Shalat

Safinatun Naja: Aturan Shalat Jamak dan Shalat Qashar

Berikut adalah penjelasan shalat jamak dan shalat qashar dari Safinah An-Naja.

 

[KITAB SHALAT]

[Syarat Jamak Takdim]

شُرُوْطُ جَمْعِ التَّقْدِيْمِ أَرْبَعَةٌ:

1- الْبَدَاءَةُ بِالأُوْلَى.

وَ2- نِيَّةُ الْجَمْعِ فِيْهَا.

وَ3- الْمُوَالاَةُ بَيْنَهُمَا.

وَ4- دَوَامُ الْعُذْرِ.

 

Fasal: Syarat jamak takdim ada 4, yaitu [1] dimulai dari shalat pertama, [2] niat jamak pada shalat pertama, [3] muwalah (tanpa diselingi/ditunda) di antara keduanya, dan [4] masih adanya uzur.

Catatan:

Cara jamak takdim adalah mengerjakan shalat Ashar di waktu Zhuhur dan shalat Isya di waktu Magrib, baik diqashar atau sempurna shalatnya.

Jamak takdim dalam madzhab itu karena:

  • Safar yang bisa mengqashar shalat bagi musafir
  • Hujan bagi orang mukim

Syarat jamak takdim yang belum disebutkan dalam Safinah An-Naja:

  1. Tersisa waktu shalat pertama
  2. Zhann (sangkaan) bahwa shalat pertama itu sah
  3. Mengetahui diperbolehkan jamak shalat

Sehingga secara keseluruhan menjadi tujuh syarat untuk jamak shalat. Walaupun syarat “tersisa waktu shalat pertama” tidak disetujui oleh Ibnu Hajar.

 

1- الْبَدَاءَةُ بِالأُوْلَى.

[1] dimulai dari shalat pertama,

Syarat pertama adalah memulai dengan shalat Zhuhur jika ingin mendahulukan shalat Ashar di waktu Zhuhur, dan memulai shalat Magrib jika ingin mendahulukan shalat Isya di waktu Magrib.

Apabila dibalik, maka shalat yang didahulukan dianggap batal jika disengaja dan tahu. Namun, jika tidak disengaja dan tidak tahu, maka shalat yang didahulukan menjadi shalat sunnah mutlak.

Begitu pula jika shalat pertama ternyata batal, maka shalat kedua—yaitu Ashar atau Isya—menjadi shalat sunnah mutlak.

Hal itu berlaku jika tidak ada shalat faitah (shalat yang ditinggalkan) yang sejenis. Sehingga bila ia pernah meninggalkan shalat fardhu yang sama, maka shalat tersebut menjadi shalat qadha’ dalam dua masalah terakhir.

 

وَ2- نِيَّةُ الْجَمْعِ فِيْهَا.

[2] niat jamak pada shalat pertama,

– Niat jamak itu ada pada yang pertama dari dua shalat, walaupun bersama salam.

– Afdalnya: niatnya berbarengan dengan takbiratul ihram shalat pertama.

 

وَ3- الْمُوَالاَةُ بَيْنَهُمَا.

[3] muwalah (tanpa diselingi/ditunda) di antara keduanya,

Artinya: tidak ada jeda antara shalat pertama dan shalat kedua.

– tidak terpisah antara kedua shalat dengan pemisah yang lama, secara ‘urf, gambarannya: waktu yang cukup untuk melaksanakan dua rakaat ringan yang seperti biasa dilakukan.

– kalau pemisahnya adalah dengan berwudhu, tayamum, mencari air sebentar, walaupun hal itu tidak diperlukan, waktu azan dan iqamah, hingga sekiranya terpisah, maka masih diperbolehkan selama pemisah itu tidak lama.

– Masih boleh melaksanakan qabliyah Zhuhur, lalu shalat Zhuhur, kemudian shalat Ashar, lalu bakdiyah Zhuhur, kemudian sunnah Ashar.

– Boleh juga kata Syaikh Dr. Labib Najib, urutannya adalah shalat Zhuhur, lalu shalat ‘Ashar, lalu qabliyah Zhuhur, bakdiyah Zhuhur, lalu sunnah ‘Ashar.

 

وَ4- دَوَامُ الْعُذْرِ.

dan [4] masih adanya uzur.

  • Maksudnya masih ada uzur safar bagi musafir dan hujan bagi orang yang mukim.
  • Uzur ini masih ada sampai sempurnanya takbiratul ihram kedua.
  • Tidak disyaratkan adanya safar di takbiratul ihram pertama. Hal ini berbeda dengan hujan. Hujan harus ada ketika takbiratul ihram pertama dan salam dari shalat pertama, terus hingga takbiratul ihram kedua. Seandainya hujan berhenti selain keadaan itu, tidakah masalah.

