Aqidah

Salah Paham dengan Ayat “Kami Lebih Dekat dari Urat Leher”

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.

Dalam sebuah posting masalah aqidah, kami pernah mengangkat pembahasan cukup krusial yaitu mengenai keberadaan Rabb kita. Keberadaan Allah adalah di atas langit dan Dzat Allah bukan di mana-mana. Itulah kesimpulan yang dapat ditarik. Namun sebagian orang kemudian mengangkat suara tanda kurang setuju. Mereka pun mengemukakan ayat dalam surat Qaaf berikut.

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qoof: 16). Kata mereka, dari sini kita harus katakan bahwa Allah itu dekat, bukan jauh di langit sana. Itulah argumen mereka.

Semoga tulisan berikut bisa menjawab kerancuan di atas. Hanya Allah yang memberi taufik dan kemudahan.

Apa yang Dimaksud Kedekatan Dalam Ayat Ini?

Para ulama ahli tafsir berselisih pendapat mengenai makna kedekatan dalam ayat di atas, apakah yang dimaksud adalah kedekatan Allah atau kedekatan malaikat.

Abul Faroj menyebutkan bahwa ada dua pendapat ketika mengartikan kedekatan dalam ayat di atas.

Pertama adalah kedekatan para malaikat.

Kedua adalah kedekatan Allah dengan ilmu-Nya, sebagaimana yang disebutkan dari Abu Sholih, dari Ibnu ‘Abbas.

Namun ingat, mereka sama sekali tidak memaksudkan kedekatan di situ adalah kedekatan Dzat Allah ‘azza wa jalla, yaitu Dzat Allah dekat dengan urat leher dari seorang hamba. Jadi, jika ulama tersebut menafsirkan kedekatan di situ bukan kedekatan para malaikat, maka mereka mereka akan menafsirkan bahwa kedekatan tersebut adalah kedekatan dengan ilmu dan qudroh (kekuasaan) Allah. –Demikian penuturan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-[1]

Jadi, perlu diperhatikan bahwa tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah yang mengartikan kedekatan Allah dengan kedekatan Dzat-Nya, sehingga jika kedekatan-Nya dimaknakan Allah berada di mana-mana, ini adalah makna yang jelas-jelas keliru.

Tafsiran yang Lebih Tepat

Dari dua tafsiran ulama mengenai “kedekatan” dalam surat Qaaf ayat 16, kedekatan yang lebih tepat adalah kedekatan para malaikat bukan kedekatan ilmu Allah. Alasannya adalah:

Pertama: Melihat kelanjutan surat Qaaf ayat 16 yang membicarakan tentang malaikat.[2]

Selengkapnya Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ, إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 16-18). Konteks ayat ini membicarakan tentang malaikat.

Kedua: Yang dimaksudkan “al insan (manusia)” dalam surat Qaaf ayat 16 adalah umum, baik mukmin ataupun kafir. Jika kita menyatakan yang dimaksudkan dalam ayat itu adalah kedekatan Allah, maka ini sangat bertentangan. Kedekatan Allah tidak mungkin pada orang kafir. Kedekatan Allah hanya pada orang beriman saja. Sehingga yang lebih tepat kita katakan, maksud ayat ini adalah kedekatan para malaikat.[3]

Mungkin ada yang mengatakan bahwa dalam surat Qaaf ayat 16 digunakan kata ‘Kami (nahnu)’, “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”, namun kenapa yang dimaksudkan adalah malaikat dan adakah contoh yang semisal?

Jawabannya, ada contoh ayat yang semisal. Sama-sama menggunakan kata ‘Kami (nahnu)’, namun yang dimaksudkan adalah kedekatan malaikat. Contohnya firman Allah Ta’ala,

لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ , إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ

Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (QS. Al Qiyamah: 16-17). Yang dimaksud dengan “Kami” di sini adalah Malaikat Jibril. Allah menyandarkan perbuatan Jibril pada diri-Nya karena Jibril adalah utusan-Nya. Sebagaimana dalam surat Qaaf ayat 16 Allah menyandarkan kedekatan malaikat pada diri-Nya karena malaikat adalah utusan-Nya. Hal itu dibuktikan dalam ayat,

أَمْ يَحْسَبُونَ أَنَّا لا نَسْمَعُ سِرَّهُمْ وَنَجْوَاهُمْ بَلَى وَرُسُلُنَا لَدَيْهِمْ يَكْتُبُونَ

Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.” (QS. Az Zukhruf: 80)[4]. Sehingga pendapat yang lebih tepat, yang dimaksud kedekatan dalam ayat tersebut adalah kedekatan malaikat sebagaimana pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Begitu pula jika kita temukan dalam ayat lainnya yang menyebutkan kedekatan secara umum (mencakup mukmin dan kafir), maka yang dimaksudkan adalah kedekatan para Malaikat.[5]

Kedekatan Allah dengan Orang Beriman

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa makna kedekatan bisa dua kemungkinan yaitu kedekatan Allah atau kedekatan malaikat-Nya, dan bukan berarti mengkonsekuensikan Allah ada di mana-mana. Begitu pula perlu dipahami bahwa kedekatan Allah di sini adalah hanya khusus untuk orang beriman dan bukan dengan orang kafir. Namun apakah kedekatan Allah dengan orang beriman dalam segala keadaan?

