Manajemen Qolbu

Dampak Mengutamakan Dunia: Kehidupan Fana vs Keabadian Akhirat

Kehidupan dunia sering kali memikat dengan segala keindahan dan kemewahannya, membuat banyak orang lupa akan akhirat yang abadi. Mengutamakan dunia menjadi pilihan bagi sebagian orang, yang memilih yang fana daripada yang kekal, mengutamakan kesenangan sesaat di atas kenikmatan yang tak terbatas. Tulisan ini akan mengupas tentang tipuan dunia yang menggerogoti manusia, serta pentingnya menyadari hakikat kehidupan sejati di akhirat.

 

 

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 55-59, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut.

Kebodohan Terbesar: Mengutamakan Dunia atas Akhirat

وَأَعْظَمُ الْخَلْقِ غُرُورًا مَنِ اغْتَرَّ بِالدُّنْيَا وَعَاجَلَهَا، فَآثَرَهَا عَلَى الْآخِرَةِ، وَرَضِيَ بِهَا مِنَ الْآخِرَةِ، حَتَّى يَقُولَ بَعْضُ هَؤُلَاءِ: الدُّنْيَا نَقْدٌ، وَالْآخِرَةُ نَسِيئَةٌ، وَالنَّقْدُ أَحْسَنُ مِنَ النَّسِيئَةِ.

“Manusia yang paling tertipu adalah yang teperdaya oleh kehidupan dunia yang tampak di hadapan mereka. Bahkan, mereka lebih meridhai dan mengutamakan dunia daripada akhirat. Sampai-sampai, sebagian mereka menyatakan: ‘Dunia adalah sesuatu yang kontan, sedangkan akhirat adalah tertunda. Kontan lebih bermanfaat dibandingkan yang tertunda.’

 

Kontan Dunia atau Akhirat yang Tertunda?

وَيَقُولُ بَعْضُهُمْ: ذَرَّةٌ مَنْقُودَةٌ، وَلَا دُرَّةٌ مَوْعُودَةٌ.

Sebagian menegaskan: “Seukuran kecil yang diberikan secara kontan masih lebih baik daripada mutiara yang dijanjikan.”

 

Kepastian Dunia dan Keraguan Akhirat?

وَيَقُولُ آخَرُ مِنْهُمْ: لَذَّاتُ الدُّنْيَا مُتَيَقَّنَةٌ، وَلَذَّاتُ الْآخِرَةِ مَشْكُوكٌ فِيهَا، وَلَا أَدَعُ الْيَقِينَ بِالشَّكِّ.

Ada juga yang mengungkapkan: “Kelezatan dunia merupakan perkara yang pasti. Sebaliknya, kelezatan akhirat merupakan perkara yang masih diragukan. Saya tidak akan mengganti perkara yang pasti dengan perkara yang meragukan.”

Adapun pernyataan bahwa: “Kontan lebih baik daripada yang tertunda,” maka jawabannya: Jika sesuatu yang kontan dan yang tertunda itu sama nilainya, maka kontan lebih baik dibandingkan yang tertunda. Namun, apabila berbeda, yaitu ketika perkara yang tertunda jauh lebih banyak dan lebih baik, maka tentulah ia yang lebih baik. Lantas, bagaimana seandainya dunia seluruhnya, dari awal hingga akhirnya, hanyalah merupakan satu napas dari sekian banyak napas di akhirat?!

 

Perbandingan Dunia dan Akhirat dalam Hadits

Di dalam al-Musnad karya Imam Ahmad dan at-Tirmidzi, dari al-Mustaurid bin Syaddad, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda,

مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا كَمَا يُدْخِلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ؟

“Tiadalah dunia dibandingkan akhirat, melainkan seperti salah satu dari kalian mencelupkan jarinya ke dalam laut. Hendaklah ia perhatikan apa yang dia dapatkan (dari air yang masih menempel di jarinya).”

