Shalat

Panduan Shalat Orang Sakit: Shalat Duduk, Berbaring, dan Isyarat Sesuai Sunnah

Shalat tetap wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim selama akal masih sehat, meskipun tubuh dalam keadaan sakit atau lemah. Islam memberi kemudahan dengan membolehkan shalat sambil duduk, berbaring, atau menggunakan isyarat jika tidak mampu berdiri. Semua ketentuan ini diatur berdasarkan dalil-dalil yang sahih dan kesepakatan para ulama. Dengan memahami panduan ini, orang sakit tetap dapat menunaikan ibadah shalat sesuai kemampuannya dan meraih pahala sempurna.

 

 

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata:

وَرَكَعَاتُ الْفَرَائِضِ سَبْعَةَ عَشَرَ رَكْعَةً، فِيهَا أَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ سَجْدَةً، وَأَرْبَعٌ وَتِسْعُونَ تَكْبِيرَةً، وَتِسْعُ تَشَهُّدَاتٍ، وَعَشْرُ تَسْلِيمَاتٍ، وَمِائَةٌ وَثَلَاثٌ وَخَمْسُونَ تَسْبِيحَةً، وَجُمْلَةُ الْأَرْكَانِ فِي الصَّلَاةِ مِائَةٌ وَسِتَّةٌ وَعِشْرُونَ رُكْنًا، فِي الصُّبْحِ ثَلَاثُونَ رُكْنًا، وَفِي الْمَغْرِبِ اثْنَانِ وَأَرْبَعُونَ رُكْنًا، وَفِي الرُّبَاعِيَّةِ أَرْبَعَةٌ وَخَمْسُونَ رُكْنًا، وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْقِيَامِ فِي الْفَرِيضَةِ صَلَّى جَالِسًا، وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْجُلُوسِ صَلَّى مُضْطَجِعًا.

Jumlah rakaat shalat fardu adalah tujuh belas rakaat. Di dalamnya terdapat tiga puluh empat sujud, sembilan puluh empat kali takbir, sembilan kali tasyahud, sepuluh kali salam, dan seratus lima puluh tiga kali tasbih.

Jika dihitung jumlah seluruh rukun shalat, totalnya ada seratus dua puluh enam rukun:

  • Dalam shalat Subuh: tiga puluh rukun,
  • Dalam shalat Magrib: empat puluh dua rukun,
  • Dalam shalat yang empat rakaat: lima puluh empat rukun.

Bagi orang yang tidak mampu berdiri ketika shalat fardu, maka ia shalat dalam posisi duduk. Jika tidak mampu duduk, maka ia shalat dalam posisi berbaring.

 

Penjelasan

Ini berlaku apabila shalat dilakukan dalam keadaan mukim (tidak safar) dan bukan pada hari Jumat. Jika di dalamnya terdapat shalat Jumat, maka jumlah rakaatnya berkurang dua rakaat. Jika shalat tersebut dilakukan dengan qashar (dalam safar), maka berkurang empat atau enam rakaat.

Pernyataan bahwa shalat fardu berjumlah tujuh belas rakaat hingga akhir rincian gerakannya bisa diketahui dengan memperhatikan secara detail, namun tidak banyak faedah besar yang dihasilkan dari hitungan ini.

Wallāhu a‘lam.

 

Hukum bagi orang yang tidak mampu berdiri saat shalat fardu

Siapa yang tidak mampu berdiri dalam shalat fardu, maka ia shalat dalam posisi duduk. Jika tidak mampu duduk, maka ia shalat dalam posisi berbaring. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ kepada ‘Imrān bin Ḥuṣain:

“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduklah, dan jika tidak mampu maka berbaringlah di sisi.”

(Nasa’i menambahkan:)

“Jika tidak mampu juga, maka terlentanglah. Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kesanggupannya.”

Para ulama juga menukil adanya ijma‘ (kesepakatan) dalam masalah ini.

Perlu diketahui, yang dimaksud dengan “tidak mampu” bukanlah benar-benar mustahil secara fisik, tetapi mencakup:

  • khawatir akan binasa,
  • penyakit bertambah parah,
  • timbul kesulitan berat,
  • khawatir tenggelam,
  • atau pusing berat bagi orang yang berada di kapal.

Ukuran “tidak mampu” adalah jika timbul kesulitan yang menghilangkan kekhusyukan. Ini dinukil Imam An-Nawawi dalam Ar-Raudhah dan beliau menyetujuinya. Namun dalam Syarḥ Al-Muhadzdzab, Imam Nawawi menyebut bahwa pendapat mazhab justru berbeda, yaitu ukuran tidak mampu adalah tidak sanggup berdiri kecuali dengan kesulitan yang sangat berat. Ibnu Ar-Rif‘ah menegaskan: maksudnya adalah kesulitan yang benar-benar berat.

Tidak ada ketentuan khusus untuk cara duduknya. Bagaimana pun cara duduknya, shalatnya sah. Namun ada dua pendapat tentang yang lebih utama:

  • Duduk iftirasy (seperti duduk di antara dua sujud) karena lebih mendekati posisi berdiri, dan duduk bersila dianggap bentuk kemewahan.
  • Duduk bersila lebih utama untuk membedakan duduk pengganti berdiri dari duduk aslinya dalam shalat.

