Kaedah Fikih (4), Ketika Dua Mafsadat Bertabrakan
Postingan kali ini adalah kelanjutan dari pelajaran kaedah fikih sebelumnya. Kaedah fikih kali ini mengangkat masalah ketika ada dua mafsadat (bahaya) terjadi di satu waktu, keduanya sama-sama haram dan mesti dilakukan salah satunya saat itu, manakah yang mesti dipilih? Kaedah inilah yang bisa menjawabnya.
وَضِدُّ تَزَاحُمُ المفَاسِدِ
يُرْتَكَبُ الأَدْنَى مِنَ المفَاسِدِ
Lawannya, jika bertabakan dua mafsadat,
Pilihlah mafsadat yang paling ringan
Kaedah fikih ini adalah kebalikan dari kaedah sebelumnya (kaedah fikih: ketika dua maslahat bertabarakan). Jika seseorang tidak dapat meninggalkan dua mafsadat (kerusakan) sekaligus, ia hanya mampu meninggalkan salah satunya namun tetap melakukan mafsadat yang lain, maka ketika itu, ia hendaklah memilih mafsadat (bahaya) yang lebih ringan agar tidak terjerumus dalam mafsadat yang lebih besar.
Di antara dalil kaedah di atas,
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173). Di sini nampak ada dua mafsadat. Mafsadat pertama, diri bisa binasa (mati). Mafsadat kedua, memakan bangkai. Ketika bertabrakan dua mafsadat semacam ini, maka yang ditinggalkan adalah maslahat yang lebih besar dan memilih mafsadat lebih ringan yaitu memakan bangkai.
Mafsadat ada yang haram, ada yang makruh. Ada mafsadat yang besar dan ada mafsadat yang kecil. Maka yang dipilih adalah mafsadat yang lebih ringan demi menjauhi mafsadat yang lebih besar.
Beberapa kaedah turunan dari kaedah di atas:
1- Kaedah:
الضرر لا يزال بالضرر
“Kerusakan tidak bisa dihilangkan dengan kerusakan.”
Di antara contoh kaedah:
– Barangsiapa yang terpaksa dalam keadaan darurat mengambil harta orang lain seperti makanan, ia boleh memanfaatkannya tanpa izin atau ridho pemiliknya. Akan tetapi jika si pemilik malah mendapatkan dhoror (bahaya), maka tidak dibolehkan karena ‘tidak boleh menghilangkan dhoror dengan mendatangkan dhoror lainnya’.
2- Kaedah:
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghilangkan mafsadat lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.”
Di antara contoh kaedah:
– Jika ada hewan yang haram dimakan (contoh: keledai jinak) dikawinkan silang dengan hewan yang halal dimakan (contoh: kuda), maka keturunannya haram dimakan karena menghilangkan mafsadat lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.
Catatan: Kaedah ini berlaku jika mafsadat dan maslahat itu sama. Jika maslahat malah lebih besar dari mafsadat, maka tetap didahulukan maslahat. Lihat kaedah selanjutnya.
3- Kaedah: Jika ada maslahat yang lebih besar namun ada mafsadat ketika itu, maka tetap ketika itu memilih maslahat walau dengan menerjang mafsadat.
Di antara contoh kaedah:
– Ada orang sakit yang tidak mampu berwudhu atau tidak mendapati air, begitu pula debu. Mafsadat yang akan diperoleh adalah shalat tanpa thoharoh atau bersuci. Namun ada maslahat yaitu mengerjakan shalat. Manakah yang didahulukan? Apakah ia meninggalkan shalat atau meninggalkan bersuci? Jawabannya, tetap ia shalat walau tidak dalam keadaan thoharoh (bersuci).
– Taat pada pemerintah yang zholim. Taat kepada pemimpin yang zholim tentu suatu mafsadat. Namun ada maslahat yang lebih besar yaitu bersatunya umat. Maslahat ini lebih besar dari mafsadat, maka didahulukanlah maslahat tersebut. Maka pemerintah yang zholim tetap ditaati karena maslahat yang lebih besar di balik itu dan mafsadat yang ada itu ringan.
Penjelasan kaedah di atas disarikan dari penjelasan guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri -semoga Allah senantiasa menjaga beliau- dalam kitab beliau, Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah.
Moga kaedah fikih di atas menjadi ilmu yang bermanfaat. Semoga Allah senantiasa memberi kita keistiqomahan dalam mengkaji ilmu-ilmu islam. Wallahu waliyyut taufiq.
@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 4 Muharram 1433 H
Referensi:
Al Qowa’idul Fiqhiyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darul Haromain, tahun 1420 H.
Syarh Al Manzhumatus Sa’diyah fil Qowa’id Al Fiqhiyyah, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy Syatsri, terbitan Dar Kanuz Isybiliya, cetakan kedua, 1426 H.