Aqidah

Manakah yang Ditimbang di Mizan pada Hari Kiamat: Amal, Catatan, atau Pelakunya?

Tulisan ini mengulas makna al-Mīzān (timbangan amal) menurut bahasa dan istilah syariat, disertai dalil Al-Qur’an dan hadits sahih. Dijelaskan pula perbedaan pendapat ulama tentang apa yang ditimbang pada Hari Kiamat—apakah amalnya, catatan amalnya, atau pelakunya—beserta upaya pengompromiannya. Tujuannya agar pembaca semakin yakin pada keadilan Allah dan terdorong memperberat timbangan kebaikan dengan iman, akhlak, dan amal saleh.

 

 

 

Makna “Al-Mīzān” Secara Bahasa (Lughatan)

Secara bahasa, al-mīzān (الميزان) berarti alat yang digunakan untuk menimbang sesuatu.

Kata ini bentuk jamaknya adalah “mawāzīn” (موازين).

Adapun az-zinah (الزِّنة) bermakna ukuran berat suatu benda.

Sedangkan kata kerja wazn (وزن) secara asal bermakna keseimbangan dan keadilan, karena berasal dari akar kata yang menunjukkan makna penyesuaian, ketepatan, dan keadilan dalam ukuran.

 

Makna “Al-Mīzān” Secara Istilah (Iṣṭilāḥan)

Dalam istilah syariat, al-mīzān adalah timbangan yang hakiki dan nyata, yang memiliki dua daun timbangan (كِفَّتان) dan satu lidah penunjuk (لسان).

Dengan timbangan inilah amal perbuatan hamba — baik dan buruk — akan ditimbang pada hari keputusan di Padang Mahsyar.

 

Al-Qur’an dan Sunnah Menjelaskan tentang Timbangan Amal

Allah Ta‘ala telah mengabarkan tentang adanya timbangan amal dalam Al-Qur’an, secara umum dalam beberapa ayat, seperti firman-Nya:

﴿وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا ۖ وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ﴾

Dan Kami akan memasang timbangan-timbangan keadilan pada hari Kiamat, maka tidak ada satu jiwa pun yang akan dizalimi sedikit pun. Sekalipun amal itu hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiyā’: 47)

Ayat lainnya,

وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ ۚ فَمَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ۝ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُم بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ

“Timbangan pada hari itu adalah kebenaran. Maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa ringan timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri karena mereka mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 8–9)

Ayat lainnya lagi,

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا

“Mereka itulah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan terhadap pertemuan dengan-Nya, maka gugurlah amal-amal mereka. Oleh karena itu, Kami tidak akan memberikan kepada mereka timbangan (nilai) pada hari Kiamat.” (QS. Al-Kahfi [18]: 105)

Ibnu Jarīr rahimahullāh menjelaskan:

“يَقولُ تعالى ذِكرُه: هؤلاء الذينَ وصَفْنا صِفتَهم، الأخسَرون أعمالًا، الذينَ كَفَروا بحُجَجِ رَبِّهم وأدِلَّتِه، وأنكَروا لِقاءَه، فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ…”

“Allah Ta‘ala berfirman: orang-orang yang disebut dalam ayat ini adalah mereka yang paling merugi dalam amalnya, yaitu orang-orang yang kufur terhadap bukti-bukti dan hujjah Rabb mereka, serta mengingkari pertemuan dengan-Nya di hari akhir.”

Lalu beliau menjelaskan lebih lanjut:

“فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ”

“Maka gugurlah amal mereka, artinya seluruh amal mereka menjadi sia-sia, tidak ada balasan kebaikan yang bermanfaat bagi mereka di akhirat.”

“فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا”

“Kami tidak akan memberikan timbangan bagi mereka pada hari Kiamat, maksudnya Kami tidak menjadikan mereka memiliki bobot nilai amal sedikit pun.”

Beliau melanjutkan:

“وإنما عنى بذلك: أنَّهم لا تَثقُلُ بهم مَوازينُهم؛ لأنَّ المَوازينَ إنَّما تَثقُلُ بالأعمالِ الصَّالِحةِ، وليس لهؤلاء شَيءٌ من الأعمالِ الصَّالِحةِ فتَثقُلَ به مَوازينُهم.”

