Faedah Surat Yasin: Manusia dari Air Mani
Sekarang kita melanjutkan kembali tafsir dari surat Yasin ayat 77.
Tafsir Surah Yasin
Ayat 77
Allah Ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ يَرَ الْإِنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ
“Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!” (QS. Yasin: 77)
Faedah dari Ayat
- Manusia itu diciptakan dari keadaan lemah, hanya dari mani yang hina.
- Realitanya manusia dari suatu yang lemah, namun akhirnya sombong, angkuh, jadi penantang yang nyata.
- Harusnya manusia kalau melihat dari asal penciptaannya tidak menjadi orang sombong dan zalim.
- Berdebat untuk membela kebatilan itu tercela. Namun berdebat untuk membela kebenaran itu terpuji sebagaimana dalam ayat lainnya (yang artinya), “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)
- Sebenarnya ada berbagai pendapat kepada siapakah yang dimaksud ayat ini turun. Ada yang menyatakan kepada Al-‘Ash bin Wail Ash-Sahmi, ada juga yang menyatakan kepada ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Ada yang mengatakan ditujukan kepada Abu Jahl Ibnu Hisyam. Ada juga yang menyatakan kepada Umayyah bin Khalaf. Juga ada yang mengatakan kepada Ubay bin Khalaf Al-Jumahi. Pendapat ini semua disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya Zaad Al-Masiir, 7:40-41. Sedangkan Ibnu Katsir menyatakan bahwa al-alif wa al-laam dalam ayat ini adalah jenis manusia. Berarti ayat ini berlaku bagi siapa saja yang mengingkari al-ba’ats, hari berbangkit atau hari kiamat. Yaitu kalau Allah mampu menciptakan manusia dari mani yang lemah, tentu mampu untuk membangkitkan manusia setelah matinya pada hari kiamat. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:359.
- Kita disuruh melihat awal kita diciptakan dari mani yang hina, agar kita bisa meninggalkan perdebatan.
- Ayat ini juga untuk pengingat nikmat Allah, agar kita tidak jadi pendebat yang nyata untuk menentang adanya hari berbangkit.
- Jika Allah menciptakan kita dari sesuatu yang tidak ada, maka tentu mampu mengembalikan kita setelah tercerai berai.
Proses Penciptaan Manusia Hingga Ditetapkan Takdir
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan,
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
“Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani (nuthfah) selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah (‘alaqah) selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging (mudhgah) selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan diperintahkan untuk ditetapkan empat perkara, yaitu rezekinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain-Nya. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta. Akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta. Akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.” (HR. Bukhari, no. 6594 dan Muslim, no. 2643)
Beberapa Catatan tentang Air Mani
Pertama: Mani itu cairan yang kental, memancar, keluar ketika puncaknya syahwat.
Kedua: Dalam bahasa Arab dikenal istilah “الاستمناء”, yaitu memaksa keluarnya mani. Atau secara istilah didefinisikan, “الاستمناء” adalah mengeluarkan mani dengan cara selain jimak (bersenggama/coitus) dan cara ini dinilai haram seperti mengeluarkan mani tersebut dengan tangan secara paksa disertai syahwat, atau bisa pula “الاستمناء” dilakukan antara pasutri dengan tangan pasangannya dan cara ini dinilai boleh (tidak haram).
Ketiga: Air mani itu suci, demikian menjadi pendapat Syafi’iyah yang paling kuat dan pendapat ulama Hambali.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menghilangkan (menggosok) air mani dari bajunya dengan daun idzkhir, kemudian shalat dengannya. Dan beliau pun pernah mengerik bekas air mani kering dari bajunya, kemudian shalat dengannya” (HR. Ahmad, 6:243 dan Ibnu Khuzaimah no. 294; hasan)
Taqiyuddin Abu Bakr Al-Hishni Ad-Dimasyqi rahimahullah mengatakan, “Seandainya mani itu najis, maka tidak cukup hanya dikerik (dengan kuku) sebagaimana darah dan lainnya. Sedangkan riwayat yang menyatakan bahwa mani tersebut dibersihkan dengan dicuci, maka ini hanya menunjukkan anjuran dan pilihan dalam menyucikan mani tersebut. Inilah cara mengkompromikan dua dalil di atas. Dan menurut ulama Syafi’iyah, hal ini berlaku untuk mani yang ada pada pria maupun wanita, tidak ada beda antara keduanya.” (Kifayah Al-Akhyar, hlm. 107)
Keempat: Jumhur ulama menyatakan bahwa keluar mani membatalkan wudhu, kecuali ulama Syafi’iyah berpandangan bahwa keluar mani tidak membatalkan wudhu (namun diharuskan mandi wajib).
Kelima: Keluarnya mani pada laki-laki dan perempuan menyebabkan wajib mandi. Begitu pula bertemunya dua kemaluan walau tidak keluar mani tetap wajib mandi.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ
“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya, pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348)
Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Walaupun tidak keluar mani.”
Keenam: Para fuqaha berpendapat bahwa orang yang berpuasa jika mencium istrinya dan tidak keluar mani, puasanya tidaklah batal.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium istrinya padahal beliau sedang puasa. Beliau mencumbu istrinya padahal sedang puasa. Akan tetapi beliau mampu menahan syahwatnya.” Muttafaqun ‘alaih. Lafazhnya dari Muslim. Ditambahkan dalam riwayat lain, “Yaitu di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari, no. 1927 dan Muslim, no. 1106)
Namun jika mencium istri sampai keluar mani puasanya batal, karena dihukumi mirip dengan berjimak (berhubungan intim).
Semoga bermanfaat.
Referensi:
- Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah.Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
- At-Tashil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Juz Yasin. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
- Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Abu Ishaq Al-Huwaini. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Tafsir Al-Qur’an Al-Karim – Surat Yasin. Cetakan kedua, tahun 1424 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsaraya.
- Tafsir As-Sa’di.Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
- Zaad Al-Masiir. Ibnul Jauzi (Al-Imam Abul Faraj Jamaluddin ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Al-Jauzi Al-Qurosyi Al-Baghdadi). Penerbit Al-Maktab Al-Islami.
—
Disusun di #darushsholihin, Panggang, Gunungkidul, 8 Jumadats Tsaniyyah 1440 H (Rabu sore, 13 Februari 2019)
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com