Menjual Ayat Allah dengan Harga Murah, Apa Maksudnya?
Apakah benar ada orang yang menjual ayat Allah? Bagaimana mungkin ayat suci bisa ditukar dengan keuntungan dunia yang sepele?
Apakah boleh mengadakan seminar agama, dauroh keislaman, sekolah atau kuliah dengan menarik biaya, bisa jadi dengan biaya mahal karena adanya fasilitas yang mendukung dan demi kenyamanan?
Larangan Menukar Ayat Allah dengan Harga Murah
Allah Ta’ala berulang kali mengingatkan dalam Al-Qur’an agar tidak memperjualbelikan ayat-ayat-Nya demi kepentingan duniawi yang murah nilainya. Perbuatan ini telah dilakukan oleh sebagian ahli kitab di masa lalu, dan bisa saja terjadi kembali oleh siapa pun yang mengikuti jejak mereka.
1. Larangan kepada Bani Israil
Allah Ta’ala berfirman:
وَآمِنُوا۟ بِمَآ أَنزَلْتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوٓا۟ أَوَّلَ كَافِرٍۭ بِهِۦ ۖ وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ وَإِيَّٰىَ فَٱتَّقُونِ
“Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.“(QS. Al-Baqarah: 41)
2. Celaka Bagi yang Memalsukan Wahyu
فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ ٱلْكِتَٰبَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِندِ ٱللَّهِ لِيَشْتَرُوا۟ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا يَكْسِبُونَ
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ‘Ini dari Allah’, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka celakalah mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan celakalah mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 79)
3. Balasan Bagi yang Menyembunyikan Kebenaran
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَيَشْتَرُونَ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِى بُطُونِهِمْ إِلَّا ٱلنَّارَ ۖ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ ٱللَّهُ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit, mereka itu sebenarnya tidak memakan ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (QS. Al-Baqarah: 174)
Tafsir Ulama: Apa Maksud “Menjual Ayat Allah”?
Dalam Tafsir Al-Qurthubi, disebutkan berbagai makna dari larangan menjual ayat Allah dengan harga murah:
قوله تعالى: وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا
“Dan janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.”
Dalam ayat ini terdapat empat pembahasan:
Pertama: Firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kalian menukar…” adalah sambungan dari firman-Nya sebelumnya: “Dan janganlah kalian menjadi yang pertama kafir…”
Allah melarang mereka menjadi orang pertama yang kafir dan melarang mereka mengambil imbalan atas ayat-ayat Allah, yakni menukar keterangan tentang sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan suap. Para rahib dahulu melakukan hal itu, maka mereka pun dilarang melakukannya. Ini adalah pendapat sekelompok ahli tafsir, seperti Al-Hasan dan lainnya.
Dikatakan pula bahwa mereka dulu mendapat jatah makan dari mengajarkan ilmu, semacam gaji tetap. Maka mereka pun dilarang dari itu.
Ada juga yang mengatakan bahwa para pendeta mengajarkan agama mereka dengan bayaran, dan mereka dilarang dari hal itu. Dalam kitab mereka tertulis,
يَا ٱبْنَ آدَمَ، عَلِّمْ مَجَّانًا كَمَا عَلِمْتَ مَجَّانًا
“Wahai anak Adam, ajarkanlah secara cuma-cuma sebagaimana engkau diajari secara cuma-cuma,” yakni secara gratis tanpa meminta upah. Ini adalah pendapat Abu Al-‘Aliyah.
Pendapat lainnya: maksud dari larangan menukar ayat-ayat Allah dengan harga murah adalah agar mereka tidak menjadikan perintah, larangan, dan ayat-ayat Allah sebagai alat tukar untuk mendapatkan dunia dan kesenangannya yang singkat, serta kehidupan yang rendah nilainya. Maka apa yang mereka tukar itulah yang disebut “harga,” meskipun sejatinya bukan harga, karena mereka menjadikannya sebagai ganti dari kebenaran. Oleh karena itu disebut “harga.”
Makna ini juga disebutkan dalam syair: “Jika engkau memang berniat melakukan dosa atau telah berhasil melakukannya, maka engkau tidak memperoleh pengganti dari meninggalkan haji.”