Jawabannya, kedekatan Allah di sini hanya dalam beberapa keadaan. Contoh kedekatan Allah adalah:

Pertama: Ketika berdo’a

Sebagaimana hal ini terdapat dalam ayat berikut.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), “Aku itu dekat”. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)

Begitu juga terdapat dalil dalam Shohih Muslim pada Bab ‘Dianjurkannya merendahkan suara ketika berdzikir’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِى تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَةِ أَحَدِكُمْ

Yang kalian seru adalah Rabb yang lebih dekat pada salah seorang di antara kalian daripada urat leher unta tunggangan kalian.”[6]

Kedua: Ketika sujud

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Tempat yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah do’a ketika itu.”[7]

Jadi kedekatan Allah adalah ketika seorang mukmin beribadah dan ketika seorang mukmin berdo’a. Adapun kedekatan secara umum adalah kedekatan para malaikat, sebagaimana pendapat yang lebih kuat.[8]

Akibat Salah Paham

Di antara akibat salah memahami kedekatan surat Qaaf ayat 16 tersebut adalah berkeyakinan Allah menyatu dengan makhluk atau Allah berada dalam makhluk.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Hal ini berbeda dengan pemahaman orang yang menyimpang. Mereka menyangka bahwa Tuhan mereka bercampur dengan darah dan daging manusia. Akibatnya mereka pun menyatakan bahwa manusia tidaklah semata-mata disebut makhluk. Mereka mengatakan bahwa Pencipta dan makhluk itu satu. Menurut sangkaan keliru mereka, Allah sebagai sesembahan berada di dalam dan luar urat leher manusia. Jadi menurut mereka, Allah itu bercampur dengan makhluk. [9] Maha Suci Allah dari sangkaan buruk mereka.

Allah Tetap Berada Di Atas Langit

Walaupun dalam pembahasan kali ini kami membahas kedekatan Allah, namun sekali lagi jangan dipahami bahwa maksud kedekatan di sini melazimkan Allah ada di mana-mana sebagaimana anggapan sebagian orang yang salah kaprah. Tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah yang berjalan di atas kebenaran yang menyatakan seperti itu. Allah tetap berada di atas langit sesuai dengan sifat yang layak bagi-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berada di atas ‘Arsy, terpisah dengan makhluk-Nya. Keyakinan inilah yang menjadi konsensus (ijma’) para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.[10]

Dalil-dalil yang mendukung keberadaan Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak, sampai-sampai ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa ada 1000 dalil yang mendukung hal ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas makhluk-makhluk-Nya. Sebagian mereka mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.”[11]

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya adalah:

Pertama: Ayat tegas yang menyatakan Allah beristiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy. ‘Arsy adalah makhluk Allah yang paling tinggi dan paling besar.

Contoh ayat tersebut adalah,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy .” (QS. Thaha: 5)

Kedua: Dalil yang menanyakan di manakah Allah. Seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya pada seorang budak, “Di mana Allah?” Budak itu menjawab,  “Di atas langit.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa saya?” Budak tersebut menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Merdekakanlah dia karena dia adalah seorang mukmin.” (HR. Muslim)

Adz Dzahabi mengatakan, “Inilah pendapat kami bahwa siapa saja yang ditanyakan di mana Allah, maka akan dibayangkan dengan fitrohnya bahwa Allah di atas langit. Jadi dalam riwayat ini ada dua permasalahan: [1] Diperbolehkannya seseorang menanyakan, “Di manakah Allah?” dan [2] Orang yang ditanya harus menjawab, “Di atas langit”.” Lantas Adz Dzahabi mengatakan, “Barangsiapa mengingkari dua permasalah ini berarti dia telah menyalahkan Musthofa (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [12]

Ketiga: Dalil yang menyatakan bahwa Allah menceritakan mengenai Fir’aun yang ingin menggunakan tangga ke arah langit agar dapat melihat Tuhannya Musa. Lalu Fir’aun mengingkari keyakinan Musa mengenai keberadaan Allah di atas langit. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا

Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”.” (QS. Al Mu’min: 36-37)

Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Mereka jahmiyah yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di atas langit, mereka itu termasuk pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian Dzat Allah di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut Muhammad.” [13]

Begitu pula empat imam madzhab bersepakat mengenai hal ini. Bahkan keyakinan ini adalah keyakinan semua nabi. Syaikh Abdul Qodir Al Jailani mengatakan, “Keyakinan bahwa Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya telah disebutkan dalam setiap kitab suci yang Allah turunkan pada para nabi.”[14]

Memang Betul Ilmu Allah Di Mana-Mana, Namun Bukan Dzat Allah

Jika dikatakan ilmu Allah di mana-mana, itu memang benar. Namun jika dikatakan bahwa Dzat Allah ada di mana-mana, maka perkataan seperti ini berarti telah mendustakan 1000 dalil dalam Al Qur’an. Lihatlah perkataan imam madzhab dan para ulama.