Catatan:

Allah Ta’ala berfirman,

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ

Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An Nahl: 96)

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)

Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17)

Malik bin Dinar berkata:

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا مِنْ ذَهَبٍ يَفْنَى ، وَالآخِرَةُ مِنْ خَزَفٍ يَبْقَى لَكَانَ الوَاجِبُ أَنْ يُؤْثِرَ خَزَفٍ يَبْقَى عَلَى ذَهَبٍ يَفْنَى ، فَكَيْفَ وَالآخِرَةُ مِنْ ذَهَبٍٍِ يَبْقَى ، وَالدُّنْيَا مِنْ خَزَفٍ يَفْنَى؟

“Seandainya dunia adalah emas yang akan fana, dan akhirat adalah tembikar yang kekal abadi, maka tentu saja seseorang wajib memilih sesuatu yang kekal abadi (yaitu tembikar) daripada emas yang nanti akan fana. Padahal sejatinya akhirat adalah emas yang kekal abadi dan dunia adalah tembikar yang nantinya fana.” (Lihat Fathul Qodir, Imam Asy-Syaukani, 5:567-568)

Baca juga:

 

Akhirat itu Suatu yang Meragukan, Dunia itu Suatu yang Pasti?

Adapun perkataan orang yang lain: ‘Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang sudah pasti demi sesuatu yang diragukan,’ maka dikatakan kepadanya: ‘Engkau mungkin berada dalam keraguan terhadap janji dan ancaman Allah serta kebenaran rasul-rasul-Nya, atau engkau berada dalam keyakinan akan hal tersebut.

  • Jika engkau memiliki keyakinan, maka yang engkau tinggalkan hanyalah sesuatu yang fana, sementara, dan akan segera hilang, karena itu adalah sesuatu yang pasti, tidak ada keraguan maupun keterputusan padanya.”
  • Jika engkau berada dalam keraguan, maka renungkanlah ayat-ayat Rabb Yang Maha Tinggi yang menunjukkan adanya keberadaan-Nya, kekuasaan-Nya, kehendak-Nya, keesaan-Nya, serta kebenaran rasul-rasul-Nya dalam apa yang mereka sampaikan dari Allah. Bersihkanlah niatmu dan berdirilah untuk Allah, baik sebagai seorang pencari kebenaran atau sebagai penelaah, hingga jelas bagimu bahwa apa yang dibawa oleh para rasul dari Allah adalah kebenaran yang tidak ada keraguan padanya. Sesungguhnya Pencipta alam semesta ini, Rabb langit dan bumi, Maha Tinggi, Maha Suci, dan terbebas dari segala hal yang bertentangan dengan apa yang diberitakan oleh para rasul-Nya tentang-Nya. Barang siapa yang menyandarkan kepada-Nya selain hal tersebut, maka dia telah mencela dan mendustakan-Nya, serta menolak ketuhanan dan kekuasaan-Nya. Sebab mustahil bagi siapa pun yang memiliki fitrah yang sehat, bahwa Raja Yang Maha Benar itu tidak memiliki kekuasaan atau tidak memiliki ilmu, tidak mengetahui apa pun, tidak mendengar, tidak melihat, tidak berbicara, tidak memerintah, tidak melarang, tidak memberi pahala, tidak menghukum, tidak memuliakan siapa yang Dia kehendaki, dan tidak menghinakan siapa yang Dia kehendaki, serta tidak mengutus rasul-rasul-Nya ke seluruh penjuru kerajaan-Nya, dan tidak peduli dengan keadaan rakyat-Nya, melainkan membiarkan mereka tanpa aturan dan meninggalkan mereka begitu saja. Hal ini bahkan merusak kepemilikan para raja dari kalangan manusia, dan tidak layak bagi mereka. Maka bagaimana mungkin hal tersebut layak disandarkan kepada Raja Yang Maha Benar lagi Maha Nyata?

 

