Teladan

Faedah Sirah Nabi: Wafatnya Abu Thalib

 

Kali ini kita masuk dalam pembahasan tentang paman Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam Abu Thalib. Kita awali dengan pengenalan pada paman dan bibi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Paman dan Bibi Nabi, dari Saudara Bapaknya

 

Paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya adalah Hamzah, Al-‘Abbas, Abu Thalib (‘Abdu Manaf), Abu Lahab (‘Abdul ‘Uzza), Az-Zubair, ‘Abdul Ka’bah, Al-Muqawwim, Dhirar, Qutsam, Al-Mughirah (Hajl), Al-Ghaidaq (Mush’ab atau Naufal), Al-Harits.

Yang paling tua di antara paman beliau adalah Al-Harits. Paman beliau yang paling muda adalah Al-‘Abbas. Yang mendapati masa Islam ada empat yaitu Abu Thalib, Abu Lahab, Hamzah, dan Al-‘Abbas. Yang masuk Islam hanyalah dua saja yaitu Hamzah dan Al-‘Abbas.

Dan Hamzah lebih utama dari Al ‘Abbas. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjuluki Hamzah sebagai asaadullah dan asadu rasulihi (singa Allah dan singa rasul-Nya). Hamzah terbunuh secara syahid dalam perang Uhud.

Sedangkan bibi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Shafiyyah (ibu dari Az-Zubair bin Al-‘Awwam), ‘Atikah, Barrah, Arwa’, Amimah, dan Ummu Hakim Al-Baidha’. Yang masuk Islam hanyalah Shafiyyah. Sedangkan ‘Atikah dan Arwa’ diperselisihkan keislamannya. Lihat Kayfa ‘Aamaluhum karya Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, hlm. 147.

 

Kisah Meninggalnya Abu Thalib

 

Riwayat yang shahih adalah sebagaimana berikut ini.

عَنِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ أَبَا طَالِبٍ لَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ دَخَلَ عَلَيْهِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – وَعِنْدَهُ أَبُو جَهْلٍ فَقَالَ « أَىْ عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ » . فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ ، تَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَالاَ يُكَلِّمَانِهِ حَتَّى قَالَ آخِرَ شَىْءٍ كَلَّمَهُمْ بِهِ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْهُ » . فَنَزَلَتْ ( مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِى قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ ) وَنَزَلَتْ ( إِنَّكَ لاَ تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ)

Dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, ia berkata, “Ketika menjelang Abu Thalib meninggal dunia, Rasulullah shallallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya. Ketika itu di sisi Abu Thalib terdapat Abu Jahl. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada pamannya ketika itu,

“Wahai pamanku, katakanlah ‘laa ilaha illalah’ yaitu kalimat yang aku nanti bisa beralasan di hadapan Allah (kelak).”

Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah berkata,

“Wahai Abu Tholib, apakah engkau tidak suka pada agamanya Abdul Muththalib?” Mereka berdua terus mengucapkan seperti itu, namun kalimat terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah ia berada di atas ajaran Abdul Muththalib.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan :

“Sungguh aku akan memohonkan ampun bagimu wahai pamanku, selama aku tidak dilarang oleh Allah”

Kemudian turunlah ayat,

Tidak pantas bagi seorang Nabi dan bagi orang-orang yang beriman, mereka memintakan ampun bagi orang-orang yang musyrik, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan, setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (QS. At-Taubah: 113)

Allah Ta’ala pun menurunkan ayat,

Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufik) kepada orang-orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qashshash: 56) (HR. Bukhari, no. 3884 dan Muslim, no. 24)

Dari ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya,

مَا أَغْنَيْتَ عَنْ عَمِّكَ فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ

“Apa manfaat yang engkau berikan kepada pamanmu—Abu Thalib—karena dia dulu telah membelamu dan marah demi mendukungmu?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هُوَ فِى ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ ، وَلَوْلاَ أَنَا لَكَانَ فِى الدَّرَكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ

Ia berada di tempat yang dangkal (tidak berada di bagian dasar) dari neraka. Seandainya bukan karena aku niscaya ia berada pada tingkatan paling bawah di dalam neraka.” (HR. Bukhari, no. 3883 dan Muslim, no. 209)

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَهْوَنُ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا أَبُو طَالِبٍ وَهُوَ مُنْتَعِلٌ بِنَعْلَيْنِ يَغْلِى مِنْهُمَا دِمَاغُهُ

Penghuni neraka yang paling ringan siksaannya adalah Abu Thalib. Dia memakai dua sandal (dari api) hingga mendidih otaknya (karena panasnya kedua sandal itu).”(HR. Muslim, no. 213)

Abu Thalib meninggal dunia pada tahun kesepuluh dari kenabian, ia meninggal dalam usia 80 tahun lebih (sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, 7:116). Ia banyak membela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencegah siapa pun yang akan menyakiti dan mengganggu beliau. Namun begitu, ia masih tetap berpegang teguh pada agama kaumnya hingga ajal menjemputnya.

 

Selanjutnya akan dikaji pelajaran-pelajaran dari kisah wafatnya paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Thalib. Semoga kajian kali ini bermanfaat.

 

Referensi:

  1. Fiqh As-Sirah.Cetakan Tahun 1424 H. Prof. Dr.Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.
  2. Kayfa ‘Amaluhum.Cetakan keempat, Tahun 1438 H. Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Penerbit Al-‘Obeikan.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc.

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button