Keutamaan Masjidil Aqsha dan Kewajiban Umat Islam Menjaganya
Masjidil Aqsha adalah salah satu masjid paling mulia dalam Islam, tempat yang Allah kaitkan langsung dengan perjalanan Isra’ Nabi ﷺ. Di tanah suci ini para nabi pernah hidup, berdakwah, bahkan dimakamkan, menjadikannya pusat sejarah dan peradaban tauhid. Banyak hadits menegaskan keutamaannya, termasuk pahala shalat yang berlipat dan kedudukannya sebagai salah satu dari tiga masjid utama. Kini, tanggung jawab kaum muslimin adalah menjaga dan membela Masjidil Aqsha sebagai amanah hingga akhir zaman.
Keutamaan Masjidil Aqsha: Perjalanan Isra’ Nabi ﷺ
Salah satu keutamaan Masjidil Aqsha adalah bahwa Allah ﷻ menjadikannya sebagai tujuan perjalanan malam Nabi ﷺ dari Masjidil Haram. Dari sanalah beliau kemudian mengimami para nabi dalam shalat, sebuah peristiwa agung yang menunjukkan kemuliaan Rasulullah ﷺ dan kedudukan Masjidil Aqsha dalam Islam.
Allah ﷻ berfirman:
﴿ سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ﴾
“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’: 1)
Perjalanan agung ini menegaskan betapa Masjidil Aqsha memiliki ikatan erat dengan Masjidil Haram, sekaligus menjadi simbol persatuan umat Islam dengan para nabi sebelumnya.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Allah ﷻ memuji diri-Nya dan mengagungkan kedudukan-Nya karena kekuasaan-Nya atas sesuatu yang tidak mungkin mampu dilakukan oleh siapa pun selain-Nya. Maka tidak ada sesembahan selain Dia, dan tidak ada Tuhan selain Dia.
- Firman-Nya: (الذي أسرى بعبده) maksudnya adalah Nabi Muhammad ﷺ.
- Firman-Nya: (ليلا) yakni pada sebagian waktu malam.
- Firman-Nya: (من المسجد الحرام) yaitu Masjidil Haram di Mekkah.
- Firman-Nya: (إلى المسجد الأقصى) yakni Baitul Maqdis yang berada di Iliya (Yerusalem), tempat yang menjadi pusat para nabi sejak Nabi Ibrahim al-Khalil ‘alaihis-salām.
Karena itulah, seluruh para nabi dikumpulkan untuk beliau di sana. Lalu Rasulullah ﷺ menjadi imam mereka di tempat tinggal dan negeri mereka. Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah imam terbesar, pemimpin utama, dan yang paling dimuliakan. Semoga shalawat dan salam Allah tercurah kepada beliau dan seluruh nabi.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Hadits Abu Hurairah tentang Isra’ Nabi ﷺ
Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya aku pernah berada di Hijr (Hijr Ismail), lalu Quraisy menanyai aku tentang perjalananku di malam Isra’. Mereka bertanya kepadaku tentang beberapa hal dari Baitul Maqdis yang sebelumnya aku tidak menghafalnya. Maka aku merasa sangat gelisah, sebuah kegelisahan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Lalu Allah memperlihatkan Baitul Maqdis kepadaku sehingga aku bisa melihatnya dengan jelas. Tidaklah mereka bertanya kepadaku tentang sesuatu kecuali aku jawab dengan benar.
Dan sungguh aku pernah berada di tengah kumpulan para nabi. Tiba-tiba Musa ‘alaihissalām berdiri menunaikan shalat. Beliau seorang lelaki berkulit cokelat, berambut keriting, seakan-akan seperti salah seorang lelaki dari kabilah Syanu’ah.
Kemudian aku melihat Isa putra Maryam ‘alaihis salām sedang berdiri shalat. Orang yang paling mirip dengannya adalah ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi.
Lalu aku melihat Ibrahim ‘alaihissalām berdiri menunaikan shalat. Orang yang paling mirip dengannya adalah sahabat kalian ini (maksudnya: aku sendiri).
Tibalah waktu shalat, maka aku mengimami mereka. Setelah aku selesai shalat, ada seseorang berkata: ‘Wahai Muhammad, ini Malik penjaga neraka. Sampaikan salam kepadanya.’ Maka aku menoleh kepadanya, dan ternyata ia yang lebih dahulu memberi salam kepadaku.” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini tampak jelas bahwa Nabi ﷺ secara tegas menyebutkan dirinya berada di depan seluruh para rasul dan mengimami mereka. Shalatnya para rasul di belakang beliau merupakan pengakuan mereka atas kedudukan, keutamaan, dan kemuliaan Nabi Muhammad ﷺ.
