat kaedah,
ارتكاب أخف المفسدتين بترك أثقلهما
“Mengambil mafsadat yang lebih ringan dari dua mafsadat yang ada dan meninggalkan yang lebih berat.” (Fathul Bari, 9: 462)
Untuk masalah Pemilu, sebagaimana kata Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, “Ingat bahwa menggunakan hak suara dalam Pemilu bukan dalam rangka mencari pemimpin yang akan menegakkan Islam, namun dalam rangka meminimalkan ruang gerak para penjahat dan musuh Islam.”
Jadi itulah maksud kami untuk menyarankan tetap memberikan suara dalam Pemilu ini.
Adapun siapa yang dipilih?
Tentu saja yang muslim, pilih yang amanat dan terpercaya. Kami tidak mengarahkan kepada satu calon pun dan partai tertentu. Adapun tulisan sebelumnya, kami menunjuk partai tertentu, tidak berlaku saat ini. Ini tulisan terkini kami (25 Juni 2018).
Semoga Allah memberikan kemaslahatan bagi kaum muslimin. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
—
Selesai disusun di siang hari @ Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul, diperbaharui 11 Syawal 1439 H (25 Juni 2018)
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
alhamdulillah, adeemm baca yg ini..:)
Barakallahu fiikum.
Jazakallahu khairan katsira atas penjelasannya Ustadz. Apakah ini berimplikasi kepada kesimpulan bahwa sebaiknya kita juga memajukan seseorang yang membela Islam atau condong kepada Islam untuk maju menjadi caleg/capres? Karena jika tak ada orang baik yang maju, maka tinggallah pilihan orang-orang yang buruk saja. Jika tidak demikian, mohon penjelasan singkatnya Ustadz. Syukran.
Masuk parlemen dg hukum memberikan suara itu berbeda.
Semoga antum jadi muridnya Syaikh Yahya Al Hajuri hafidzahullahu….Aamiin
Aamiin. Barakallahu fiikum.