“Maksudnya adalah timbangan mereka tidak akan menjadi berat, karena timbangan hanya menjadi berat dengan amal-amal saleh, sedangkan mereka tidak memiliki amal saleh sama sekali yang bisa memberatkan timbangan mereka.” (Tafsīr ath-Ṭabarī, 18: 105)

Baca juga: Orang Kafir Tidak Dihitung Amalannya di Akhirat

Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:

«مَنِ احْتَبَسَ فَرَسًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِيمَانًا بِاللَّهِ وَتَصْدِيقًا بِوَعْدِهِ، فَإِنَّ شِبَعَهُ وَرِيَّهُ وَرَوْثَهُ وَبَوْلَهُ فِي مِيزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

Barang siapa menahan seekor kuda di jalan Allah, karena iman kepada Allah dan membenarkan janji-Nya, maka makanan kuda itu, minumnya, kotorannya, dan air kencingnya akan menjadi (berat) dalam timbangan amalnya pada hari Kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

‘Ali Al-Qārī rahimahullāh menjelaskan makna hadits ini dalam Mirqāt al-Mafātīḥ:

«مَنِ احْتَبَسَ فَرَسًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ»

Maksudnya adalah menahan dan mengikat seekor kuda untuk dirinya, dengan niat menggunakannya di jalan Allah, seperti untuk berjihad atau keperluan lain yang mendukung perjuangan Islam.

Bahkan sebagian ulama menyebut maknanya seperti mewakafkan seekor kuda untuk kepentingan jihad.

«إِيمَانًا بِاللَّهِ»

Kalimat ini menunjukkan niat dan motivasi amalnya, yakni menahannya karena keimanan kepada Allah dan keikhlasan semata-mata karena-Nya.

«وَتَصْدِيقًا بِوَعْدِهِ»

Maksudnya adalah percaya terhadap janji Allah akan pahala bagi orang yang menyiapkan dan memelihara kuda untuk jihad.

Dengan kata lain, orang itu seolah berkata, “Ya Allah, aku mempercayai janji-Mu atas pahala besar yang Engkau janjikan bagi orang yang menyiapkan kuda di jalan-Mu.”

«فَإِنَّ شِبَعَهُ وَرِيَّهُ وَرَوْثَهُ وَبَوْلَهُ فِي مِيزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

Artinya: segala hal yang berhubungan dengan kuda itu — makanan yang ia makan, minuman yang ia minum, kotoran dan air kencing yang ia keluarkan — semuanya akan menjadi pahala yang ditimbang di timbangan amal pemiliknya pada hari Kiamat.

Ini menunjukkan bahwa setiap hal kecil yang dilakukan dengan niat yang ikhlas di jalan Allah tidak akan sia-sia, bahkan sesuatu yang dianggap remeh seperti kotoran kuda pun memiliki nilai pahala di sisi Allah. (Mirqāt al-Mafātīḥ, 7:3002)

Baca juga: 6 Amalan yang Memberatkan Timbangan Kebaikan di Hari Kiamat

Dari Abu Darda’ radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:

«مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيءَ»

“Tidak ada sesuatu yang lebih berat di timbangan seorang mukmin pada hari Kiamat daripada akhlak yang baik. Dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang berkata kotor dan kasar.” (HR. At-Tirmidzi no. 2002, dinilai hasan sahih)

Ibnu ‘Allān rahimahullāh menjelaskan dalam Dalīl al-Fāliḥīn:

“هذا الحديث ظاهر في أن نفس العمل يُوزن بأن يُجسّد. وتَجسيدُ المعاني جائز، كما جاء: ((يُؤتى بالموت في صورة كبش)) الحديث.”

“Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa amal perbuatan itu sendiri akan ditimbang setelah dijadikan wujud nyata (tajsīd). Dan perwujudan makna-makna abstrak menjadi bentuk nyata adalah hal yang mungkin terjadi, sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang kematian yang akan didatangkan dalam bentuk seekor kambing, lalu disembelih di antara surga dan neraka.”