Hal ini juga menunjukkan bahwa risalah yang dibawa beliau telah menghapus semua risalah sebelumnya. Maka syariat-syariat para nabi terdahulu tidak lagi diamalkan dan tidak menjadi rujukan. Tanggung jawab atas Masjidil Aqsha pun berpindah kepada risalah penutup yang Allah sempurnakan melalui Nabi kita Muhammad ﷺ.
Dengan kata lain, Masjidil Aqsha adalah milik kaum muslimin hingga hari kiamat, sebagaimana disaksikan dan diakui oleh seluruh para rasul.
Para ulama memang berbeda pendapat tentang lokasi dan waktu shalat bersama para nabi ini. Namun pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hal itu terjadi di Baitul Maqdis setelah peristiwa Mi’raj.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Kemudian Nabi ﷺ turun ke Baitul Maqdis, dan para nabi juga turun bersamanya. Beliau pun menunaikan shalat bersama mereka di sana ketika waktu shalat telah tiba. Ada kemungkinan bahwa shalat itu adalah shalat Subuh pada hari tersebut.
Sebagian orang berpendapat bahwa beliau mengimami para nabi di langit. Akan tetapi, riwayat-riwayat yang kuat menunjukkan bahwa hal itu terjadi di Baitul Maqdis. Namun ada sebagian riwayat yang menyebutkan bahwa shalat itu dilakukan saat pertama kali beliau memasuki Baitul Maqdis. Yang lebih tepat, shalat itu terjadi setelah beliau kembali ke sana.
Sebab, ketika beliau melewati para nabi di tempat kediaman mereka, beliau bertanya kepada Jibril tentang mereka satu per satu, dan Jibril memberitahukan siapa mereka. Hal ini lebih sesuai, karena pada awalnya beliau memang diminta untuk naik ke hadirat Ilahi di langit guna menerima kewajiban yang Allah tetapkan atas beliau dan umatnya.
Setelah selesai dari urusan tersebut, barulah beliau berkumpul bersama saudara-saudara beliau dari kalangan para nabi. Lalu ditampakkanlah kemuliaan dan keutamaan beliau di atas mereka dengan dijadikannya beliau sebagai imam shalat. Hal ini pun atas isyarat dari Malaikat Jibril kepadanya.
Setelah itu beliau keluar dari Baitul Maqdis, menunggangi Buraq, lalu kembali ke Mekkah dalam keadaan masih gelap. Allah Subhānahu wa Ta‘ālā lebih mengetahui.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Syaikh Al-Albani rahimahullah juga menguatkan hal ini. Beliau berkata:
“Yang benar adalah bahwa Nabi ﷺ bertemu dengan para nabi di langit, kemudian turun kembali ke Baitul Maqdis bersama mereka. Di sanalah beliau mengimami mereka dalam shalat. Setelah itu, beliau menunggangi Buraq dan kembali menuju Mekkah. Allah lebih mengetahui.” (Al-Isrā’ wal-Mi‘rāj, Al-Albani)
Catatan:
Buraq (ٱلْبُرَاقُ) adalah hewan tunggangan yang Allah ﷻ khususkan untuk perjalanan Nabi ﷺ pada peristiwa Isra’ Mi‘raj.
Ciri-ciri Buraq berdasarkan hadis:
1. Disebutkan dalam hadis sahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:
«أُتِيتُ بِالْبُرَاقِ – وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ طَوِيلٌ، فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُونَ الْبَغْلِ، يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ»
“Aku didatangkan dengan Buraq — yaitu seekor hewan putih, panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari bagal. Setiap langkahnya sejauh pandangan mata.” (HR. Muslim no. 162)
2. Buraq adalah kendaraan yang sangat cepat, bahkan lebih cepat dari cahaya. Ia mampu menempuh jarak yang jauh hanya dalam sekejap.
3. Buraq bukanlah hewan biasa yang hidup di dunia, melainkan ciptaan khusus Allah ﷻ untuk mengantarkan Nabi ﷺ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian dari Aqsha menuju langit dalam perjalanan Mi‘raj.
Makna spiritual:
• Perjalanan dengan Buraq menunjukkan kemuliaan Rasulullah ﷺ di sisi Allah, karena Allah memuliakan beliau dengan tunggangan yang tidak diberikan kepada siapa pun sebelumnya.
• Hal ini juga mengajarkan bahwa kekuasaan Allah melampaui batas akal manusia, sebab perjalanan yang mustahil secara logika dapat terjadi dengan izin-Nya.