Kerugian Mengutamakan Dunia: Perbandingan Waktu Dunia dan Akhirat

فَإِيثَارُ هَذَا النَّقْدِ عَلَى هَذِهِ النَّسِيئَةِ، مِنْ أَعْظَمِ الْغَبْنِ وَأَقْبَحِ الْجَهْلِ، وَإِذَا كَانَ هَذَا نِسْبَةَ الدُّنْيَا بِمَجْمُوعِهَا إِلَى الْآخِرَةِ، فَمَا مِقْدَارُ عُمُرِ الْإِنْسَانِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْآخِرَةِ، فَأَيُّمَا أَوْلَى بِالْعَاقِلِ؟ إِيثَارُ الْعَاجِلِ فِي هَذِهِ الْمُدَّةِ الْيَسِيرَةِ، وَحِرْمَانُ الْخَيْرِ الدَّائِمِ فِي الْآخِرَةِ، أَمْ تَرْكُ شَيْءٍ حَقِيرٍ صَغِيرٍ مُنْقَطِعٍ عَنْ قُرْبٍ، لِيَأْخُذَ مَا لَا قِيمَةَ لَهُ وَلَا خَطَرَ لَهُ، وَلَا نِهَايَةَ لِعَدَدِهِ، وَلَا غَايَةَ لِأَمَدِهِ؟

Mendahulukan dunia yang kontan atas akhirat yang tertunda, merupakan tipuan terbesar dan kebodohan terburuk. Jika hadits tadi menjelaskan perbandingan antara dunia secara keseluruhan dan akhirat, maka bagaimana pula dengan perbandingan antara usia manusia dan akhirat?

Manakah yang lebih utama bagi orang yang berakal, apakah mengedepankan yang segera untuk jangka waktu yang singkat dan terhalang dari kebaikan abadi di akhirat; ataukah meninggalkan sesuatu yang kecil, hina, dan akan sirna dalam waktu dekat untuk mengambil sesuatu yang tidak terkira nilainya, tidak ada bahayanya, tidak terbatas bilangannya, dan tidak ada limit waktunya?

 

Keagungan Penciptaan Manusia sebagai Bukti Keesaan Allah

وَإِذَا تَأَمَّلَ الْإِنْسَانُ حَالَهُ مِنْ مَبْدَأِ كَوْنِهِ نُطْفَةً إِلَى حِينِ كَمَالِهِ وَاسْتِوَائِهِ تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّ مَنْ عُنِيَ بِهِ هَذِهِ الْعِنَايَةَ، وَنَقَلَهُ إِلَى هَذِهِ الْأَحْوَالِ، وَصَرَّفَهُ فِي هَذِهِ الْأَطْوَارِ، لَا يَلِيقُ بِهِ أَنْ يُهْمِلَهُ وَيَتْرُكَهُ سُدًى، لَا يَأْمُرُهُ وَلَا يَنْهَاهُ وَلَا يُعَرِّفُهُ بِحُقُوقِهِ عَلَيْهِ، وَلَا يُثِيبُهُ وَلَا يُعَاقِبُهُ، وَلَوْ تَأَمَّلَ الْعَبْدُ حَقَّ التَّأَمُّلِ لَكَانَ كُلُّ مَا يُبْصِرُهُ وَمَا لَا يُبْصِرُهُ دَلِيلًا لَهُ عَلَى التَّوْحِيدِ وَالنُّبُوَّةِ وَالْمَعَادِ، وَأَنَّ الْقُرْآنَ كَلَامُهُ، وَقَدْ ذَكَرْنَا وَجْهَ الِاسْتِدْلَالِ بِذَلِكَ فِي كِتَابِ إِيمَانِ الْقُرْآنِ عِنْدَ قَوْلِهِ: {فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ – وَمَا لَا تُبْصِرُونَ – إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ} [سُورَةُ الْحَاقَّةِ: ٣٨ – ٤٠] .

Seandainya manusia memperhatikan proses kejadiannya dari awal, mulai dari setetes air mani hingga menjadi manusia sempurna, maka jelaslah bahwa Dzat yang mengawasinya, mengubahnya dalam berbagai tahap kejadian, serta membentuknya dalam berbagai wujud tidaklah layak bagi-Nya untuk mengabaikan dan membiarkan manusia begitu saja, tanpa memberi perintah, melarang, mengenalkan hak-hak-Nya, memberi ganjaran, dan tidak menghukumnya.

Sekiranya seorang hamba benar-benar memperhatikan secara saksama, tentu segala sesuatu yang dilihat maupun yang tidak dilihatnya akan menjadi dalil baginya tentang tauhid, kenabian, dan hari kebangkitan, serta bahwasanya Al-Qur’an merupakan firman-Nya.

