Thoharoh

Safinatun Naja: Seputar Najis dan Cara Menghilangkannya

Apa saja najis dan cara menghilangkannya? Kali ini kita kaji kembali dari Safinatun Naja.

 

[Najis yang Bisa Suci]

الَّذِيْ يَطْهُرُ مِنَ النَّجَاسَاتِ ثَلاَثَةٌ:

1- الْخَمْرُ إِذَا تَخَلَّلَتْ بِنَفْسِهَا.

وَ2- جِلْدُ الْمَيْتَةِ إِذَا دُبِغَ

وَ3- مَا صَارَ حَيَوَاناً. 

Fasal: Yang bisa menjadi suci dari najis ada 3, yaitu [1] khamar (arak) yang berubah dengan sendirinya (menjadi cuka), [2] kulit bangkai jika disamak, dan [3] najis yang berubah menjadi hewan.

Catatan:

Sesuatu yang berubah menjadi suci dari dzat najis melalui cara ISTIHAALAH—yaitu perubahan sesuatu dari satu sifat menuju sifat yang lain tanpa mempengaruhi dzatnya—ada tiga macam:

 

Pertama: Khamar berubah menjadi cuka dengan sendirinya, tidak ada benda lain yang mencampurinya.

  • Khamar itu najis.
  • Khamar secara bahasa adalah sesuatu yang diambil dari perasan anggur.
  • Sifat khamar ini adalah dapat menutupi akal, artinya membuat kesadaran itu hilang.

Khamar secara istilah syariat adalah segala sesuatu yang memabukkan, walaupun berasal dari madu atau kurma. Khamar biasa dalam bentuk cair.

  • Yang tidak perlu dibuang (al-muhtaromah) adalah yang diperas dengan maksud menjadi cuka atau tanpa maksud apa pun.
  • Yang tidak dibolehkan (ghair al-muhtaromah) adalah yang diperas untuk maksud dijadikan khamar, maka wajib dibuang sebelum menjadi cuka.

*Hukum berubah sesuai dengan perubahan niat setelah diperas.

 

Kedua: Kulit bangkai jika disamak.

Bangkai (al-maitah) adalah hewan yang mati tanpa lewat penyembelihan yang syari.

Ad-dab-ghu (samak) adalah menghilangkan sisa yang ada di kulit, baik lemak atau bulunya dengan sesuatu yang pedas, walaupun najis. Pedas adalah sifatnya membakar dengan sifat pedasnya seperti daun khusus (al-qorozh).

Kulit yang menjadi suci dengan disamak adalah kulit yang menjadi najis karena kematiannya. Ketika hewan itu hidup kulitnya suci. Jika di masa hidupnya sudah dihukumi najis (seperti kulit anjing dan babi), serta keturunan keduanya atau salah satu di antaranya, maka tidak menjadi suci dengan disamak.

Kaidah dalam madzhab Syafii:

  • Semua kulit jika disamak menjadi suci, kecuali kulit anjing dan babi.
  • Kulit hewan buas tidak boleh dimanfaatkan karena menunjukkan kesombongan.

 

Ketiga: Najis yang berubah menjadi hewan.

Contohnya adalah bangkai berubah menjadi cacing.

Sebagian ulama memandang bahwa bisa jadi cacing itu tercipta di tempat bangkai itu, tetapi bukan berasal dari bangkai itu. Sehingga tidak masuk dalam pembahasan najis yang berubah menjadi suci.

 

[Pembagian Najis] 

النَّجَاسَاتُ ثَلاَثٌ:

مُغَلَّظَةٌ، وَمُخَفَّفَةٌ، وَمُتَوَسِّطَةٌ.

الْمُغَلَّظَةُ: نَجَاسَةُ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيْرِ وَفَرْغُ أَحدِهِمَا.

وَالْمُخَفَّفَة: بَوْلُ الصَّبِيِّ الَّذِيْ لَمْ يَطْعِمْ غَيْرَ اللَّبَنِ وَلَمْ يَبْلُغِ الْحَوْلَيْنِ.

وَالْمُتُوَسِّطَةُ: سَائِرُ النَّجَاسَاتِ.

Fasal: Najis itu ada 3, yaitu [1] mughollazhoh, [2] mukhoffafah, dan [3] mutawassithoh. Mughollazhoh adalah najis anjing dan babi beserta anak-anaknya, mukhoffafah adalah kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain ASI dan belum mencapai dua tahun, dan mutawasithoh adalah najis selain keduanya.

 

Catatan:

Najis secara bahasa berarti sesuatu yang menjijikkan (al-mustaqdzaroh).

Najis secara istilah syari berarti segala sesuatu yang menjijikkan dan mencegah sahnya shalat, di mana tidak ada sesuatu yang jadi rukhshah (membolehkannya).

Hal ini berbeda jika ada rukhshah (yang membolehkannya) seperti seseorang yang tidak mendapati air dan debu, sedangkan dirinya terkena najis, maka diperbolehkan baginya shalat untuk menghormati waktu (hurmah al-waqt) dan harus diulang shalatnya (al-i’adah).

