Jangan Tertipu dengan Ampunan Allah: Nasihat Ibnul Qayyim bagi Pendosa
Ibnul Qayyim dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ mengingatkan agar tidak terjebak dalam anggapan bahwa dosa-dosa akan terhapus hanya dengan amalan lahiriah seperti istighfar atau puasa sunnah, tanpa disertai taubat yang tulus, meninggalkan dosa, dan berbuat kebaikan yang nyata untuk mendapatkan ampunan Allah.
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 32-40) sebagai berikut:
Seorang hamba mengetahui bahwa maksiat dan kelalaian termasuk sejumlah sebab yang pasti mendatangkan bahaya atas dirinya, baik di dunia maupun di akhirat.
[Kita bisa tertipu dengan beberapa hal]
[Pertama: Allah itu Maha Pengampun]
Ada kalanya jiwa manusia menipu dirinya sendiri, misalnya mengandalkan kepada ampunan Allah serta menunda taubat. Terkadang juga berlindung dengan ucapan istighfar secara lisan, melaksanakan perkara-perkara yang disunnahkan, atau ilmu yang ia miliki. Terkadang pula dengan menjadikan takdir sebagai dalih, menjadikan hal-hal yang mirip dengan itu sebagai alasan, atau dengan alasan mengikuti para pemimpin.
Baca juga: Allah Maha Pengampun, Allah Mengampuni Setiap Dosa
[Kedua: Perbanyak Istighfar, Dosa Akan Terhapus]
Banyak orang menyangka bahwa apabila seseorang melakukan kemaksiatan lalu mengucapkan: “Astaghfirullah,” maka dampak negatif atau dosa dari kemaksiatan tersebut akan hilang dan selesailah urusannya.
Baca juga: Perintah Memperbanyak Istighfar
[Ketiga: Melaksanakan Amalan Sunnah seperti Berdzikir dan Thawaf akan Menghapus Dosa]
Ada orang yang mengaku faqih berkata kepadaku: “Aku akan berbuat semauku lalu aku mengucapkan: ‘Subhanallah wa bi hamdih’, sebanyak seratus kali, maka apa yang kulakukan itu akan terampuni seluruhnya,” sebagaimana riwayat shahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
ِمَنْ قَالَ فِي يَوْمٍ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ عَنْهُ خَطَايَاهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
“Barang siapa mengucapkan: ‘Subhanallah wa bi hamdih’ (Maha Suci Allah dan aku memuji-Nya), sebanyak seratus kali dalam sehari, maka dosa-dosanya akan dihapus walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. Bukhari, no. 6042 dan Muslim, no. 2691]
Seorang penduduk Makkah berkata kepada saya: “Jika seorang dari kami berbuat dosa, ia pun mandi dan melakukan thawaf sebanyak tujuh kali. Dengan demikian, dosa tersebut terhapus darinya.”
[Keempat: Allah Mengampuni Dosa Walaupun Dilakukan Berulang Kali]
Ada juga yang berkata kepada saya: “Dalam riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa beliau bersabda:
ِ«أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ أَصَبْتُ ذَنْبًا فَاغْفِرْ لِي، فَغَفَرَ اللَّهُ ذَنْبَهُ، ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ أَصَبْتُ ذَنْبًا، فَاغْفِرْ لِي، فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: عَلِمَ عَبْدِي أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي، فَلْيَصْنَعْ مَا شَاءَ.»
ِوَقَالَ: أَنَا لَا أَشُكُّ أَنَّ لِي رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ،
“Ada seorang hamba yang melakukan sebuah dosa, lalu ia berkata: ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah melakukan dosa, maka ampunilah aku.’ Allah pun mengampuninya. Setelah itu, ia menahan diri dari maksiat selama beberapa waktu, kemudian ia melakukan lagi dosa yang lain. Ia lantas berkata: ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat dosa, maka ampunilah aku.’ Allah pun kembali mengampuninya. Setelah itu, ia menahan diri dari maksiat selama beberapa waktu, lalu ia berbuat dosa lagi. Ia pun berkata: ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat dosa, maka ampunilah aku.’ Allah ‘azza wa jalla berkata: ‘Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum karenanya. Aku telah mengampuni hamba-Ku itu. Maka berbuatlah semaunya.’ Kemudian, orang itu berkata: ‘Aku tidak ragu bahwa aku memiliki Rabb yang akan mengampuni dosa dan menghukum karenanya!’” (HR. Bukhari, no. 7068 dan Muslim, no. 2758)
Baca juga: Segera Bertaubat dan Tidak Melanjutkan Maksiat
[Kelima: Mencintai Orang Saleh dan Mengunjungi Kuburnya]
Ada yang tertipu dengan permasalahan murji’ah bahwa iman itu hanya tashdiq (membenarkan), sedangkan amal tidak termasuk bagian dari iman. Iman manusia yang fasik itu bisa sama dengan imannya Jibril dan Mikail.