 

Dalil Keberadaan Allah dalam Diri Manusia

Kami menyebutkan dalilnya dalam kitab al-Qur’an, ketika menyebutkan firman Allah,

فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ – وَمَا لَا تُبْصِرُونَ – إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ

“Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa. Maka Aku bersumpah demi apa yang kamu lihat, dan demi apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) itu benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia.” (QS. Al-Haqqah: 38-40)

Kami juga menyebutkan penggalan masalah ini ketika membawakan firman Allah.

وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzāriyāt: 21)

 

Dalil Keberadaan Allah dalam Diri Manusia

وَأَنَّ الْإِنْسَانَ دَلِيلُ نَفْسِهِ عَلَى وُجُودِ خَالِقِهِ وَتَوْحِيدِهِ، وَصِدْقِ رُسُلِهِ، وَإِثْبَاتِ صِفَاتِ كَمَالِهِ.

Ayat ini menunjukkan bahwa adanya manusia merupakan dalil (bukti) bagi diri sendiri akan keberadaan Penciptanya, keesaan-Nya, kebenaran para Rasul-Nya, serta penetapan sifat-sifat kesempurnaan-Nya.

 

Yakin atau Ragu akan Akhirat?

فَقَدْ بَانَ أَنَّ الْمُضَيِّعَ مَغْرُورٌ عَلَى التَّقْدِيرَيْنِ: تَقْدِيرِ تَصْدِيقِهِ وَيَقِينِهِ، وَتَقْدِيرِ تَكْذِيبِهِ وَشَكِّهِ.

Dengan demikian, jelaslah bahwa orang yang mengabaikan masalah ini telah tertipu dalam dua kemungkinan yang berbeda; bisa jadi dia membenarkan dan meyakininya atau dia mendustakan dan meragukannya.

 

Catatan Penting tentang Cinta Dunia

Pertama: Delapan Hal yang Dicintai Manusia

Ada delapan hal yang dicintai manusia, Allah rinci dalam ayat berikut ini.

قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24)

Ayat di atas menerangkan tentang orang yang mencintai dunia, yaitu keluarga, harta, bisnis hingga rumah tempat tinggalnya.

Ayat di atas kata Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah dalam Kitab Tauhid menunjukkan ancaman bagi orang yang menjadikan delapan perkara duniawi tersebut lebih daripada agamanya.

Baca juga: Delapan Hal yang Dicintai Manusia dan Cara Mengatasinya

Kedua: Tanda Cinta Dunia

1. Mengorbankan agama dan lebih memilih kekafiran

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا

Bersegeralah melakukan amalan shalih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia.” (HR. Muslim no. 118)

2. Hati jadi lalai dari mengingat akhirat sehingga kurang dalam beramal saleh

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ دُنْيَاهُ أَضَرَّ بِآخِرَتِهِ وَمَنْ أَحَبَّ آخِرَتَهُ أَضَرَّ بِدُنْيَاهُ فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى

Siapa yang begitu gila dengan dunianya, maka itu akan memudaratkan akhiratnya. Siapa yang begitu cinta akhiratnya, maka itu akan mengurangi kecintaannya pada dunia. Dahulukanlah negeri yang akan kekal abadi (akhirat) dari negeri yang akan fana (dunia).” (HR. Ahmad, 4:412. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairihi.)

Dalam surah Adz-Dzariyat juga disebutkan,

قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ (10) الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ سَاهُونَ (11)

Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai.” (QS. Adz-Dzariyat: 10-11)

Yang dimaksud “alladzina hum fii ghomroh” adalah mereka buta dan jahil akan perkara akhirat. “Saahun” berarti lalai. As-sahwu itu berarti lalai dari sesuatu dan hati tidak memperhatikannya. Sebagaimana hal ini ditafsirkan dalam Zaad Al-Masir karya Ibnul Jauzi.

Baca juga: Meninggalkan Kesibukan Dunia itu Berat

3. Kurang mendapatkan kelezatan ketika berdzikir

Di dalam Majmu’ah Al-Fatawa (9:312), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan perkataaan ulama Syam yaitu Sulaiman Al-Khawwash, “Dzikir bagi hati kedudukannya seperti makanan untuk badan. Ketika badan sakit, tentu seseorang sulit merasakan lezatnya makanan. Demikian pula untuk hati tidak bisa merasakan nikmatnya dzikir ketika seseorang terlalu cinta dunia.”