 

Najis terbagi tiga berdasarkan hukumnya:

  1. Najis mughallazhah (berat)
  2. Najis mukhaffafah (ringan)
  3. Najis mutawassithoh (sedang)

Mughollazhoh adalah najis anjing dan babi beserta anak-anaknya.

Mukhoffafah adalah kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain ASI dan belum mencapai dua tahun sempurna.

بَوْلُ الصَّبِيِّ الَّذِيْ لَمْ يَطْعَمْ غَيْرَ اللَّبَنِ وَلَمْ يَبْلُغِ الْحَوْلَيْنِ

“kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain ASI dan belum mencapai dua tahun”

Terkait hal ini, yang termasuk najis adalah:

  • buang air besar bayi laki-laki
  • air kencing bayi perempuan
  • air kencing bayi laki-laki yang telah makan makanan pokok selain ASI. Kecuali sesuatu yang dimakan untuk berobat, maka air kencingnya tetap masuk dalam mukhaffafah.
  • bila ragu apakah bayinya telah mencapai dua tahun ataukah belum, kencingnya termasuk mutawassithoh menurut sebagian ulama.

 

Selain najis mughallazhoh dan mukhaffafah dimasukkan dalam najis mutawassithoh.

Contoh najis mutawassithoh

  • khamar,
  • darah,
  • nanah,
  • bangkai selain bangkai manusia, ikan, dan belalang,
  • air kencing selain air kencing bayi laki-laki sebagaimana disebutkan di atas (masuk najis mukhaffafah)
  • madzi
  • wadi (cairan kental, keruh berwarna putih, yang biasanya keluar setelah buang air kecil)
  • kotoran dan kencing dari manusia dan hewan
  • air susu dari hewan yang tidak boleh dimakan (selain manusia)

 

Catatan:

  • Bagian tubuh dari hewan yang hidup yang terpisah, hukumnya sesuai hukum bangkainya, baik suci atau najis.
  • Kecuali rambut dan bulu hewan yang hidup dan hewannya boleh dimakan, maka itu termasuk suci walaupun bangkainya najis.

 

[Cara Menghilangkan Najis]

 

الْمُغَلَّظَةُ تَطْهُرُ بِسَبْعِ غَسَلاَتٍ بَعْد إِزَالَةِ عَيْنِهَا إِحْدَاهُنَّ بِتُرَابٍ.

وَالْمُخَفّفَةُ تَطْهُرُ بِرَشِّ الْمَاءِ عَلَيْهَا مَعَ الْغَلَبَةِ وَإِزَالَةِ عَيْنِها.

وَالْمُتَوَسَّطَةُ تَنْقَسِمُ إِلَى قِسْمَيْنِ: عَيْنِيَّةٌ، وَحُكْمِيَّةٌ.

الْعَيْنِيَّةُ: الَّتِيْ لَهَا لَوْنٌ وَرِيْحٌ وَطَعْمٌ، فَلاَ بُدَّ مِنْ إِزَالَةِ لَونِهَا وَريِحِهَا وَطَعْمِهَا.

وَالْحُكْمِيَّةُ: الَّتِيْ لاَ لَوْنَ وَلاَ ريْحَ وَلاَ طَعْمَ لَهَا، يَكْفِيْكَ جَرْيُ الْمَاءِ عَلَيْهَا.

 

Fasal: Mughollazhoh disucikan dengan tujuh basuhan setelah dihilangkan najisnya terlebih dahulu di mana salah satunya dengan debu. Mukhoffafah disucikan dengan memercikkan air di atasnya disertai menghilangkan najisnya.

Mutawassithoh dibagi dua, yaitu [1] ‘ainiyyah dan [2] hukmiyyah. Najis ‘ainiy adalah najis yang memiliki warna, bau, dan rasa sehingga cara menyucikannya harus menghilangkan warna, bau, dan rasanya. Najis hukmi adalah najis yang tidak berwarna, berbau, dan berasa sehingga cukup mengalirkan air di atasnya.

 

Catatan:

Yang terkena najis mughallazhoh disucikan dengan tujuh kali basuhan, tidak kurang dari itu. Setelah dihilangkan dzat najisnya dan sifat-sifatnya, salah satu basuhan itu dicampur dengan debu yang terpenuhi syaratnya untuk tayammum.

Yang terkena najis mukhaffafah disucikan dengan dipercikkan air hingga menyeluruh. Diperintahkan baik bentuk dan sifat najis hilang terlebih dahulu.

Sedangkan najis mutawassithoh dibagi dua yaitu (1) ‘ainiyyah (dapat dipegang, dilihat, dirasa, dicium baunya), dan (2) hukmiyyah (sesuatu yang tidak diketahui sifat-sifatnya sehingga tidak ada warna, bau, atau rasa).

  • Sesuatu yang terkena najis ‘ainiyyah tidak dapat disucikan kecuali jika hilang rasa, warna, dan baunya.
  • Sesuatu yang terkena najis hukmiyyah cukup menyucikannya dengan mengalirkan air di atasnya sekali saja. Termasuk hukmiyyah dalam cara membersihkannya adalah najis ‘ainiyyah yang tidak tersisa kecuali bekasnya saja dan hilang dengan dialirkan air di atasnya.

