Shalat

Panduan Shalat Jamak bagi Musafir: Syarat, Dalil, dan Faedahnya

Dalam Islam, keringanan dalam shalat diberikan kepada musafir dan orang yang sakit sebagai bentuk rahmat dari Allah. Salah satu keringanan tersebut adalah diperbolehkannya melakukan shalat jamak, yaitu menggabungkan dua shalat dalam satu waktu, baik secara takdim maupun takhir, sesuai dengan kondisi perjalanan.

 

Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

Kitab Shalat

بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ

Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit

 

 

Hadits #438

   عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه كَانَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ، ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا، فَإِنْ زَاغَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ رَكِبَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

وَفِي رِوَايَة الْحَاكِمِ فِي «الأَرْبَعِينَ» بِإِسْنَاد الصَّحِيح: صلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ، ثُمَّ رَكِبَ. وَلأَبِي نُعَيْمٍ فِي «مُسْتَخْرَجِ مُسْلِمٍ»: كَانَ إِذَا كَانَ فِي سَفَرٍ، فَزَالَتِ الشَّمْسُ صَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعاً، ثُمَّ ارْتَحَلَ.

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila dalam perjalanan sebelum tergelincirnya matahari (waktu Zhuhur belum masuk), maka beliau menunda shalat Zhuhur hingga waktu Ashar (jamak takhir), kemudian beliau turun dan menggabungkan keduanya (shalat Zhuhur dan Ashar). Namun, jika matahari sudah tergelincir sebelum beliau melakukan perjalanan, maka beliau mengerjakan shalat Zhuhur terlebih dahulu, kemudian melanjutkan perjalanan. (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 1111, 1112 dan Muslim, no. 704]

Dalam riwayat Al-Hakim di kitab “Al-Arba’in” dengan sanad yang sahih, “Beliau mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar, kemudian melanjutkan perjalanan.”

Menurut Abu Nu’aim dalam kitab “Mustakhraj Muslim“, “Apabila beliau dalam perjalanan, lalu matahari tergelincir (waktu Zhuhur tiba), beliau mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar sekaligus, kemudian melanjutkan perjalanan.”

 

Hadits #439

عَنْ مُعَاذٍ رضي الله عنه قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ؛ فَكَانَ يُصَلِّي الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعاً، وَالمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعاً. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Perang Tabuk. Beliau biasa menggabungkan shalat Zhuhur dan Ashar, serta menggabungkan shalat Maghrib dan Isyak.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 706]

 

Faedah hadits

  1. Shalat jamak bagi musafir diperbolehkan, baik dengan jamak takdim maupun jamak takhir. Jamak takdim adalah menggabungkan shalat kedua pada waktu shalat pertama, sementara jamak takhir adalah menunda shalat pertama ke waktu shalat kedua.
  2. Menurut Imam Syafii rahimahullah dan mayoritas ulama, shalat Zhuhur dan Ashar boleh dijamak di waktu salah satunya, begitu juga shalat Maghrib dan Isyak. Jika musafir berhenti di waktu pertama, maka lebih utama melakukan jamak takdim. Namun, jika musafir berada dalam perjalanan di waktu pertama dan yakin bisa berhenti di waktu kedua tanpa melewati waktu tersebut, ia dapat melakukan jamak takhir. Meskipun ketentuan ini tidak terpenuhi, tetap diperbolehkan menjamak shalat, tetapi akan kehilangan keutamaan (afdhaliyah).
  3. Syarat jamak takdim adalah: (1) memulai dengan shalat pertama, (2) niat jamak pada shalat pertama sebelum selesai, (3) tidak ada jeda di antara kedua shalat, dan (4) masih ada alasan syari. Sedangkan syarat jamak takhir adalah: (1) niat jamak takhir di waktu shalat pertama yang cukup untuk melaksanakannya, dan (2) uzur berlangsung sampai shalat kedua selesai. Jika seseorang menunda shalat tanpa niat jamak takhir, dianggap melakukan dosa (bermaksiat) dan harus mengqadha shalatnya. Disunnahkan dalam jamak takhir untuk: (1) mengerjakan shalat pertama terlebih dahulu, (2) berniat jamak, dan (3) tidak ada jeda di antara kedua shalat.

Baca juga:

 

Referensi:

  • Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. Jilid kedua. 2:75-78.
  • Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:478-485.

 

 

Diselesaikan pada Ahad Malam @ Makkah Al-Mukarramah, 26 Rabiuts Tsani 1446 H, 28 Oktober 2024

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Dr. Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button