Abdullah bin Nafi’ berkata bahwa Malik bin Anas mengatakan, “Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[15]

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, namun setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[16]

Dari ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, dia berkata, “Aku berkata kepada Abdullah bin Al Mubarok, bagaimana kita mengenal Rabb kita ‘azza wa jalla. Ibnul Mubarok menjawab, “Rabb kita berada di atas langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy. Tidak boleh kita mengatakan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah berada di sini yaitu di muka bumi.” Kemudian ada yang menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal mengenai hal ini. Ibnul Mubarok menjawab, “Begitulah Imam Ahmad sependapat dengan kami.”[17]

Penutup

Dengan demikian seharusnya kita dapat mengkompromi antara dalil yang menyatakan Allah berada di atas langit dan dalil kedekatan atau kebersamaan Allah karena tidak mungkin ayat Al Qur’an satu dan lainnya saling bertentangan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Aqidah Al Wasithiyah mengatakan, “Kedekatan dan kebersamaan Allah yang disebutkan dalam Al Kitab dan As Sunnah tidaklah bertentangan denga ketinggian Allah Ta’ala. Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya dalam setiap sifat-sifat-Nya. Allah Maha Tinggi, namun dekat. Dia Maha Dekat, namun tetap berada di ketinggian.”

Kesimpulan:

  1. Allah berada di atas ‘Arsy sesuai dengan sifat yang layak bagi-Nya.
  2. Allah juga selalu dekat dengan hamba-Nya yang beriman, namun bukan berarti Dzat Allah di mana-mana.
  3. Ilmu Allah di mana-mana, namun Dzat Allah tetap di atas ‘Arsy-Nya.
  4. Tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah yang mengatakan kedekatan Allah dengan kedekatan Dzat-Nya sehingga berarti Allah ada di mana-mana.
  5. Allah Maha Tinggi, namun dekat. Dia Maha Dekat, namun tetap berada di ketinggian.
  6. Sesuatu yang mustahil bagi makhluk, tidak mustahil bagi Allah. Makhluk tidak mungkin dikatakan berada di tempat yang tinggi tetapi dekat, namun hal itu mungkin saja bagi Allah. Karena Allah Maha Besar, segala sesuatu sangat mungkin bagi Allah.
  7. Menurut pendapat yang lebih tepat, pada surat Qaaf ayat 16 (Kami lebih dekat dari urat leher), yang dimaksud adalah kedekatan malaikat. Jika ingin dimaknakan kedekatan Allah, maka yang dimaksudkan adalah kedekatan Allah dengan ilmu-Nya dan bukan berarti Dzat Allah di mana-mana.

Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada setiap muslim yang mengkaji risalah ini.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

 

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel https://rumaysho.com

Panggang, Gunung Kidul, 11 Dzulqo’dah 1430 H



[1] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 5/502, Darul Wafa’,  cetakan ketiga 1426 H.

[2] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 5/504-505. Lihat pula penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika menjelaskan surat Qaaf ayat 16 dalam Tafsir Al ‘Allamah Muhammad Al ‘Utsaimin, 8/15, Asy Syamilah

[3] Lihat Tafsir Al ‘Allamah Muhammad Al ‘Utsaimin, 8/15.

[4] Lihat Tafsir Al ‘Allamah Muhammad Al ‘Utsaimin, 8/15-16.

[5] Lihat Tafsir Al ‘Allamah Muhammad Al ‘Utsaimin, 8/16.

[6] HR. Muslim no 2704, dari Abu Musa.

[7] HR. Muslim no. 482, dari Abu Hurairah.

[8] Lihat Tafsir Al ‘Allamah Muhammad Al ‘Utsaimin, 8/16.

[9] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 5/501

[10] Idem

[11] Majmu’ Al Fatawa, 5/121

[12] Mukhtashor Al ‘Uluw, Syaikh Al Albani, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 81, Al Maktab Al Islamiy, cetakan kedua, 1412 H

[13] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Ibnu Abil ‘Izz Ad Dimasyqi , Dita’liq oleh Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth, 2/441, Mu’assasah Ar Risalah, cetakan kedua, 1421 H.

