Dampak Mengutamakan Dunia: Kehidupan Fana vs Keabadian Akhirat
Perbandingan Dunia dan Akhirat dalam Hadits
Akhirat itu Suatu yang Meragukan, Dunia itu Suatu yang Pasti?
Catatan Penting tentang Cinta Dunia
Pertama: Delapan Hal yang Dicintai Manusia
Ada delapan hal yang dicintai manusia, Allah rinci dalam ayat berikut ini.
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24)
Ayat di atas menerangkan tentang orang yang mencintai dunia, yaitu keluarga, harta, bisnis hingga rumah tempat tinggalnya.
Ayat di atas kata Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah dalam Kitab Tauhid menunjukkan ancaman bagi orang yang menjadikan delapan perkara duniawi tersebut lebih daripada agamanya.
Baca juga: Delapan Hal yang Dicintai Manusia dan Cara Mengatasinya
Kedua: Tanda Cinta Dunia
1. Mengorbankan agama dan lebih memilih kekafiran
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bersegeralah melakukan amalan shalih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia.” (HR. Muslim no. 118)
2. Hati jadi lalai dari mengingat akhirat sehingga kurang dalam beramal saleh
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ دُنْيَاهُ أَضَرَّ بِآخِرَتِهِ وَمَنْ أَحَبَّ آخِرَتَهُ أَضَرَّ بِدُنْيَاهُ فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى
“Siapa yang begitu gila dengan dunianya, maka itu akan memudaratkan akhiratnya. Siapa yang begitu cinta akhiratnya, maka itu akan mengurangi kecintaannya pada dunia. Dahulukanlah negeri yang akan kekal abadi (akhirat) dari negeri yang akan fana (dunia).” (HR. Ahmad, 4:412. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairihi.)
Dalam surah Adz-Dzariyat juga disebutkan,
قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ (10) الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ سَاهُونَ (11)
“Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai.” (QS. Adz-Dzariyat: 10-11)
Yang dimaksud “alladzina hum fii ghomroh” adalah mereka buta dan jahil akan perkara akhirat. “Saahun” berarti lalai. As-sahwu itu berarti lalai dari sesuatu dan hati tidak memperhatikannya. Sebagaimana hal ini ditafsirkan dalam Zaad Al-Masir karya Ibnul Jauzi.
Baca juga: Meninggalkan Kesibukan Dunia itu Berat
3. Kurang mendapatkan kelezatan ketika berdzikir
Di dalam Majmu’ah Al-Fatawa (9:312), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan perkataaan ulama Syam yaitu Sulaiman Al-Khawwash, “Dzikir bagi hati kedudukannya seperti makanan untuk badan. Ketika badan sakit, tentu seseorang sulit merasakan lezatnya makanan. Demikian pula untuk hati tidak bisa merasakan nikmatnya dzikir ketika seseorang terlalu cinta dunia.”
Baca juga: Khutbah Jumat, Tanda Cinta Dunia
4. Tanda cinta dunia lainnya adalah:
- gila harta,
- gila jabatan,
- gila kehormatan,
- gila ketenaran;
- hidup mewah dengan pakaian, makanan dan minuman;
- waktunya sibuk mengejar dunia;
- ia mengejar dunia lewat amalan akhirat.
Yang dimaksud mengejar dunia lewat amalan akhirat, contohnya amalan “shalawatin saja” untuk dapat iphone hingga dapat mobil mahal.
Baca juga: Dunia Memang Menggiurkan
Ketiga: Tanda Gila Harta
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ( قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ ( { تَعِسَ عَبْدُ اَلدِّينَارِ, وَالدِّرْهَمِ, وَالْقَطِيفَةِ, إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ, وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ } أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celakalah budak dinar, dirham, dan qathifah (jenis pakaian berbeludru atau kain tenunan berbulu). Jika diberi, ia rida dan jika tidak diberi, ia tidak rida.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 6435]
Pelajarannya:
- Yang dimaksud dengan budak dinar dan dirham adalah semangat dalam mencari dunia dan merendahkan diri sehingga yang menjadi budak semangat dalam mengumpulkan harta, hanya sibuk menjaganya. Orang seperti inilah yang dianggap sebagai pelayan dan budak harta. Ia tenggelam dalam syahwat dunia dan mencarinya.
- Penyebutan dinar, dirham, dan qathifah (pakaian) hanyalah sekadar contoh. Ada juga yang gila kekuasaan, gila foto, cinta pada rumah, dan hal dunia lainnya. Intinya, segala hal dunia yang menjauhkan dari perintah Allah, maka dianggap sebagai budak dari dunia tersebut. Tandanya adalah kalau dunia didapat, ia rida. Sedangkan, kalau dunia tidak didapat, ia murka. Ia tidak rida pada takdir Allah.
- Sekadar memiliki dan mengumpulkan dunia tidaklah tercela. Yang tercela adalah memiliki dan mengumpulkan lebih dari kadar hajat lalu menjauhkan seseorang dari Allah, menjauhkan dari beramal saleh. Kalau harta tetap mengantarkan kepada amal saleh, tentu hal itu tidak tercela.
- Makna “Jika diberi, ia rida dan jika tidak diberi, ia tidak rida” ada dua makna. Makna pertama, berkaitan dengan takdir yang Allah tetapkan. Jika ia ditakdirkan rezeki, ia rida. Jika tidak ditakdirkan, ia murka. Makna kedua, ia rida jika diberi harta syari yang berhak ia peroleh. Jika tidak diberi harta syari yang berhak ia dapat, ia murka. Kedua makna ini sama-sama menunjukkan bahwa ia rida dan murka tergantung pada harta.