Artinya, akhlak yang baik bukan sekadar sifat batin, tetapi pada hari Kiamat akan Allah wujudkan dalam bentuk nyata yang memiliki bobot di timbangan amal.

Ibnu ‘Allān melanjutkan penjelasannya:

“وفي التقييد بالمؤمن إيماء إلى أن الكافر لا يُوزن عمله؛ لأنه لا طاعة له لتُوزن في مقابلة كفره، وهو أحد قولين في ذلك.”

“Disebutkan secara khusus kata ‘seorang mukmin’ dalam hadits ini karena orang kafir tidak akan ditimbang amalnya. Sebab ia tidak memiliki amal ketaatan yang dapat ditimbang untuk menandingi kekufurannya. Ini adalah salah satu dari dua pendapat ulama dalam masalah ini.”

Maksudnya, hanya amal orang beriman yang memiliki nilai di timbangan amal, karena amal mereka dibangun di atas fondasi iman. Adapun orang kafir, meskipun banyak berbuat baik di dunia, amalnya tidak memiliki nilai akhirat sebab tidak disertai dengan keimanan.

 

Mizan itu Punya Dua Daun dan Satu Lidah Penunjuk

Ibnu Qudāmah rahimahullāh menjelaskan:

«الميزانُ له كِفَّتانِ ولِسانٌ، تُوزَنُ به الأعمالُ، فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ.»

“Timbangan amal memiliki dua daun dan satu lidah penunjuk. Dengannya amal perbuatan manusia akan ditimbang. Allah Ta‘ala berfirman:

﴿فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ۝ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ﴾

Barang siapa berat timbangan amal kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa ringan timbangan amal kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang merugikan diri sendiri; mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” (QS. Al-Mu’minūn: 102–103)” (Lum‘at al-I‘tiqād, hlm. 39)

Pembicaraan tentang mizan dan catatan amal yang ditimbang, bisa dilihat dari tulisan:

Kartu Laa Ilaha Illallah Mengalahkan Catatan Dosa Sejauh Mata Memandang

As-Saffārīnī rahimahullāh menjelaskan:

«دَلَّتِ الآثارُ على أنَّه ميزانٌ حقيقيٌّ ذو كِفَّتينِ ولسانٍ، كما قال ابنُ عباسٍ، والحسنُ البصريُّ، وصَرَّحَ بذلك علماؤُنا، والأشعريَّةُ وغيرُهم، وقد بلغت أحاديثُه مبلغَ التواترِ، وانعقدَ إجماعُ أهلِ الحقِّ من المسلمين عليه.»

“Dalil-dalil dari berbagai atsar menunjukkan bahwa timbangan amal adalah timbangan yang hakiki, memiliki dua daun timbangan dan satu lidah penunjuk, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbās, Al-Hasan Al-Bashrī, dan ditegaskan pula oleh para ulama kita, termasuk kalangan Asy‘ariyyah dan lainnya. Hadits-hadits tentang timbangan amal telah mencapai derajat mutawatir, dan ijma‘ (kesepakatan) Ahlul Haq dari kalangan umat Islam telah terbentuk atas kebenaran keyakinan ini.” (Lawāmi‘ al-Anwār al-Bahiyyah, 2:125)

Beliau berkata,

«ظَواهِرُ الآثارِ وأقوالُ العُلَماءِ: أنَّ كيفيَّةَ الوزنِ في الآخرةِ -خِفَّةً وثِقلًا- مِثلُ كيفيَّتِه في الدنيا، ما ثَقُلَ نَزَلَ إلى أسفلَ، ثُمَّ يُرفَعُ إلى علِّيِّينَ، وما خَفَّ طاشَ إلى أعلى ثُمَّ نَزَلَ إلى سِجِّينٍ، وبه صرَّحَ جموعٌ.»

