Ilmu Ushul

Makruh Dibolehkan Ketika Ada Hajat

Tahukan perkara makruh? Yaitu perkara yang ditinggalkan itu lebih baik. Sedangkan hajat itu adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan.

Ada kaedah yang sangat membantu ketika memahami makruh sebagai berikut,

الكَرَاهَةُ تَزُوْلُ بِالحَاجَةِ

“Suatu yang makruh menjadi hilang karena ada hajat.”

Dalil dari kaedah tentang makruh di atas di antaranya adalah dalil berikut.

Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Bukhari, no. 568). Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah begadang bersama Abu Bakar membicarakan urusan kaum muslimin. Hal ini dikatakan oleh Umar bin Al-Khattab, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Tirmidzi, no. 169. Ini menandakan suatu yang makruh dibolehkan ketika ada hajat.

Ibnul ‘Arabi rahimahullah mengatakan, “Tidur sebelum Isya dimakruhkan karena dikhawatirkan melewatkan waktu shalat Isya. Sedangkan begadang bakda Isya dimakruhkan pada perkara yang bukan untuk menuntut ilmu, kebaikan, dan hajat. Namun jika maksud begadang demi ilmu dan menunaikan hajat, seperti itu dibolehkan.” (Al-‘Aridhah, Ibnul ‘Arabi, 1:227, dinukil dari Al-Haajatu Asy-Syar’iyyah Hududuha wa Qawa’iduhaa, hlm. 131)

Contoh lagi, mencicipi makanan saat berpuasa itu makruh. Namun dibolehkan ketika dibutuhkan.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الخَلَّ أَوْ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ

Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk sampai ke kerongkongan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf no. 9277. Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ no. 937 mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mencicipi makanan terlarang bagi orang yang tidak memiliki hajat, tetapi hal ini tidak membatalkan puasanya. Adapun untuk orang yang memiliki hajat, maka hukumnya seperti berkumur-kumur.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 25:266-267)

Semoga memahami kaedah ini. Allahumma innaa nas-aluka ‘ilman naafi’a.

 

Referensi:

  1. Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih. (File PDF)
  2. Al-Haajatu Asy-Syar’iyyah Hududuha wa Qawa’iduhaa. Ahmad Kaafi. Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah. hlm. 130-132.

 

Baca Juga:


 

Darush Sholihin, 5 Syawal 1441 H, 28 Mei 2020

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumasyho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button