Baca juga: Tanda Kita Telah Menjadi Budak Harta
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa seorang ‘Abdullah (hamba Allah) adalah ia yang rida terhadap apa yang diridai oleh Allah, marah terhadap apa yang dimurkai-Nya, mencintai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, serta membenci apa yang dibenci oleh keduanya. Hamba Allah sejati adalah sosok yang senantiasa menolong wali-wali Allah, yakni orang-orang beriman, dan membenci musuh-musuh Allah Ta’ala dari kalangan orang kafir. Inilah tanda kesempurnaan iman. Namun, jika Allah tidak memberikan sesuatu kepada hamba-Nya, hal itu tidak berarti bahwa Allah bersifat pelit. Kadang, kelapangan atau kesempitan rezeki adalah ujian bagi seorang hamba, untuk menguji apakah ia termasuk dalam golongan yang bersyukur atau tidak, serta apakah ia mampu bersabar atau tidak. Berbeda dengan hamba dunia (‘abdu dunya) yang semata-mata terikat pada kehidupan dunia, seorang hamba Allah sejati (‘Abdullah) memiliki sifat-sifat luhur yang telah disebutkan tadi. (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:190)
Baca juga: Hamba Allah dan Budak Dunia Menurut Ibnu Taimiyah
Keempat: Perlukah Seimbang Antara Dunia dan Akhirat?
Dalam ayat disebutkan,
وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77).
Imam Ibnu Katsir -semoga Allah merahmati beliau- menyebutkan dalam kitab tafsirnya,
{ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا } أي: مما أباح الله فيها من المآكل والمشارب والملابس والمساكن والمناكح، فإن لربك عليك حقًّا، ولنفسك عليك حقًّا، ولأهلك عليك حقًّا، ولزورك عليك حقا، فآت كل ذي حق حقه.
“Janganlah engkau melupakan nasibmu dari kehidupan dunia yaitu dari yang Allah bolehkan berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan menikah. Rabbmu masih memiliki hak darimu. Dirimu juga memiliki hak. Keluargamu juga memiliki hak. Istrimu pun memiliki hak. Maka tunaikanlah hak-hak setiap yang memiliki hak.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 37).
Dalam Tafsir Al Jalalain (hal. 405) disebutkan maksud dari ayat tersebut, “Janganlah engkau tinggalkan nasibmu di dunia yaitu hendaklah di dunia ini engkau beramal untuk akhiratmu.”
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Taisir Karimir Rahman (hlm. 623), “Engkau telah menggenggam berbagai cara untuk menggapai kebahagiaan akhirat dengan harta, yang harta tersebut tidaklah dimiliki selainmu. Haraplah dengan harta tersebut untuk menggapai ridho Allah. Janganlah nikmat dunia digunakan untuk memenuhi syahwat dan kelezatan semata. Jangan pula sampai lupa nasibmu di dunia, yaitu Allah tidak memerintahkan supaya manusia menginfakkan seluruh hartanya, sehingga lalai dari menafkahi yang wajib. Namun infaklah dengan niatan untuk akhiratmu. Bersenang-senanglah pula dengan duniamu namun jangan sampai melalaikan agama dan membahayakan kehidupan akhiratmu kelak.”
Baca juga: Jangan Lupakan Nasib Kalian di Dunia?
Kelima: Agar Tidak Cinta Dunia
- Marilah belajar agama, luangkanlah waktu walau sesibuk apa pun untuk mendalami ilmu Islam.
- Harus yakin dunia itu hina dan yakin dunia itu akan fana dibanding akhirat yang kekal abadi.
- Qana’ah (nerimo) dengan yang sedikit, apa saja yang Allah beri.
- Mendahulukan rida Allah daripada hawa nafsu, keluarga, dan kepentingan dunia.
- Sabar dan haraplah kenikmatan yang begitu banyak di surga.
Sikap yang seharusnya terhadap dunia sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim, no. 2392)
Al-Munawi rahimahullah dalam Mirqah Al-Mafatih menjelaskan, “Dikatakan dalam penjara karena orang mukmin terhalang untuk melakukan syahwat yang diharamkan. Sedangkan keadaan orang kafir adalah sebaliknya sehingga seakan-akan ia berada di surga.”
Baca juga: Tanda Cinta Dunia dan Cara Menghindarinya (Khutbah Jumat)
Kesimpulan
Mencintai dunia yang fana dan mengabaikan akhirat adalah kebodohan besar, sebab dunia hanya sementara, sedangkan akhirat kekal abadi. Ibnul Qayyim rahimahullah mengingatkan bahwa meskipun dunia adalah sesuatu yang “kontan,” kita tidak boleh lupa bahwa akhirat adalah yang hakiki dan akan kita temui. Sebagai seorang mukmin, dunia hanya alat untuk meraih akhirat, bukan tujuan utama yang melalaikan kita dari kehidupan yang lebih tinggi.
Baca juga:
- Apakah Benar Ungkapan: Bekerjalah untuk Duniamu Seakan-Akan Engkau Hidup Selamanya?
- Cinta Dunia dan Takut Mati
–
Ditulis pada 27 Rabiuts Tsani 1446 H, 30 Oktober 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Sungguh tenang hati setelah baca artikel ini…merugilah orang yang mementingkan dunia, daripada akheratnya..takutnya manusia justru semakin lama semakin terlena akan indahnya dunia tanpa di dampingi iman…🙏