“Teks-teks hadits dan pernyataan para ulama menunjukkan bahwa mekanisme timbangan di akhirat — berat dan ringannya amal — serupa dengan cara kerja timbangan di dunia. Apa yang berat, maka ia akan turun ke bawah lalu diangkat ke tempat yang tinggi (Illiyyīn), dan apa yang ringan, maka ia akan naik ke atas lalu terjatuh ke tempat yang rendah (Sijjīn). Pendapat ini telah ditegaskan oleh banyak ulama.” (Lawāmi‘ al-Anwār al-Bahiyyah, 2:126)

 

Perbedaan Pendapat Ulama tentang Jumlah Timbangan Amal

Ibnu Ḥajar rahimahullāh menjelaskan dalam Fatḥ al-Bārī:

«الموازينُ جمعُ ميزانٍ… واختُلِفَ في ذِكرِه هنا بلفظِ الجمعِ: هل المرادُ أن لكلِّ شخصٍ ميزانًا، أو لكلِّ عملٍ ميزانٌ، فيكونُ الجمعُ حقيقةً، أو ليس هناك إلا ميزانٌ واحدٌ والجمعُ باعتبارِ تعدُّدِ الأعمالِ أو الأشخاصِ؟»

“Kata al-mawāzīn (timbangan-timbangan) adalah bentuk jamak dari al-mīzān. Ulama berbeda pendapat: apakah maksud jamak ini adalah bahwa setiap orang memiliki timbangan masing-masing, atau setiap amal memiliki timbangan tersendiri, sehingga bentuk jamak digunakan secara hakiki? Ataukah sebenarnya hanya ada satu timbangan, namun disebut jamak karena banyaknya amal atau orang yang ditimbang?”

Ibnu Ḥajar kemudian menyebutkan kemungkinan lain:

«ويُحتملُ أن يكونَ الجمعُ للتفخيمِ، كما في قوله تعالى: كذبت قوم نوح المرسلين، مع أنه لم يُرسل إليهم إلا واحدٌ.»

“Ada juga kemungkinan bentuk jamak ini digunakan untuk menunjukkan pengagungan (ta‘ẓīm), sebagaimana firman Allah: ‘Kaum Nuh mendustakan para rasul’ (padahal hanya satu rasul yang diutus kepada mereka).” Beliau menyimpulkan,

«والذي يترجحُ أنه ميزانٌ واحدٌ، ولا يُشكِلُ بكثرةِ من يُوزنُ عملُه؛ لأنَّ أحوالَ القيامةِ لا تُكيَّفُ بأحوالِ الدنيا.»

“Pendapat yang paling kuat adalah bahwa timbangan itu hanya satu, dan banyaknya orang yang ditimbang bukanlah masalah, sebab keadaan di akhirat tidak bisa diukur dengan keadaan dunia.” (Fatḥ al-Bārī, 11:365)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimīn rahimahullāh menjelaskan,

«اختَلَفَ العُلَماءُ: هل هو ميزانٌ واحدٌ أو متعدِّدٌ؟ فقال بعضُهم: متعدِّدٌ بحسبِ الأممِ أو الأفرادِ أو الأعمالِ؛ لأنَّه لم يرد في القرآن إلا مجموعًا، وأمَّا إفرادُه في الحديث فباعتبارِ الجنسِ. وقال بعضُهم: هو ميزانٌ واحدٌ؛ لأنَّه ورد الحديثُ مفردًا، وأما جمعُه في القرآن فباعتبارِ الموزونِ، وكلا الأمرينِ محتملٌ، والله أعلم.»

“Para ulama berbeda pendapat apakah timbangan amal itu satu atau banyak. Sebagian berpendapat banyak, sesuai dengan jenis amal, individu, atau umat, karena dalam Al-Qur’an selalu disebut dalam bentuk jamak. Namun sebagian lain berpendapat satu, karena dalam hadits disebut dalam bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamak dalam Al-Qur’an hanya karena banyaknya amal yang ditimbang. Kedua pendapat ini mungkin benar, dan Allah-lah yang lebih mengetahui hakikatnya.” (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:586)

 

Perbedaan Pendapat Ulama tentang Apa yang Ditimbang

Para ulama berbeda pendapat mengenai apa yang sebenarnya ditimbang pada hari Kiamat (al-mawzūn) — apakah amalnya, pelakunya, atau catatan amalnya.

