Manajemen Qolbu

Dampak Mengutamakan Dunia: Kehidupan Fana vs Keabadian Akhirat

Kehidupan dunia sering kali memikat dengan segala keindahan dan kemewahannya, membuat banyak orang lupa akan akhirat yang abadi. Mereka memilih yang fana daripada yang kekal, mengutamakan kesenangan sesaat di atas kenikmatan yang tak terbatas. Tulisan ini akan mengupas tentang tipuan dunia yang menggerogoti manusia, serta pentingnya menyadari hakikat kehidupan sejati di akhirat.

 

 

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 55-59, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut.

Kebodohan Terbesar: Mengutamakan Dunia atas Akhirat

وَأَعْظَمُ الْخَلْقِ غُرُورًا مَنِ اغْتَرَّ بِالدُّنْيَا وَعَاجَلَهَا، فَآثَرَهَا عَلَى الْآخِرَةِ، وَرَضِيَ بِهَا مِنَ الْآخِرَةِ، حَتَّى يَقُولَ بَعْضُ هَؤُلَاءِ: الدُّنْيَا نَقْدٌ، وَالْآخِرَةُ نَسِيئَةٌ، وَالنَّقْدُ أَحْسَنُ مِنَ النَّسِيئَةِ.

“Manusia yang paling tertipu adalah yang teperdaya oleh kehidupan dunia yang tampak di hadapan mereka. Bahkan, mereka lebih meridhai dan mengutamakan dunia daripada akhirat. Sampai-sampai, sebagian mereka menyatakan: ‘Dunia adalah sesuatu yang kontan, sedangkan akhirat adalah kredit. Kontan lebih bermanfaat dibandingkan kredit.’

 

Kontan Dunia atau Kredit Akhirat?

وَيَقُولُ بَعْضُهُمْ: ذَرَّةٌ مَنْقُودَةٌ، وَلَا دُرَّةٌ مَوْعُودَةٌ.

Sebagian menegaskan: “Sebutir atom yang diberikan secara kontan masih lebih baik daripada mutiara yang dijanjikan.”

 

Kepastian Dunia dan Keraguan Akhirat?

وَيَقُولُ آخَرُ مِنْهُمْ: لَذَّاتُ الدُّنْيَا مُتَيَقَّنَةٌ، وَلَذَّاتُ الْآخِرَةِ مَشْكُوكٌ فِيهَا، وَلَا أَدَعُ الْيَقِينَ بِالشَّكِّ.

Ada juga yang mengungkapkan: “Kelezatan dunia merupakan perkara yang pasti. Sebaliknya, kelezatan akhirat merupakan perkara yang masih diragukan. Saya tidak akan mengganti perkara yang pasti dengan perkara yang meragukan.”

Adapun pernyataan bahwa: “Kontan lebih baik daripada kredit,” maka jawabannya: Jika sesuatu yang kontan dan kredit itu sama nilainya, maka kontan lebih baik dibandingkan kredit. Namun, apabila berbeda, yaitu ketika perkara kredit jauh lebih banyak dan lebih baik, maka tentulah ia yang lebih baik. Lantas, bagaimana seandainya dunia seluruhnya, dari awal hingga akhirnya, hanyalah merupakan satu napas dari sekian banyak napas di akhirat?!

 

Perbandingan Dunia dan Akhirat dalam Hadits

Di dalam al-Musnad karya Imam Ahmad dan at-Tirmidzi, dari al-Mustaurid bin Syaddad, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda,

مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا كَمَا يُدْخِلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ؟

“Tiadalah dunia dibandingkan akhirat, melainkan seperti salah satu dari kalian mencelupkan jarinya ke dalam laut. Hendaklah ia perhatikan apa yang dia dapatkan (dari air yang masih menempel di jarinya).”

 

Kerugian Mengutamakan Dunia: Perbandingan Waktu Dunia dan Akhirat

فَإِيثَارُ هَذَا النَّقْدِ عَلَى هَذِهِ النَّسِيئَةِ، مِنْ أَعْظَمِ الْغَبْنِ وَأَقْبَحِ الْجَهْلِ، وَإِذَا كَانَ هَذَا نِسْبَةَ الدُّنْيَا بِمَجْمُوعِهَا إِلَى الْآخِرَةِ، فَمَا مِقْدَارُ عُمُرِ الْإِنْسَانِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْآخِرَةِ، فَأَيُّمَا أَوْلَى بِالْعَاقِلِ؟ إِيثَارُ الْعَاجِلِ فِي هَذِهِ الْمُدَّةِ الْيَسِيرَةِ، وَحِرْمَانُ الْخَيْرِ الدَّائِمِ فِي الْآخِرَةِ، أَمْ تَرْكُ شَيْءٍ حَقِيرٍ صَغِيرٍ مُنْقَطِعٍ عَنْ قُرْبٍ، لِيَأْخُذَ مَا لَا قِيمَةَ لَهُ وَلَا خَطَرَ لَهُ، وَلَا نِهَايَةَ لِعَدَدِهِ، وَلَا غَايَةَ لِأَمَدِهِ؟

Mendahulukan dunia yang kontan atas akhirat yang kredit, merupakan tipuan terbesar dan kebodohan terburuk. Jika hadits tadi menjelaskan perbandingan antara dunia secara keseluruhan dan akhirat, maka bagaimana pula dengan perbandingan antara usia manusia dan akhirat?

