Jangan Tiru Flexing Qarun: Dampak Pamer Harta di Media Sosial
Fenomena flexing atau pamer kekayaan kini marak di media sosial, bahkan dilakukan pula oleh pejabat publik. Sikap seperti ini bukan hanya menimbulkan kecemburuan sosial, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat. Dalam Al-Qur’an, Allah mengabadikan kisah Qarun yang tenggelam karena kesombongannya saat memamerkan harta. Dari sini kita belajar bahwa pamer harta bukanlah tanda keberuntungan, melainkan jalan menuju kehancuran bila tidak disyukuri dengan benar.
“Flexing” adalah istilah slang yang berasal dari bahasa Inggris, yang artinya memamerkan sesuatu secara berlebihan untuk menunjukkan status, kekayaan, atau pencapaian pribadi. Di Indonesia, istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan orang yang suka pamer – bisa pamer barang mahal, pencapaian, gaya hidup mewah, atau hal-hal lain yang dianggap “wah”.
Contoh flexing:
- Memamerkan mobil mewah di media sosial dengan caption seperti, “Kerja keras tak akan mengkhianati hasil 💸🚘.”
- Upload foto traveling ke luar negeri tiap minggu dengan gaya hidup glamor.
- Menunjukkan saldo rekening atau nota belanja mahal.
Dalam konteks sosial:
Flexing bisa dilihat positif atau negatif tergantung tujuannya:
✅ Positif jika tujuannya memotivasi atau menunjukkan hasil kerja keras.
❌ Negatif jika niatnya pamer, merendahkan orang lain, atau sekadar mencari validasi sosial.
Dampak Negatif Pamer (Flexing) di Media Sosial
1. Memicu Rasa Minder dan Tekanan Sosial
Melihat postingan berbau pamer dapat membuat orang merasa rendah diri dan tertekan secara psikologis.
2. Mendorong Gaya Hidup Boros dan Tidak Bijak
Flexing seringkali menanamkan gaya hidup konsumtif yang jauh dari prinsip qana’ah dan sederhana.
3. Menumbuhkan Iri dan Permusuhan Sosial
Sifat pamer bisa memicu kecemburuan, iri hati, dan keretakan dalam hubungan sosial.
4. Merusak Makna Sukses yang Hakiki
Kesuksesan jadi disalahartikan hanya sebatas harta dan kemewahan, bukan ketakwaan atau amal salih.
5. Meningkatkan Risiko Keamanan Diri
Memamerkan kekayaan secara terbuka bisa mengundang bahaya seperti kejahatan dan penipuan.
6. Menjerumuskan ke Dunia Palsu
Pencitraan berlebihan menjauhkan dari kejujuran dan keautentikan dalam hidup.
7. Menurunkan Kepercayaan Publik
Terlalu sering pamer bisa membuat seseorang dinilai sombong atau tidak layak dipercaya.
Dampak Buruk Flexing oleh Pejabat Negara
1. Mengikis Kepercayaan Publik
Rakyat jadi ragu terhadap amanah dan integritas pejabat. Terpikir, dari mana sumber kekayaannya?
2. Menyulut Iri dan Ketimpangan Sosial
Di tengah kesulitan ekonomi, pamer kekayaan menciptakan luka sosial dan kecemburuan.
3. Memicu Kemarahan dan Ketidakpuasan Masyarakat
Flexing bisa memancing kritik tajam, sindiran, bahkan aksi sosial karena dianggap tak berempati.
4. Merusak Keteladanan sebagai Pemimpin
Pejabat semestinya tampil sederhana dan bijak. Bukan malah menonjolkan hedonisme.
5. Mengundang Sorotan Hukum dan Pemeriksaan
Pamer berlebihan bisa memicu audit kekayaan oleh KPK atau BPK karena menimbulkan kecurigaan publik.
6. Viral Negatif dan Penghakiman Netizen
Postingan mewah rentan viral. Reputasi bisa hancur meski belum terbukti bersalah secara hukum.
Jangan Kita Mengikuti Flexingnya Qarun
Allah Ta’ala menyebutkan tentang Qarun,
فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ فِى زِينَتِهِۦ ۖ قَالَ ٱلَّذِينَ يُرِيدُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا يَٰلَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَآ أُوتِىَ قَٰرُونُ إِنَّهُۥ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”.” (QS. Al-Qashash: 79)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah disebutkan:
Allah Ta’ala mengisahkan tentang Qarun, bahwa suatu hari ia keluar menemui kaumnya dengan penampilan yang sangat mencolok—penuh kemewahan dan kemegahan. Ia tampak angkuh dengan kendaraan megah, pakaian mewah, dan diiringi para pelayan serta pengikutnya. Ketika orang-orang yang mencintai dunia melihat penampilannya itu, hati mereka terpikat. Mereka berkata dengan penuh harap, “Wah, andaikan kita memiliki apa yang dimiliki Qarun…” Lalu mereka menambahkan, “Sungguh, Qarun adalah orang yang sangat beruntung.” Maksudnya, ia dianggap memiliki nasib yang sangat baik karena harta dan kemewahan duniawi yang ia miliki.
