Akhlaq

Bulughul Maram – Adab: Tidak Berbisik-Bisik dan Tidak Menyuruh Saudaranya Berdiri

Ada adab yang diajarkan dari kitab Bulughul Maram yaitu tidak berbisik-bisik tanpa melibatkan yang ketiga, begitu pula ada adab bermajelis, tidak menyuruh yang lain berdiri dari tempat duduknya.

 

Hadits #1450

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم -: «إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً، فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,  beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Jika kalian bertiga, maka janganlah berbisik-bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, sampai kalian bergaul dengan manusia. Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih.” (Muttafaqun ‘alaih. Lafaznya adalah lafaz Muslim) [HR. Bukhari, no. 6290 dan Muslim, no. 2184]

Takhrij Hadits

 

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Al-Isti’dzan (meminta izin), Bab “Jika lebih dari tiga orang, maka tidaklah mengapa berbicara rahasia dan berbisik-bisik”. Hadits ini dikeluarkan pula oleh Imam Muslim dari jalur Jarir, dari Manshur, dari Abu Wail, dari ‘Abdullah. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari jalur Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika ada tiga orang, maka janganlah dua orang berbisik-bisik, tanpa menyertakan yang ketiga.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar membawakan hadits Ibnu Mas’udradhiyallahu ‘anhukarena hadits tersebut lebih lengkap dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Dalam hadits Ibnu Mas’ud disertakan ‘illah atau sebab pelarangan.

 

Kosakata Hadits

 

“فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ”, disebutkan at-tanaji yaitu pembicaraan rahasia, maksudnya adalah berbicara kepada seseorang diam-diam dan orang ketiga tidak boleh mendengar atau tidak mengetahui apa yang dibicarakan walaupun ada kemungkinan sebagian kalimat didengar.

Termasuk juga dalam hal ini adalah berbicara dengan bahasa asing yang tidak dipahami.

Bentuk kalimat dalam hadits ini adalah kalimat berita (insya’), namun maknanya adalah larangan (nahi).

Bagaimana jika yang berbisik-bisik adalah lima atau sepuluh orang dan meninggalkan satu orang sendirian yang tidak boleh ikut mendengar? Jawabannya, sama terlarangnya, bahkan bisa lebih parah.

“حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ” yang dimaksud adalah sampai yang ketiga bercampur dengan yang lain, berarti bertambahnya jumlah.

“أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ”, artinya karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih. Inilah hikmah terlarangnya berbisik-bisik di antara dua orang, lalu meninggalkan yang ketiga, tentu yang ketiga akan begitu sedih. Kenapa dikatakan bersedih dikarenakan:

  1. Jika mau dianggap husnuzhan, orang ketiga tadi mungkin beranggapan bahwa barangkali dua orang yang berbisik tadi tidak melihatnya.
  2. Jika mau dianggap su’uzhan, orang ketiga tadi menganggap bahwa mereka yang berbisik-bisik itu sedang membicarakan jelek dirinya di belakangnya.

 

Faedah Hadits

 

  1. Sempurnanya syariat Islam dan Islam benar-benar mengajarkan akhlak yang luhur, serta Islam memperhatikan maslahat bagi hamba.
  2. Dilarang dua orang berbisik-bisik jika ada orang ketiga. Secara tekstual (zhahir hadits) menunjukkan maksud larangan adalah larangan haram karena diberikan ta’lil (alasan) bahwa hal itu akan membuat orang ketiga sedih.
  3. Jika ada banyak orang berbicara rahasia dan meninggalkan satu orang yang tidak diajak bicara, maka tentu hal itu lebih terlarang, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Qurthubi dalam Al-Mufhim, 5:525.
  4. Jika ada empat orang lalu ada dua orang di antara mereka yang berbisik-bisik, sedangkan yang lain tidak ikut diajak bicara berarti tidaklah bermasalah. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, riwayatnya disebutkan dalam Al-Adab Al-Mufrad, hadits no. 1170 dan Abu Daud, no. 4852.
  5. Jika ada dua orang yang berbisik-bisik tanpa ada orang ketiga pada awal pembicaraan, kemudian orang ketiga datang, maka pembicaraan tadi tidaklah bermasalah karena tidak ada makna terlarang seperti yang dimaksud dalam hadits.
  6. Larangan berbisik-bisik ini dikarenakan akan mengganggu muslim yang lain. Namun kalau gangguan itu tidak ada, maka tidaklah masalah. Misalnya dua orang berbisik-bisik dan ketika itu hadir jama’ah yang banyak atau ada dua orang berbisik-bisik namun sudah meminta izin kepada orang ketiga.