Baca juga: Pengertian Iman Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah
[Keenam: Mencintai Orang Miskin dan Mengkultuskan Kubur Orang Saleh]
Sebagian lagi tertipu dengan mencintai orang-orang miskin, para syaikh, dan orang-orang saleh. Misalnya, dengan banyak mengunjungi kuburan para wali Allah tersebut, memohon kepada mereka dengan merendahkan diri, meminta syafa’at mereka, bertawassul kepada Allah dengan mereka, serta berdoa kepada-Nya dengan hak mereka atas Allah dan kehormatan mereka di sisi-Nya.
Baca juga: Keutamaan Mencintai Orang Miskin
[Ketujuh: Mengingat Kebesaran Nenek Moyang]
Sebagian lain tertipu dengan kebesaran nenek moyang dan para pendahulunya. Ia menyangka bahwa mereka mempunyai kedudukan dan derajat kesalihan di sisi Allah. Ia juga menyangka bahwa mereka tidak akan meninggalkannya hingga berhasil mencarikan jalan keluar untuknya. Hal ini dapat disaksikan di kalangan para raja. Mereka melimpahkan dosa keturunan dan keluarga mereka kepada “orang-orang khusus” di sekitar mereka. Jika salah satu dari mereka terjerumus melakukan dosa besar, maka ayah atau kakeknya mencarikan jalan keluar untuknya dengan pangkat dan kedudukannya.
Baca juga:
[Kedelapan: Allah Tidak Butuh pada Siksa-Nya]
Sebagian lain tertipu dengan anggapan bahwa Allah tidak butuh kepada azab-Nya karena azab tersebut tidak akan menambahkan sesuatu apa pun dalam kerajaan-Nya, sebagaimana rahmat-Nya tidak akan mengurangi sedikit pun dari kerajaan-Nya. Ia berkata: “Aku benar-benar membutuhkan rahmat-Nya. Allah adalah Dzat yang Mahakaya. Sekiranya seorang fakir lagi miskin yang benar-benar membutuhkan seteguk air meminta kepada seseorang yang di sekitar rumahnya terdapat sungai yang mengalir, tentulah ia tidak akan mencegah orang fakir tadi untuk minum di sungai tersebut. Allah tentu saja jauh lebih dermawan dan kaya dibandingkan orang tadi. Di samping itu, ampunan Allah tidak akan membuat kerajaan-Nya berkurang sedikit pun dan azab tidak akan membuat kerajaan-Nya bertambah sedikit pun.”
[Kesembilan: Allah Mengampuni Semua Dosa]
Allah Ta’ala berfirman,
ِ قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
Ayat di atas mencakup semua dosa, termasuk syirik, dan Allah mengampuni dosa orang yang bertaubat, apa pun bentuknya. Jika ayat ini diterapkan pada selain orang yang bertaubat, maka ancaman dalam nash dan hadits terkait syafa’at tidak akan memiliki fungsi. Oleh karena itu, pemahaman bahwa Allah mengampuni semua dosa adalah khusus bagi mereka yang bertaubat. Dalam ayat lainnya ada pembatasan (taqyid) di mana disebutkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa syirik yang dibawa mati sebagaimana disebutkan dalam ayat,
ِإِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisaa’: 48, 116).
Baca juga: Dosa Syirik Tidak Diampuni
[Kesepuluh: Allah Maha Karim]
Allah Ta’ala berfirman,
ِيَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ
“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infithar: 6)
Allah menyebutkan lafazh al-Karim (الكَرِيمُ), yang dimaksud adalah as-sayyid (tuan) yang sangat kuat, yang agung, yang ditaati, yang tidak seharusnya orang tertipu dengan makna ‘Pemurah’ dan mengabaikan hak-Nya. Orang yang tertipu ini telah menempatkan arti kata ‘karim’ (pemurah) bukan pada tempatnya. Akhirnya, ia pun tertipu dengan apa yang seharusnya tidak tertipu dengannya.
[Kesebelas: Amalan Puasa Sunnah dapat Menggugurkan Dosa]
Bagaimana mungkin puasa sunnah sehari bisa menghapus seluruh dosa besar yang dilakukan seseorang, padahal ia masih berbuat dosa tersebut dan tidak bertaubat darinya? Hal ini mustahil. Meski puasa di hari Arafah dan hari Asyura mampu menghapuskan seluruh dosa yang terjadi dalam setahun, sesuai keumuman nas, tetapi ia termasuk kumpulan dalil yang berisi janji baik, yang terealisasi atau tidaknya bergantung pada sejumlah syarat dan penghalang. Padahal terus-menerus melakukan dosa besar merupakan salah satu penghalangnya.
