Manajemen Qolbu

3 Jenis Nafsu dalam Diri Manusia Menurut Islam: Ammarah, Lawwāmah, dan Muṭma’innah

Setiap manusia membawa potensi kebaikan dan keburukan dalam dirinya. Al-Qur’an menggambarkan bahwa jiwa manusia dapat berubah—kadang tunduk pada dorongan maksiat, kadang menyesali dosa, hingga mencapai ketenangan bersama Allah. Memahami tiga jenis nafsu ini membantu kita mengenali kondisi hati dan menapaki jalan menuju jiwa yang tenang (nafs muṭma’innah).

 

Apakah manusia memiliki tiga nafsu atau satu jiwa dengan banyak sifat?

Sebagian orang mengatakan bahwa manusia memiliki tiga macam jiwa:

  1. نَفْسٌ مُطْمَئِنَّةٌ (nafs muṭma’innah, jiwa yang tenang),
  2. نَفْسٌ لَوَّامَةٌ (nafs lawwāmah, jiwa yang suka mencela), dan
  3. نَفْسٌ أَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ (nafs ammārah bis-sū’, jiwa yang memerintahkan kepada keburukan).

Mereka berpendapat bahwa setiap orang akan dikuasai oleh salah satu dari tiga jenis jiwa ini.

Sebagai dalil, mereka mengutip beberapa ayat Al-Qur’an:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ

Wahai jiwa yang tenang.” (QS. Al-Fajr: 27)

لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ ۝ وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

Aku bersumpah dengan hari Kiamat. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang suka mencela.” (QS. Al-Qiyāmah: 1–2)

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي

Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Rabbku.” (QS. Yūsuf: 53)

Namun, menurut penelitian para ulama, hakikatnya jiwa manusia itu satu, hanya saja memiliki banyak sifat dan keadaan. Karena itu, setiap kali ia menampakkan satu sifat tertentu, ia dinamai sesuai dengan sifat tersebut.

 

1. Nafsu Muṭma’innah: Jiwa yang Tenang dan Tenteram

Disebut nafs muṭma’innah karena ia tenang kepada Rabb-nya. Ia tunduk dalam peribadahan, cinta, dan kembali kepada-Nya; bertawakal kepada-Nya, ridha dengan ketetapan-Nya, dan bersandar penuh kepada-Nya.

Ketenangan kepada Allah adalah hakikat yang datang dari-Nya ke dalam hati seorang hamba. Allah mengumpulkan hatinya agar fokus kepada-Nya, menarik hati yang tadinya lalai agar kembali kepada-Nya, hingga seolah-olah ia duduk di hadapan Allah dengan penuh ketenangan batin. Rasa tenteram itu meresap ke seluruh jiwa, hati, persendian, dan kekuatannya—lahir maupun batin.

Ketenangan sejati tidak mungkin didapatkan kecuali dengan Allah dan zikir kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra‘d: 28)

 

2. Nafsu Lawwāmah: Jiwa yang Suka Mencela

Allah bersumpah dengan jiwa ini dalam firman-Nya:

وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang suka mencela.” (QS. Al-Qiyāmah: 2)

Para ulama berbeda pendapat tentang maknanya:

a. Dihubungkan dengan taluwwum (berubah-ubah)

Sebagian mengatakan bahwa maksudnya adalah jiwa yang tidak menetap pada satu keadaan. Ia mudah berubah dan berbolak-balik, diambil dari kata taluwwum yang berarti kebimbangan atau keraguan.

Jiwa manusia memang penuh perubahan — bahkan dalam satu jam saja bisa berganti banyak keadaan. Ia bisa:

  • ingat lalu lalai,
  • mencintai lalu membenci,
  • lembut lalu keras,
  • taat lalu maksiat,
  • bertakwa lalu tergelincir,
  • gembira lalu sedih,
  • ridha lalu marah.

Itu semua merupakan tanda kebesaran Allah, karena Dia menciptakan makhluk yang begitu dinamis dan berubah-ubah dalam waktu singkat.

b. Dihubungkan dengan lawm (celaan)

Sebagian ulama lain mengatakan, lawwāmah berarti jiwa yang mencela dirinya sendiri. Hasan Al-Bashri rahimahullāh berkata: “Seorang mukmin selalu mencela dirinya. Ia berkata: Apa maksudku dengan ini? Mengapa aku melakukan itu? Seharusnya aku melakukan yang lebih baik.”

Jadi, nafs lawwāmah adalah jiwa orang beriman yang menyesali dosa, menegur dirinya atas kesalahan. Celaan itu adalah tanda keimanan.

Berbeda dengan orang durhaka, yang tidak pernah menyesali dosanya — bahkan menyesal ketika kehilangan kenikmatan maksiat.

Sebagian ulama juga berpendapat:

  • Jiwa orang saleh mencela diri karena meninggalkan ketaatan,
  • Sedangkan jiwa orang jahat mencela diri karena kehilangan hawa nafsu dan dunia.

Ada pula yang menafsirkan bahwa celaan itu terjadi pada Hari Kiamat, ketika setiap jiwa menyesal—baik karena dosa, maupun karena kurang dalam kebaikan.

