Tata Cara Shalat bagi yang Tidak Mampu Berdiri Menurut Mazhab Syafi‘i
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata,
وَرَكَعَاتُ الْفَرَائِضِ سَبْعَةَ عَشَرَ رَكْعَةً، فِيهَا أَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ سَجْدَةً، وَأَرْبَعٌ وَتِسْعُونَ تَكْبِيرَةً، وَتِسْعُ تَشَهُّدَاتٍ، وَعَشْرُ تَسْلِيمَاتٍ، وَمِائَةٌ وَثَلَاثٌ وَخَمْسُونَ تَسْبِيحَةً، وَجُمْلَةُ الْأَرْكَانِ فِي الصَّلَاةِ مِائَةٌ وَسِتَّةٌ وَعِشْرُونَ رُكْنًا، فِي الصُّبْحِ ثَلَاثُونَ رُكْنًا، وَفِي الْمَغْرِبِ اثْنَانِ وَأَرْبَعُونَ رُكْنًا، وَفِي الرُّبَاعِيَّةِ أَرْبَعَةٌ وَخَمْسُونَ رُكْنًا، وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْقِيَامِ فِي الْفَرِيضَةِ صَلَّى جَالِسًا، وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْجُلُوسِ صَلَّى مُضْطَجِعًا
Jumlah rakaat shalat fardu adalah tujuh belas rakaat. Di dalamnya terdapat tiga puluh empat sujud, sembilan puluh empat kali takbir, sembilan kali tasyahud, sepuluh kali salam, dan seratus lima puluh tiga kali tasbih.
Jika dihitung jumlah seluruh rukun shalat, totalnya ada seratus dua puluh enam rukun:
Dalam shalat Subuh: tiga puluh rukun,
Dalam shalat Magrib: empat puluh dua rukun,
Dalam shalat yang empat rakaat: lima puluh empat rukun.
Bagi orang yang tidak mampu berdiri ketika shalat fardu, maka ia shalat dalam posisi duduk. Jika tidak mampu duduk, maka ia shalat dalam posisi berbaring.
Penjelasan
Ini berlaku apabila shalat dilakukan dalam keadaan mukim (tidak safar) dan bukan pada hari Jumat. Jika di dalamnya terdapat shalat Jumat, maka jumlah rakaatnya berkurang dua rakaat. Jika shalat tersebut dilakukan dengan qashar (dalam safar), maka berkurang empat atau enam rakaat.
Pernyataan bahwa shalat fardu berjumlah tujuh belas rakaat hingga akhir rincian gerakannya bisa diketahui dengan memperhatikan secara detail, namun tidak banyak faedah besar yang dihasilkan dari hitungan ini. Wallāhu a‘lam.
Hukum bagi orang yang tidak mampu berdiri saat shalat fardu
Siapa yang tidak mampu berdiri dalam shalat fardu, maka ia shalat dalam posisi duduk. Jika tidak mampu duduk, maka ia shalat dalam posisi berbaring. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Imrān bin Hushain:
“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduklah, dan jika tidak mampu maka berbaringlah di sisi.”
(Nasa’i menambahkan:)
“Jika tidak mampu juga, maka terlentanglah. Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kesanggupannya.”
Para ulama juga menukil adanya ijma‘ (kesepakatan) dalam masalah ini.
Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan ‘udzur tidak mampu (al-‘ajz) itu bukan sekadar tidak memungkinkan (tidak bisa sama sekali), tetapi meliputi adanya kekhawatiran akan celaka, bertambahnya penyakit, timbulnya kesulitan yang sangat berat, atau rasa takut tenggelam dan pusing bagi orang yang berada di kapal.
Imam (al-Syafi‘i) menyebutkan bahwa ukuran ‘udzur adalah jika kesulitan itu membuatnya kehilangan kekhusyukan. Demikian yang dinukil dari beliau oleh Imam An-Nawawi dalam ar-Raudhah dan beliau membenarkannya. Hanya saja, dalam Syarh al-Muhadzdzab, An-Nawawi menyebutkan bahwa dalam mazhab Syafi‘i pendapat resminya adalah sebaliknya.