Berikut penjelasan dan dalil dari masing-masing pandangan.

 

Pendapat Pertama: Yang Ditimbang adalah Amal Itu Sendiri

Pendapat pertama menyatakan bahwa yang ditimbang pada hari Kiamat adalah amalan itu sendiri (al-a‘māl nafsuhā).

Dalilnya adalah hadits-hadits yang secara jelas menunjukkan bahwa amal dapat memiliki berat di timbangan.

Di antaranya sabda Rasulullah ﷺ dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu:

«كَلِمَتَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ، خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ»

Dua kalimat yang dicintai oleh Ar-Rahman, ringan di lisan namun berat di timbangan: Subhānallāh wa biḥamdih, Subhānallāh al-‘Aẓīm.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Juga hadits dari Abu Darda’ radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:

«مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ»

Tidak ada sesuatu yang lebih berat di timbangan daripada akhlak yang baik.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)

Ibnu Katsir rahimahullāh berkata:

**«وقد وردت الأحاديث بوزن الأعمال أنفسها، كما في صحيح مسلم، من طريق أبي سلام، عن أبي مالك الأشعري، قال: قال رسول الله ﷺ:
(الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمَانِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلآنِ مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ، وَالصَّلاةُ نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو، فَبَائِعٌ نَفْسَهُ، فَمُعْتِقُهَا، أَوْ مُوبِقُهَا)).»**

“Telah datang hadits-hadits yang menunjukkan bahwa amal itu sendiri akan ditimbang, sebagaimana dalam Shahih Muslim dari jalur Abu Salām dari Abu Mālik Al-Asy‘arī radhiyallāhu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

‘Kesucian adalah separuh dari iman. Ucapan alhamdulillāh memenuhi timbangan. Ucapan subhānallāh dan alhamdulillāh memenuhi ruang antara langit dan bumi. Shalat adalah cahaya, sedekah adalah bukti, sabar adalah sinar, dan Al-Qur’an adalah hujjah bagimu atau atasmu. Setiap manusia berangkat pagi hari, menjual dirinya; ada yang memerdekakannya dan ada pula yang mencelakakannya.’” (HR. Muslim, no. 223)

Ibnu Katsir kemudian menegaskan:

«فقوله: (والحمد لله تملأ الميزان) فيه دلالة على أن العمل نفسه يوزن، وذلك بأحد شيئين.»

“Ucapan Nabi ﷺ ‘alhamdulillāh memenuhi timbangan’ menunjukkan bahwa amal itu sendiri ditimbang, dan hal ini dapat terjadi dengan dua cara.”

 

Dua Kemungkinan Cara Amal Ditimbang

1. Amal itu sendiri diubah menjadi bentuk nyata

Ibnu Katsir menjelaskan:

«إما أن العمل نفسه وإن كان عرضًا قد قام بالفاعل، يحيله الله تعالى يوم القيامة، فيجعله ذاتًا توضع في الميزان، كما ورد في الحديث الذي أخرجه ابن أبي الدنيا… عن النبي ﷺ قال:
(أثقل شيء يوضع في الميزان خلق حسن).»

“Pertama, amal itu sendiri — meskipun bersifat abstrak dan melekat pada pelakunya — akan dijadikan Allah sebagai sesuatu yang nyata di hari Kiamat, lalu diletakkan di timbangan. Sebagaimana disebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunyā dan juga Imam Ahmad, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Amalan yang paling berat diletakkan di timbangan adalah akhlak yang baik.’” (HR. Ahmad dan Ibnu Abid Dunyā)

Hadits ini menunjukkan bahwa amal seperti akhlak — meskipun bersifat maknawi — akan diwujudkan secara fisik untuk ditimbang.

2. Amal ditimbang melalui lembaran catatan amal

Kemungkinan kedua menurut Ibnu Katsir:

«الأمر الثاني: أن العمل نفسه يوزن بوضع الصحيفة التي كتب فيها العمل، فيوزن العمل بالصحيفة، كما في حديث البطاقة. والله أعلم.»