 

[Syarat Jamak Takhir]

 

شُرُوْطُ جَمْعِ التَّأْخِيْرِ اثْنَانِ:

1- نِيَّةُ التَّأْخِيْرِ وَقَدْ بَقِيَ مِنْ وَقْتِ الأُوْلَى مَا يَسَعُهَا.

وَ2- دَوَامُ الْعُذْرِ إِلَى تَمَامِ الثَّانِيَةِ.

 

Fasal: syarat jamak takhir ada 2, yaitu [1] niat jamak takhir di waktu shalat pertama yang kira-kira cukup mengerjakannya dan [2] adanya uzur hingga sempurnanya shalat kedua.

Catatan:

Syarat jamak takhir:

  • Safar yang bisa mengqashar shalat bagi musafir

Sedangkan hujan bagi orang mukim tidak ada jamak takhir.

Cara jamak takhir adalah melaksanakan shalat Zhuhur di waktu ‘Ashar atau shalat Magrib di waktu ‘Isya.

 

1- نِيَّةُ التَّأْخِيْرِ وَقَدْ بَقِيَ مِنْ وَقْتِ الأُوْلَى مَا يَسَعُهَا.

[1] niat jamak takhir di waktu shalat pertama yang kira-kira cukup mengerjakannya

Syarat jamak takhir adalah adanya niat takhir di waktu Zhuhur atau Magrib, sedangkan yang tersisa dari waktu Zhuhur atau Magrib yang cukup untuk melaksanakan shalat secara sempurna. Demikian menurut Ar-Ramli. Sedangkan menurut Ibnu Hajar: Cukup niat jamak takhir sebelum keluarnya waktu yang pertama walaupun hanya tersisa untuk mengerjakan satu rakaat.

Apabila seseorang meninggalkan niat jamak takhir di waktu Zhuhur atau Magrib, maka shalat pertama dilakukan di waktu kedua secara qadha’ dan berdosa (karena menunda shalat) jika dilakukan sengaja dan tahu hukumnya.

 

وَ2- دَوَامُ الْعُذْرِ إِلَى تَمَامِ الثَّانِيَةِ.

dan [2] adanya uzur hingga sempurnya shalat kedua.

Maksudnya adalah adanya safar hingga selesainya shalat kedua, yaitu shalat Ashar atau Isya.

Apabila safar itu tidak berlanjut (sudah selesai), sehingga menjadi mukim di tengah shalatnya, maka shalat pertama yaitu shalat Zhuhur atau Magrib menjadi niatan qadha’.

 

Catatan penting:

  • Menurut Imam Nawawi, orang sakit boleh melakukan jamak takdim atau jamak takhir ketika memenuhi syarat-syaratnya.
  • Kriteria sakit yang diperbolehkan menjamak shalat adalah sakit yang memberatkan baginya untuk mengerjakan setiap shalat fardhu di waktunya hingga diperbolehkan duduk dalam shalat fardhu.

 

Syarat jamak shalat ketika hujan

  1. Shalat dilaksanakan dengan berjamaah di masjid yang jaraknya jauh menurut standar umum (‘urf), yang sekiranya bakal merepotkan seseorang ketika berjalan menuju masjid.
  2. Hujan berlangsung di awal dari dua shalat dan ketika salamnya shalat pertama.

Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafii, hlm. 192.

 

[Syarat Qashar]

شُرُوْطُ الْقَصْرِ سَبْعَةٌ:

1- أَنْ يَكُوْنَ سَفَرُهُ مَرْحَلَتَيَنِ.

وَ2- أَنْ يَكُوْنَ مُبَاحاً.

وَ3- الْعِلْمُ بِجَوَازِ الْقَصْرِ.

وَ4- نِيَّةُ الْقَصْرِ عِنْدَ الإِحْرَامِ.

وَ5- أَنْ تَكُوْنَ الصَّلاَةُ رُبَاعِيَّةً.

وَ6- دَوَامُ السَّفَرِ إِلَى تَمَامِهَا.

وَ7- لاَ أَنْ يَقْتَدِيَ بِمُتِمٍّ فِيْ جُزْءٍ مِنْ صَلاَتِهِ.

Fasal: Syarat qashar (meringkas shalat) ada tujuh, yaitu [1] jarak safar (minimal) 2 marhalah (marhalatain), [2] safarnya mubah, [3] mengetahui qasharnya diperbolehkan, [4] niat qashar saat takbiratul ihram, [5] shalatnya jenis shalat 4 rakaat, [6] dalam keadaan safar hingga sempurna, dan [7] tidak menjadi makmum pada imam yang tamam (sempurna shalatnya) meski sebagian rakaat saja.