Dalam Tafsir Syaikh As-Sa’di rahimahullah disebutkan:
Qarun tetap berada dalam sikap keras kepala, angkuh, dan menolak nasihat dari kaumnya. Ia begitu bangga dan terpedaya dengan harta kekayaan yang Allah berikan kepadanya. Suatu hari, ia tampil di hadapan orang banyak dengan kemewahan luar biasa—berdandan dengan pakaian dan perhiasan yang paling indah, serta memperlihatkan kendaraan dan pengikutnya.
Kemewahan yang ia tunjukkan sungguh mencolok. Semua perhiasan dunia, keindahan, dan kebanggaan ia tampilkan sekaligus, hingga mata orang-orang terbelalak kagum, hati mereka terpesona, dan jiwa mereka tercengang menyaksikannya. Pemandangan itu membuat manusia terbagi menjadi dua golongan.
Golongan pertama adalah mereka yang terikat dengan kehidupan dunia. Dunia adalah tujuan akhir yang mereka kejar. Mereka pun berkata dengan penuh iri, “Seandainya kita punya harta dan kemewahan seperti Qarun, sungguh dia orang yang sangat beruntung.” Dalam pandangan mereka, kekayaan Qarun adalah keberuntungan besar, karena dengan harta itu ia bisa melakukan apa saja yang diinginkannya.
Padahal, anggapan seperti ini menunjukkan betapa rendahnya cita-cita mereka. Mereka hanya menjadikan dunia yang fana sebagai tujuan akhir, seolah-olah tidak ada kehidupan lain setelahnya. Inilah impian paling hina dan tidak bernilai, karena hanya berhenti pada kesenangan sesaat, tanpa sedikit pun keinginan untuk meraih kebahagiaan yang lebih tinggi dan mulia, yaitu kehidupan akhirat.
Contoh Jelek dari Qarun
Allah Ta’ala berfirman,
۞ إِنَّ قَٰرُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَىٰ فَبَغَىٰ عَلَيْهِمْ ۖ وَءَاتَيْنَٰهُ مِنَ ٱلْكُنُوزِ مَآ إِنَّ مَفَاتِحَهُۥ لَتَنُوٓأُ بِٱلْعُصْبَةِ أُو۟لِى ٱلْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُۥ قَوْمُهُۥ لَا تَفْرَحْ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْفَرِحِينَ
“Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: “Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri“.” (QS. Al-Qashash: 76)
Kisah Qarun memang sangat menarik untuk direnungkan. Allah berfirman bahwa Qarun berasal dari kaum Musa, namun ia berlaku zalim terhadap mereka. Para ulama berbeda pendapat tentang hubungan nasabnya dengan Nabi Musa. Ibnu ‘Abbas menegaskan bahwa Qarun adalah sepupu Musa. Pendapat ini juga diikuti oleh Ibrahim An-Nakha‘i, Abdullah bin Al-Harits bin Naufal, Simak bin Harb, Qatadah, Malik bin Dinar, Ibnu Juraij, dan sejumlah ulama lainnya. Ibnu Juraij bahkan merinci bahwa Qarun adalah putra Yashar bin Qahits, sedangkan Musa adalah putra Imran bin Qahits.
Namun, Muhammad bin Ishaq punya pandangan berbeda. Ia mengatakan bahwa Qarun justru adalah paman Musa. Meskipun begitu, mayoritas ulama tetap berpegang bahwa Qarun adalah sepupu Musa, sebagaimana dikukuhkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari, meskipun akhirnya ia menutup dengan ungkapan, “Allah lebih tahu yang sebenarnya.”
Qatadah memberi tambahan keterangan: Qarun dikenal sebagai orang yang punya suara indah saat membaca Taurat hingga dijuluki “al-Munawwar” (si bersuara terang). Tetapi sayang, dia munafik sebagaimana halnya Samiri, lalu kebinasaan menimpanya karena kesombongan yang muncul akibat harta yang melimpah.
Shahr bin Hawsyab menambahkan bahwa Qarun menambah panjang pakaiannya sejengkal lebih panjang dari kebiasaan, hanya untuk menyombongkan diri di hadapan kaumnya.