Baca juga: Khutbah Jumat, Tanda Cinta Dunia

4. Tanda cinta dunia lainnya adalah:

  • gila harta,
  • gila jabatan,
  • gila kehormatan,
  • gila ketenaran;
  • hidup mewah dengan pakaian, makanan dan minuman;
  • waktunya sibuk mengejar dunia;
  • ia mengejar dunia lewat amalan akhirat.

Yang dimaksud mengejar dunia lewat amalan akhirat, contohnya amalan “shalawatin saja” untuk dapat iphone hingga dapat mobil mahal.

Baca juga: Dunia Memang Menggiurkan 

 

Ketiga: Tanda Gila Harta

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ( قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ ( { تَعِسَ عَبْدُ اَلدِّينَارِ, وَالدِّرْهَمِ, وَالْقَطِيفَةِ, إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ, وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ } أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celakalah budak dinar, dirham, dan qathifah (jenis pakaian berbeludru atau kain tenunan berbulu). Jika diberi, ia rida dan jika tidak diberi, ia tidak rida.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 6435]

Pelajarannya:

  1. Yang dimaksud dengan budak dinar dan dirham adalah semangat dalam mencari dunia dan merendahkan diri sehingga yang menjadi budak semangat dalam mengumpulkan harta, hanya sibuk menjaganya. Orang seperti inilah yang dianggap sebagai pelayan dan budak harta. Ia tenggelam dalam syahwat dunia dan mencarinya.
  2. Penyebutan dinar, dirham, dan qathifah (pakaian) hanyalah sekadar contoh. Ada juga yang gila kekuasaan, gila foto, cinta pada rumah, dan hal dunia lainnya.  Intinya, segala hal dunia yang menjauhkan dari perintah Allah, maka dianggap sebagai budak dari dunia tersebut. Tandanya adalah kalau dunia didapat, ia rida. Sedangkan, kalau dunia tidak didapat, ia murka. Ia tidak rida pada takdir Allah.
  3. Sekadar memiliki dan mengumpulkan dunia tidaklah tercela. Yang tercela adalah memiliki dan mengumpulkan lebih dari kadar hajat lalu menjauhkan seseorang dari Allah, menjauhkan dari beramal saleh. Kalau harta tetap mengantarkan kepada amal saleh, tentu hal itu tidak tercela.
  4. Makna “Jika diberi, ia rida dan jika tidak diberi, ia tidak rida” ada dua makna. Makna pertama, berkaitan dengan takdir yang Allah tetapkan. Jika ia ditakdirkan rezeki, ia rida. Jika tidak ditakdirkan, ia murka. Makna kedua, ia rida jika diberi harta syari yang berhak ia peroleh. Jika tidak diberi harta syari yang berhak ia  dapat, ia murka. Kedua makna ini sama-sama menunjukkan bahwa ia rida dan murka tergantung pada harta.

Baca juga: Tanda Kita Telah Menjadi Budak Harta

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa seorang ‘Abdullah (hamba Allah) adalah ia yang rida terhadap apa yang diridai oleh Allah, marah terhadap apa yang dimurkai-Nya, mencintai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, serta membenci apa yang dibenci oleh keduanya. Hamba Allah sejati adalah sosok yang senantiasa menolong wali-wali Allah, yakni orang-orang beriman, dan membenci musuh-musuh Allah Ta’ala dari kalangan orang kafir. Inilah tanda kesempurnaan iman. Namun, jika Allah tidak memberikan sesuatu kepada hamba-Nya, hal itu tidak berarti bahwa Allah bersifat pelit. Kadang, kelapangan atau kesempitan rezeki adalah ujian bagi seorang hamba, untuk menguji apakah ia termasuk dalam golongan yang bersyukur atau tidak, serta apakah ia mampu bersabar atau tidak. Berbeda dengan hamba dunia (‘abdu dunya) yang semata-mata terikat pada kehidupan dunia, seorang hamba Allah sejati (‘Abdullah) memiliki sifat-sifat luhur yang telah disebutkan tadi. (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:190)

Baca juga: Hamba Allah dan Budak Dunia Menurut Ibnu Taimiyah

 

Keempat: Perlukah Seimbang Antara Dunia dan Akhirat?