 

Catatan:

Qashar adalah mengerjakan shalat fardhu lima waktu yang empat rakaat menjadi dua rakaat.

Syarat yang diperbolehkan mengqashar shalat bagi seorang musafir ada tujuh syarat.

Ada sebab mengqashar shalat: KARENA SAFAR. Kalau bukan karena safar, tidak ada qashar shalat.

Ada empat syarat tambahan yang belum disebutkan. Totalnya ada 11 syarat mengqashar shalat.

 

Syarat tambahan:

  1. Adanya tujuan tempat tertentu walaupun hanya menunjuk arahnya seperti India.
  2. Menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan niat qashar selama shalatnya, seperti niat menyempurnakan shalat (shalat tamaam) dan ragu tentang niat qasharnya.
  3. Perjalanan yang dilakukan dengan tujuan yang benar, seperti berhaji dan berdagang, bukan sekadar bertamasya atau melihat-lihat.
  4. Telah melampaui batas kota (negeri) di tempat yang mempunyai batas atau melampaui bangunan-bangunan jika tidak ada batas kota.

 

 

أَنْ يَكُوْنَ سَفَرُهُ مَرْحَلَتَيَنِ.

[1] jarak safar (minimal) 2 marhalah (marhalatain),

Maksud marhalatain adalah perjalanan dua hari pergi saja dan disertai hewan yang membawa tunggangan berat, dengan diperhitungkan pula menurunkan beban dan mengangkat beban, turun untuk shalat, makan, minum, istirahat, seperti biasa.

Jarak perjalanan itu di dalam hitungan adalah 48 mil syamsiah. Satu mil = 6.000 dzira’ (hasta, lengan) menurut pendapat yang kuat.

Namun, Ibnu ‘Abdil Barr mensahihkan bahwa satu mil itu sama dengan 3.500 dziro’, hal itu disepakati oleh Syamhudi. Jadi, safar yang dilakukan mencapai marhalatain, 83 km.

Catatan kami dari Nail Ar-Raja’.

SYARAT MENGQASHAR SHALAT adalah safar tersebut menempuh jarak dua marhalah

Dua marhalah ini adalah menempuh perjalanan pergi dua hari atau dua malam.

Kalau mau dihitung jaraknya adalah 48 mil Hasyimiyah. Tujuannya adalah jarak tersebut walaupun belum sampai.

1 mil = 4.000 khuthwah.

Khuthwah yang dimaksud adalah langkah unta.

Satu khuthwah itu sama dengan tiga kaki.

Setiap dua kaki itu sama dengan satu dziro’.

1 mil = 6.000 dziro’

48 mil = 288.000 dziro’

1 dziro’ = 50 cm

48 mil = 14.400.000 cm = 144 km

Jadi, jarak 2 marhalah = 144 km

Jarak inilah yang dikuatkan oleh Imam Nawawi. (Catatan kaki Al-Yaqut An-Nafis)

Sedangkan, yang sering kita dengar jarak 2 marhalah = 84 km, itu karena menganggap:

1 mil = 3.500 dziro’

48 mil = 168.000 dziro’

1 dziro’ = 50 cm

48 mil = 8.400.000 cm = 84 km

Jarak inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr dan ulama lainnya seperti ulama Hadromaut yang tertulis dalam Fatwa Bughya Al-Mustarsyidin.

Kajian Al-Yaqut An-Nafiis oleh Syaikhuna Dr. Labib Najib

 

وَ2- أَنْ يَكُوْنَ مُبَاحاً.

[2] safarnya mubah,

Maksud mubah di sini adalah safar yang dilakukan tidak untuk maksiat, yaitu perjalanan yang dibolehkan secara syariat, sehingga meliputi safar yang hukumnya:

  1. Wajib, seperti membayar utang, naik haji.
  2. Sunnah, seperti perjalanan silaturahim.
  3. Mubah, seperti perjalanan dagang.
  4. Makruh, seperti perjalanan sendirian atau perjalanan untuk dagang kain kafan untuk orang mati.

 

Qashar shalat tidak diboleh untuk:

  1. ‘ASHIYAN BIS SAFAR, perjalanan yang diniati dari awal untuk maksiat.
  2. ‘ASHIYAN BIS SAFAR FIS SAFAR, safarnya diubah menjadi maksiat setelah di tengah-tengah ia bersafar yang bukan maksiat.

Apabila bertaubat untuk orang pertama, maka boleh mengqashar shalat jika sisa perjalanannya masih 83 km, atau orang yang kedua bertaubat, maka boleh mengqashar secara mutlak.

