Muamalah

Matan Taqrib: Iqrar (Pengakuan)

Apa itu iqrar?

 

 

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata:

والمُقِرُّ بِهِ ضَرْبَانِ: حَقُّ اللهِ تَعَالَى وَحَقُّ الآدَمِي. فَحَقُّ اللهِ تَعَالَى يَصِحُّ الرُّجُوْعُ فِيْهِ عَنِ الإِقْرَارِ بِهِ، وَ حَقُّ الآدَمِيِّ لاَ يَصِحُّ الرُّجُوْعُ فِيْهِ عَنِ الإِقْرَارِ بِهِ.
وَتَفْتَقِرُ صِحَّةُ الإِقْرَارِ إِلَى ثَلاَثَةِ شَرَائِطَ : البُلُوْغُ وَالعَقْلُ وَالاِخْتِيَارُ. وَإِنْ كَانَ بِمَالٍ اُعْتُبِرَ فِيْهِ شَرْطٌ رَابِعٌ وَهُوَ الرُّشْدُ. وَإِذَا أَقَرَّ بِمَجْهُوْلٍ رُجِعَ إِلَيْهِ فِي بَيَانِهِ .
وَيَصِحُّ الاِسْتِثْنَاءُ فِي الإِقْرَارِ إِذَا وَصَلَهُ بِهِ وَهُوَ فِي حَالِ الصِّحَّةِ وَالمَرَضِ سَوَاءٌ.

Sesuatu yang diikrarkan ada dua, yaitu:

  1. Hak Allah Ta’ala.
  2. Hak sesama manusia.

Jika ikrar itu berhubungan dengan hak Allah Ta’ala, boleh menariknya kembali.

Akan tetapi, jika ikrar itu berhubungan dengan hak sesama manusia, maka tidak boleh menariknya kembali.

Ikrar dianggap sah jika terpenuhi tiga syarat, yaitu:

  1. Orang yang berikrar itu telah baligh.
  2. Orang yang berikrar itu sehat akalnya.
  3. Berikrar atas kemauannya sendiri.

Jika berhubungan dengan harta, maka ada syarat keempat, yaitu orang yang berikrar harus rusydu (bisa mengelola harta dengan baik).

Jika ikrar dilakukan untuk sesuatu yang majhul (tidak jelas), maka harus diminta penjelasan. Menyampaikan pengecualian dalam ikrar adalah sah jika kata ini disambung dengan kalimat sebelumnya. Ikrar dalam keadaan sakit sama saja dengan ikrar dalam keadaan sehat.

 

Penjelasan:

Iqrar secara bahasa artinya penetapan. Iqrar secara istilah syari berarti pemberitahuan bahwa seseorang memiliki sesuatu yang pada yang lain.

 

Hikmah disyariatkannya iqrar

  1. Tampak adanya hak dan mengetahuinya, agar diri terbebas dari hukuman dosa.
  2. Menampakkan muru’ah (marwah diri) dan akhlak yang mulia.
  3. Menjauh dari memakan harta yang haram.

 

Rukun iqrar

  1. Muqirr (al-mu’tarif), yang menetapkan iqrar.
  2. Muqarr lahu, yang ditujukan iqrar (yang dituduh).
  3. Muqarr bihi, yaitu objek iqrar.
  4. Shighah.

 

Macam-macam muqarr bihi

  1. Hak Allah, seperti iqrar (pengakuan) mengenai zina atau pencurian.
  2. Hak manusia, seperti iqrar (pengakuan) mengenai qadzaf (menuduh seseorang berzina tanpa bukti).
  • Jika iqrar berkaitan dengan hak Allah, maka muqirr boleh menariknya kembali. Seperti seseorang mengakui ia mencuri suatu harta kemudian ia rujuk dan menyatakan dirinya berlepas diri, maka hukuman hadd jadi gugur. Adapun terkait dengan harta, maka ia kembalikan kepada pemiliknya yang ia akui bahwa ia mencurinya darinya pertama kali.
  • Adapun hak manusia, setelah pengakuan (iqrar) tidak boleh ditarik kembali.

 

Catatan:

  • Hak Allah itu dibangun di atas musaamahah (pemaafan), sedangkan hak sesama manusia dibangun di atas musyaahah (pelit).

Allah Ta’ala berfirman,

وَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ

Walaupun manusia menurut tabiatnya kikir.” (QS. An-Nisaa’: 128)

  • Yang terkait dengan hak Allah dan hak manusia sekaligus seperti bayar zakat dan kafarat, maka hukumnya disamakan dengan hukum hak manusia yaitu tidak boleh iqrarnya ditarik kembali.

 

Syarat muqirr

  1. Baligh
  2. Berakal
  3. Atas pilihan sendiri (ikhtiyar), tidak boleh iqrar dari orang yang dipaksa.
  4. Rusydu (bisa mengelola harta dengan baik), jika terkait iqrar dengan harta, maka orang yang safih (yang tak bisa mengelola harta dengan baik) dan mahjuur ‘alaih (yang dilarang memanfaatkan harta karena diboikot) tidak sah iqrarnya.

 

Syarat muqarr lahu

  1. Mu’ayyan, harus ditunjuk.
  2. Pantas menerima objek yang jadi iqrar.
  3. Muqirr tidak berdusta.

 

Syarat muqarr bihi

  1. Harta bukan berada pada muqirr ketika iqrar. Harta harusnya berada pada muqarr lahu.
  2. Harta tersebut akan berada pada muqirr walau tertunda.

Catatan:

  • Jika ikrar dilakukan untuk sesuatu yang majhul (tidak jelas), maka harus diminta penjelasan.
  • Menyampaikan pengecualian dalam ikrar adalah sah jika kata ini disambung dengan kalimat sebelumnya.
  • Ikrar dalam keadaan sakit sama saja dengan ikrar dalam keadaan sehat.

 

Bahasan ini kembali kepada hadits

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: «لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ، لَادَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ، وَلَكِنِ البَيِّنَةُ عَلَى المُدَّعِي، وَاليَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ» حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ البَيْهَقِيُّ هَكَذَا، بَعْضُهُ فِي الصَّحِيْحَيْنِ.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya setiap manusia dipenuhi tuntutannya, niscaya orang-orang akan menuntut harta dan darah suatu kaum. Namun, penuntut wajib datangkan bukti dan yang mengingkari dituntut bersumpah.” (HR. Al-Baihaqi, no. 21201 dalam Al-Kubro seperti ini, sebagiannya diriwayatkan dalam Shahihain, yaitu Bukhari, no. 4552 dan Muslim, no. 1711)

Baca juga: Hadits Arbain, Yang Menuduh Harus Datangkan Bukti

 

Referensi:

  • Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.

 

Ditulis 13 Rajab 1444 H di Ponpes Darush Sholihin

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button