Keutamaan Masjidil Aqsha: Termasuk Tiga Masjid Utama
Di antara keutamaan Masjidil Aqsha adalah bahwa ia termasuk salah satu dari tiga masjid yang disyariatkan untuk melakukan perjalanan jauh khusus demi beribadah di dalamnya.
Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Qaz‘ah, maula Ziyad. Ia berkata: Aku mendengar Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallāhu ‘anhu menyampaikan empat hal dari Nabi ﷺ yang membuatku kagum dan senang. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ يَوْمَيْنِ إِلَّا مَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ، وَلَا صَوْمَ فِي يَوْمَيْنِ: الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاتَيْنِ: بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ، وَلَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى، وَمَسْجِدِي.
“Seorang wanita tidak boleh melakukan perjalanan selama dua hari kecuali bersama suaminya atau mahramnya. Tidak boleh berpuasa pada dua hari, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Tidak boleh shalat setelah dua shalat, yaitu setelah Subuh hingga matahari terbit, dan setelah Ashar hingga matahari terbenam. Dan tidak boleh melakukan perjalanan jauh (untuk tujuan ibadah) kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan masjidku ini (Masjid Nabawi).” (HR. al-Bukhari)
Hadits ini mengandung empat hukum penting:
1. Larangan seorang wanita melakukan safar tanpa ditemani suami atau mahramnya.
2. Larangan berpuasa pada hari Idulfitri dan Iduladha.
3. Larangan melaksanakan shalat sunnah setelah Subuh hingga matahari terbit, serta setelah Ashar hingga matahari terbenam.
4. Larangan melakukan perjalanan jauh secara khusus untuk beribadah di masjid selain tiga masjid utama: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha.
Keutamaan Shalat di Masjidil Aqsha
Shalat di Masjidil Aqsha memiliki keutamaan yang jauh lebih besar dibanding shalat di masjid lainnya, yaitu senilai dua ratus lima puluh kali lipat dibanding shalat di masjid biasa.
Hal ini sebagaimana dalam hadits dari Abu Dzar radhiyallāhu ‘anhu. Ia berkata:
تَذَاكَرْنَا وَنَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهُمَا أَفْضَلُ مَسْجِدُ رَسُولِ اللَّهِ، أَوْ مَسْجِدُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ فِيهِ، وَلَنِعْمَ الْمُصَلَّى، وَلَيُوشِكَنَّ أَنْ لَا يَكُونَ لِلرَّجُلِ مِثْلُ شَطَنِ فَرَسِهِ مِنَ الْأَرْضِ حَيْثُ يَرَى مِنْهُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا جَمِيعًا، أَوْ قَالَ: خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا.
“Kami pernah berdiskusi di hadapan Rasulullah ﷺ, manakah yang lebih utama: Masjid Rasulullah atau Masjid Baitul Maqdis? Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Satu shalat di masjidku ini lebih utama dibanding empat shalat di Masjidil Aqsha. Dan Masjidil Aqsha adalah sebaik-baik tempat shalat. Akan datang suatu masa di mana seseorang memiliki sebidang tanah kecil seluas tali kekang kudanya, dari situlah ia bisa melihat Baitul Maqdis, maka itu lebih baik baginya daripada seluruh dunia dan isinya, atau beliau bersabda: lebih baik daripada dunia seisinya.’” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, beliau mensahihkannya, dan disepakati oleh adz-Dzahabi)
Masjidil Aqsha: Masjid Kedua yang Dibangun di Bumi
Masjidil Aqsha adalah masjid kedua yang dibangun di muka bumi. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Dzar radhiyallāhu ‘anhu.
قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ أَوَّلُ؟ قَالَ: «الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ». قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى». قُلْتُ: كَمْ بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: «أَرْبَعُونَ سَنَةً، ثُمَّ أَيْنَمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ بَعْدُ فَصَلِّ، فَإِنَّ الْفَضْلَ فِيهِ».