Dalam ayat disebutkan,

وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77).

Imam Ibnu Katsir -semoga Allah merahmati beliau- menyebutkan dalam kitab tafsirnya,

{ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا } أي: مما أباح الله فيها من المآكل والمشارب والملابس والمساكن والمناكح، فإن لربك عليك حقًّا، ولنفسك عليك حقًّا، ولأهلك عليك حقًّا، ولزورك عليك حقا، فآت كل ذي حق حقه.

“Janganlah engkau melupakan nasibmu dari kehidupan dunia yaitu dari yang Allah bolehkan berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan menikah. Rabbmu masih memiliki hak darimu. Dirimu juga memiliki hak. Keluargamu juga memiliki hak. Istrimu pun memiliki hak. Maka tunaikanlah hak-hak setiap yang memiliki hak.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 37).

Dalam Tafsir Al Jalalain (hal. 405) disebutkan maksud dari ayat tersebut, “Janganlah engkau tinggalkan nasibmu di dunia yaitu hendaklah di dunia ini engkau beramal untuk akhiratmu.

Syaikh ‘Abdurrahman  bin Nashir As Sa’di dalam Taisir Karimir Rahman (hlm. 623), “Engkau telah menggenggam berbagai cara untuk menggapai kebahagiaan akhirat dengan harta, yang harta tersebut tidaklah dimiliki selainmu. Haraplah dengan harta tersebut untuk menggapai ridho Allah. Janganlah nikmat dunia digunakan untuk memenuhi syahwat dan kelezatan semata. Jangan pula sampai lupa nasibmu di dunia, yaitu Allah tidak memerintahkan supaya manusia menginfakkan seluruh hartanya, sehingga lalai dari menafkahi yang wajib. Namun infaklah dengan niatan untuk akhiratmu. Bersenang-senanglah pula dengan duniamu namun jangan sampai melalaikan agama dan membahayakan kehidupan akhiratmu kelak.”

Baca juga: Jangan Lupakan Nasib Kalian di Dunia?

 

Kelima: Agar Tidak Cinta Dunia

  1. Marilah belajar agama, luangkanlah waktu walau sesibuk apa pun untuk mendalami ilmu Islam.
  2. Harus yakin dunia itu hina dan yakin dunia itu akan fana dibanding akhirat yang kekal abadi.
  3. Qana’ah (nerimo) dengan yang sedikit, apa saja yang Allah beri.
  4. Mendahulukan rida Allah daripada hawa nafsu, keluarga, dan kepentingan dunia.
  5. Sabar dan haraplah kenikmatan yang begitu banyak di surga.

Sikap yang seharusnya terhadap dunia sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ

Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim, no. 2392)

Al-Munawi rahimahullah dalam Mirqah Al-Mafatih menjelaskan, “Dikatakan dalam penjara karena orang mukmin terhalang untuk melakukan syahwat yang diharamkan. Sedangkan keadaan orang kafir adalah sebaliknya sehingga seakan-akan ia berada di surga.”

Baca juga: Tanda Cinta Dunia dan Cara Menghindarinya (Khutbah Jumat)

 

Kesimpulan

Mencintai dunia yang fana dan mengabaikan akhirat adalah kebodohan besar, sebab dunia hanya sementara, sedangkan akhirat kekal abadi. Ibnul Qayyim rahimahullah mengingatkan bahwa meskipun dunia adalah sesuatu yang “kontan,” kita tidak boleh lupa bahwa akhirat adalah yang hakiki dan akan kita temui. Sebagai seorang mukmin, dunia hanya alat untuk meraih akhirat, bukan tujuan utama yang melalaikan kita dari kehidupan yang lebih tinggi.

Baca juga:

  1. Apakah Benar Ungkapan: Bekerjalah untuk Duniamu Seakan-Akan Engkau Hidup Selamanya?
  2. Cinta Dunia dan Takut Mati

Ditulis pada 27 Rabiuts Tsani 1446 H, 30 Oktober 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Satu Komentar

  1. Sungguh tenang hati setelah baca artikel ini…merugilah orang yang mementingkan dunia, daripada akheratnya..takutnya manusia justru semakin lama semakin terlena akan indahnya dunia tanpa di dampingi iman…🙏

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button