 

Menyucikan najis kencing (ompol) di kasur

  1. membuat najis ‘ainiyah di kasur berubah menjadi najis hukmiyah. Secara teknis, seorang harus membuang/membersihkan najis itu hingga tak tampak warna, bau, dan rasanya (cukup dengan perkiraan, bukan menjilatnya). Di tahap ini mungkin ia perlu menggunakan sedikit air, menggosok, mengelap, atau cara lain yang lebih mudah. Selanjutnya, biarkan mengering, dan tandai area bekas najis itu karena secara hukum tetap berstatus najis.
  2. tuangkan air suci-menyucikan cukup di area najis yang ditandai itu, maka sucilah kasur tersebut, meskipun air dalam kondisi menggenang di atasnya atau meresap ke dalamnya. Cara yang sama juga bisa kita lakukan pada najis yang mengenai lantai ubin, sofa, bantal, permukaan tanah, dan lain-lain.

Ringkasnya, cukup dua langkah saja: menghilangkan sifat-sifat najis itu lalu menuangkan air suci-menyucikan di atas area bekas najis.

 

Hukum asal najis: dihilangkan dan dijauhi

Asalnya najis itu mesti dihilangkan dan kita diperintahkan untuk menjauhkan diri darinya dalam segala keadaan. Juga kita diperintahkan menghindari najis karena merupakan syarat sah shalat, baik dihindarkan pada badan, pakaian, dan tempat.

Namun, syariat memberikan keringanan pada sebagian najis untuk dimaafkan karena sulit untuk dihilangkan atau sulit untuk dihindari. Ini adalah bentuk kemudahan syariat Islam bagi umatnya, mengangkat kesulitan pada hamba-Nya.

 

Beberapa bentuk najis yang dimaafkan

  1. Percikan kencing yang sedikit (yang sulit dihindari) baik yang terkena badan, pakaian, atau suatu tempat.
  2. Sedikit dari darah dan nanah; kecuali jika itu atas kesengajaan manusia, maka tidaklah dimaafkan. Sebagaimana dimaafkan pula darah luka dan nanahnya walaupun banyak, dengan syarat itu keluar dengan sendirinya bukan disengaja.
  3. Kencing hewan dan kotorannya yang terkena biji-bijian ketika hewan tersebut menginjaknya; begitu pula kotoran ternak dan kencingnya ketika susunya diperah selama tidak banyak yang dapat mengubah air susunya; atau najis dari hewan yang diperah yang jatuh pada susu ketika diperah.
  4. Kotoran ikan selama tidak mengubah air; kotoran burung di tempat yang sering disinggahinya karena sulit dihindari.
  5. Darah yang terkena pakaian jagal; tetapi kalau darah tersebut banyak tidaklah dimaafkan. Begitu pula yang dimaafkan adalah darah yang menempel pada daging.
  6. Mulut bayi yang tercampur dengan muntahnya ketika dia disusukan oleh ibunya.
  7. Air liur dari orang yang tidur yang keluar dari dalam perut pada orang yang biasa seperti itu.
  8. Lumpur di jalan yang terkena pakaian seseorang walaupun yakin di situ terdapat najis, karena sulit dihindari sehingga dimaafkan.
  9. Bangkai dari hewan yang darahnya tidak mengalir yang jatuh pada cairan seperti lalat, nyamuk, semut dengan syarat jatuh dengan sendirinya, tidak sampai mengubah cairan tersebut.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ ، فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ، ثُمَّ لْيَطْرَحْهُ ، فَإِنَّ فِى أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِى الآخَرِ دَاءً

Jika seekor lalat jatuh di tempat minum salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah seluruh bagian lalat tersebut. Lalu buanglah lalat tadi. Karena di salah satu sayapnya terdapat penawar dan sayap lainnya adalah racun.” (HR. Bukhari, no. 5782)

Baca juga: Sembilan Najis yang Dimaafkan

 

Muntah itu najis

Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (34:85) disebutkan bahwa al-qai’ (muntah) adalah makanan yang keluar dari dalam perut setelah masuk di dalamnya.

Muntah itu ada dua macam:

Macam pertama: Yang keluar dari perut berubah, tidak lagi seperti makanan (saat dimasukkan), yaitu berubah dari sisi rasa, warna, atau bau.

Muntah jenis ini najis sebagaimana pendapat dari kebanyakan ulama salaf dan khalaf, inilah pendapat dari empat ulama madzhab, juga termasuk pendapat ulama Zhahiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim.

Macam kedua: Muntah yang keluar dan keadaannya sama dengan makanan dan tidak berubah.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Najisnya muntah itu telah disepakati, baik itu muntah dari manusia maupun hewan. Juga termasuk najis, muntah yang berubah atau tidak berubah dari bentuk makanan. Ada juga yang berpendapat bahwa jika keluar tidak berubah dari bentuk makanan, tetap dianggap suci, inilah pendapat dari madzhab Imam Malik.” Demikian disebutkan dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (2:551).

Baca juga:

 

Catatan 08-10-2021

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button