Ia berkata: “Aku bertanya: Wahai Rasulullah, masjid manakah yang pertama kali diletakkan di bumi? Beliau menjawab: ‘Masjidil Haram.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian yang mana?’ Beliau menjawab: ‘Masjidil Aqsha.’ Aku bertanya: ‘Berapa jarak waktu antara keduanya?’ Beliau menjawab: ‘Empat puluh tahun. Setelah itu, di mana saja waktu shalat mendapati engkau, maka dirikanlah shalat, karena di sanalah terdapat keutamaan.’” (HR. al-Bukhari)
Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menjelaskan:
“Ibrahim ‘alaihis-salām bukanlah orang pertama yang membangun Ka’bah, dan Sulaiman ‘alaihis-salām juga bukan yang pertama membangun Baitul Maqdis. Telah diriwayatkan bahwa orang yang pertama kali membangun Ka’bah adalah Nabi Adam ‘alaihis-salām. Lalu keturunannya menyebar di muka bumi. Maka mungkin saja salah seorang di antara mereka yang meletakkan dasar Masjidil Aqsha. Adapun Ibrahim ‘alaihis-salām membangun Ka’bah kembali sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Demikian pula al-Qurthubi mengatakan bahwa hadits ini tidak menunjukkan bahwa Ibrahim dan Sulaiman benar-benar memulai pembangunan kedua masjid itu dari awal, melainkan keduanya memperbarui bangunan yang sudah diletakkan sebelumnya.” (Fath al-Bari)
Nabi Sulaiman ‘alaihis-salām pernah memohon kepada Allah ketika membangun Baitul Maqdis agar siapa saja yang menunaikan shalat di dalamnya diampuni dosanya hingga bersih seperti hari saat ia dilahirkan oleh ibunya.
Dalam Musnad Imam Ahmad dan riwayat lainnya disebutkan bahwa Sulaiman bin Dawud, ketika membangun Baitul Maqdis, meminta tiga hal kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Beliau memohon:
سَأَلَ اللَّهَ حُكْمًا يُصَادِفُ حُكْمَهُ فَأُوتِيَهُ، وَسَأَلَ اللَّهَ مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ فَأُوتِيَهُ، وَسَأَلَ اللَّهَ حِينَ فَرَغَ مِنْ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ أَلَّا يَأْتِيَهُ أَحَدٌ لَا يَنْهَزُهُ – أَيْ لَا يَدْفَعُهُ – إِلَّا الصَّلَاةُ فِيهِ، أَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ، أَمَّا اثْنَتَانِ فَقَدْ أُعْطِيَهُمَا، وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ أُعْطِيَ الثَّالِثَةَ.
1. Agar diberi hukum yang sesuai dengan hukum Allah, maka itu pun Allah berikan kepadanya.
2. Agar diberi kerajaan yang tidak patut dimiliki seorang pun setelahnya, dan itu pun Allah kabulkan.
3. Agar ketika selesai membangun masjid itu, tidak ada seorang pun yang datang ke sana dengan tujuan semata-mata untuk shalat di dalamnya, kecuali Allah keluarkan ia dari dosa-dosanya seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya.
Kemudian Nabi ﷺ bersabda:
“Dua permohonan telah dikabulkan, dan aku berharap yang ketiga pun dikabulkan.”
Hadits ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami‘.
Dan kita pun berharap semoga Allah mengabulkan doa yang ketiga tersebut, serta menuliskan bagi kita kesempatan untuk bisa shalat di dalam Masjidil Aqsha, sehingga kita memperoleh pahala dan keutamaan itu.
Palestina: Negeri Hijrah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalām
Tanah Palestina yang penuh berkah adalah tempat hijrah Nabi Ibrahim dan Nabi Luth ‘alaihimas-salām. Ketika Allah Tabāraka wa Ta‘ālā menyelamatkan keduanya, Allah menunjuki mereka menuju negeri Palestina untuk menetap dan bermukim di sana.
Di tanah inilah Khalilurrahman, Nabi Ibrahim ‘alaihissalām, wafat di Baitul Maqdis dan dimakamkan di bumi Palestina. Di sinilah pula kerajaan Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman ‘alaihimas-salām berdiri di Baitul Maqdis.
Di Baitul Maqdis juga hidup keluarga ‘Imran yang Allah pilih. Bahkan, ibunda Maryam pernah bernazar menyerahkan anak yang ada dalam kandungannya untuk berkhidmat di Baitul Maqdis. Hal ini menunjukkan betapa agung kedudukan Baitul Maqdis bagi mereka.
Allah Ta‘ālā berfirman:
﴿ إِذْ قَالَتِ ٱمْرَأَةُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرٗا فَتَقَبَّلْ مِنِّيٓ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ﴾
“(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Āli ‘Imrān: 35)
Maknanya adalah bahwa istri Imran menazarkan anak yang ada dalam kandungannya, seraya memohon kepada Rabb-nya agar anak itu menjadi hamba yang ikhlas, sepenuhnya mengabdikan diri untuk beribadah dan berkhidmat di Baitul Maqdis.