Kesemua penafsiran ini benar dan tidak saling bertentangan, karena jiwa manusia memiliki semua sifat tersebut, sehingga ia dinamai lawwāmah (yang suka mencela).

 

Dua Jenis Nafsu Lawwāmah

  • Lawwāmah yang tercela, yaitu jiwa yang zalim dan bodoh, yang dicela oleh Allah dan para malaikat.
  • Lawwāmah yang terpuji, yaitu jiwa yang selalu menegur pemiliknya karena merasa kurang dalam beribadah, meskipun telah berusaha sekuat tenaga. Jiwa seperti ini tidak tercela, bahkan terpuji di sisi Allah.

 

3. Nafsu Ammārah: Jiwa yang Mengajak kepada Keburukan

Inilah jenis jiwa yang tercela.

Secara fitrah, ia selalu mengajak kepada keburukan kecuali bila Allah menolong dan meneguhkannya. Tidak ada seorang pun yang mampu selamat dari kejahatan jiwanya tanpa taufik Allah.

Sebagaimana firman-Nya dalam ucapan istri Al-‘Azīz:

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sungguh, Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yūsuf: 53)

Allah menguji manusia dengan dua sisi jiwanya — nafs ammārah dan nafs lawwāmah — serta memuliakannya dengan nafs muṭma’innah.

Semuanya adalah satu jiwa yang bisa berubah dari satu keadaan ke keadaan lain: dari ammārah menjadi lawwāmah, lalu naik menjadi muṭma’innah.

Itulah puncak kesempurnaan dan kebaikan jiwa manusia.

 

Pertolongan Allah dan Bisikan Jiwa

Allah menolong jiwa yang tenang dengan bala tentaranya:

  • Malaikat menjadi teman dan penolongnya, membimbing serta meneguhkannya di jalan kebaikan.
  • Sementara jiwa yang jahat dikelilingi oleh setan yang menjadi temannya, menyesatkan dan melemahkannya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

«إِنَّ لِلشَّيْطَانِ لَمَّةً بِابْنِ آدَمَ، وَلِلْمَلَكِ لَمَّةً، فَأَمَّا لَمَّةُ الشَّيْطَانِ فَإِيعَادٌ بِالشَّرِّ وَتَكْذِيبٌ بِالْحَقِّ، وَأَمَّا لَمَّةُ الْمَلَكِ فَإِيعَادٌ بِالْخَيْرِ وَتَصْدِيقٌ بِالْحَقِّ، فَمَنْ وَجَدَ ذَلِكَ فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ مِنَ اللَّهِ فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ، وَمَنْ وَجَدَ الْأُخْرَى فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ»

“Sesungguhnya setan memiliki bisikan (limmah) kepada anak Adam, dan malaikat juga memiliki bisikan. Bisikan setan adalah janji keburukan dan pendustaan terhadap kebenaran, sedangkan bisikan malaikat adalah janji kebaikan dan pembenaran terhadap kebenaran. Maka siapa yang merasakan bisikan baik itu, ketahuilah bahwa itu dari Allah, dan hendaklah ia memuji Allah. Dan siapa yang merasakan sebaliknya, hendaklah ia berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Kemudian beliau membaca firman Allah:

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاءِ

“Setan menjanjikan kemiskinan kepadamu dan menyuruhmu berbuat keji.” (QS. Al-Baqarah: 268)

Riwayat ini juga disebutkan oleh ‘Amr dari ‘Aṭā’ bin As-Sā’ib. Dalam riwayatnya, ‘Amr menambahkan penjelasan:

«إِذَا أَحَسَّ أَحَدُكُمْ مِنْ لَمَّةِ الْمَلَكِ شَيْئًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ، وَلْيَسْأَلْهُ مِنْ فَضْلِهِ، وَإِذَا أَحَسَّ مِنْ لَمَّةِ الشَّيْطَانِ شَيْئًا فَلْيَسْتَغْفِرِ اللهَ، وَلْيَتَعَوَّذْ مِنَ الشَّيْطَانِ».

“Kami mendengar dalam hadits ini bahwa dahulu dikatakan: ‘Apabila salah seorang di antara kalian merasakan bisikan (ilham) dari malaikat, hendaklah ia memuji Allah dan memohon karunia-Nya. Namun apabila ia merasakan bisikan dari setan, hendaklah ia memohon ampun kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari setan.’”

 

Kesimpulan

Jiwa manusia hanya satu, tetapi memiliki tiga keadaan:

  1. أَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ (ammārah) — condong kepada keburukan.
  2. لَوَّامَةٌ (lawwāmah) — menyesali dosa dan menegur diri.
  3. مُطْمَئِنَّةٌ (muṭma’innah) — mencapai ketenangan sempurna dalam ketaatan.

Perjalanan ruhani seorang mukmin adalah perjalanan menaikkan jiwanya dari tingkat terendah menuju tingkat tertinggi, hingga menjadi jiwa yang dipanggil lembut oleh Allah:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ۝ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan ridha dan diridhai.” (QS. الفجر [Al-Fajr]: 27–28)

 

 

—-

 

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Kamis, 06-11-2025

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button