[14] Fathu Robbil Bariyyah bi Talkhishil Hamawiyyah, Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, hal. 33, Darul Atsar, cetakan pertama, 2002.

[15] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, Adz Dzahabiy, hal. 138, Asy Syamilah

[16] Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisy, hal. 116, Asy Syamilah

[17] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 139. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shohih.

Artikel yang Terkait

36 Komentar

  1. Assalamualaikum…, Subhallah …, sangat jelas , trima kasih tausiyahnya…., tapi masih saja ada yg mengaitkan dan percaya yg Allah dekat dgn tali leher , baru2 ini dalam satu group membuat semboyan yg sangat menyesatkan dgn bersumber dari QS, Al Qoof -ayat 16 , dan disimpulkan dgn kata2 yg mereka anggap benar , ” sesiapa yg dapat mengenali dirinya sendiri , maka akan mengenal Tuhannya , dgn berpegang pada ayat tersebut surah al Qoof ayat 16 , .. sungguh tafsiran yg sangat keliru…, ketika saya ajukan pertanyaan mereka enggan menjawab , saya bertanya pada mereka pengertian dekat yg bagaimana…? , dan pengertian adakah Tuhan berada pada diri manusia/ makhluknya …? , mereka menjawabnya dgn artian surat al Qoof ayat 16 … ternyata mereka hanya membaca oleh sendiri , dan buat kesimpulan sendiri , sedang ilmu islam yg bersumber alqur’an harus berguru/ustad (mursyid) dan harus jelas sumber2nya , masyalahnya di ajarkan kepada sebagian umat yg banyak , dan mereka merasa sudah benar karena mengambilnya dari Al qur’an , yg mau saya tanyakan , apakah amalan ini salah , yaitu memahami al Qur’an dgn sendiri..tanpa ustad/guru , adakah ia sesat…? , …, atas jawabannya saya ucapkan ribuan trima kasih…, wassalamualaikum

  2. Alhamdulillah penjelasan yang sangat lengkap dan mencerahkan dari Ustadz dan bisa menjawab semua kebingungan saya selama ini, dan ana bisa lebih merasa aman dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang menafsirkan dekat apa adanya sesuai apa yang diturunkan Allah dengan tetap menerapkan kaidah “laisa kamitslihi syaiun”.
    Insya Allah saya akan membaca artikel2 lain dari Ustadz yang selalu menarik untuk dibaca. Jazakallah khairon katsira.

  3. Alhandullillah saya sudah semakin paham Ustadz. DI buku Lum’atul I’tiqad Ibnu Qudamah disebutkan bahwa sifat dan nama Allah tidak boleh ditetapkan akal tapi hrs dengan dalil syar’i, dan tidak boleh tahrif dan ta’til sifat dan asma Allah. Mengenai “dekat” Allah di Al Baqarah 186 mnr ijma ulama “dekat” berarti “ilmuNya”. Bagaimana metdoe ulama dalam menetapkan sifat “dekat” ini menjadi “ilmuNya” dan adakah keterangan Nabi tentang “dekat” ini berarti “ilmuNya”? Karena “dekat ilmuNya” mnr orang awan adalah sulit dipahami, jadi saya bertanya ttg ini. Dan apakah ini bukan ayat mutasyabihat dan kira harus menerima “dekat” apa adanya dan percaya semua dari Allah tanpa takwil (QS 3:7) utk menghindari murka Allah.

  4. Maaf ustadz, memang menurut ulama dekat berarti ilmuNya, tapi maksud pertanyaan saya adalah berarti yang dekat adalah Allah bukannya malaikat karena artikel ini membahas khilaf ulama mengenai siapa “nahnu” ini sebenarnya, jadi pendapat yang lebih kuat menurut hadits ini “nahnu” adalah “Allah”. Benarkah begitu ustadz, atau ada kaedah lain utk menentukan pendapat yang kuat?

  5. Saya sangat awam mengenai tafsir quran, shg mohon penjelasan dari ustadz. Kalau saya melihat hadits Muslim di atas “Yang kalian seru adalah Rabb yang lebih dekat pada salah seorang di antara kalian daripada urat leher unta tunggangan kalian.” kok malah seperti menafsirkan ayat surat Qaf di atas bhw yg dekat adl Rabb bukan malaikat..bagaimana pendapat para ahli tafsir dan pendapat ustadz sendiri mengenai hadits ini, yang tentunya penafsirannya berdasarkan ilmu bahasa baik utk penafsiran quran dan hadits yg meneliti tiap kata dr keseluruhan ayat quran Qaf dan hadits Muslim ini.

    ‘Afwan Ustadz, saya kirim ulang komentar ini, takut pengiriman yang lalu gagal masuk sehingga tidak terbaca.
    Mohon dengan sangat untuk dijawab, supaya saya bisa paham, karena hal ini sangat membingungkan saya. Jazakallahu khoiro.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button