Aku (Al-Qurthubi) katakan: Meskipun ayat ini secara khusus ditujukan kepada Bani Israil, namun ia juga mencakup siapa saja yang melakukan perbuatan serupa. Siapa yang menerima suap untuk mengubah atau membatalkan kebenaran, atau menolak mengajarkan apa yang wajib ia ajarkan, atau tidak menyampaikan ilmu yang sudah menjadi kewajibannya kecuali dengan bayaran, maka ia termasuk dalam kandungan ayat ini. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَىٰ بِهِ وَجْهُ ٱللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِّنَ ٱلدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ ٱلْجَنَّةِ يَوْمَ ٱلْقِيَامَةِ، يَعْنِي رِيحَهَا.
“Barang siapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya ditujukan untuk meraih wajah Allah, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk meraih bagian dunia, maka ia tidak akan mencium aroma surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud)
Empat Tafsiran Tentang Menjual Ayat Allah
1. Menukar kebenaran dengan suap
Tafsir pertama menyebut bahwa sebagian ahli kitab mengubah sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kitab mereka demi suap dari orang-orang kafir. Mereka menukar kebenaran yang mereka tahu demi keuntungan duniawi.
Contoh: Seorang ulama atau tokoh agama yang mengubah isi kebenaran Al-Qur’an demi diterima penguasa atau masyarakat luas.
2. Mengandalkan penghasilan tetap dari agama
Ada pendapat bahwa mereka terbiasa mendapatkan jatah makan (gaji) hanya karena status keulamaan mereka, bukan karena pengajaran aktif. Lalu mereka malas mengajar bila tidak dibayar.
Contoh: Seorang guru agama hanya menyampaikan ilmu jika diberi bayaran, dan menolak mengajarkannya jika tidak diberi honor.
3. Mengajar agama hanya dengan bayaran
Menurut Abu Al-‘Aliyah, larangan ini juga mencakup mereka yang menjadikan ajaran agama sebagai ladang komersial. Dalam kitab terdahulu disebut:
“Wahai anak Adam, ajarkanlah ilmu secara gratis sebagaimana engkau diajarkan secara gratis.”
Contoh: Menjual fatwa, ceramah, atau pengajaran agama layaknya barang dagangan, bukan karena kewajiban atau keikhlasan.
Aspek | Tafsir KEDUA | Tafsir KETIGA (Abu Al-‘Aliyah) |
---|---|---|
Fokus utama | Ilmu dijadikan sumber nafkah tetap | Ilmu dijadikan alat jasa berbayar |
Masalah utama | Gaji rutin tanpa pengajaran aktif | Menyampaikan ilmu hanya jika dibayar |
Dampak | Menurunkan semangat menyebar ilmu | Menyembunyikan ilmu jika tak dibayar |
Sifat pelanggaran | Kebiasaan hidup duniawi | Menjual ilmu sebagai komoditas |
4. Menukar perintah Allah demi dunia yang sedikit
Pendapat lain menyatakan bahwa “harga murah” maksudnya adalah dunia dengan segala kesenangan yang sebentar dan remeh. Mereka menukar perintah dan larangan Allah demi dunia tersebut.
Contoh: Menolak menerapkan hukum Allah atau menyampaikan kebenaran karena takut kehilangan jabatan atau harta.
Apakah Berarti Tidak Boleh Mengambil Upah dari Ilmu Agama?
Jawabannya: Boleh, asalkan tujuannya tetap ikhlas karena Allah, dan imbalan itu bukan syarat untuk menyampaikan ilmu.
Dalil 1: Upah atas Al-Qur’an adalah yang paling layak
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“Sesungguhnya yang paling layak kalian ambil upah darinya adalah Kitabullah.” (HR. Bukhari no. 5737)
Artinya, mengambil imbalan dari pengajaran Al-Qur’an adalah hal yang diperbolehkan selama tidak menjadikan upah sebagai tujuan utama.
Dalil 2: Hafalan Al-Qur’an Sah Menjadi Mahar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan seorang sahabat dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an,
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
“Aku telah menikahkanmu dengannya dengan (mahar) apa yang kau hafal dari Al-Qur’an.” (HR. Bukhari no. 5029)
Jika hafalan Al-Qur’an dapat menjadi mahar, maka pemanfaatan ilmu Al-Qur’an dalam bentuk lainnya—seperti karya tulis, pengajaran, atau ceramah—juga layak diberi apresiasi materi.