Manakah yang lebih utama bagi orang yang berakal, apakah mengedepankan yang segera untuk jangka waktu yang singkat dan terhalang dari kebaikan abadi di akhirat; ataukah meninggalkan sesuatu yang kecil, hina, dan akan sirna dalam waktu dekat untuk mengambil sesuatu yang tidak terkira nilainya, tidak ada bahayanya, tidak terbatas bilangannya, dan tidak ada limit waktunya?

 

Keagungan Penciptaan Manusia sebagai Bukti Keesaan Allah

وَإِذَا تَأَمَّلَ الْإِنْسَانُ حَالَهُ مِنْ مَبْدَأِ كَوْنِهِ نُطْفَةً إِلَى حِينِ كَمَالِهِ وَاسْتِوَائِهِ تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّ مَنْ عُنِيَ بِهِ هَذِهِ الْعِنَايَةَ، وَنَقَلَهُ إِلَى هَذِهِ الْأَحْوَالِ، وَصَرَّفَهُ فِي هَذِهِ الْأَطْوَارِ، لَا يَلِيقُ بِهِ أَنْ يُهْمِلَهُ وَيَتْرُكَهُ سُدًى، لَا يَأْمُرُهُ وَلَا يَنْهَاهُ وَلَا يُعَرِّفُهُ بِحُقُوقِهِ عَلَيْهِ، وَلَا يُثِيبُهُ وَلَا يُعَاقِبُهُ، وَلَوْ تَأَمَّلَ الْعَبْدُ حَقَّ التَّأَمُّلِ لَكَانَ كُلُّ مَا يُبْصِرُهُ وَمَا لَا يُبْصِرُهُ دَلِيلًا لَهُ عَلَى التَّوْحِيدِ وَالنُّبُوَّةِ وَالْمَعَادِ، وَأَنَّ الْقُرْآنَ كَلَامُهُ، وَقَدْ ذَكَرْنَا وَجْهَ الِاسْتِدْلَالِ بِذَلِكَ فِي كِتَابِ إِيمَانِ الْقُرْآنِ عِنْدَ قَوْلِهِ: {فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ – وَمَا لَا تُبْصِرُونَ – إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ} [سُورَةُ الْحَاقَّةِ: ٣٨ – ٤٠] .

Seandainya manusia memperhatikan proses kejadiannya dari awal, mulai dari setetes air mani hingga menjadi manusia sempurna, maka jelaslah bahwa Dzat yang mengawasinya, mengubahnya dalam berbagai tahap kejadian, serta membentuknya dalam berbagai wujud tidaklah layak bagi-Nya untuk mengabaikan dan membiarkan manusia begitu saja, tanpa memberi perintah, melarang, mengenalkan hak-hak-Nya, memberi ganjaran, dan tidak menghukumnya.

Sekiranya seorang hamba benar-benar memperhatikan secara saksama, tentu segala sesuatu yang dilihat maupun yang tidak dilihatnya akan menjadi dalil baginya tentang tauhid, kenabian, dan hari kebangkitan, serta bahwasanya Al-Qur’an merupakan firman-Nya.

 

Dalil Keberadaan Allah dalam Diri Manusia

Kami menyebutkan dalilnya dalam kitab al-Qur’an, ketika menyebutkan firman Allah,

فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ – وَمَا لَا تُبْصِرُونَ – إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ

“Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa. Maka Aku bersumpah demi apa yang kamu lihat, dan demi apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) itu benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia.” (QS. Al-Haqqah: 38-40)

Kami juga menyebutkan penggalan masalah ini ketika membawakan firman Allah.

وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzāriyāt: 21)

 

Dalil Keberadaan Allah dalam Diri Manusia

وَأَنَّ الْإِنْسَانَ دَلِيلُ نَفْسِهِ عَلَى وُجُودِ خَالِقِهِ وَتَوْحِيدِهِ، وَصِدْقِ رُسُلِهِ، وَإِثْبَاتِ صِفَاتِ كَمَالِهِ.

Ayat ini menunjukkan bahwa adanya manusia merupakan dalil (bukti) bagi diri sendiri akan keberadaan Penciptanya, keesaan-Nya, kebenaran para Rasul-Nya, serta penetapan sifat-sifat kesempurnaan-Nya.

 

فَقَدْ بَانَ أَنَّ الْمُضَيِّعَ مَغْرُورٌ عَلَى التَّقْدِيرَيْنِ: تَقْدِيرِ تَصْدِيقِهِ وَيَقِينِهِ، وَتَقْدِيرِ تَكْذِيبِهِ وَشَكِّهِ.

Dengan demikian, jelaslah bahwa orang yang mengabaikan masalah ini telah tertipu dalam dua kemungkinan yang berbeda; bisa jadi dia membenarkan dan meyakininya atau dia mendustakan dan meragukannya.

 

 

Ditulis pada 13 Rabiuts Tsani 1446 H, 16 Oktober 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button