Allah menggambarkan betapa besar kekayaan Qarun. Ia diberikan harta yang sangat banyak, sampai-sampai kunci-kunci perbendaharaannya saja berat dipikul oleh sekelompok orang kuat. Menurut riwayat, kunci-kunci itu dibuat dari kulit, masing-masing sebesar jari, dan setiap kunci digunakan untuk membuka satu gudang khusus. Disebutkan bahwa ketika Qarun bepergian, kunci-kunci itu harus diangkut dengan enam puluh ekor bagal yang gagah dan kuat.
Di tengah kesombongan Qarun, kaumnya yang saleh berusaha menasihatinya. Mereka berkata, “Janganlah engkau terlalu gembira dan membanggakan diri dengan apa yang engkau miliki.” Maksudnya, jangan sampai ia larut dalam kesombongan karena harta. Ibnu ‘Abbas menafsirkan “jangan bergembira” di sini sebagai larangan untuk hidup dengan sikap sombong dan melampaui batas. Sementara Mujahid menjelaskan maksudnya adalah larangan bersikap angkuh, berlebih-lebihan, dan tidak bersyukur atas nikmat Allah.
Selanjutnya, firman Allah,
وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77)
Ayat ini melanjutkan nasihat orang-orang saleh kepada Qarun. Mereka berkata, “Gunakanlah apa yang telah Allah berikan kepadamu untuk meraih negeri akhirat. Jangan lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah engkau berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Maksudnya, harta dan nikmat besar yang dimiliki seseorang seharusnya dipakai untuk taat kepada Allah, untuk mendekatkan diri dengan amal-amal kebaikan yang akan menjadi bekal di akhirat. Namun, ini tidak berarti harus meninggalkan dunia sama sekali. Allah tetap membolehkan seseorang menikmati bagian dari dunia yang halal seperti makanan, minuman, pakaian, rumah, dan pernikahan. Bahkan, agama menekankan keseimbangan: ada hak Allah yang wajib ditunaikan, ada hak jiwa yang perlu dijaga, ada hak keluarga yang harus dipenuhi, dan ada hak tamu yang mesti dihormati.
Kemudian datang perintah berikutnya: berbuatlah baik kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Nikmat yang Allah berikan bukan hanya untuk disyukuri secara pribadi, tetapi juga untuk dibagikan dalam bentuk kebaikan kepada sesama. Sebaliknya, harta itu jangan dijadikan sarana untuk berbuat kerusakan, merugikan orang lain, atau menimbulkan kesombongan. Karena Allah sama sekali tidak mencintai orang-orang yang merusak bumi dengan kekayaan dan kedudukannya.
Selanjutnya, firman Allah,
قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِىٓ ۚ أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِۦ مِنَ ٱلْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا ۚ وَلَا يُسْـَٔلُ عَن ذُنُوبِهِمُ ٱلْمُجْرِمُونَ
“Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (QS. Al-Qashash: 78)
Ayat ini menggambarkan jawaban sombong Qarun kepada kaumnya ketika mereka menasihatinya. Ia berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta ini karena ilmu yang ada padaku.”
Maksud ucapannya adalah seakan-akan ia tidak butuh nasihat mereka. Menurutnya, harta yang ia miliki adalah bukti bahwa Allah memang tahu ia pantas menerimanya, bahkan tanda bahwa Allah mencintainya. Inilah bentuk kesombongan yang diabadikan Al-Qur’an, serupa dengan perkataan orang yang ditimpa nikmat setelah sebelumnya mengalami kesulitan, lalu merasa bahwa itu murni karena kepantasannya, bukan karena karunia Allah.
Sebagian orang menafsirkan bahwa yang dimaksud Qarun adalah karena ia menguasai “ilmu kimia” yang diyakini bisa mengubah benda menjadi emas atau perak. Namun, penjelasan ini ditolak para ulama karena hakikatnya tidak ada seorang pun mampu mengubah hakikat benda selain Allah. Apa yang disebut “ilmu kimia” itu hanyalah tipuan, sekadar mengubah tampilan luar, bukan merubah esensi benda. Adapun kejadian luar biasa berupa perubahan benda menjadi sesuatu yang bernilai tinggi, bisa saja terjadi melalui karamah para wali dengan izin Allah, bukan karena kemampuan manusia.
Ada pula yang berpendapat bahwa Qarun memiliki pengetahuan tentang al-ism al-a‘zhom (nama Allah yang agung) sehingga bisa memperoleh harta. Tetapi pendapat yang paling kuat adalah tafsiran pertama: ia meyakini bahwa kekayaannya adalah tanda keridhaan Allah dan hasil dari kelebihannya.