Yang dilarang adalah menjadikan ayat Allah sebagai alat komersial murni, atau menyembunyikan kebenaran demi keuntungan dunia. Namun jika seseorang mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu agama dengan niat lillāh, lalu mendapat imbalan, itu bukanlah bagian dari “menjual ayat Allah.”
Baca juga: Upah Mengajarkan Al-Qur’an, Halalkah?
Apakah Seminar Agama Boleh Dikenakan Biaya?
Jawaban: Boleh selama syarat-syaratnya terpenuhi.
Menarik biaya besar atau mahal untuk seminar, dauroh, atau sekolah agama diperbolehkan jika:
- Memang ada biaya operasional besar (hotel, konsumsi, pembicara dari luar, media, alat bantu, dll).
- Ada nilai tambah dari segi kenyamanan, fasilitas, intensitas, atau kualitas layanan.
- Peserta tetap diberi pilihan (misal: versi gratis, beasiswa, atau akses terbatas terbuka).
Yang tidak boleh:
- Menjadikan ilmu agama eksklusif untuk yang mampu bayar saja, tanpa memberi alternatif atau menjadikannya ajang bisnis murni yang menyingkirkan niat dakwah.
Jadi, tidak termasuk “menjual ayat Allah dengan harga murah”, karena konteksnya berbeda: bukan menyembunyikan, mengubah, atau menyalahgunakan wahyu, tetapi mendukung proses dakwah dan pendidikan.
Gaji untuk Guru Agama: Upah atau Menjual Ayat?
Jawabannya: Upah itu boleh, bahkan disepakati ulama.
Imam Ibn Rusyd—seorang faqih besar dari kalangan Malikiyyah—menyatakan bahwa para ahli hukum di Madinah sepakat membolehkan mengambil upah atas pengajaran Al-Qur’an dan agama. Ini menunjukkan bahwa praktik tersebut telah dikenal sejak masa awal Islam dan dianggap wajar selama dilakukan dengan niat yang benar.
Beliau juga menekankan bahwa jika pada masa lalu hal ini dibolehkan, maka pada masa sekarang hal itu lebih layak untuk dibenarkan, mengingat kebutuhan hidup yang semakin kompleks dan biaya pendidikan yang juga meningkat.
Maka, pengajaran agama dengan menerima imbalan bukanlah bentuk menjual atau menukar ayat Allah, melainkan justru upaya untuk menyebarluaskan wahyu dan mengokohkan pemahaman syariat kepada umat.
Upah dalam konteks ini adalah bentuk penghargaan terhadap ilmu dan dakwah, bukan komersialisasi ayat-ayat Allah.
Apa Batasannya? Ini Bedanya yang Dilarang dan yang Dibenarkan
Yang Dilarang | Yang Diperbolehkan |
---|---|
Mengubah kebenaran demi harta atau jabatan | Mengajarkan Al-Qur’an dengan ikhlas meskipun mendapat imbalan |
Menyembunyikan ilmu karena tidak dibayar | Menulis, mengajar, atau berdakwah dan diberi penghargaan |
Menyampaikan agama semata demi dunia | Menyampaikan agama karena Allah, lalu menerima kompensasi |
Apakah Guru Agama yang Digaji Pasti Tidak Ikhlas?
Tidak. Menerima gaji tidak otomatis berarti tidak ikhlas.
Ikhlas adalah urusan niat dalam hati—mengajar karena mengharap ridha Allah.
Gaji atau imbalan adalah urusan duniawi yang sah, sebagai penghargaan atas waktu, tenaga, dan kebutuhan hidup guru agama.
Jadi, bisa saja seseorang tulus lillah (karena Allah), lalu menerima imbalan sebagai bentuk penghargaan. Yang salah adalah mengajar agama demi uang, bukan mengajar agama lalu diberi uang.
Fakta | Penjelasan |
---|---|
Mengajar agama lalu mendapat gaji | Boleh, asal niat tetap karena Allah |
Mengajar agama hanya demi uang | Tercela, termasuk menjual ayat |
Menolak menyampaikan ilmu wajib kecuali dibayar | Termasuk dosa dan menyembunyikan ilmu |
Ikhlas itu di hati. Bukan berarti harus miskin. Para guru agama tetap berhak hidup layak, dan masyarakat wajib menghargai perjuangan mereka secara lahir dan batin.
Semoga manfaat.
–
24 Ramadhan 1446 H @ Pesantren Darush Sholihin
Artikel www.rumaysho.com