Karena kedudukan Baitul Maqdis yang begitu mulia dan penuh berkah, maka Nabi Musa ‘alaihissalām pun pernah memohon kepada Allah agar mendekatkannya ke tanah suci itu menjelang wafatnya.
Sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أُرْسِلَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَلَمَّا جَاءَهُ صَكَّهُ، فَرَجَعَ إِلَى رَبِّهِ، فَقَالَ: أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ، فَرَدَّ اللَّهُ عَلَيْهِ عَيْنَهُ، وَقَالَ: ارْجِعْ فَقُلْ لَهُ، يَضَعْ يَدَهُ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ، فَلَهُ بِكُلِّ مَا غَطَّتْ بِهِ يَدُهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ سَنَةٌ، قَالَ: أَي رَبِّ، ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: ثُمَّ الْمَوْتُ، قَالَ: فَالْآنَ. فَسَأَلَ اللَّهَ أَنْ يُدْنِيَهُ مِنَ الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: فَلَوْ كُنْتُ ثَمَّ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ عِنْدَ الْكُثِيبِ الْأَحْمَرِ.
Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda,
“Telah diutus Malaikat Maut kepada Musa ‘alaihissalām. Ketika malaikat itu datang, Musa menamparnya hingga ia kembali kepada Rabb-nya. Malaikat itu berkata: ‘Engkau mengutusku kepada seorang hamba yang tidak ingin mati.’ Maka Allah mengembalikan matanya dan berfirman: ‘Kembalilah, lalu katakan kepadanya: Hendaklah ia meletakkan tangannya di atas punggung seekor sapi jantan. Maka setiap helai bulu yang tertutupi oleh tangannya, baginya umur tambahan satu tahun.’
Musa berkata: ‘Wahai Rabbku, lalu setelah itu apa?’ Allah berfirman: ‘Setelah itu kematian.’ Musa berkata: ‘Kalau begitu, sekarang saja.’
Lalu Musa meminta kepada Allah agar mendekatkannya ke tanah suci itu sejauh lemparan batu. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Seandainya aku berada di sana, niscaya aku perlihatkan kepada kalian kuburnya yang berada di sisi jalan, di dekat bukit pasir merah.’” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Imam al-Bukhari rahimahullāh memberi judul bab untuk hadits ini dengan ucapannya: “Bab tentang orang yang menyukai dikuburkan di tanah suci (Palestina).” (Fath al-Bari)
Imam an-Nawawi rahimahullāh berkata: “Adapun permintaan Musa ‘alaihissalām untuk didekatkan ke tanah suci adalah karena kemuliaannya dan keutamaan orang-orang yang dikuburkan di sana, baik dari kalangan para nabi maupun selain mereka. Sebagian ulama mengatakan bahwa beliau hanya meminta untuk didekatkan, bukan untuk benar-benar dikuburkan di dalam Baitul Maqdis, karena beliau khawatir jika kuburnya diketahui orang, maka manusia bisa terfitnah dengannya.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim)
Telah dimaklumi bahwa pada asalnya keselamatan seseorang ditentukan oleh amal shalihnya. Namun hadits ini menunjukkan keutamaan Baitul Maqdis, bahwa ia benar-benar tanah yang penuh berkah. Bahkan Nabi Musa ‘alaihissalām sangat berharap agar kuburnya berada di dekat tanah tersebut.
Masjidil Aqsha: Amanah Umat Islam Hingga Akhir Zaman
Hari ini, Masjidil Aqsha berada di tangan segelintir Yahudi penjajah yang semena-mena. Tugas umat Islam adalah berusaha mengembalikannya dan menyatukannya kembali dengan kaum muslimin, karena ia adalah tempat Isra’ Rasulullah ﷺ.
Membela Masjidil Aqsha adalah amanah yang berada di pundak setiap muslim. Mengerahkan usaha untuk itu adalah kewajiban, demikian pula menolong saudara-saudara kita di Palestina.
Kita memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi agar Dia mengembalikan Masjidil Aqsha ke pangkuan kaum muslimin, menuliskan bagi kita kesempatan untuk shalat di dalamnya sebelum ajal menjemput, serta menundukkan kaum Zionis yang zalim beserta para penjahat yang serupa dengan mereka.
Pada hari itu, kita semua akan bergembira dengan pertolongan Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.
Referensi:
Islamweb. (2017, July 6). مِن فضائل بيت المقدس. Islamweb. https://www.islamweb.net/amp/ar/article/217738/ (diakses 22 Agustus 2025).
@ Al-Quds Palestina, 23 Agustus 2025
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com