Jika tidak mampu duduk, maka shalat dilakukan berbaring. Menurut pendapat yang kuat, ia berbaring di sisi kanan dan wajib menghadap kiblat. Jika tidak mampu menghadap kiblat, maka ia terlentang dan memberi isyarat rukuk dan sujud ke arah kiblat. Jika tidak mampu rukuk dan sujud, maka sujudnya harus dibuat lebih rendah daripada rukuknya.

Jika tidak mampu juga, maka ia memberi isyarat dengan mata karena itu batas kemampuannya. Jika bahkan tidak sanggup menggerakkan mata, maka ia cukup menjalankan seluruh gerakan shalat di dalam hati. Jika dalam keadaan ini ia masih mampu melafalkan takbir, bacaan, tasyahud, dan salam, maka ia lakukan. Jika tidak mampu, maka cukup dihadirkan dalam hati.

Dalam semua keadaan tersebut, pahalanya tidak berkurang, dan ia tidak boleh meninggalkan shalat selama akalnya masih sehat. Jika ia shalat dalam kondisi seperti ini, maka tidak ada kewajiban mengulang shalatnya.

Imam Al-Ghazali berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika aku perintahkan kalian suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.”

Namun Ar-Rafi‘i mengkritisi penggunaan dalil ini dalam konteks tersebut. Meski demikian, ada pendapat yang menyebut: jika ia dalam kondisi ini, maka ia tidak shalat lalu mengulangnya.

 

Hukum bagi orang yang terikat atau tenggelam

Orang yang disalib (diikat) tetap wajib shalat. Ini ditegaskan oleh Imam Asy-Syafi‘i. Begitu pula orang yang tenggelam di laut namun bertahan di atas papan kayu, sebagaimana dinyatakan Qadhi Husain dan ulama lainnya.

 

Cabang hukum:

Jika seseorang bisa berdiri ketika shalat sendirian, tetapi jika shalat berjamaah ia harus duduk di sebagian waktu shalatnya, maka menurut Imam Asy-Syafi‘i keduanya boleh dilakukan, namun shalat sambil berdiri lebih utama demi menjaga rukun. Pendapat ini diikuti Qadhi Husain dan murid-muridnya seperti Al-Baghawi dan Al-Mutawalli, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat.

Mereka juga mengatakan: jika ia mampu berdiri hanya untuk membaca Al-Fatihah, tetapi jika menambah bacaan surah ia tidak mampu, maka yang lebih utama adalah berdiri hanya untuk Al-Fatihah. Syaikh Abu Hamid menyebut bahwa shalat berjamaah lebih utama.

Wallāhu a‘lam.

 

Kaidah Fikih Terkait Masalah Ini

Ada kaidah fikih yang berbunyi:

الميسور لا يسقط بالمعسور

“Bagian yang mampu dilakukan tidak gugur hanya karena ada bagian lain yang tidak mampu dilakukan.”

Kaidah ini bermakna: jika sebuah perintah syariat tidak dapat dilaksanakan secara sempurna sebagaimana yang diperintahkan, karena adanya keterbatasan kemampuan, namun masih memungkinkan untuk melaksanakan sebagian bagiannya yang memang dapat dipisahkan, maka wajib melaksanakan bagian yang mampu dilakukan. Dengan kata lain, tidak boleh meninggalkan seluruh amalan hanya karena ada sebagian yang sulit atau tidak mampu dilakukan.

Kaidah ini selaras dengan ayat dan hadits:

Firman Allah Ta‘ala:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16)

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم

Jika aku perintahkan kalian suatu perkara, maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sehingga, kalau seseorang hanya mampu berdiri saat membaca Al-Fatihah, ia tetap berdiri sebatas itu, lalu duduk untuk bagian yang tidak mampu dilakukan.

Baca juga: Melaksanakan Perintah Allah itu Bagaikan Obat Pahit … (Nasihat Ibnul Qayyim)

 

Kesimpulan

Bagi orang sakit, shalat dilakukan sesuai kemampuan: berdiri jika mampu, duduk jika tidak mampu berdiri, berbaring di sisi kanan menghadap kiblat jika tidak mampu duduk, lalu terlentang jika tidak mampu menghadap kiblat sambil memberi isyarat rukuk dan sujud. Jika tidak mampu isyarat dengan kepala, maka cukup dengan gerakan hati dan lisan sesuai kemampuan. Semua ini menunjukkan bahwa Islam memudahkan, bukan memberatkan, sehingga tidak ada alasan meninggalkan shalat selama akal masih sehat.

 

Referensi:

Al-Husni, Taqiuddin. (1994). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar (Ali Abdul Hamid Baltaji & Muhammad Wahbi Sulaiman, Ed.; edisi pertama). Dar al-Khair.

______

 

Ditulis saat perjalanan Panggang – Masjid Pogung Dalangan, 21 Safar 1447 H, 14 Agustus 2025, Kamis Sore (Malam Jumat)

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button