“Kedua, amal ditimbang melalui lembaran catatan amal (ash-shaḥīfah) yang mencatat semua perbuatan.
Amal itu akan ditimbang bersama catatan amalnya, sebagaimana disebut dalam hadits Al-Bithāqah (kartu amal).

Wallāhu a‘lam.”

Hadits Al-Bithāqah menjelaskan bahwa seorang hamba akan didatangkan pada hari Kiamat dengan 99 lembar catatan dosa, lalu Allah mendatangkan sebuah kartu kecil bertuliskan LAA ILAHA ILLALLAH dan kartu itu lebih berat di timbangan daripada semua catatan dosanya (HR. Tirmidzi, no. 2639).

Ibnu Katsir menambahkan:

«وقد جاء أن العامل نفسه يوزن، كما قال البخاري… عن النبي ﷺ قال:
(إنه ليأتي الرجل العظيم السمين يوم القيامة لا يزن عند الله جناح بعوضة، وقال: اقرؤوا إن شئتم: فلا نقيم لهم يوم القيامة وزنًا).»

“Telah datang pula riwayat bahwa pelaku amal itu sendiri akan ditimbang, sebagaimana disebutkan oleh Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya akan datang seseorang yang besar dan gemuk pada hari Kiamat, namun ia tidak seberat sayap seekor nyamuk di sisi Allah. Bacalah jika kalian mau: “Maka Kami tidak akan memberikan kepada mereka timbangan apa pun pada hari Kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 105)’” (HR. Bukhari dan Muslim) (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 19:504)

Hadits ini menunjukkan bahwa yang tidak memiliki nilai amal — meski besar tubuhnya — tidak akan memiliki bobot di sisi Allah.

 

Pendapat Kedua: Yang Ditimbang adalah Pelaku Amalnya

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang ditimbang pada hari Kiamat adalah pelaku amal itu sendiri.

Pendapat ini berdasarkan beberapa hadits sahih yang menunjukkan bahwa tubuh seseorang bisa memiliki nilai berat atau ringan di sisi Allah, tergantung kadar keimanannya dan amal perbuatannya.

Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

«إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، وَقَالَ: اقْرَؤُوا: فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا»

“Sungguh akan datang seseorang yang besar dan gemuk pada hari Kiamat, namun tidak memiliki bobot di sisi Allah sebesar sayap seekor nyamuk. Bacalah firman Allah:‘Maka Kami tidak akan memberikan kepada mereka timbangan pada hari Kiamat’.” (QS. Al-Kahfi: 105, HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa pelaku amal itu sendiri bisa ditimbang, dan bagi orang kafir, meskipun tubuhnya besar dan kuat, tetap tidak bernilai di sisi Allah karena amalnya tidak memiliki bobot keimanan.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu, bahwa ia pernah memetik ranting siwak dari pohon arak. Karena betisnya kurus, angin membuatnya oleng, dan para sahabat tertawa melihatnya.
Rasulullah ﷺ bersabda:

«مِمَّ تَضْحَكُونَ؟!»

Mereka menjawab: “Wahai Nabi Allah, kami tertawa karena betisnya yang kurus.”

Maka Rasulullah ﷺ bersabda:

«وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَهُمَا أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ أُحُدٍ»

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kedua betisnya lebih berat di timbangan daripada (Gunung) Uhud.” (HR. Ahmad, dengan sanad sahih)

Hadits ini tidak bermakna bahwa betis Ibnu Mas‘ūd benar-benar akan diletakkan di timbangan secara fisik, tetapi menunjukkan bahwa nilai amal dan keimanannya yang tinggi menjadikan dirinya memiliki bobot besar di sisi Allah.