Apabila seseorang melakukan “safar untuk dagang (safar mubah)”, lalu bermaksiat minum khamar, maka diperbolehkan mengqashar shalat. Ia termasuk ‘ASHIYAN FIS SAFAR.

 

وَ3- الْعِلْمُ بِجَوَازِ الْقَصْرِ.

[3] mengetahui diperbolehkannya qashar,

Bila melihat orang-orang mengqashar, lalu ikut mengqashar bersama mereka tanpa mengetahui hukum bolehnya, maka tidak sah shalatnya.

Catatan: Qashar itu sifatnya pilihan, karena dikatakan jawaz (boleh). Berarti jika ada dalam safar tidak mengqashar shalat, shalatnya tetap tamaam (sempurna), maka tidaklah berdosa.

 

وَ4- نِيَّةُ الْقَصْرِ عِنْدَ الإِحْرَامِ.

[4] niat qashar saat takbiratul ihram,

Yaitu niat qashar ketika takbiratul ihram secara yakin.

وَ5- أَنْ تَكُوْنَ الصَّلاَةُ رُبَاعِيَّةً.

[5] shalatnya jenis shalat 4 rakaat,

Yaitu shalat Zhuhur, ‘Ashar, dan Isya. Shalat yang berjumlah dua rakaat (shalat Shubuh) atau tiga rakaat (shalat Magrib) tidak bisa diqashar.

 

وَ6- دَوَامُ السَّفَرِ إِلَى تَمَامِهَا.

[6] dalam keadaan safar hingga sempurna,

Yaitu berada dalam keadaan safar secara yakin, dari awal hingga akhir shalat. Sehingga, bila kapalnya telah sampai daerah yang tidak boleh baginya mengqashar shalat atau ragu apakah kapalnya sudah sampai atau berniat mukim, atau ragu dalam niat mukimnya, maka hendaklah mengerjakan shalat dengan sempurna.

وَ7- أَلاَّ يَقْتَدِيَ بِمُتِمٍّ فِيْ جُزْءٍ مِنْ صَلاَتِهِ.

dan [7] tidak menjadi makmum pada imam yang shalatnya tamaam (sempurna, tidak qashar) meski sebagian rakaat saja.

Yaitu tidak menjadi makmum pada sebagian shalatnya dengan seorang yang shalatnya tamaam (sempurna, tidak qashar), walaupun ia mengira bahwa orang itu musafir atau terbukti setelah imam menyempurnakan shalatnya. Berbeda bila imam belum terbukti menyempurnakan shalatnya, tetapi batal di tengah shalat karena hadats atau terkena najis, maka ia diperbolehkan mengqashar shalat, walaupun ia telah mengikutinya sejenak.

  • Termasuk shalat tamaam adalah ketika orang yang dikira itu musafir, maka makmum harus shalat tamaam walaupun terbukti bahwa ia musafir.

 

Kaidah Ibnu Taimiyah:

  • Qashar shalat itu ketika safar.
  • Jamak shalat itu ketika butuh, tidak bisa mengerjakan shalat pada masing-masing waktu.

 

Ibnu Taimiyah telah menjelaskan sebab qashar shalat dan sebab jamak shalat dengan mengatakan,

وَالْقَصْرُ سَبَبُهُ السَّفَرُ خَاصَّةً لَا يَجُوزُ فِي غَيْرِ السَّفَرِ وَأَمَّا الْجَمْعُ فَسَبَبُهُ الْحَاجَةُ وَالْعُذْرُ فَإِذَا احْتَاجَ إلَيْهِ جَمَعَ فِي السَّفَرِ الْقَصِيرِ وَالطَّوِيلِ وَكَذَلِكَ الْجَمْعُ لِلْمَطَرِ وَنَحْوِهِ وَلِلْمَرَضِ وَنَحْوِهِ وَلِغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْأَسْبَابِ فَإِنَّ الْمَقْصُودَ بِهِ رَفْعُ الْحَرَجِ عَنْ الْأُمَّةِ

Qashar shalat hanya disebabkan karena seseorang itu bersafar. Tidak boleh seseorang mengqashar shalat pada selain safar. Adapun sebab menjamak shalat adalah karena adanya hajat (kebutuhan) dan adanya uzur (halangan). Jika seseorang butuh untuk menjamak shalat, maka ia boleh menjamaknya pada safar yang singkat atau safar yang waktunya lama. Begitu pula seseorang boleh menjamak shalat karena alasan hujan dan kesulitan semacam itu, karena sakit, dan sebab lainnya. Karena ingat sekali lagi, sebab menjamak shalat adalah untuk menghilangkan kesulitan pada kaum muslimin. (Majmu’ah Al-Fatawa, 22:292)

Baca Juga:

Referensi:

Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj.

Catatan 06-11-2021

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button