Jika seorang hamba tidak meneruskan dosa besarnya, puasa akan menopang terealisasinya janji tersebut, untuk kemudian menghapuskan perbuatan dosa secara umum, sebagaimana puasa Ramadhan dan shalat lima waktu yang dibarengi dengan menjauhi dosa besar; niscaya keduanya akan saling menopang untuk menghapuskan dosa-dosa kecil. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah:
ِإِن تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلًا كَرِيمًا
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu …” (QS. An-Nisa: 31)
Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa dijadikannya sesuatu sebagai sebab terhapusnya dosa tidak menghalanginya untuk turut menopang sebab lain yang mampu menghapuskan dosa; bahkan penghapusan dosa dengan terkumpulnya dua sebab tadi menjadi lebih kuat dan lebih sempurna daripada penghapusan dosa yang terjadi dengan satu sebab saja. Jika sebab-sebab yang dapat menghapuskan dosa semakin kuat, maka penghapusan dosa juga akan menjadi lebih sempurna dan lebih kuat.
[Kedua belas: Sangka Baik kepada Allah]
Sebagian lain bersandar kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengabarkan bahwa Allah berfirman:
ِأَنَا عِنْدَ حُسْنِ ظَنِّ عَبْدِي بِي، فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ
“Aku sesuai dengan persangkaan baik hamba-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka kepada-Ku sebagaimana yang ia mau.” (HR. Ahmad, 3/491; Ibnu Hibban, 633; Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 909; Ad-Darimy, 2/305; Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir, 22, no. 211 dan Al-Awsath, 1205, dengan sanad yang sahih).
Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Sesungguhnya orang Mukmin itu berbaik sangka kepada Rabbnya sehingga ia pun melakukan amalan yang baik. Sebaliknya, sesungguhnya orang yang durhaka itu bersikap buruk sangka kepada Rabbnya sehingga ia pun melakukan amalan yang buruk.”
Bagaimana mungkin seseorang akan berbaik sangka kepada Rabbnya jika ia lari dari-Nya, berpindah-pindah dari satu kemurkaan Allah kepada kemurkaan-Nya yang lain, menerjumuskan dirinya ke dalam laknat-Nya, merendahkan dan menyia-nyiakan hak dan perintah-Nya, serta meremehkan larangan-Nya sehingga mengerjakan dan terus-menerus melakukannya?
Barang siapa yang mencermati masalah ini dengan benar tentu mengetahui bahwa berbaik sangka kepada Allah tidak lain dan yang baik adalah persangkaan baiknya kepada Allah, yakni bahwa Dia akan membalas, memberikan pahala, serta menerima amalannya. Jadi, persangkaan baik yang mendorongnya untuk berbuat amal yang baik. Setiap kali ia berprasangka baik kepada Allah Ta’ala maka setiap waktu itu pulalah amal perbuatannya menjadi semakin baik. Jika tidak demikian, sesungguhnya persangkaan baik yang disertai dengan hawa nafsu hanyalah merupakan kelemahan.
Persangkaan yang baik itu hanyalah bermanfaat bagi orang yang bertaubat, menyesal, dan meninggalkan dosanya; juga bagi mereka yang mengganti keburukan dengan kebaikan serta sisa umurnya dengan kebaikan dan ketaatan. Setelah itu, barulah ia dapat berbaik sangka.
Berbaik sangka kepada Allah dan terperdaya oleh-Nya merupakan dua hal yang berbeda.
Allah Ta’ala berfirman:
ِإِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah….” (QS. Al-Baqarah: 218)
Allah menjadikan mereka yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan-Nya sebagai ahli raja’ (orang-orang yang mengharap ridha-Nya), bukan orang-orang yang malas beramal atau orang-orang fasik.
Allah Ta’ala berfirman:
ِثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Kemudian Rabbmu (pelindung) bagi orang yang berhijrah setelah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sungguh, Rabbmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 110)
Dalam ayat tersebut Allah menerangkan bahwa setelah terjadinya perkara-perkara itu, yaitu hijrah, jihad, dan sabar, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap orang-orang yang melakukannya.
Orang yang berilmu meletakkan raja’ (harapan) pada tempat yang semestinya, sementara orang yang bodoh lagi tertipu meletakkannya tidak pada tempatnya.
Referensi:
Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.
–
Diselesaikan pada 30 Safar 1446 H, 4 September 2024 @ Perjalanan Gunungkidul – Sekar Kedhaton
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com