Padahal Allah langsung membantah klaim tersebut. Jika benar kekayaan adalah tanda cinta Allah, mengapa banyak generasi sebelumnya yang jauh lebih kuat dan jauh lebih kaya dari Qarun justru dibinasakan? Harta mereka melimpah, kekuasaan mereka luas, tetapi Allah tetap menghancurkan mereka karena kufur dan tidak bersyukur. Maka, jelaslah bahwa banyaknya harta bukan tanda kasih sayang Allah, melainkan bisa jadi ujian dan sebab kebinasaan.
Allah menutup ayat ini dengan firman-Nya: “Dan para pendosa itu tidak akan ditanya tentang dosa-dosa mereka.” Maksudnya, dosa-dosa mereka begitu banyak dan jelas, sampai-sampai tidak butuh lagi dipertanyakan.
Qatadah menafsirkan ucapan Qarun “karena ilmu yang ada padaku” dengan maksud: “karena kebaikan yang aku miliki.” Sementara As-Suddi mengatakan: “karena aku merasa memang layak mendapatkannya.”
Penjelasan yang indah datang dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Ia berkata bahwa maksud ucapan Qarun adalah: “Kalau bukan karena Allah ridha kepadaku dan mengetahui keutamaanku, tentu Dia tidak akan memberiku harta ini.” Inilah logika keliru yang juga sering diulang orang-orang berilmu dangkal: ketika melihat seseorang diluaskan rezekinya, mereka langsung menyangka bahwa itu pasti tanda keridhaan Allah, padahal bisa jadi sebaliknya—ujian atau bahkan istidraj (penundaan azab).
Selanjutnya, firman Allah,
فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ فِى زِينَتِهِۦ ۖ قَالَ ٱلَّذِينَ يُرِيدُونَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا يَٰلَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَآ أُوتِىَ قَٰرُونُ إِنَّهُۥ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”.” (QS. Al-Qashash: 79)
Ayat ini menggambarkan puncak kesombongan Qarun. Pada suatu hari ia keluar menemui kaumnya dengan penampilan yang sangat mewah: pakaian berkilauan, perhiasan gemerlap, kendaraan penuh keanggunan, serta dikelilingi oleh para pelayan dan pengawalnya. Ia ingin memperlihatkan kemegahannya kepada manusia.
Ketika orang-orang yang hatinya terpikat pada kehidupan dunia melihat pemandangan itu, mereka langsung terpesona. Mereka berangan-angan, “Andai saja kita memiliki seperti apa yang diberikan kepada Qarun. Sungguh, dia benar-benar orang yang sangat beruntung.”
Mereka menilai Qarun sebagai orang yang punya kedudukan tinggi dan nasib istimewa karena harta yang dimilikinya. Pandangan itu lahir dari hati yang lebih memandang gemerlap dunia ketimbang bekal akhirat.
Masih berlanjut Insya-Allah …..
Referensi:
- Aspinall, E., & Mietzner, M. (2019). Democratic regression in Indonesia: What can we learn from comparative experience? Contemporary Southeast Asia, 41(2), 256–282. https://doi.org/10.1355/cs41-2e
- Chou, H. T. G., & Edge, N. (2012). “They are happier and having better lives than I am”: The impact of using Facebook on perceptions of others’ lives. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 15(2), 117–121. https://doi.org/10.1089/cyber.2011.0324
- Djafarova, E., & Trofimenko, O. (2019). ‘Instafamous’–credibility and self-presentation of micro-celebrities on social media. Information, Communication & Society, 22(10), 1432–1446. https://doi.org/10.1080/1369118X.2018.1438491
- Ibnu Katsir. (1431 H). Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim (Cet. 1). Ibnul Jauzi.
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2022). Kajian gaya hidup pejabat publik. Laporan internal.
- Kross, E., Verduyn, P., Demiralp, E., Park, J., Lee, D. S., Lin, N., … & Ybarra, O. (2013). Facebook use predicts declines in subjective well-being in young adults. PLOS ONE, 8(8), e69841. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0069841
- Lipset, S. M., & Lenz, G. S. (2000). Corruption, culture, and markets. In L. E. Harrison & S. P. Huntington (Eds.), Culture matters (pp. 112–124). Basic Books.
- Nesi, J., & Prinstein, M. J. (2015). Using social media for social comparison and feedback-seeking: Gender and popularity moderate associations with depressive symptoms. Journal of Abnormal Child Psychology, 43(8), 1427–1438. https://doi.org/10.1007/s10802-015-0020-0
- Setiyono, B., & McLeod, R. H. (2010). Civil society organizations’ contribution to the anti-corruption movement in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 46(3), 347–370. https://doi.org/10.1080/00074918.2010.486473
- Transparency International. (2023). Global corruption barometer: Asia 2023. https://www.transparency.org/en/gcb/asia/asia-2023
—-
10 Rabiul Awwal 1447 H, 2 September 2025 @ Yogyakarta
Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com