Imam asy-Syafi‘i juga berkata: yang dimaksud tidak mampu berdiri adalah jika seseorang tidak kuat berdiri kecuali dengan kesulitan yang tidak tertahankan. Ibnu ar-Rif‘ah menegaskan maksudnya adalah kesulitan yang sangat berat.
Ketahuilah pula bahwa ketika seseorang shalat sambil duduk, tidak ditentukan cara duduk tertentu. Bagaimanapun ia duduk, itu sah. Namun, tentang mana yang lebih utama, ada dua pendapat. Pendapat yang lebih kuat adalah duduk iftirasy (duduk sebagaimana duduk antara dua sujud), karena posisi ini lebih dekat menyerupai berdiri, dan karena duduk bersila (tawarruk/tarabbuk) lebih terkesan santai. Pendapat kedua, duduk bersila lebih utama, agar bisa dibedakan antara duduk sebagai pengganti berdiri dengan duduk asal dalam shalat.
Jika ia tidak mampu duduk, maka ia shalat dengan berbaring, sebagaimana hadits yang sudah disebutkan. Caranya adalah berbaring di sisi kanan sesuai pendapat resmi mazhab, dan tetap wajib menghadap kiblat. Jika tidak bisa, maka shalat dengan berbaring terlentang, dan arahkan gerakan rukuk dan sujudnya ke arah kiblat. Bila tidak mampu melakukan rukuk dan sujud dengan gerakan, maka ia cukup memberi isyarat dengan matanya, dengan sujud lebih rendah daripada rukuk. Jika masih tidak sanggup, maka ia cukup dengan lintasan hati, menjalankan gerakan shalat dalam hati.
Jika dalam kondisi itu ia masih mampu melafalkan takbir, membaca bacaan, tasyahhud, dan salam, maka tetap melafalkannya. Jika tidak mampu, maka cukup dilakukan dalam hati. Pahalanya tidak berkurang, dan ia tidak boleh meninggalkan shalat selama akalnya masih waras. Jika ia shalat dalam kondisi seperti itu, tidak wajib mengulanginya.
Al-Ghazali berhujah dengan sabda Nabi ﷺ:
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku memerintahkan sesuatu, maka lakukanlah sesuai kemampuan kalian.”
Namun, ar-Rafi‘i berbeda pandangan dalam menjadikan hadits ini sebagai dalil. Adapun menurut kami, jelas bahwa dalam kondisi ini seseorang tidak perlu shalat lalu mengulanginya.
Ketahuilah pula bahwa orang yang dalam keadaan disalib tetap wajib shalat. Imam asy-Syafi‘i menegaskan hal itu. Begitu juga orang yang tenggelam dan berada di atas papan kayu, sebagaimana ditegaskan oleh Qadhi Husain dan ulama lainnya.
Cabang pembahasan:
Jika seseorang sebenarnya mampu shalat sambil berdiri ketika shalat sendirian, tetapi bila shalat berjamaah ia hanya sanggup duduk pada sebagian shalatnya, maka Imam asy-Syafi‘i menegaskan bolehnya dua keadaan tersebut. Hanya saja, shalat sendirian dalam keadaan berdiri lebih utama karena menjaga rukun. Pendapat ini dipilih oleh Qadhi Husain dan murid-muridnya, al-Baghawi dan al-Mutawalli, dan ini adalah yang lebih kuat.
Mereka juga mengatakan: jika seseorang hanya mampu berdiri saat membaca al-Fatihah saja, tetapi jika dilanjutkan dengan membaca surat lain ia lemah, maka yang lebih utama adalah tetap berdiri hanya untuk al-Fatihah saja.
Namun, menurut Syaikh Abu Hamid, shalat berjamaah tetap lebih utama.
Wallāhu a‘lam.