 

Hadits #1451

وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم: «لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ, ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ, وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا, وَتَوَسَّعُوا». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seseorang duduk mengusir orang lain dari tempat duduknya, kemudian ia duduk di tempat tersebut, namun ucapkanlah berilah kelonggaran dan keluasan.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 627 dan Muslim, no. 2177]

 

Takhrij Hadits

 

Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Al-Isti’dzan (meminta izin), Bab Firman Allah,

إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا

Berlapang-lapanglah dalam majlis, maka lapangkanlah.” (QS. Al-Mujadilah: 11). Hadits ini dari jalur Nafi’, ‘Abdullah bin ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambahwasanya beliau bersabda, “Tidaklah boleh seseorang menyuruh seseorang berdiri dari tempat duduknya…”. Namun lafaz ini adalah dari Muslim.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

لاَ يُقِيْمَنَّ أَحَدُكُمْ رَجُلاً مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ ، وَلكِنْ تَوَسَّعُوْا وَتَفَسَّحُوْا وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا قَامَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ مَجْلِسِهِ لَمْ يَجْلِسْ فِيهِ

Janganlah seorang di antara kalian menyuruh berdiri lainnya dari tempat duduknya kemudian ia sendiri duduk di situ. Tetapi berikanlah keluasan tempat serta kelapangan (pada orang lain yang baru datang).” Ibnu Umar apabila ada seorang yang berdiri dari tempat duduknya karena menghormatinya, ia tidak suka duduk di tempat orang tadi itu. (HR. Bukhari, no. 6270 dan Muslim, no. 2177)

Kosakata Hadits

 

“لَا يُقِيمُ”, janganlah menyuruh orang itu berdiri. Huruf “لَا” di sini sebenarnya bermakna nafi yang artinya tidak. Dalam riwayat Muslim disebutkan “laa yuqiimanna”, artinya janganlah seseorang menyuruh berdiri dengan lafaz larangan dan nun taukid. Dalam lafaz Bukhari digunakan kata “nahaa” yang artinya dilarang berarti dengan makna “janganlah”.

“تَفَسَّحُوا, وَتَوَسَّعُوا”, maksudnya adalah lapangkanlah tempat supaya ada yang dapat tempat untuk duduk serta merapatkan satu dan lainnya supaya ada yang bisa mengambil tempat untuk duduk.

 

Faedah Hadits

 

  1. Diharamkan menyuruh yang lain berdiri dari tempat duduknya lalu ia sendiri duduk di situ.
  2. Dianjurkan untuk memberikan keluasan ketika duduk dalam majelis yaitu bentuknya bisa dengan menyuruh untuk melapangkan tempat supaya yang lain bisa masuk duduk atau bisa pula menyuruh merapatkan tempat duduk.
  3. Hendaklah bisa mengajarkan pada yang lainnya agar tidak perlu berdiri untuk mempersilakan yang lain yang baru datang untuk duduk di tempatnya.
  4. Kalau ada yang duduk lebih dahulu kemudian dengan senang hati mempersilakan yang lain duduk di tempat duduknya, maka asalnya masih dibolehkan. Perbuatan Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan di atas menunjukkan sikap wara’ dari Ibnu ‘Umar. Sikap wara’ di sini disebabkan dua hal:

(a) Boleh jadi orang tersebut sungkan kepada Ibnu ‘Umar lalu ia bangkit berdiri dengan perasaan tidak enak;

(b) Mengutamakan orang lain dalam perkara perkara qurbah atau ibadah (disebut itsar), hukumnya makruh. Oleh karena itu Ibnu ‘Umar tidak menduduki tempat tersebut agar orang yang mempersilakan duduk di tempat tersebut tidak melakukan perkara yang makruh atau khilaful awla’ (menyelisihi yang lebih utama). Dan patut diingat bahwa mengutamakan orang lain adalah tindakan yang terpuji dalam urusan dunia, bukan dalam urusan ibadah sebagaimana kata ulama Syafi’iyah.  (Lihat Syarh Shahih Muslim, 14:144)

  1. Jika syariat ini diikuti, umat Islam akan nampak saling mencintai, bukan saling menjauh dan membenci.
  2. Di antara bentuk sikap tawadhu’, jika ada yang mengagungkan kita, maka kita menyatakan diri kita biasa (tidak merasa di atas dari yang lain atau merasa istimewa).

 

Referensi:

  1. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
  2. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 10:25-31.

Diselesaikan di Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 2 Dzulqa’dah 1439 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button