Tafsir Al Qur'an

Tafsir Ayat Puasa (15): Doa Kita di Bulan Ramadhan Pasti Terkabul, Jangan Khawatir

Harus penuh keyakinan kalau doa-doa kita akan dikabulkan di bulan Ramadhan.

 

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), “Aku itu dekat”. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)

 

Penjelasan Ayat

 

Ayat “dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku”. Yang dituju dalam bertanya yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang dimaksud hamba-hamba-Ku adalah yang beriman. “Bertanya tentang Aku”, yaitu apakah Allah itu dekat ataukah jauh. Maka katakanlah Allah itu dekat dengan ilmu-Nya, Allah pun mudah mengabulkan, dan mendengar setiap doa hamba-Nya.

Lalu disebut “aku mengabulkan permohonan”, yaitu maksudnya Allah mendengarnya dan mengabulkannya.

“Idza da’aan”, maksudnya ketika ia berdoa yaitu benar dalam berdoa. Bentuknya adalah:

  • Hati dalam keadaan hadir
  • Memenuhi syarat-syarat terkabulnya doa seperti ikhlas dalam berdoa
  • Menjauhkan diri dari hal-hal yang membuat doa tidak terkabul seperti makanan yang haram dan berlebihan dalam doa.

“Maka penuhilah segala perintah-Ku”, artinya jika kita mau taat dan patuh kepada Allah, Allah akan membalas dan memberikan ganjaran.

Lalu diperintahkan juga dalam ayat untuk beriman kepada Allah, yaitu meyakini bahwa Allah itu dekat dan mengabulkan setiap doa hamba.

Jika apa yang diperintahkan dalam ayat dipenuhi, maka seseorang disebut berada di atas kebenaran. Makna ar-rusydu adalah baik dalam berbuat.

 

Allah itu Dekat

 

Selain ayat di atas,terdapat dalil dalam Shahih yang menunjukkan bahwa Allah itu dekat. Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِى تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَةِ أَحَدِكُمْ

Yang kalian seru adalah Rabb yang lebih dekat pada salah seorang di antara kalian daripada urat leher unta tunggangan kalian.” (HR. Muslim, no. 2704)

Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa ada seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُوْلَ اللهِ : أَقَرِيْبٌ رَبُّنَا فَنُنَاجِيْهِ أَمْ بَعِيْدٌ فَنُنَادِيْهِ ؟

“Wahai Rasulullah, apakah Rabb kami itu dekat lantas cukup kami bermunajat dengan-Nya ataukah jauh sehingga kami harus menyeru-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diam dan turunlah ayat yang kita bahas di atas. (HR. Ibnu Abi Hatim, 2:767, Ibnu Jarir, 2:158. Di dalamnya ada perawi yang majhul–yang tidak diketahui–yaitu Ash-Shult bin Hakim bin Mu’awiyah, ia, ayah, dan kakeknya majhul. Lihat tahqiq Abu Ishaq Al-Huwaini terhadap Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2:63).

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud Allah itu dekat yaitu Allah dekat dengan kalian dari urat leher hewan tunggangan kalian. Namun kedekatan yang dimaksud di sini adalah dalam doa. Kedekatan yang dimaksud bukanlah pada setiap kedekatan. Namun hanya ada pada sebagian keadaan. Sebagaimana disebut pula dalam hadits, ‘Tempat yang seorang hamba sangat dekat dengan Rabbnya yaitu ketika ia sujud.’ Ada hadits lainnya pula yang semisal itu.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 5:129).

 

Dekat dan Allah Tetap Mahatinggi

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, “Kedekatan dan kebersamaan Allah yang disebutkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah tidaklah bertentangan dengan ketinggian Allah Ta’ala. Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya dalam setiap sifat-sifat-Nya. Allah Mahatinggi, namun dekat. Dia Maha Dekat, namun tetap berada di ketinggian.”

 

Faedah Ayat

 

Pertama: Ayat ini menunjukkan keutamaan doa dari orang yang berpuasa.

Kedua: Sebagian ulama menganggap bahwa penyebutan doa di akhir ayat puasa menunjukkan kita diperintahkan bersungguh-sungguh untuk berdoa di akhir puasa menjelang berbuka.

Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ

Sesungguhnya doa orang yang berpuasa ketika berbuka tidaklah tertolak.” (HR. Ibnu Majah, no. 1753. Dalam sanadnya terdapat Ishaq bin ‘Ubaidillah. Ibnu Hibban memasukkan perawi ini dalam perowi tsiqoh. Perowi lainnya sesuai syarat Bukhari. Lihat catatan kaki Zaad Al-Ma’ad, 2:49-50).

Ketiga: Pengabulan doa lebih umum dari pengabulan permintaan tertentu. Karena Allah pasti mengabulkan doa dari orang yang berdoa walaupun dengan berbagai macam bentuk.

Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَ. قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُ

Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan doanya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdoa.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan doa-doa kalian.” (HR. Ahmad, 3:18. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dari hadits di atas, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah menyatakan bahwa doa bisa jadi tertunda pengabulannya. Tertundanya pengabulan tersebut membuat hamba terus berharap, maka ia akan bertambah pahala. Hal ini tentu lebih utama dari doa yang ia panjatkan. Atau bentuk pengabulan juga bisa dengan dihindarkan dari suatu kejelekan, dan itu lebih besar dari sesuatu yang ia minta dalam doa. Atau bisa jadi doa tadi jadi simpanan di akhirat, ia diberikan pahala dan ganjaran. Yang terakhir ini tentu lebih utama dari yang ia minta dalam doa. Intinya kesemuanya menunjukkan bahwa bentuk pengabulan Allah dengan berbagai macam tadi lebih utama dari pengabulan doa secara spesifik sesuai yang diminta. Lihat Tafsir Az-Zahrawain, hlm. 299-300.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fath Al-Bari (11:96), “Setiap yang berdoa pasti akan dikabulkan, akan tetapi ada berbagai macam bentuk pengabulan. Terkadang terwujud seperti yang diminta. Terkadang pula didapatkan penggantinya.”

Keempat: Doa adalah sebab terkuat untuk menggapai harapan. Karena Allah sendiri yang memerintahkan kita untuk berdoa, tak mungkin disia-siakan.

Kelima: Kalau doa tidak terkabul, bisa jadi karena sebab yang berdoa sendiri. Keadaan orang yang berdoa misalnya hatinya tidak hadir saat berdoa, lalai saat berdoa, atau makan makanan yang haram. Atau bisa jadi tidak terkabulnya doa sesuai yang diminta karena Allah sudah mengganti dengan yang lain. Atau bisa jadi pengabulannya tertunda kelak di akhirat dan tentu lebih maslahat untuk dunia dan akhirat kita.

Keenam: Doa adalah ibadah tersendiri. Maka setiap kali orang berdoa, ia mendapatkan ganjaran, terserah doa itu terkabul ataukah tidak. Bahkan jika seorang hamba tidak berdoa, Allah murka kepadanya.

Ketujuh: Ayat yang kita kaji menunjukkan Maha Baiknya Allah dalam memberi.

Kedelapan: Ada keutamaan doa bagi orang yang dalam keadaan susah seperti orang yang berpuasa, musafir, orang yang terzalimi, orang yang berada dalam kegentingan.

Kesembilan: Pengaruh jujur atau benar dalam berdoa.

Kesepuluh: Kembali pada Allah dan taat kepada-Nya adalah sebab hidayah meraih kebenaran.

Kesebelas: Mulianya orang yang beribadah kepada Allah karena disebut dalam ayat dengan kalimat ‘ibaadiy’ (hamba-hamba-Ku).

Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

  1. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim li Al-Imam Ibnu Katsir. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  2. Tafsir Az-Zahrawain – Al-Baqarah wa Ali Imran. Cetakan pertama, Tahun 1437 H. Muhammad Shalih Al-Munajjid. Penerbit Obeikan.

 


 

Catatan Ramadhan #06 @ Darush Sholihin, Panggang Gunungkidul

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 

Artikel yang Terkait

2 Komentar

  1. Tadz… Afwan ana mau bertanya sesuatu yang mengganjal di hati….
    Bagaimana ketika kita mengeringkan lantai yang basah dengan lap yg terkena najis hukmi yang mana pada saat kita gunakan kita tidak tahu ada najis di lap tersebut, baru kita tahu setelah beberapa saat lamanya…. mohon petunjuknya tad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button