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqiṭī rahimahullāh menjelaskan: “Sunnah yang sahih telah menunjukkan bahwa makna ayat (QS. Al-Kahfi: 105) mencakup orang kafir yang bertubuh besar dan gemuk, namun tidak memiliki bobot di sisi Allah sebesar sayap nyamuk. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, dalam tafsir ayat tersebut, dengan sanad dari Muhammad bin Abdullah, dari Sa‘id bin Abi Maryam, dari Al-Mughīrah bin ‘Abdirrahman, dari Abu Az-Zinād, dari Al-A‘raj, dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ:

«إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، وَقَالَ: اقْرَؤُوا فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا»

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya. Hadits ini menjadi dalil bahwa diri orang kafir yang besar dan gemuk tidak memiliki bobot di sisi Allah, dan dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa tubuh manusia bisa ditimbang di hari Kiamat.” (Adhwa’ul Bayan, tafsir QS. Al-Kahfi: 105)

Para ulama menjelaskan bahwa maksud ditimbangnya seseorang bukan berarti fisiknya semata yang memberi berat, melainkan nilai amal dan keimanannya. Orang kafir tidak memiliki amal saleh yang bisa memberi bobot, sehingga dirinya tidak bernilai di sisi Allah. Sedangkan orang beriman, meskipun tubuhnya kecil dan lemah, namun imannya membuat dirinya berat di timbangan amal.

 

Pendapat Ketiga: Yang Ditimbang adalah Catatan Amal

Pendapat ketiga menyatakan bahwa yang ditimbang pada hari Kiamat adalah lembaran catatan amal (ṣaḥā’if al-a‘māl).

Pendapat ini berdasarkan hadits Al-Bithāqah (Hadits Kartu Amal) yang sahih dan masyhur, serta didukung oleh banyak ulama tafsir dan aqidah.

Baca juga: Hadits Al-Bithāqah: Kartu Tauhid yang Mengalahkan 99 Catatan Dosa

 

Kesimpulan Pendapat

Dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, beliau berkata:

«الذي يوزن العمل؛ لظاهر الآية السابقة والحديث بعدها، وقيل: صحائف العمل؛ لحديث صاحب البطاقة، وقيل: العامل نفسه؛ لحديث أبي هريرة…، وجمع بعض العلماء بين هذه النصوص بأن الجميع يوزن، أو أن الوزن حقيقة للصحائف، وحيث إنها تثقل وتخف بحسب الأعمال المكتوبة صار الوزن كأنه للأعمال، وأما وزن صاحب العمل فالمقصود به قدره وحرمته، وهذا جمع حسن، والله أعلم.»

“Yang ditimbang adalah amal, sebagaimana tampak jelas dalam ayat dan hadits. Ada juga yang mengatakan catatan amal, berdasarkan hadits pemilik kartu lā ilāha illallāh. Ada pula yang mengatakan pelaku amal itu sendiri, sebagaimana hadits Abu Hurairah tentang orang gemuk yang tidak seberat sayap nyamuk di sisi Allah. Sebagian ulama menggabungkan semua riwayat ini dengan mengatakan bahwa semuanya benar:

  • Amal itu sendiri yang ditimbang,
  • Catatan amal juga ditimbang,
  • Dan pelakunya bisa saja ditimbang,

atau bahwa yang ditimbang secara nyata adalah catatan amal, karena berat-ringan catatan itu bergantung pada isi amalnya, sehingga seakan-akan yang ditimbang adalah amal itu sendiri. Adapun penimbangan pelaku amal, maka yang dimaksud adalah nilai, kedudukan, dan kehormatannya di sisi Allah. Ini adalah penggabungan yang baik. Wallāhu a‘lam.”

Ya Allah, Rabb yang Maha Adil, mudahkan kami untuk memperberat timbangan kebaikan dengan keikhlasan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Ampunilah dosa-dosa kami, terimalah amal kami, dan jauhkan kami dari perkara yang meringankan timbangan di hadapan-Mu.

اللّهُمَّ ثَقِّلْ مَوَازِينَنَا بِالطَّاعَاتِ، وَاجْعَلْ خَيْرَ أَعْمَالِنَا خَوَاتِيمَهَا، وَخَيْرَ أَيَّامِنَا يَوْمَ نَلْقَاكَ. آمِينَ.

 

Referensi: Dorar.Net

 

—-

Ditulis @ Pontren DS, 8 Jumadilawal 1447 H, 30 Oktober 2025

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button